Baca sampai sini masih senyum-senyum kan ya?
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Raja Abram berlari menuju kamar Ratu pertamanya, Ratu Meghna. Dari arah berlawanan Pangeran Ibram juga ikut berlari dan keduanya saling tatap untuk beberapa saat. ada banyak pengawal dan pelayan yang berjaga di depan pintu kamar. Sementara Pangeran Samir duduk di lantai sambil bersandar di tiang dan menerawang langit malam. Penampilannya kacau balau dan tidak henti-hentinya menagis. Terisak seperti anak kecil, melupakan statusnya sebagai salah satu pangeran kerajaan yang selama ini selalu menjunjung tinggi harga dirinya. Rasa bersalahnya yang lalai akan tugas yang diamanahkan padanya kini membuatnya menjadi seorang pecundang. Rasa percaya dirinya seakan sirna dan jauh di dalam lubuk hatinya, selain rasa bersalah, ia juga takut akan kemungkinan terburuk.
"Untuk saat ini tidak, tapi aku tidak akan memenjarakan pelakunya, tapi membuatnya sengsara di sisa hidupnya. Pertama, aku akan membawa kedua tangannya pada Abram. Ya ampun, mental raja ini benar-benar masalah besar. Apa wanita bisa membuat hidupnya berakhir begitu saja sampai kehilangan akal sehat?""Kau akan tahu jawabannya saat mencintai seseorang Ibram. Kau tidak bisa berkata-kata nantinya.""Pelakunya menelan pil beracun yang sama dengan racun yang ada di ujung panah itu. Racun itu bukan racun yang mudah untuk ditemukan. Butuh biaya besar untuk meracik racun mematikan seperti itu. Selain itu, butuh uang yang banyak untuk menutup mulut pembuatnya. Pelakunya tidak akan membunuh peraciknya jika tidak memiliki penawarnya. penawar itu adalah jaminan hidupnya." Ibram memijat kepalanya yang pening."Aku juga sependapat denganmu. Paman sudah meminta agar semua sarjana pengobatan berkumpul di aula istana.""Sabir, apa selama tiga hari aku meninggalkan istana,
“Aku tahu itu Jendral. Selain jurnal itu, ada sebuah petunjuk dan mungkin bisa jadi harapan. Tanaman Udambara. Tanaman langka itu pernah sekali disebut Ratu Aruna bisa menjadi penawar segala macam racun. Setetes dari ekstraknya bisa menetralkan racun hanya dalam waktu sehari semalam saja. Aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa tanaman itu. Tapi Ratu Aruna menangis memohon pada Yang Mulia Raja Arsyad untuk mengirim banyak jendral untuk mencari tanaman itu ketika Ratu Zara keracunan dan terpaksa melahirkan Pangeran Ibram sebelum waktu kelahirannya.”Rangakain kaliamat itu terus saja terngiang di telinga Ibram. Mengusik batin dan ketenangannya. Berkali-kali dalam hati mempertanyakah benar atau tidak.“Ada seseorang yang berniat menggulingkan Raja Arsyad, tapi Ratu Aruna melakukan pertukaran dengan orang itu dengan meninggalkan kerajaan, suami dan juga kedua putranya. Ratu Aruna tahu pelaku yang sudah meracuni Ratu Zara. Demi membuat orang itu
Pangeran Sabir menghela napas panjang melihat kakaknya yang diam saja. Tidak sedikitpun menanggapi ucapannya sejak tadi. Beberapa laporan ia sampaikan termasuk tentang pelaku yang mencelakai ratunya tampak tidak menarik baginya. Bahkan ketika sekertaris kerajaan melaporkan hasil perkembangan dari pusat pengobatan, Raja Abram masih saja bergeming. Tatapannya kosong dan menurut Sabir, mungkin saja sudah menembus tembok hingga ke gerbang istana. Mendengar suara pintu kamar yang diketuk tiga kali diikuti suara derit pintu besar itu, sekertaris kerajaan pamit. “Aku sudah dapat pet
Ibram mengetuk pintu kamar Ratu Gina dan ada Alina di sana. Istri dari Sabir itu tersenyum ramah seperti biasa. Ibram mengatakan ingin bicara berdua dulu dengan Ratu Gina setelahnya nanti ia pun ingin mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Alina. Alina pun mengerti dan mohon diri dan mengatakan akan menunggu di luar. Ibram menghampiri sahabat kecilnya sekaligus kakak iparnya, membisikkan sesuatu yang membuat Gina berkali-kali mengangguk patuh.Senyum pun terbit di wajah pucatnya kala mendengar harapan yang diucapkan Ibram dan memintanya agar merahasiakannya. Ibram mengatakan meskipun raja melarangnya, namun menurutnyaGina berhak tahu karena saat ini dirinya memegang tanggung jawab ratu pertama hingga Ratu Meghna kembali pulih.Ibram berusaha membangkitkan kembali rasa percaya diri dan tekad sahabatnya itu. Meski Gina kadang manja, tapi sosok Gina yang Ibram tahu cukup keras kepala untuk hal yang diinginkannya. Termasuk mencintai kakaknya selama berta
Kerajaan Akhtaran, salah satu kerajaan yang cukup disegani oleh kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusa. Kerajaan yang kini masih berdiri kokoh sejak 200 tahun yang lalu. Namun peristiwa 30 tahun lalu mengguncang kerajaan tersebut. Raja Arsyad menikahi putri dari Penasihat Kerajaan yang bernama Aruna. Aruna seorang gadis yang memiliki paras cantik rupawan dan kecerdasan yang mengagumkan. Kecintaannya pada buku menjadikannya sosok yang dikagumi dan diinginkan banyak keluarga. Terlebih para pria di Kerajaan Akhtaran. Raja Arsyad berniat menikahkan adiknya Pangeran Amir dengan Aruna
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar