**"Kamu mau tau kenapa, Ris? Kamu pikir aku ngelakuin semua ini hanya buat kamu?"Rissa bergeming. Sangat tidak mungkin kalau Sagara melakukan semua ini hanya untuknya. Sungguh, Carissa pikir lelaki itu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih daripada dirinya. Lebih cantik, lebih berpendidikan, lebih memiliki value."Nanti suatu hari, aku akan kasih tahu. Untuk sementara ini, anggaplah aku memang lakukan ini hanya buat kamu."Jawaban yang mengecewakan."Ya, anggaplah kamu sedang beruntung. Di saat Mami ribet mau jodohin aku sama Tamara, kamu datang. Win-win solution, right?""Aku nggak puas sama jawabanmu, Kak.""Jangan cerewet. Sana, tidur."Carissa cemberut."Nggak mau tidur? Mau tidur sama aku?"Wajah cemberut itu berganti dengan blushing. Sagara tertawa kecil melihatnya. Manis sekali gadis ini."Kak ... ""Hm?""Aneska perutnya udah gede aja."Sekali lagi, Sagara mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Mendesah lelah, lelaki itu menatap gadis di hadapannya lekat dan berkata
**"Ap-apa aku ganggu?" Rissa mendengar suaranya sendiri bergetar ketika bertanya. Ia tidak bohong, rasa nyeri itu seperti menyengat hati kala melihat Tamara sama sekali tidak sungkan ketahuan menempel-nempel kepada suami orang begitu."Masuk, Ris.""Aku pergi aja kalo Kakak masih sibuk." Oh, shit! Carissa mau menangis."Nggak– hei!" Rissa sudah menjatuhkan paper bag berisi makan siang untuk Sagara, dan hendak berlari keluar ruangan ketika lelaki itu menarik lengannya dengan kuat. "Kamu mau ke mana?""Sepertinya aku ganggu.""Wait! Tamara, tolong keluar. Kamu nggak lihat istriku datang?" Gara mengalihkan pandangan kepada gadis bersurai panjang yang masih dengan santainya memainkan kuku, duduk di atas lengan kursinya."Why?" Ia bertanya dengan nada mencemooh. "Dia udah bilang kan kalo mau anter makan siang kamu aja. Ya kenapa aku harus keluar, sih?""Keluar sekarang atau aku telepon sekuriti biar kamu dikeluarin?"Diiringi decak kesal, gadis seksi itu akhirnya beranjak dengan ogah-ogah
*"Jangan bikin aku jatuh cinta ... "Sagara menatap manik gelap itu. Lapisan tipis yang bening tampak membuat pantulan lampu kamar membayang cantik di sana."Aku udah cukup hancur karena Abian. Aku nggak mau main-main lagi dengan perasaan. Tolong jangan begitu. Aku ngerti Kakak punya segala kuasa buat ngelakuin itu —mainin perasaan orang, tapi tolong jangan aku. Aku nggak sekuat itu kalau sekali lagi harus hancur hanya karena hal bullshit yang disebut cinta." Carissa menggigit bibir bawahnya setelah bicara panjang lebar seperti itu. Tampak menyesali dirinya sendiri, dan sebelum Sagara menyuarakan sesuatu, ia bergegas beranjak dari ranjang."Ris–""Aku mandi dulu. Kamu juga siap-siap, terus kita berangkat ke rumah Mami." Carissa berkata tanpa sama sekali memandang Gara. Gadis itu berlalu ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Menghembuskan napas keras-keras setelah berada di sana sendirian.Carissa sudah mengatakannya. Ia harap Sagara mengerti. Karena jika suatu saat nanti m
**Sudah cukup larut ketika mobil Sagara memasuki halaman rumah. Pasangan suami istri itu kompak menolak permintaan Yasmin untuk menginap saja di rumah besar. Carissa beralasan bahwa suaminya harus berangkat lebih awal besok, dan rumah mereka memang notabene terletak lebih dekat dengan kantor. Padahal aslinya Carissa berusaha untuk tidak sekamar dengan suaminya. Sementara itu Sagara ... entah apa alasannya."Aku masuk dulu, Kak." Carissa pamit segera setelah memasuki ruang depan."Masuk ke mana?""Ya ke kamarku, lah. Udah malem, aku capek." Carissa mengernyit. "Lagian kamu sendiri juga harus istirahat, kan?"Gara diam dengan pandangan lurus menembus kornea mata Carissa, membuat jengah yang bersangkutan."Kamu nggak minum obat yang dikasih Mami?""Ha?" Kening gadis itu berkerut kian dalam. "Buat apaan? Yang penting udah aku terima, Mami juga udah seneng, kan?"Raut wajah Gara yang datar tapi menusuk itu membuat tengkuk Carissa merinding. Reflek otaknya berkata, ia harus secepatnya menj
**"Nggak."Sagara menatap sayu dengan mata yang sekali-sekali terpejam. Sepertinya lelaki itu memang sudah mabuk. Carissa yang terjebak di dalam kamar, tak bisa keluar karena tangan Gara menahan pintunya, tampak seratus persen ketakutan."Ris ... " Gara menelengkan kepalanya. "Apa kamu bakal kasih kalo aku minta?""K-Kak ... ""Kamu istriku, kan?"Ini seperti menelan buah simalakama. Satu sisi, Rissa mengakui memang memiliki kewajiban kepada lelaki yang sudah berstatus suaminya itu. Namun di sisi lain, ia tidak ingin melakukannya tanpa keterlibatan cinta di dalamnya. Meski demikian, Rissa menaruh respek yang tinggi karena Gara bahkan masih sempat bertanya dan meminta padahal sendirinya terlihat sudah mabuk berat."Kamu nggak mau?" Gara kembali bertanya. Raut kecewa tampak memenuhi wajahnya yang tampan. "Honestly, itu jahat. Tapi kalau kamu nggak mau, ya aku nggak bisa maksa."Gadis bersurai cokelat itu masih membisu dengan berbagai pikiran berkecamuk dan perang batin hebat. Kemudian
**Sudah cukup siang ketika Carissa sampai di butik eksklusif milik Yasmin dengan Gara mengekor di belakangnya. Banyak waktu terbuang gara-gara lelaki itu terus menempel ke sana kemari seperti lem lalat. Menghambat pergerakan Carissa di rumah."Jam berapa ini? Apa nggak bisa dateng lebih siang? Aku pikir kamu kepagian," sindir Yasmin sengit saat menantunya mendorong terbuka pintu kaca butik miliknya."Maaf, Mami ... " Carissa melirik suaminya ragu-ragu. "Kak Gara yang nggak bisa cepet. Padahal Rissa udah bangun pagi.""Loh, kok Gara ada di sini?" Yasmin mengernyit melihat putranya yang muncul dari belakang punggung Carissa. "Kamu nggak ke kantor, Gar?""Nggak. Bosen.""Gara!""Libur sehari apa masalahnya sih, Mam?"Yasmin mengalihkan pandangan kepada menantunya dengan tatapan minta penjelasan. Nah, Rissa mengeluh dalam hati. Mengapa selalu dirinya yang harus menjelaskan?"Rissa tadi udah suruh Kak Gara berangkat, Mam. Tapi nggak mau. Ya Rissa nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi kalo beg
**"Jawab, heh! Jawab!" Yasmin naik pitam. Sepanjang perjalanan pulang dari supermarket, wanita itu terus-terusan menggerutu dan memarahi Carissa karena tadi hanya diam saat bertemu Arini."Jangan hanya diam kayak orang bodoh begitu, dong! Pantas aja kalau kata Gara kamu sampai diusir dari rumah, terus semua tabunganmu sampai habis gara-gara dia. Kamu sendiri yang nggak bisa ngelawan!""Iya, Mami ... ""Jangan iya-iya melulu, Carissa. Untung aja tadi kamu sama aku. Coba kalau kamu sendirian, pikir apa aja yang bakal dilakukan sama perempuan tadi? Dia memang nggak melakukan kekerasan fisik, tapi kata-katanya itu lebih dari cukup buat membunuh mental seseorang, tau!""Iya, Mami. Lain kali Rissa nggak akan diam lagi.""Aku paling nggak suka sama perempuan yang lemah, Ris! Seseorang nggak bisa memakai status sosial atau keadaan ekonomi buat menjatuhkan orang lain, itu nggak fair!"Wow, lihatlah itu. Carissa jatuh hati dalam pesona ibu mertuanya. Yasmin perempuan masa kini yang independen,
**"Tadi aku dimarahin Mami ... " Carissa memulai percakapan seusai pekerjaan malam yang melelahkan."Kamu bikin salah apa?" Gara menarik tubuh perempuan itu agar bersandar di dadanya. Berdua berendam di dalam bathup berisi air hangat."Tadi pas aku ke supermarket bareng Mami, aku ketemu ... ""Siapa? Mantanmu?""Tante Arini."Hening sesaat, sebelum Gara kembali bersuara. "Aku kan belum pernah lihat muka tantemu itu sama sekali. Juga keponakan yang ngerebut mantanmu.""Aneska? Dia cantik, Kak. Seksi lagi.""Dan jalang.""Hush!" Rissa memukul pelan lengan Sagara yang melingkari bahunya sembari tertawa ringan."Jadi, kenapa kamu dimarahin Mami?""Karena aku diam aja, nggak bisa jawab pas Tante Arini ngomongnya nggak enak. Mami belain aku di depan Tante Arini, tapi pas udah pulang, aku dimarahin.""You deserve to got it.""Ya, bener. Aku pikir-pikir, aku memang terlalu lemah selama ini. Kata-kata Mami tadi bikin aku sadar.""Harus dimarahi mertuamu dulu untuk sadar kalau kamu pathetic?"