"Tidur di sini."Carissa terbelalak. Apakah Gara sedang mabuk? Seingatnya tidak. Seharian ini mereka bersama, jadi kapan lelaki itu sempat menenggak alkohol?Tapi perangainya ini ..."Kamu nggak denger aku ngomong apa, Rissa?"Carissa panik. Pergelangan tangannya masih belum dilepaskan, tapi Gara tidak membuka mata sama sekali."K-Kak ... ""Tidur di sini.""Tapi nanti Mami kamu ... ""Mami udah tidur. Lagian kenapa, sih? Dua hari lagi kamu sah jadi istriku. Apa salahnya mencuri start?""Kak Gara!""Bercanda. Lagian siapa yang mau ngapa-ngapain? Aku kan cuma bilang tidur di sini.""T-tapi Kak– aaakh!"Gara menyentakkan tangannya, sehingga Carissa tertarik hingga hilang keseimbangan. Akhirnya, tubuh gadis itu jatuh tepat di atas tubuh Gara yang berbaring telentang."Astaga! Astaga!""Ssstt!""Kak Gara!""Jangan berisik!" Gara mengubah posisinya sebelum otak Carissa sempat memproses apa yang terjadi. Sekarang si gadis yang berada di bawah, dengan badan kekar Gara mengurungnya, mencegah
Sagara tidak tahu, apa yang terjadi dengan Carissa. Yang jelas, semakin dekat dengan hari H pernikahan mereka, gadis itu menjadi semakin pendiam. Hanya menimpali apapun yang Sagara katakan dengan ya atau tidak. Juga menurut saja apa yang Yasmin titahkan atau larang.Puncaknya hari ini, dua hari tepat sebelum acara dilaksanakan. Carissa minta ijin kepada Yasmin agar diperbolehkan pulang sendirian ke apartemen Sagara, menginap satu malam di sana."Kamu mau ngapain memangnya?" Wanita anggun itu bertanya. "Carissa, sudah tinggal dua hari lagi. Kamu nggak berencana mengacaukan pernikahanmu sendiri, kan?""Nggak, Bu. Bukan begitu. Saya cuma pengen diam sendirian sebentar aja.""Jangan-jangan kamu punya pikiran mau bunuh diri? Carissa, ayo ke psikiater sekarang!"Astaga, orang ini. Carissa menghela napas lelah sembari berusaha tersenyum. "Memangnya di mata Ibu, saya kelihatan seperti orang depresi yang mau bunuh diri, kah?""Heh, Ris, orang jaman sekarang itu lihai memakai topeng yang sempur
*"Kamu tadi bukannya denger sendiri? Ini Mami yang suruh." Gara meletakkan paper bag hitam polos di atas meja ruang tamu apartemennya. Membuat Carissa menghela napas lelah. Paper bag itu berisi sebuah ponsel mahal keluaran terbaru."Kan aku bilang nggak usah, Kak.""Dari kapan kamu berani ngelawan perintah ibuku?" Gara menatap gadis yang duduk di seberangnya itu dengan pandangan penuh intimidasi. "Udahlah. Toh sebenernya kamu juga butuh, kan? Kamu masih simpan kartu SIM-mu yang lama?"Iya, Rissa masih simpan. Tapi gadis itu justru menggeleng. "Aku nggak mau pakai nomor lamaku lagi, Kak.""Good," sahut Gara, "walaupun mungkin kita nggak saling suka, tapi kamu besok tetap jadi istriku yang sah. Aku nggak akan ijinkan kamu berhubungan lagi sama masa lalumu."Carissa ingin menyela dengan pertanyaan mengapa, tapi ia sudah lelah sekali dan ingin tidur. Maka gadis itu hanya memandang dalam diam kala Sagara mengaktifkan ponsel baru itu dengan nomor yang baru pula."Aku udah simpan nomormu. C
*Carissa Tahu, ia tidak tidur dan hanya pura-pura memejamkan mata. Ia sadar ketika rasa hangat itu menyentuh bibirnya dan tertinggal di sana selama beberapa saat. Tapi gadis itu memilih untuk tidak melakukan apapun. Dengan lancangnya ia memilih menikmati saja rasa hangat yang manis, yang ia sadari, belum pernah dirasakannya ketika bersama Abian."Nggak, nggak!" Gadis itu memukul pelan keningnya sendiri. "Nggak boleh begitu. Kok bisa-bisanya sih, aku ini!"Ah, rasa itu bahkan terbawa ke dalam mimpi. Rissa tidak bisa menahan rona pada kedua pipi saat mengingatnya. Yeah, Carissa merasa beban dalam hatinya sedikit ringan. Benar, ia hanya perlu memikirkan segalanya dalam kesendirian, lalu kepalanya akan jernih kembali.Dan ia benar-benar akan menikah.Hari ini."Hei, jangan dipukul-pukul gitu kepalanya. Nona cantik sekali, loh," puji seorang stylist, karyawan salon milik Yasmin yang bertugas mendandani Carissa hari ini."Aku malu." Rissa menggeleng panik. Ia menatap bayangannya sendiri y
**Sepanjang malam itu, Carissa jadi sulit memejamkan mata. Pikiran tentang Gara yang mengaku kecewa karena Abian tidak datang ke pernikahannya, seperti berlari-lari dalam benak. Ah, Abian. Sudah lebih dari satu bulan berlalu sejak Rissa diusir pergi dari rumah Arini. Berarti, sudah sekian lama juga ia tidak melihat lelaki itu. Mungkin sekarang perut Aneska sudah membesar? Ah, tentu saja, itu pasti.Duh, Carissa galau.Tentu saja Gara sendiri tidak tahu bahwa Rissa galau sampai tak bisa tidur, sebab pestanya masih berlangsung hingga fajar nyaris menyingsing. Gila memang.Lelaki itu baru membuka pintu kamar ketika Rissa justru bangun untuk memulai hari."Mau ke mana?" Gara bertanya dengan tangan menyangga keningnya. Membuat Carissa mengernyit curiga."Kakak mabuk?""Aku tanya, kamu mau ke mana, Ris? Bukan dijawab malah balik tanya."Perempuan itu menghela napas. "Ya tentu aja mau bangun, Kak. Ini udah jam enam pagi.""Mau apa kamu bangun subuh-subuh begini?"Subuh? Carissa mengerutkan
**Dua hari setelah tinggal di mansion mewah milik Yasmin, Gara akhirnya memboyong Carissa untuk pindah ke sebuah rumah pribadi yang terletak tidak jauh dari kawasan kantornya. Itu rekomendasi dari Yasmin juga, sebenarnya."Yang bener aja, masa mau pindah ke apartemen?" komentar Yasmin dengan nada sewot, kala Carissa mengusulkan untuk pindah ke apartemen saja."Memangnya kenapa, Mam? Kan apartemen Kak Gara juga nggak terlalu jauh dari kantor.""Apart Gara tuh sempit, tau! Kalau aku sih males tinggal di tempat begituan."Carissa mengulum senyum. Jelas sekali perbedaan standarnya dengan sang ibu mertua bagaikan surga dan neraka. "Rissa nggak keberatan kok, Mam. Lagian sempit dari mananya, sih? Bahkan buat main bola aja bisa, tuh.""Pokoknya jangan. Malu-maluin aja!"Rissa sudah nyaris menjawab 'malu sama siapa?' tapi sebaiknya tidak usah. Kalau sang ibu direktur sudah bertitah, sebaiknya tidak dibantah.Maka, di sinilah ia sekarang. Di sebuah rumah minimalis tapi mewah. Rumah pribadi mi
**.Mobil yang diributkan Gara itu benar-benar datang dalam waktu tiga puluh menit kemudian. Dua orang driver yang mengantarkan, hanya menemui Carissa di ambang pintu rumah. Selepas acara serah terima kunci, orang-orang itu seketika balik badan dan pergi. Sangat profesional, sama sekali tidak ingin berdekatan dengan istri bosnya. Nah, sampai titik ini, Carissa masih belum tahu sebesar apa pengaruh seorang Sagara Aditama terhadap dunia di sekitarnya. Tampaknya orang-orang itu seratus persen tunduk kepadanya."Kak, aku boleh keluar, ya? Minimarketnya cuma beberapa blok dari rumah, kan?" Carissa bertanya melalui ponsel."Hidupkan GPS di mobil dan ponselmu, Ris. Selesai langsung pulang, nggak ada acara keluyuran."Kedua alis Carissa terpaut seketika. Ada apa dengan orang ini? Ia kan cuma pamitan belanja ke minimarket, bukannya mau merantau ke negeri seberang. "Paling lama cuma satu jam, kok. Kakak kenapa tambah bawel, sih?""Nurut, nggak? Atau nggak usah keluar sekalian!""I-iya, iya. Ya
**Carissa diam, memandang lama kepada suaminya yang tengah melanjutkan bekerja di ruang tengah rumah mereka. Ini adalah kebiasaan baru Gara ; meminta Carissa menemaninya bekerja selepas makan malam. Biasanya sampai Rissa mengantuk."Apa liat-liat?" celetuk Gara tanpa mengalihkan pandang, sadar bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian perempuan di sampingnya."S-siapa yang ngeliatin?""Menurutmu siapa?""Enggak."Gara akhirnya menengok dari balik layar laptopnya. "Kenapa malu? Nggak ada yang salah dengan ngeliatin suamimu sendiri, kan? Kecuali kalau kamu liat-liat suami Aneska, itu baru salah."Carissa mendesis. Belakangan Gara senang sekali menggodanya dengan menyangkut-pautkan nama Abian.Entah apa maksudnya lelaki itu berbuat demikian."Aku memang se-good looking itu, sih. Nggak heran. Jangankan kamu, seluruh pegawaiku di kantor, bahkan relasi bisnis aja, sering jatuh cinta dalam sekali pandang.""Kepedean. Itu kan mereka, bukannya aku." Rissa meraih cangkir berisi capuccino di
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh