*"Kamu tadi bukannya denger sendiri? Ini Mami yang suruh." Gara meletakkan paper bag hitam polos di atas meja ruang tamu apartemennya. Membuat Carissa menghela napas lelah. Paper bag itu berisi sebuah ponsel mahal keluaran terbaru."Kan aku bilang nggak usah, Kak.""Dari kapan kamu berani ngelawan perintah ibuku?" Gara menatap gadis yang duduk di seberangnya itu dengan pandangan penuh intimidasi. "Udahlah. Toh sebenernya kamu juga butuh, kan? Kamu masih simpan kartu SIM-mu yang lama?"Iya, Rissa masih simpan. Tapi gadis itu justru menggeleng. "Aku nggak mau pakai nomor lamaku lagi, Kak.""Good," sahut Gara, "walaupun mungkin kita nggak saling suka, tapi kamu besok tetap jadi istriku yang sah. Aku nggak akan ijinkan kamu berhubungan lagi sama masa lalumu."Carissa ingin menyela dengan pertanyaan mengapa, tapi ia sudah lelah sekali dan ingin tidur. Maka gadis itu hanya memandang dalam diam kala Sagara mengaktifkan ponsel baru itu dengan nomor yang baru pula."Aku udah simpan nomormu. C
*Carissa Tahu, ia tidak tidur dan hanya pura-pura memejamkan mata. Ia sadar ketika rasa hangat itu menyentuh bibirnya dan tertinggal di sana selama beberapa saat. Tapi gadis itu memilih untuk tidak melakukan apapun. Dengan lancangnya ia memilih menikmati saja rasa hangat yang manis, yang ia sadari, belum pernah dirasakannya ketika bersama Abian."Nggak, nggak!" Gadis itu memukul pelan keningnya sendiri. "Nggak boleh begitu. Kok bisa-bisanya sih, aku ini!"Ah, rasa itu bahkan terbawa ke dalam mimpi. Rissa tidak bisa menahan rona pada kedua pipi saat mengingatnya. Yeah, Carissa merasa beban dalam hatinya sedikit ringan. Benar, ia hanya perlu memikirkan segalanya dalam kesendirian, lalu kepalanya akan jernih kembali.Dan ia benar-benar akan menikah.Hari ini."Hei, jangan dipukul-pukul gitu kepalanya. Nona cantik sekali, loh," puji seorang stylist, karyawan salon milik Yasmin yang bertugas mendandani Carissa hari ini."Aku malu." Rissa menggeleng panik. Ia menatap bayangannya sendiri y
**Sepanjang malam itu, Carissa jadi sulit memejamkan mata. Pikiran tentang Gara yang mengaku kecewa karena Abian tidak datang ke pernikahannya, seperti berlari-lari dalam benak. Ah, Abian. Sudah lebih dari satu bulan berlalu sejak Rissa diusir pergi dari rumah Arini. Berarti, sudah sekian lama juga ia tidak melihat lelaki itu. Mungkin sekarang perut Aneska sudah membesar? Ah, tentu saja, itu pasti.Duh, Carissa galau.Tentu saja Gara sendiri tidak tahu bahwa Rissa galau sampai tak bisa tidur, sebab pestanya masih berlangsung hingga fajar nyaris menyingsing. Gila memang.Lelaki itu baru membuka pintu kamar ketika Rissa justru bangun untuk memulai hari."Mau ke mana?" Gara bertanya dengan tangan menyangga keningnya. Membuat Carissa mengernyit curiga."Kakak mabuk?""Aku tanya, kamu mau ke mana, Ris? Bukan dijawab malah balik tanya."Perempuan itu menghela napas. "Ya tentu aja mau bangun, Kak. Ini udah jam enam pagi.""Mau apa kamu bangun subuh-subuh begini?"Subuh? Carissa mengerutkan
**Dua hari setelah tinggal di mansion mewah milik Yasmin, Gara akhirnya memboyong Carissa untuk pindah ke sebuah rumah pribadi yang terletak tidak jauh dari kawasan kantornya. Itu rekomendasi dari Yasmin juga, sebenarnya."Yang bener aja, masa mau pindah ke apartemen?" komentar Yasmin dengan nada sewot, kala Carissa mengusulkan untuk pindah ke apartemen saja."Memangnya kenapa, Mam? Kan apartemen Kak Gara juga nggak terlalu jauh dari kantor.""Apart Gara tuh sempit, tau! Kalau aku sih males tinggal di tempat begituan."Carissa mengulum senyum. Jelas sekali perbedaan standarnya dengan sang ibu mertua bagaikan surga dan neraka. "Rissa nggak keberatan kok, Mam. Lagian sempit dari mananya, sih? Bahkan buat main bola aja bisa, tuh.""Pokoknya jangan. Malu-maluin aja!"Rissa sudah nyaris menjawab 'malu sama siapa?' tapi sebaiknya tidak usah. Kalau sang ibu direktur sudah bertitah, sebaiknya tidak dibantah.Maka, di sinilah ia sekarang. Di sebuah rumah minimalis tapi mewah. Rumah pribadi mi
**.Mobil yang diributkan Gara itu benar-benar datang dalam waktu tiga puluh menit kemudian. Dua orang driver yang mengantarkan, hanya menemui Carissa di ambang pintu rumah. Selepas acara serah terima kunci, orang-orang itu seketika balik badan dan pergi. Sangat profesional, sama sekali tidak ingin berdekatan dengan istri bosnya. Nah, sampai titik ini, Carissa masih belum tahu sebesar apa pengaruh seorang Sagara Aditama terhadap dunia di sekitarnya. Tampaknya orang-orang itu seratus persen tunduk kepadanya."Kak, aku boleh keluar, ya? Minimarketnya cuma beberapa blok dari rumah, kan?" Carissa bertanya melalui ponsel."Hidupkan GPS di mobil dan ponselmu, Ris. Selesai langsung pulang, nggak ada acara keluyuran."Kedua alis Carissa terpaut seketika. Ada apa dengan orang ini? Ia kan cuma pamitan belanja ke minimarket, bukannya mau merantau ke negeri seberang. "Paling lama cuma satu jam, kok. Kakak kenapa tambah bawel, sih?""Nurut, nggak? Atau nggak usah keluar sekalian!""I-iya, iya. Ya
**Carissa diam, memandang lama kepada suaminya yang tengah melanjutkan bekerja di ruang tengah rumah mereka. Ini adalah kebiasaan baru Gara ; meminta Carissa menemaninya bekerja selepas makan malam. Biasanya sampai Rissa mengantuk."Apa liat-liat?" celetuk Gara tanpa mengalihkan pandang, sadar bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian perempuan di sampingnya."S-siapa yang ngeliatin?""Menurutmu siapa?""Enggak."Gara akhirnya menengok dari balik layar laptopnya. "Kenapa malu? Nggak ada yang salah dengan ngeliatin suamimu sendiri, kan? Kecuali kalau kamu liat-liat suami Aneska, itu baru salah."Carissa mendesis. Belakangan Gara senang sekali menggodanya dengan menyangkut-pautkan nama Abian.Entah apa maksudnya lelaki itu berbuat demikian."Aku memang se-good looking itu, sih. Nggak heran. Jangankan kamu, seluruh pegawaiku di kantor, bahkan relasi bisnis aja, sering jatuh cinta dalam sekali pandang.""Kepedean. Itu kan mereka, bukannya aku." Rissa meraih cangkir berisi capuccino di
**"Kamu mau tau kenapa, Ris? Kamu pikir aku ngelakuin semua ini hanya buat kamu?"Rissa bergeming. Sangat tidak mungkin kalau Sagara melakukan semua ini hanya untuknya. Sungguh, Carissa pikir lelaki itu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih daripada dirinya. Lebih cantik, lebih berpendidikan, lebih memiliki value."Nanti suatu hari, aku akan kasih tahu. Untuk sementara ini, anggaplah aku memang lakukan ini hanya buat kamu."Jawaban yang mengecewakan."Ya, anggaplah kamu sedang beruntung. Di saat Mami ribet mau jodohin aku sama Tamara, kamu datang. Win-win solution, right?""Aku nggak puas sama jawabanmu, Kak.""Jangan cerewet. Sana, tidur."Carissa cemberut."Nggak mau tidur? Mau tidur sama aku?"Wajah cemberut itu berganti dengan blushing. Sagara tertawa kecil melihatnya. Manis sekali gadis ini."Kak ... ""Hm?""Aneska perutnya udah gede aja."Sekali lagi, Sagara mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Mendesah lelah, lelaki itu menatap gadis di hadapannya lekat dan berkata
**"Ap-apa aku ganggu?" Rissa mendengar suaranya sendiri bergetar ketika bertanya. Ia tidak bohong, rasa nyeri itu seperti menyengat hati kala melihat Tamara sama sekali tidak sungkan ketahuan menempel-nempel kepada suami orang begitu."Masuk, Ris.""Aku pergi aja kalo Kakak masih sibuk." Oh, shit! Carissa mau menangis."Nggak– hei!" Rissa sudah menjatuhkan paper bag berisi makan siang untuk Sagara, dan hendak berlari keluar ruangan ketika lelaki itu menarik lengannya dengan kuat. "Kamu mau ke mana?""Sepertinya aku ganggu.""Wait! Tamara, tolong keluar. Kamu nggak lihat istriku datang?" Gara mengalihkan pandangan kepada gadis bersurai panjang yang masih dengan santainya memainkan kuku, duduk di atas lengan kursinya."Why?" Ia bertanya dengan nada mencemooh. "Dia udah bilang kan kalo mau anter makan siang kamu aja. Ya kenapa aku harus keluar, sih?""Keluar sekarang atau aku telepon sekuriti biar kamu dikeluarin?"Diiringi decak kesal, gadis seksi itu akhirnya beranjak dengan ogah-ogah