“Kok bisa gara-gara Inge?” tanya Armand dengan nada ringan.Sandra melepas pelukan dengan segera. Kepalanya mendongak untuk menatap Armand dengan bebas. Sementara matanya menyala tajam. Perempuan itu tidak suka dengan apa yang baru saja Armand ucapkan.“Jadi Mas Armand menuduh kalau aku bohong?” tuduh Sandra marah. Dia kembali menolak tubuh Armand.“Loh yang bilang kamu bohong siapa?” Armand kembali duduk, setelah tadi sempat sedikit rebah karena dorongan dari Sandra yang begitu kuat.Sandra mendengkus. “Ya dengan pertanyaan seperti itu, artinya Mas Armand meragukan ceritaku kan? Itu sama saja menuduh aku berbohong!” cetus Sandra kesal.Armand menghembus napas. Digaruknya kepalanya beberapa saat. Sesungguhnya otaknya memang tidak bisa mencerna cerita sang kekasih.Bagaimana ceritanya Inge bisa membuat Sandra dipecat? Apa tadi Inge melabrak Sandra di tempat kerjanya? Seperti saat dia melabrak mereka berdua di kantor yang lama?“Bukan begitu maksudku, Sayang. Kan aku cuma pengen tau gi
Armand tersenyum canggung.“Ayolah, Sayang. Jangan ngambek begitu. Aku pasti nikahin kamu kok. Kurang apa lagi buktinya? Udah kuceraikan Inge demi kamu kan?” ujar lelaki itu.“Sekarang waktunya saja yang kurang tepat. Aku janji, begitu aku dapat kerjaan, kita langsung nikah,” rayu Armand selanjutnya.“Bener ya?” harap Sandra dengan mata sayu. Entah mengapa, ada separuh hatinya yang meragukan ucapan Armand. Perasaannya berbisik, jika sang kekasih tidak dengan tulus mengucapkan janjinya itu.Armand bergerak untuk mendapatkan badan Sandra. Dikecupnya pipi mulus nan menggemaskan itu beberapa kali hingga Sandra terkikik antara geli tetapi senang.Mendapat perlakuan seperti itu, hati Sandra perlahan kembali melunak.“Kalau gitu, aku minta bayarin kost-ku ya, Mas. Minggu depan jatuh tempo,” kata Sandra manja. Kedua tangannya melingkari leher Armand. Sedang mata mereka saling menatap satu sama lain.“Iya, nanti aku transfer ya,” sahut Armand. Nada suaranya seperti sedikit ditekan. Ada aura ke
Inge mengangguk. Mencoba tersenyum, meski air mata yang tersimpan dalam indera penglihatannya seperti mendesak ingin keluar.Pada akhirnya sisa perjalanan mereka hanya diisi dengan keheningan. Lucas dan Inge sesekali saling melirik. Keduanya menjadi canggung untuk memulai percakapan.Sampai di rumah, begitu mobil berhenti di halaman, Lucas bergegas keluar dari mobil dan menghampiri Inge. Dia mengambil Naomi dari pangkuan sang istri.Tiba-tiba Naomi menggeliat panjang, nyaris saja terlepas dari genggaman Lucas. Inge dan Lucas tentu saja sama-sama kaget. Beruntung mereka berdua sigap merespon dengan bergerak cepat berbarengan. Akan tetapi… .Cup.Tanpa sengaja bibir Inge menempel sekilas di pipi Lucas. Keduanya pun kembali terkejut berbarengan. Manik-manik mata mereka bertemu, dan saling terpaku beberapa detik.Lucas merekahkan senyum. Ada binar-binar kecil yang muncul di aura wajahnya.Inge menunduk malu.“Maaf,” desis Inge. “Tidak sengaja.”Lucas tertawa kecil sembari membawa Naomi ke
“Sudahlah Inge, jangan terus berpura-pura polos padahal otakmu sedang menyusun rencana jahat,” tukas Bu Emma.Inge menghela napas. Dia terdiam, menundukkan kepala. Kali ini dia berpikir untuk mengalah lagi, menerima semua tuduhan Bu Emma, walau sebetulnya dia tidak tahu apa yang sedang diributkan oleh mama mertua Lucas ini.“Kenapa diam? Kamu tidak bisa mengelak kan?” cetus Bu Emma.Inge tetap menunduk.“Saya tidak habis pikir kalau kamu menggunakan Mimi untuk kepentinganmu! Tega-teganya kamu melarang Mimi sekolah, bahkan berniat memindahkan sekolah Mimi. Apa maksudmu begitu?” tuding Bu Emma dengan wajah memerah rata.Inge mendongak. Menatap Bu Emma dengan kebingungan. Tuduhan macam apa lagi ini?“Kamu mau mempermalukan keluarga saya hah? Masa cucu pemilik sekolah elit akan sekolah di tempat lain? Pikir pakai otakmu itu!”Bu Emma berjalan mendekati Inge. Matanya tajam menghunjam kepada sosok Inge. Kemudian dia mencondongkan kepalanya, sehingga mulutnya dekat dengan telinga Inge.“Saya
“Miss Inge batuk-batuk, huek huek gitu,” ujar Nona Naomi, seraya menirukan suara Miss Inge. Sebenarnya yang dia maksud adalah muntah, tetapi entah mengapa bibir gadis kecil itu mengeluarkan kata ‘batuk’.“Mimi juga liat Miss Inge nangis, ada air mata di pipinya. Nanti Oma Emma harus ganti dimarahin sama Papa ya, karena Oma Emma udah bikin Miss Inge sedih,” celotehnya tanpa beban.Hal itu membuat Bi Yati yang berada di samping Nona Naomi menjadi semakin kalut. Dia berpikir cepat, apakah perlu memberitahu Miss Inge tentang aduan Nona Naomi ini? Bagaimana kalau hal ini akan memicu pertengkaran yang lebih besar antara Nyonya Emma dan Miss Inge?Bi Yati meremas-remas jari jemarinya dengan perasaan tidak tentu. ART itu menjadi sedikit lega ketika mendengar Nona Naomi mengucapkan salam kepada sang papa, kemudian mengulurkan gagang telepon itu kembali kepadanya. Setidaknya tidak ada informasi aneh-aneh lebih banyak yang diadukan Nona Naomi kepada Tuan Lucas.“Papa Nona bilang apa?” tanya Bi Y
Lucas mendekati Naomi. Lalu berjongkok di hadapan sang putri.“Mimi jangan ganggu Miss Inge dulu hari ini ya! Nanti main sama Papa, tapi sekarang Mimi sama Bi Yati dulu, Papa mau tengok Miss Inge. Oke?” ujar Lucas panjang lebar.“Ya, Pap. Tapi Mimi titip ini buat Miss Inge, jus mangga enak. Mimi sharing sama Miss Inge,” sahut Naomi mengulurkan gelas jusnya kepada Lucas.Lucas menerima gelas itu sembari tertawa kecil. Dia lalu mengusap kepala Naomi dengan sayang. Lelaki itu berdiri kembali, lalu menatap Bi Yati yang tampak tertunduk di belakang Naomi.“Saya titip Naomi ya, Bi,” ucap Lucas. Tanpa menunggu jawaban dari ART-nya dia segera menuju tangga. Naik dengan cepat lalu tiba di kamar Inge.Lucas mengetuk dengan perlahan pintunya dua kali, setelah itu dia buka.“Pak Lucas,” desis Inge. Tampak dia berusaha setengah duduk sembari mencari posisi bersandar yang nyaman.“Tiduran saja kalau kamu pusing, Ing,” Lucas cepat merespon. Kakinya melangkah cepat mendekati Inge.Inge menyeringai ti
Lucas segera merespon telepon Papa Benny di depan Inge.“Halo, Pa, aku telpon balik sepuluh menit lagi ya,” kata Lucas. Setelah itu dia mematikan sambungan, lalu mengantongi telepon genggamnya. Kemudian dia menatap Inge kembali. Dilihatnya perempuan itu menunduk, ada gerak gerik kegelisahan yang Inge perlihatkan.Lucas menghela napas. “Baiklah Inge, agar hatimu menjadi tenang, aku akan membuat pengakuan.”Inge mendongak cepat, kekagetan tidak dapat dia tutupi. Terpancar jelas dari ekspresi wajahnya. Mata yang melebar, mulut melongo dan alis bertaut tinggi.“Aku sebenarnya kuatir Mimi memaksamu ikut hadir di sekolah, aku hanya tidak ingin sesuatu yang tidak baik menimpamu di sana,” lirih Lucas. Manik matanya bergerak satu kali ke kanan.Inge menatap dalam. Kali ini dia merasakan kejujuran dalam ucapan Lucas. Mendadak dia merasa matanya menjadi panas, dan sosok Lucas secara perlahan menjadi tidak jelas. Itu karena matanya berangsur-angsur diselimuti air.Hati perempuan itu merasa tersan
Lucas menegakkan badan. Kenapa pertanyaan Papa Benny sama dengan pertanyaan Inge tadi? Mendadak pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.“Sebenarnya tadi pagi Mama sudah mendengar berita ini, Papa pikir itu hanya gosip saja. Tapi barusan Bu Farah mengkonfirmasi langsung, katanya Mimi juga sudah tidak masuk tiga hari ini,” lanjut Papa Benny. Yang dimaksud mama oleh Papa Benny tentu saja Mama Emma.Otak Lucas langsung menjalar. Lalu berkesimpulan bahwa pertanyaan Inge tadi kemungkinan besar berasal dari Mama Emma. Kemudian dia teringat laporan Naomi, pastilah Mama Emma datang, dan marah-marah karena berita ini juga. Firasat Lucas semakin yakin, jika Mama Emma mempersalahkan Inge dalam hal ini.“Luc!” panggil Papa Benny, nadanya menjadi naik, sebab sampai detik-detik berlalu dia tidak mendengar suara menantunya sama sekali.Lucas tidak langsung menjawab, dia malah menghela napas panjang.“Memangnya kenapa sampai Bu Farah berkesimpulan begitu?” Lucas bukannya menjawab, malah melempar pe