“Astaga, saya ke kamar mengambil hape saya dulu,” ujar Inge setengah berlari. Dia langsung naik dan menuju kembali ke kamarnya.Begitu telepon di tangan, Lucas adalah nama yang dia cari pertama kali. Dia tidak sedang berusaha mengabari Lucas mengenai kecelakaan ini, justru Inge menelepon Lucas untuk bertanya lebih lanjut informasi yang dia dapat dari Bi Yati. Inge yakin, pihak sekolah pasti telah menelepon Lucas.Akan tetapi hingga dering kedua berakhir, Lucas tidak bisa dia hubungi. Pikiran Inge langsung tertuju pada Jesica, mungkin saja sekarang Jesica menjadi wali kelas Naomi, menggantikan dirinya. Sebelum dia dipaksa mengundurkan diri, Jesica adalah patnernya di kelas selama dua tahun ke belakang. Jadi Jesica adalah kandidat paling besar.Tanpa memikirkan apa-apa kecuali hanya tentang Naomi dan Gita, Inge mulai menelepon Jesica. Namun hatinya menjadi patah, saat teleponnya sengaja ditolak oleh si empunya nomor pada panggilan pertama.Inge tergugu, memandangi teleponnya. Lalu dia l
“Selamat siang, Bu Farah, Bu Viana, Jesica,” sapa Inge, seraya mengangguk, lalu masuk lift.Tiga orang yang berada di dalam lift terlebih dahulu itu diam saja. Tidak ada satu pun yang menyahut. Bahkan mereka sengaja bergerak bersamaan, seperti lebih menyingkir ke satu pojok. Terlihat enggan berdekatan dengan Inge.Inge menelan senyum kecewa. Dia lalu berdiri di depan, dan sengaja membelakangi mereka. Daripada berhadapan, malah akan lebih membuat salah tingkah.“Sombong sekali,” desis Viana.Inge hanya tersenyum tipis. Siapa yang tadi diberi salam tidak menyahut? Kenapa sekarang dirinya yang dikatai sombong?“Setidaknya jangan tidak sopan begitu kepada Bu Farah, pakai kasih pantat pula,” kata Viana lagi. Nadanya benar-benar mengandung kebencian.“Sudahlah, Viana. Orang yang memang suka melanggar tata krama dan etika, selalu merasa dirinya benar,”sahut Bu Farah. Suaranya pelan, tetapi terdengar menahan sesuatu. Setelah berkata, napas Bu Farah terdengar menderu-deru.Inge tetap diam. Buk
“Dia betul-betul tidak sopan. Bukan begitu, Bu Farah?” Viana mendesis saat mereka sedang berada di lift, menuju lantai satu. “Berlagak seperti nyonya, padahal tadi Pak Lucas aja cuek sama dia.”Jesica spontan melirik Viana. Lalu melihat respon Bu Farah yang hanya menghela napas. Viana ini kalau sudah sebal dengan seseorang, memang terkesan berlebihan. Bisa-bisanya mengatakan Pak Lucas cuek terhadap Inge, jelas-jelas tadi Pak Lucas tadi membelai kepala perempuan itu di depan mata mereka, dan ditambah dengan kata-kata yang amat lembut.Jesica tidak berada di kubu Inge. Jujur, dia benci dengan kelakuan Inge yang ternyata selama ini diam-diam menjalin hubungan dengan wali muridnya sendiri. Kalau mereka bisa tiba-tiba menikah, dalam waktu yang tidak terlalu lama dari perceraian Inge, itu berarti mereka sudah punya hubungan yang cukup lama sebelum Inge bercerai. Dan bagi Jesica itu sangat menjijikkan bagi seseorang yang pernah meraih predikat guru teladan seperti Inge.“Kau itu, dulu mengid
Bu Emma muncul bersama seorang ART-nya. Tampak mereka membawa bungkusan lumayan besar. Pandangan Bu Emma begitu lekat ke arah Inge yang tengah rebahan, yang sebenarnya pun sudah hampir tertidur tadi.“Inge baru saja menenangkan Mimi, Ma,” Lucas yang menjawab. “Tadi Mimi agak rewel.”Bu Emma mencebik. “Tentu saja rewel, dia pasti lapar. Ini mama bawakan sup dan ayam goreng kesukaan Mimi.”“Taruh situ, Bi!” tunjuk Bu Emma pada meja yang sedang dipakai Lucas untuk bekerja.ART itu sejenak bimbang. Dia melihat kepada Lucas sekejap, lalu melakukan perintah sang nyonya saat melihat Lucas menunjuk bagian ujung meja tersebut.Sementara Inge telah bangun, dan dia duduk diam di sofanya.“Apa Mimi tidur dalam keadaan kelaparan begitu, Luc?” tanya Bu Emma saat menyadari bahwa sang cucu tengah pulas di tempat tidur yang disediakan khusus bagi pasien.Lucas menghela napas. “Kami baru saja selesai makan, Ma. Baru saja bekas-bekasnya diberesin Inge.”Lagi-lagi Bu Emma mencebik. Dia seperti alergi men
Ini sebuah surat penawaran kerja, dengan point-point penawaran yang begitu menggiurkan.Inge sampai membekap mulutnya sendiri. Membaca gaji dan fasilitas yang ditawarkan, serta jabatan sebagai wakil kepala sekolah! Astaga, benarkah ini karena kemampuannya atau pengaruh dari Pak Benny dan Bu Emma?Perempuan itu sampai membaca ulang surat tersebut, dengan lebih teliti. Namun memang matanya tidak salah lihat, surat penawaran kerja ini benar-benar amat menarik hati.Inge menahan napas, kepalanya menengadah. Setengah hatinya berbisik untuk segera menerima tawaran ini, sebab merupakan kesempatan besar dalam karirnya. Toh Pak Andrew menawarinya untuk satu bulan ke depan, bukan saat ini. Rasanya satu bulan cukup untuk penyembuhan Gita, sehingga setelah itu Naomi ada yang mengasuhnya kembali. Dan dia bisa berangkat ke luar pulau untuk memulai karirnya.Inge merenung hampir sepuluh menit, dan pada akhirnya dia memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia pun menuju surat elektronik yang ada
“Mimi senang balik ke rumah?” tanya Bu Emma. Nadanya betul-betul ramah, dia bahkan melempar senyum ke arah Inge.“Seneng, Oma, jadi Mimi bisa bobo sama Miss Inge lagi,” sahut Naomi.Gadis cilik itu menatap Inge, lalu menyeringai. “Kita makan es krim lagi ya, Miss, terus nonton tivi sambil bobo.” Inge mengangguk sembari tersenyum, dan tercetuslah tawa suka cita Naomi. Si kecil sampai bertepuk tangan untuk mengungkapkan kegembiraannya.Bu Emma menyambutnya dengan derai tawa yang nadanya hampir serupa sang cucu. Kemudian dia membelai pundak Naomi dengan sayang. Tidak lupa Bu Emma menatap Inge sekilas dan memberi senyum kecil.Begitulah sepanjang perjalanan. Lebih banyak suara Bu Emma dan Naomi yang saling bersahutan. Inge sesekali membantu Naomi menjawab pertanyaan Bu Emma, diselingi dengan tawanya yang amat samar.Dan Lucas masih sesekali mencuri pandang ke belakang. Terutama kepada Inge, lelaki tampan itu seperti ingin memastikan bahwa wanita yang kini dalam tanggung jawabnya itu bai
“Mama cuma pengen kasih ini ke Mimi, Luc,” kata Bu Emma. Dia mengacungkan piring yang berisi potongan puding. Bentuk puding itu memang sangat cantik, kalau soal rasanya sudah dijamin enak dan Naomi pasti suka.Lucas kini ikut berdiri, dan berjalan mendekati mama mertuanya. “Mimi sudah kenyang, Ma. Kita simpan saja dulu untuk nanti ya.”Lucas berhenti tepat di hadapan Bu Emma. Kedua matanya menatap tegas kepada perempuan itu. Radar kecurigaan Lucas masih terus menyala. Dia tahu bukan Naomi yang dituju mama mertuanya ini, tetapi Inge. Puding buah mungkin hanya sebuah alibi.Bu Emma menghela napas. Melirik suaminya sekilas, kemudian tersenyum tipis dan mengangguk sambil melihat wajah Lucas.“Luc, mumpung kita lagi ada waktu senggang, Papa mau ngomongin soal investasi yang kemarin Papa ceritakan ke kamu.” Pak Benny ambil suara. Lelaki itu juga berdiri, lalu dia menoleh kepada chef yang berdiri tidak jauh dari mereka.“Chef, apa boleh kami minta dua cangkir kopi?” tanya Pak Benny.Setelah
Inge menghela napas. Dia menunduk, terkesan ingin menghindar.“Apa tadi Mama Emma ke sini menemui kamu?” tanya Lucas serius.Inge mendongak cepat. Matanya bertatapan dengan mata tajam Lucas. Kemudian perempuan itu menunduk lagi. Jika dia bicara yang sebenarnya, sudah barang tentu Lucas akan mengorek lebih dalam lagi. Dan itu berarti Inge mungkin harus membuat sebuah kebohongan baru.Inge pun memilih menggeleng. “Tadi dua chef yang mengantar makanan itu, Pak Lucas. Tidak ada Bu Emma atau orang lain, selain mereka.”Lucas masih memandang Inge. Sesungguhnya dia meragukan jawaban Inge. Meski tadi di awal dia sudah memohon agar Inge bersedia menjawab dengan jujur, tetapi dia tidak ingin memaksa perempuan itu. Lucas hanya kuatir jika hal ini akan membuat Inge bertambah tidak nyaman berada di rumahnya.Lelaki itu menghela napas, kemudian menoleh kepada Naomi yang terlihat sangat lelap. Lalu Lucas memandang kepada Inge kembali dan tersenyum. Walau masih ada sedikit kekecewaan atas jawaban Ing