Inge segera meletakkan telepon genggamnya. Namun saat telepon itu terus berdering, dia mengambilnya kembali, lalu dengan cepat mengubah status notifikasinya menjadi senyap. Berjaga-jaga jika Pak Andrew tetap gigih untuk terus mencoba meneleponnya.“Pak Lucas!” Inge berseru. Dia melempar gawainya ke sofa. Segera dia mengejar langkah Lucas yang lebar dan cepat. Tampaknya menuju ke kamarnya sendiri.“Pak Lucas, tunggu! Saya mohon!”Lucas berhenti. Bukan karena seruan Inge, tetapi karena dia sudah sampai di depan kamarnya. Lelaki itu menoleh, membiarkan Inge mendekati dirinya.“Tolong beri saya waktu untuk menjelaskan semua ini, Pak Lucas,” Inge memohon. Napasnya menderu, antara kelelahan mengejar Lucas dan menahan gemuruh di dada.“Saya tidak perlu penjelasan kamu, Inge. Saya hanya menunggu jawaban kamu dari pertanyaan saya,” kata Lucas pelan. “Apakah harus kuulang sampai ketiga kalinya?”Inge menunduk. “Y-ya t-tentu saja, Pak. Anda adalah suami saya, suami yang sah.”Lucas tertawa sumba
“Sekolah saya terbuka kapan pun untuk kamu, Inge, tapi tidak kali ini. Perjanjian kerja terpaksa saya batalkan sepihak,” tegas Pak Andrew.“Baik, saya mengerti, Pak Andrew,” jawab Inge lemah. Pak Andrew terdengar menghela napas panjang. “Inge, percayalah padaku, yang terbaik untukmu sekarang adalah di sisi Lucas.”Hati Inge mencelos mendengar semua itu. Setelah meminta maaf dan berbasa basi sejenak, Inge menutup teleponnya.Tidak terasa wajahnya telah basah. Inge memegang dadanya, seakan dia ingin menahan air mata dari bagian situ. Kemudian dia menjumput tisu dan mulai mengelap.“Mama Inge nangis?” Naomi tiba-tiba sudah di dekatnya.Inge tersenyum. “Iya, Sayang. Mama Inge minta peluk sama Mimi, boleh?”Naomi spontan merentangkan tangan, dia maju lebih dekat, lalu mereka berpelukan.“Nangis karena Papa marah?” tanya Naomi dengan polosnya.“Enggak, Sayang. Papa kan udah enggak marah, Papa Lucas kan baik.”Naomi menggeleng. “Galak. Papa Lucas galak!”“Loh, siapa yang beliin es krim? Si
“Pak Lucas, bolehkah kita pindah ruangan dulu?” Inge terbatuk kecil. Murni karena bau rokok yang menggelitik hidungnya.Lucas menatap tajam kepada Inge. Tidak bersuara, tidak bergerak. Hanya menatap tanpa berkedip. Dahinya sedikit berkerut, seperti sedang dipakai untuk berpikir.Hal itu membuat Inge menunduk, dia berpikir kalau Lucas marah lagi. Mungkin dia tersinggung dengan kalimat Inge.“Kamu betul, Ing. Kita memang perlu udara segar.” Akhirnya Lucas bersuara. Dia berdiri. Lalu Lucas menarik kemejanya hingga keluar dari celana panjang, setelah itu dia mulai membuka kancing bajunya satu per satu.“Maksud Pak Lucas—”“Kita pergi keluar, tapi berdua saja,” kata Lucas lagi. Kemudian dia masuk ke kamar mandi. “Bersiaplah, Ing.”Inge segera bangkit, lalu keluar dari kamar Lucas.Sepanjang kaki Inge melangkah menuju kamarnya, dia terus berpikir. Apa yang harus dia katakan kepada Lucas nanti? Lucas tadi sudah sempat melihat nama Pak Andrew plus foto lelaki itu di layar telepon genggamnya.
Inge beradu pandang dengan Lucas. Dia mencerna ucapan Lucas dalam-dalam. Apakah lelaki ini sedang mengujinya? Bukankah tadi Pak Andrew mengenal Lucas? Lelaki itu bahkan dengan jitu menyebutkan bahwa Lucas adalah suami Karina, dan Pak Andrew juga dengan tepat menebak jika Inge sebagai istri baru Lucas.Lucas tampak menunggu jawaban Inge dengan mata yang seperti tidak sabaran.“Pak Andrew adalah direktur sekolah tempat saya melamar—““Dan sebenarnya kamu sudah diterima?” potong Lucas.Inge menelan ludahnya. Kemudian mengangguk.“Kenapa bisa terpikir untuk pergi jauh? Sekolah itu ada di Sulawesi kan?” cecar Lucas. Suara Lucas tampak naik.“B-bukankah s-saya tidak mungkin mendapat pekerjaan di kota ini?” sahut Inge lirih.Lucas melenguh. Teringat ancaman Papa Benny. Ayah kandung Karina itu memang pernah bicara akan menggunakan kekuasaannya untuk memboikot Inge dari sekolah apa pun di kota ini, bahkan sampai kota tetangga. Kenalan Papa Benny memang tidak main-main.Lucas meraih tangan Ing
“Pak Lucas, apa Bapak yakin mau ngajak saya ke pesta pernikahan asisten Pak Lucas?” tanya Inge.Mereka sudah dalam perjalanan pulang. Lucas yang sedang mengemudi menjadi tersenyum.“Kenapa?” Bukannya menjawab pertanyaan, Lucas justru balik bertanya.Inge menoleh kepada Lucas sekilas, lalu pandangannya lurus menembus kaca mobil untuk melihat kendaraan lain di depan mereka.“Jujur saya ada rasa minder, Pak Lucas.”Lucas tertawa ringan.“Apa saya mampu berbaur dengan teman-teman atau kolega Pak Lucas nanti. Saya merasa bukan siapa-siapa,” kata Inge lagi.“Kamu itu istri Lucas Kavell. Kenapa masih merasa bukan siapa-siapa?” Lucas berkata lembut, dia ulurkan tangannya untuk meraih tangan Inge sekejap.Inge menoleh pada tangan Lucas, yang hanya mampir sebentar di tangannya itu. Lalu dia menghela napas. Apa Lucas benar-benar tidak mengerti perasaannya? Dia akan dibawa ke sekumpulan orang-orang yang pastinya mengenal siapa Lucas, dan dia akan diperkenalkan sebagai istri kedua?“Inge, enggak a
Emma bangun pagi-pagi sekali, dengan kebahagiaan yang luar biasa. Dia turun dari ranjang dengan sangat hati-hati, sebab Benny masih memperdengarkan dengkurannya yang berirama di tumpukan bantal. Tanda lelaki itu masih terbalut di alam mimpi.Wanita paruh baya itu merapikan rambutnya lalu berjalan turun ke dapur.“Mbak, hari ini saya yang akan masak untuk sarapan,” katanya dengan suara yang amat ceria.Sang ART yang baru saja selesai menanak nasi sampai terbengong-bengong. Baru sekali ini Nyonya rumah akan memasak sendiri. Sejak dua tahun dia mengabdi di sini, belum pernah sekali pun majikannya terlihat memasak.“Heh, kok malah ngelamun!” bentak Emma. “Udah pergi cepat, kamu kerjakan yang lain. Bantu-bantu beberes atau gimana! Saya masak, bukan berarti kamu bisa santai.”“I-iya, Nyonya.” Si mbak spontan melangkah cepat meninggalkan dapur.Emma menepuk jidatnya sendiri. Kebahagiaan yang baru saja membuncah, harus dirusak oleh kelakuan ART yang kurang peka itu. Emma pun menghela napas pa
Inge makan seorang diri.Sambil makan dia memikirkan bagaimana cara memberitahu Bu Emma, tentang batalnya kepergian dirinya ke Sulawesi. Semalam dia berpikir, apakah sopan jika dia hanya memberitahu via telepon kepada ibu kandung Karina itu?Lalu bagaimana cara mengembalikan uang segepok yang dia tidak tahu jumlahnya. Inge sama sekali tidak ingin Lucas mengetahui hal ini, supaya antara Lucas dan mertuanya itu tidak terjadi konflik yang lebih besar. Inge tahu diri, dengan kehadirannya di sini, sudah menjadi suatu pukulan tersendiri untuk Bu Emma dan Pak Benny.Inge sempat berpikir untuk pergi ke rumah Pak Benny, sepulang mengantar Naomi sekolah tadi. Namun dia belum membawa uangnya. Kalau sudah siang begini agak susah, Lucas bisa pulang sewaktu-waktu tanpa diduga.Seketika Inge melenguh pelan, saat baru menyadari bahwa ini hari Jumat. Biasanya sabtu dan minggu Lucas akan bekerja dari rumah. Dia tidak akan bisa keluar dengan alasan yang kurang jelas, bisa jadi lelaki itu justru ingin me
Inge tidak mengiyakan, tetapi tidak pula menolak. Perempuan itu memilih diam, dan menunduk sembari memainkan jari jemarinya.Sedang Lucas tampak santai saja dengan respon yang Inge berikan. Lelaki itu menusuk daging mangga dengan garpunya, lalu dia masukkan ke mulutnya. Setelah sekitar empat suapan, Lucas menatap Inge.“Apa kamu tidak suka bunga seruni?” tanya Lucas.“Hah?” Inge tergagap. Tidak mengerti dengan ucapan Lucas kali ini.Dia menoleh kepada Lucas dan menemukan senyum lelaki itu. Kemudian dilihatnya Lucas mengangkat tangan dan menunjuk ke arah depan. Refleks, mata Inge mengikuti arahan tersebut.“Itu bunga kesukaan Mamaku dan Karina,” kata Lucas. Setelahnya dia mengambil napas. Kembali menoleh kepada Inge. “Kamu suka enggak?”“O-oh, iya, Pak Lucas. Bunga yang bagus,” sahut Inge.Hamparan seruni yang berwarna warni di depan mereka memang indah, meski bunganya tidak s