Inge masih meneteskan air mata sepeninggal Lucas. Kepalanya menjadi ribut sendiri. Bagaimana dia akan pergi dengan tenang, jika sikap Lucas begitu baik. Bahkan lelaki itu berniat untuk membawanya pergi ke pernikahan asistennya. Bukankah itu berarti Lucas mempunyai rencana untuk memperkenalkan Inge kepada lingkungan kerjanya?Inge menutup wajahnya. Sejak semula Inge sudah merasa sedikit keanehan pada diri Lucas. Dia berpikir, pernikahan yang mereka lakukan secara mendadak dan diam-diam, akan menjadi rahasia antara mereka saja. Nyatanya Lucas dengan gamblang menunjukkan pada dunia bahwa dia adalah istri keduanya.Inge mendengar telepon genggamnya berbunyi. Apakah dari Bu Emma lagi? Dia menatap tas di sampingnya, yang di dalamnya ada gawai yang berdering itu. Sedikit malas, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk mengambil telepon tersebut. Ternyata Pak Andrew.Perempuan itu menghela napas, menyusut hidungnya dengan tisu. Pada dering kedua, Inge baru meresponnya.“Inge, saya senang menden
Lucas berdiri di ambang pintu. Mungkin tadi Lucas sudah mengetuk pintu tetapi Inge yang tidak mendengar. Sebab seluruh fokusnya sedang ada di monitor laptop, pada rapat yang sedang berlangsung.Inge masih terpaku memandang Lucas. Wajah tampan yang dingin sudah terpampang di sana. Wajah yang dahulu sering kali Inge lihat , sebelum dia menjadi istrinya.“Bu Inge, halo, Bu!” Suara Bu Indira yang terdengar dari laptopnya membuat Inge tersadar.Inge pun buru-buru menghadap kepada laptop kembali. Dia berusaha tersenyum seperti biasa.“Mohon maaf, Pak Andrew dan teman-teman semua,” kata Inge, dia berhenti sebentar untuk menelan ludah. Mata Inge melirik gelisah saat melihat gambar Lucas bergerak mendekat.“Beliau adalah s-suami saya,” lanjutnya.Inge melihat raut wajah para rekan kerja barunya menyeringai, ada yang sampai menahan tawa. Mungkin lucu bagi mereka. Namun jelas bukan bagi Pak Andrew. Wajah lelaki dewasa yang cukup tampan itu terlihat kaget, ekspresi matanya yang membola sedetik se
Inge segera meletakkan telepon genggamnya. Namun saat telepon itu terus berdering, dia mengambilnya kembali, lalu dengan cepat mengubah status notifikasinya menjadi senyap. Berjaga-jaga jika Pak Andrew tetap gigih untuk terus mencoba meneleponnya.“Pak Lucas!” Inge berseru. Dia melempar gawainya ke sofa. Segera dia mengejar langkah Lucas yang lebar dan cepat. Tampaknya menuju ke kamarnya sendiri.“Pak Lucas, tunggu! Saya mohon!”Lucas berhenti. Bukan karena seruan Inge, tetapi karena dia sudah sampai di depan kamarnya. Lelaki itu menoleh, membiarkan Inge mendekati dirinya.“Tolong beri saya waktu untuk menjelaskan semua ini, Pak Lucas,” Inge memohon. Napasnya menderu, antara kelelahan mengejar Lucas dan menahan gemuruh di dada.“Saya tidak perlu penjelasan kamu, Inge. Saya hanya menunggu jawaban kamu dari pertanyaan saya,” kata Lucas pelan. “Apakah harus kuulang sampai ketiga kalinya?”Inge menunduk. “Y-ya t-tentu saja, Pak. Anda adalah suami saya, suami yang sah.”Lucas tertawa sumba
“Sekolah saya terbuka kapan pun untuk kamu, Inge, tapi tidak kali ini. Perjanjian kerja terpaksa saya batalkan sepihak,” tegas Pak Andrew.“Baik, saya mengerti, Pak Andrew,” jawab Inge lemah. Pak Andrew terdengar menghela napas panjang. “Inge, percayalah padaku, yang terbaik untukmu sekarang adalah di sisi Lucas.”Hati Inge mencelos mendengar semua itu. Setelah meminta maaf dan berbasa basi sejenak, Inge menutup teleponnya.Tidak terasa wajahnya telah basah. Inge memegang dadanya, seakan dia ingin menahan air mata dari bagian situ. Kemudian dia menjumput tisu dan mulai mengelap.“Mama Inge nangis?” Naomi tiba-tiba sudah di dekatnya.Inge tersenyum. “Iya, Sayang. Mama Inge minta peluk sama Mimi, boleh?”Naomi spontan merentangkan tangan, dia maju lebih dekat, lalu mereka berpelukan.“Nangis karena Papa marah?” tanya Naomi dengan polosnya.“Enggak, Sayang. Papa kan udah enggak marah, Papa Lucas kan baik.”Naomi menggeleng. “Galak. Papa Lucas galak!”“Loh, siapa yang beliin es krim? Si
“Pak Lucas, bolehkah kita pindah ruangan dulu?” Inge terbatuk kecil. Murni karena bau rokok yang menggelitik hidungnya.Lucas menatap tajam kepada Inge. Tidak bersuara, tidak bergerak. Hanya menatap tanpa berkedip. Dahinya sedikit berkerut, seperti sedang dipakai untuk berpikir.Hal itu membuat Inge menunduk, dia berpikir kalau Lucas marah lagi. Mungkin dia tersinggung dengan kalimat Inge.“Kamu betul, Ing. Kita memang perlu udara segar.” Akhirnya Lucas bersuara. Dia berdiri. Lalu Lucas menarik kemejanya hingga keluar dari celana panjang, setelah itu dia mulai membuka kancing bajunya satu per satu.“Maksud Pak Lucas—”“Kita pergi keluar, tapi berdua saja,” kata Lucas lagi. Kemudian dia masuk ke kamar mandi. “Bersiaplah, Ing.”Inge segera bangkit, lalu keluar dari kamar Lucas.Sepanjang kaki Inge melangkah menuju kamarnya, dia terus berpikir. Apa yang harus dia katakan kepada Lucas nanti? Lucas tadi sudah sempat melihat nama Pak Andrew plus foto lelaki itu di layar telepon genggamnya.
Inge beradu pandang dengan Lucas. Dia mencerna ucapan Lucas dalam-dalam. Apakah lelaki ini sedang mengujinya? Bukankah tadi Pak Andrew mengenal Lucas? Lelaki itu bahkan dengan jitu menyebutkan bahwa Lucas adalah suami Karina, dan Pak Andrew juga dengan tepat menebak jika Inge sebagai istri baru Lucas.Lucas tampak menunggu jawaban Inge dengan mata yang seperti tidak sabaran.“Pak Andrew adalah direktur sekolah tempat saya melamar—““Dan sebenarnya kamu sudah diterima?” potong Lucas.Inge menelan ludahnya. Kemudian mengangguk.“Kenapa bisa terpikir untuk pergi jauh? Sekolah itu ada di Sulawesi kan?” cecar Lucas. Suara Lucas tampak naik.“B-bukankah s-saya tidak mungkin mendapat pekerjaan di kota ini?” sahut Inge lirih.Lucas melenguh. Teringat ancaman Papa Benny. Ayah kandung Karina itu memang pernah bicara akan menggunakan kekuasaannya untuk memboikot Inge dari sekolah apa pun di kota ini, bahkan sampai kota tetangga. Kenalan Papa Benny memang tidak main-main.Lucas meraih tangan Ing
“Pak Lucas, apa Bapak yakin mau ngajak saya ke pesta pernikahan asisten Pak Lucas?” tanya Inge.Mereka sudah dalam perjalanan pulang. Lucas yang sedang mengemudi menjadi tersenyum.“Kenapa?” Bukannya menjawab pertanyaan, Lucas justru balik bertanya.Inge menoleh kepada Lucas sekilas, lalu pandangannya lurus menembus kaca mobil untuk melihat kendaraan lain di depan mereka.“Jujur saya ada rasa minder, Pak Lucas.”Lucas tertawa ringan.“Apa saya mampu berbaur dengan teman-teman atau kolega Pak Lucas nanti. Saya merasa bukan siapa-siapa,” kata Inge lagi.“Kamu itu istri Lucas Kavell. Kenapa masih merasa bukan siapa-siapa?” Lucas berkata lembut, dia ulurkan tangannya untuk meraih tangan Inge sekejap.Inge menoleh pada tangan Lucas, yang hanya mampir sebentar di tangannya itu. Lalu dia menghela napas. Apa Lucas benar-benar tidak mengerti perasaannya? Dia akan dibawa ke sekumpulan orang-orang yang pastinya mengenal siapa Lucas, dan dia akan diperkenalkan sebagai istri kedua?“Inge, enggak a
Emma bangun pagi-pagi sekali, dengan kebahagiaan yang luar biasa. Dia turun dari ranjang dengan sangat hati-hati, sebab Benny masih memperdengarkan dengkurannya yang berirama di tumpukan bantal. Tanda lelaki itu masih terbalut di alam mimpi.Wanita paruh baya itu merapikan rambutnya lalu berjalan turun ke dapur.“Mbak, hari ini saya yang akan masak untuk sarapan,” katanya dengan suara yang amat ceria.Sang ART yang baru saja selesai menanak nasi sampai terbengong-bengong. Baru sekali ini Nyonya rumah akan memasak sendiri. Sejak dua tahun dia mengabdi di sini, belum pernah sekali pun majikannya terlihat memasak.“Heh, kok malah ngelamun!” bentak Emma. “Udah pergi cepat, kamu kerjakan yang lain. Bantu-bantu beberes atau gimana! Saya masak, bukan berarti kamu bisa santai.”“I-iya, Nyonya.” Si mbak spontan melangkah cepat meninggalkan dapur.Emma menepuk jidatnya sendiri. Kebahagiaan yang baru saja membuncah, harus dirusak oleh kelakuan ART yang kurang peka itu. Emma pun menghela napas pa