Panjang? Ini buat yang DM minta partnya agak dipanjangin.
"Sebenarnya aku yang memintanya menolak melakukannya,” ucap Ahana mengejutkan semua orang. Ternyata penuturan Ibram beberapa hari lalu bukan rencana pria itu. Abram terkesiap dan mengernyit menatap adik ipar barunya itu. “Kamu yang meminta? Tapi mengapa Adik Ipar? Apa yang akan dikatakan semua orang jika kami tidak menyambutmu?” tanya Abram sedikit kesal. “Apa kalian semua menerimaku di keluarga ini dan di kerajaan ini?” tanya Ahana. Mereka semua mengangguk. “Apakah menyambut seseorang dalam keluarga hanya ditandai dengan upacara yang mewah? Mengundang dan memperlihatkannya pada banyak orang bak perhiasan mahal? Membuat semua orang sibuk mempersiapkan ini dan itu? Lalu mengeluarkan banyak anggaran kas?" tanya Ahana murung tanpa berniat menatap mereka. Semua orang dalam ruangan itu menoleh termasuk Ibram. Paman Anirudh tersenyum melirik istrinya, Bibi Sahna. Sedangkan Paman Amir memperbaiki posisi duduknya menatap Ahana yang terdiam. "Lalu seperti apa yang kau inginkan?" tanya Abram
“Tetaplah di sini sebentar bersama Alina, aku dan Sabir akan berkeling istana sebentar lalu kembali ke sini,” bisiknya pada Ahana yang akhirnya sadar dan beranjak turun dari pangkuannya. Ibram memberi isyarat agar Sabir ikut dengannya. "Kami akan kembali,” ucap Sabir beranjak mengikuti Ibram lalu berbalik menatap Alina dengan berkata, “Ingatkan aku memberitahu Kapten Bagir kalau pertemuan besok sore dibatalkan.” "Lihat Kak Sabir, dia menoleh tanpa dipanggil. Sementara Kak Ibram pergi begitu saja. Kak Ahana bersabarlah, dia mungkin tidak akan menoleh meski kami memanggilnya. Selalu saja seperti itu. Ibram Al-Ikram kakakku yang suka seenaknya,” gerutu Samir yang masih kesal diingatkan tentang ujiannya. “Dia tidak pernah melakukannya. Seperti biasa, alasannya pembicaraan sudah selesai. Benarkan Samir?” tanya Abram. Samir mengangguk sambil menikmati salak yang dikunyahnya. "Benarkah?” tanya Ahana dan ketiga saudari iparnya mengangguk. Paman Amir turut mengangguk, jarinya bergerak memb
Seorang pelayan datang membawa semangkuk air panas di hadapan Ahana. Dari tadi ia sudah menunggu Ibram. Setelah lelah memanggilnya turun dan selalu dibalas dengan jawaban ‘iya’ saja dari ruang bacanya di lantai yang tidak bersekat sama sekali. Lebih mirip lantai melayang yang menempel di salah satu dinding kamar yang luas ini. Merasa suaminya tidak juga beranjak, Ahana pun tersenyum licik dengan menjalankan rencananya. Pelan-pelan ia berjalan menaiki anak tangga ke ruang kerja suaminya itu. Tapi saat masih berada di anak tangga keempat, ia pura terjatuh. "Auuwwhhh!!!” teriaknya mengaduh kesakitan setelah menginjak papan anak tangga dengan keras lalu duduk bersimpuh. Ahana mulai memainkan sandiwaranya sambil memegangi pergelangan kakinya. Langkah kaki Ibram yang berlari menuruni anak tangga mulai terdengar dan hal itu membuatnya tersenyum. Sambil terus menunduk memegangi kakinya dan bersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai. Ahana mulai menghitung di dalam hatinya, “Satu,
"Bisakah kamu menungguku di sana?" tanya Ibram menunjuk ke arah kedai yang semula mereka datangi. Terlihat di sana Hiswad sedang memakan rumput dalam keranjang. Ahana mengangguk. “Baiklah, boleh aku memesan sesuatu di sana? Tidak akan ada yang mengenaliku dengan pakaian pelayan seperti ini. Justru akan terlihat mencurigakan jika aku hanya duduk tanpa memesan sesuatu bukan?” tanya Ahana menunggu keputusan suaminya. Wilayah ini asing baginya dan ia tidak ingin membuat masalah. Kini gantian Ibram yang mengangguk. "Tentu. Bila pesanan itu ada serbuknya, jangan dimakan. Bila ada yang bicara padamu, abaikan dan tolak saja dengan halus." "Aku tahu. Harus berapa kali lagi kamu akan mengatakannya. Tenanglah, aku ingat dengan jelas hal yang kamu katakan sebelum kita berangkat. Lagipula, siapa yang akan menggangguku?" ujar Ahana tenang. “Di sini tempat umum, ada banyak orang di sini dan jika ada yang berani macam-macam padaku, Hiswad akan menendang mereka seperti perintahku. Jika tetap di sini
Dapur kediaman Pangeran Ibram dan Putri Ahana tampak sibuk. Beberapa pelayan baru saja selesai memotong daging teripang yang dibelinya tadi di pasar dermaga. Ahana sudah meminta para pelayan mengeringkan semuanya dan harus segera menumbuknya setelah benar-benar kering. Sedangkan teripang berukuran paling besar sengaja dipisahkan untuk menjadi lauk santap siang kali ini.Berbagai rempah pun diolah dan ditambahkan ke dalam masakan teripang emas itu. Melihat masakannya hampir matang, Ahana meminta mereka semua mulai membersihkan dapur dan bersiap menyajikan makan siang. la sendiri kembali ke kamarnya karena ingin kembali mandi. Seperti biasa, putri dari Ratu Maura itu akan bernyanyi seakan berada di dunianya sendiri.Suaranya yang bersenandung menarik langkah kaki seseorang yang baru saja memasuki ruang tamu kediamannya. Rumah yang dulunya selalu sepi dan tenang itu kini terlihat lebih berisik dari biasanya. Beberapa pelayan mondar-mandir di halaman belakang menjemur potongan daging teri
Ahana dan seluruh anggota kerajaan yang berada di istana turut hadir. Begitu mendengar dirinya menyetujui untuk hadir dalam pertemuan ini, para pelayan dan pengawal di istana mulai merumpi. Termasuk membicarakan para mentri yang katanya terlihat bahagia berjalan ke aula pertemuan. Tapi yang dilihat Ahana saat ini, justru sebaliknya. Mereka tampak tidak senang dengan kehadirannya. Semua orang sedang menunggu kehadiran Pangeran lbram dan Pangeran Sabir. Kedua pangeran itu memang meninggalkan istana subuh tadi. Pangeran Ibram mengunjungi pusat pelatihan prajurit pribadinya. Lain halnya Pangeran Sabir yang mengunjungi seorang tahanan di penjara lembah. "Yang Mulia Raja," ucap sekertaris kerajaan menghampiri. "Aku yakin dia akan segera datang," ujar Raja Abram yang kembali diingatkan. Ia sangat yakin jika adiknya akan segera meninggalkan apapun yang dikerjakannya saat ini setelah menerima pesan darinya. Pun demikian halnya dengan Sabir yang mungkin harus menunda tugasnya dan kembali ke i
“Cium saja Kakak Ipar, tidak akan ada yang marah,” bisik Pangeran Samir. Pangeran Sabir berdeham lalu berkata, “Cari tempat lain sana!” “Kamu keren sekali Ahana. Aku salut padamu,” bisik Putri Alina berlalu menyusul langkah suaminya. Ahana tertunduk malu. Niatnya ternyata salah sasaran berbalik padanya bagai bumerang. Harusnya ia tidak percaya diri begitu saja. Bukankah tadi dirinya sendiri yang mengatakan jika suaminya sulit ditebak? “Ayo!” ajak Ibram menarik tangan Ahana untuk ikut bersamanya. “Ke mana?!” Ahana tersentak kaget. Ibram tersenyum tipis dan berbisik, “Sabir bilang cari tempat lain.” Ahana membelalak dan menggeleng kencang. Ia benar-benar ingin kabur sekarang. Suara pekikannya membuat beberapa pengawal dan pelayan istana menoleh saat suaminya tiba-tiba menggendongnya. Ahana benar-benar merasa malu saat ini dan pasrah menyembunyikan wajahnya. Langkah Ibram terhenti dan Ahana melirik siapa gerangan yang menghampiri mereka. “Hiswad?” Ahana mengernyit dan Ibram menuru
Pangeran Ibram membelalak mendapati istri kecilnya tertidur sambil memeluk sebuah buku. Itu hal biasa sejak Ahana berbagi kamar dengannya, namun tidak dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya. Gaun tidur istrinya tersingkap sampai menunjukkan betis dan pahanya yang mulus. Baru saja tangannya hendak menarik selimut, Ahana menggeliat sampai buku yang di peluknya terjatuh ke lantai. Suara khas benturan itu sama sekali tidak mengusiknya. Ibram berjongkok di sisi tempat tidur dan meraihnya. Sampul buku di tangannya kembali membuatnya terkejut. Buku itu adalah salah satu jurnal perjalanannya saat berkunjung ke beberapa kerajaan dan menyamar sebagai rakyat biasa. Kadang pula dirinya dan Zain menyamar sebagai buruh dengan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Semua itu dilakukannya untuk mencari tahu hal apa saja yang bisa dimanfaatkannya dalam menjalin hubungan aliansi. Kini perjuangannya bersama Zain telah membuahkan hasil. Ibram menahan napas saat meletakkan buku itu di laci tepat di