Ingat baik-baik namanya. Kalau kalian selalu ingat nama siapa?
Dapur kediaman Pangeran Ibram dan Putri Ahana tampak sibuk. Beberapa pelayan baru saja selesai memotong daging teripang yang dibelinya tadi di pasar dermaga. Ahana sudah meminta para pelayan mengeringkan semuanya dan harus segera menumbuknya setelah benar-benar kering. Sedangkan teripang berukuran paling besar sengaja dipisahkan untuk menjadi lauk santap siang kali ini.Berbagai rempah pun diolah dan ditambahkan ke dalam masakan teripang emas itu. Melihat masakannya hampir matang, Ahana meminta mereka semua mulai membersihkan dapur dan bersiap menyajikan makan siang. la sendiri kembali ke kamarnya karena ingin kembali mandi. Seperti biasa, putri dari Ratu Maura itu akan bernyanyi seakan berada di dunianya sendiri.Suaranya yang bersenandung menarik langkah kaki seseorang yang baru saja memasuki ruang tamu kediamannya. Rumah yang dulunya selalu sepi dan tenang itu kini terlihat lebih berisik dari biasanya. Beberapa pelayan mondar-mandir di halaman belakang menjemur potongan daging teri
Ahana dan seluruh anggota kerajaan yang berada di istana turut hadir. Begitu mendengar dirinya menyetujui untuk hadir dalam pertemuan ini, para pelayan dan pengawal di istana mulai merumpi. Termasuk membicarakan para mentri yang katanya terlihat bahagia berjalan ke aula pertemuan. Tapi yang dilihat Ahana saat ini, justru sebaliknya. Mereka tampak tidak senang dengan kehadirannya. Semua orang sedang menunggu kehadiran Pangeran lbram dan Pangeran Sabir. Kedua pangeran itu memang meninggalkan istana subuh tadi. Pangeran Ibram mengunjungi pusat pelatihan prajurit pribadinya. Lain halnya Pangeran Sabir yang mengunjungi seorang tahanan di penjara lembah. "Yang Mulia Raja," ucap sekertaris kerajaan menghampiri. "Aku yakin dia akan segera datang," ujar Raja Abram yang kembali diingatkan. Ia sangat yakin jika adiknya akan segera meninggalkan apapun yang dikerjakannya saat ini setelah menerima pesan darinya. Pun demikian halnya dengan Sabir yang mungkin harus menunda tugasnya dan kembali ke i
“Cium saja Kakak Ipar, tidak akan ada yang marah,” bisik Pangeran Samir. Pangeran Sabir berdeham lalu berkata, “Cari tempat lain sana!” “Kamu keren sekali Ahana. Aku salut padamu,” bisik Putri Alina berlalu menyusul langkah suaminya. Ahana tertunduk malu. Niatnya ternyata salah sasaran berbalik padanya bagai bumerang. Harusnya ia tidak percaya diri begitu saja. Bukankah tadi dirinya sendiri yang mengatakan jika suaminya sulit ditebak? “Ayo!” ajak Ibram menarik tangan Ahana untuk ikut bersamanya. “Ke mana?!” Ahana tersentak kaget. Ibram tersenyum tipis dan berbisik, “Sabir bilang cari tempat lain.” Ahana membelalak dan menggeleng kencang. Ia benar-benar ingin kabur sekarang. Suara pekikannya membuat beberapa pengawal dan pelayan istana menoleh saat suaminya tiba-tiba menggendongnya. Ahana benar-benar merasa malu saat ini dan pasrah menyembunyikan wajahnya. Langkah Ibram terhenti dan Ahana melirik siapa gerangan yang menghampiri mereka. “Hiswad?” Ahana mengernyit dan Ibram menuru
Pangeran Ibram membelalak mendapati istri kecilnya tertidur sambil memeluk sebuah buku. Itu hal biasa sejak Ahana berbagi kamar dengannya, namun tidak dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya. Gaun tidur istrinya tersingkap sampai menunjukkan betis dan pahanya yang mulus. Baru saja tangannya hendak menarik selimut, Ahana menggeliat sampai buku yang di peluknya terjatuh ke lantai. Suara khas benturan itu sama sekali tidak mengusiknya. Ibram berjongkok di sisi tempat tidur dan meraihnya. Sampul buku di tangannya kembali membuatnya terkejut. Buku itu adalah salah satu jurnal perjalanannya saat berkunjung ke beberapa kerajaan dan menyamar sebagai rakyat biasa. Kadang pula dirinya dan Zain menyamar sebagai buruh dengan berbagai pekerjaan kasar lainnya. Semua itu dilakukannya untuk mencari tahu hal apa saja yang bisa dimanfaatkannya dalam menjalin hubungan aliansi. Kini perjuangannya bersama Zain telah membuahkan hasil. Ibram menahan napas saat meletakkan buku itu di laci tepat di
“Kenapa kau harus tahu?” balas Raja Abram cuek. Namun ia kembali teringat hewan berbisa yang dikatakan adiknya. “Lalu, di mana kau amankan hewan itu? Apa kau sudah membunuhnya? Jika belum, pastikan kau sudah melumpuhkannya sebelum menelan korban lagi.” “Kenapa kau harus tahu?” balas Ibram sebelum beranjak. “Ibram!!!” panggil Raja Abram mengepalkan kedua tangannya menahan kesal. Raja Abram heran mengapa adiknya bisa memiliki lidah seenteng itu dalam berucap. Pun demikian dengan caranya bersikap. Termasuk dalam hal menyembunyikan masalah sebesar ini. Mungkin hanya hewan kecil, namun sudah jelas jika ada yang berusaha mengancam keselamatan kedua adiknya itu. Sampai saat ini pun, Ibram seringkali mampu membuatnya tidak berkutik. Dirinya penasaran tapi sulit menggali informasi. Ingin bertanya langsung pada Ahana, namun menurutnya sendiri, Ahana sepetinya belum tahu hal ini. Ibram berbalik dan menyahut, “Aku sudah berjanji akan melatih Samir. Maaf, tapi aku lebih menyayanginya daripada d
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha