Ibram mengetuk pintu kamar Ratu Gina dan ada Alina di sana. Istri dari Sabir itu tersenyum ramah seperti biasa. Ibram mengatakan ingin bicara berdua dulu dengan Ratu Gina setelahnya nanti ia pun ingin mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Alina. Alina pun mengerti dan mohon diri dan mengatakan akan menunggu di luar. Ibram menghampiri sahabat kecilnya sekaligus kakak iparnya, membisikkan sesuatu yang membuat Gina berkali-kali mengangguk patuh.
Senyum pun terbit di wajah pucatnya kala mendengar harapan yang diucapkan Ibram dan memintanya agar merahasiakannya. Ibram mengatakan meskipun raja melarangnya, namun menurutnya Gina berhak tahu karena saat ini dirinya memegang tanggung jawab ratu pertama hingga Ratu Meghna kembali pulih.
Ibram berusaha membangkitkan kembali rasa percaya diri dan tekad sahabatnya itu. Meski Gina kadang manja, tapi sosok Gina yang Ibram tahu cukup keras kepala untuk hal yang diinginkannya. Termasuk mencintai kakaknya selama bertahun-tahun hingga akhirnya Ratu Meghna meminta Raja Abram menikahinya. Ibram pamit dan berjanji akan melakukan yang terbaik seperti Gina yang melakukan yang terbaik untuk pewaris kerajaan ini.
Di depan ruangan, Alina duduk termenung memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di telapak tangannya. Suara langkah Ibram membuatnya menoleh. Ibram pamit padanya dengan banyak permohonan. Termasuk meminta Alina memastikan semua makanan yang mereka makan diperiksa dengan ketat. Ibram bahkan melarangnya memasak selama kondisi dalam istana belum stabil.
Alina cukup terkejut mendengar pendapat Ibram jika kemungkinan pelakunya akan mengkambinghitamkan dirinya lalu menyingkirkan Sabir juga dalam daftar pewaris. Jika terjadi sesuatu pada Ibram, maka Sabir yang akan menjadi pengganti sebagai putra mahkota sementara. Alina jelas tahu jika suaminya juga tidak menyukai hal itu dan ia pun mengiyakan semua arahan dari Ibram.
###
Samir duduk di tangga kediaman Ibram sambil mencabuti daun tamanan pagar yang terpotong rapi. Tapi kini daun-daun itu mengotori anak tangga batu menuju pintu utama. Ibram menghela pasrah. Pantas saja Sabir memintanya agar bicara dengan Samir. Tadinya ia pikir pagi tadi suasana hati Samir akan membaik, tapi nyatanya tidak jauh berbeda seperti semalam.
“Kakak….” Samir menengadahkan kepalanya dan kedua lengannya melingkari sebelah kaki Ibram yang berjalan menuruni anak tangga. Ibram duduk dan merangkul bahu pemuda manja itu.
“Aku memberimu waktu semenit untuk menangis Samir. Setelah itu kau harus berhenti dan dengarkan apa yang aku katakan. Mengerti?” Ibram mengusap punggung adiknya yang terpaut 12 tahun lebih muda darinya itu.
Samir benar-benar menangis seolah baru saja ada sekumpulan orang yang memakinya. Satu persatu pertanyaan dari bisikan Ibram dijawabnya dengan mengangguk kemudian memeluknya erat sepeti anak kecil. Pangeran bungsu ini memang manja karena kehilangan ayahnya saat usianya masih sangat kecil. Masa di mana ia ingin bermanja pada ayahnya namun kehilangan sosok itu. Salah satu alasan itulah Abram sulit menolak keinginan-keinginan Samir. Beruntung semua orang menyayanginya dan membuatnya sibuk dengan banyak hal.
“Aku bilang hanya semenit, kenapa lama sekali kau menangis? Kau ingin melanggar perintah?” Samir menggeleng sambil terus terisak. Ibram mengusap air matanya, “Bagaimana kau akan menjadi seorang prajurit yang tidak terkalahkan jika kau secengeng ini? Kau tahu sendiri kan kalau aku tidak suka prajurit yang punya fisik, hati dan mental yang lemah?” tanya Ibram yang lagi-lagi dijawab dengan anggukan lemah Samir.
“Kemarin aku belum sempat bertanya padamu. Kenapa kau bisa ada di sana? Bukankah seharusnya kau sedang berlatih memanah sambil menunggang kuda bersama Zain?”
“Aku sudah selesai berlatih dan kembali lebih awal karena Panglima Ahlam ingin bicara hal penting dengan Kapten Zain. Lagipula hasil latihanku kemarin sangat bagus, jadi Kapten Zain mengizinkanku berhenti lebih awal,” Ibram mengulas senyum tipis mendengar kesombongan adiknya.
“Sangat bagus, hem?”
“Tujuh dari sepuluh anak panahku tepat sasaran.”
“Bagaimana dengan tembakan tiga anak panah sekaligus?” Ibram melepaskan rangkulannya dan melipat lengan di dada. Sedikit menjauh dengan memicing curiga pada Samir.
“Kakak… aku ini tidak sehebat dirimu, karena itu bersabarlah menunggu usahaku. Aku pasti akan berhasil melakukannya. Sial sekali, kudaku bahkan tidak ingin menurut seperti Hiswad. Kuda hitammu itu sangat penurut. Aku sangat penasaran matra apa yang kau gunakan sampai kuda itu begitu penurut denganmu?” kilah Samir yang ditanggapi dengusan kesal Ibram.
“Jangan salahkan kudamu karena ketidakmampuanmu!”
“Tapi….”
“Sepertinya berbasa-basi memang tidak cocok denganku. Baiklah, dengarkan aku Samir,” pinta Ibram menarik nnapas dalam-dalam sebelum mengutarakan niatnya. Samir sampai menelan ludah susah payah. Jika kakaknya yang satu ini sudah seserius ini, maka peringatan dini untuk berhati-hati. peringatan kedua jangan lengah. Peringatan ketiga jangan percaya siapapun kecuali Sabir.
“Sejak semalam aku ingin mengatakan untuk tidak menyalahkan dirimu. Apa yang terjadi kemarin itu bukanlah kesalahanmu. Tidak ada pula yang menyalahkan dirimu. Orang yang salah itu adalah yang menyakiti orang lain. Aku berjanji akan menangkap pelakunya dan menyeretnya untuk diadili di Pengadilan Kerajaan. Jadi sekarang, sadarlah dan bantu aku! Lupakan sejenak dirimu manja dan seenaknya.”
“Yang suka seenaknya itu kan kamu Kakak!” sungut Samir dalam hati. kakaknya yang satu ini suka sekali tidak sadar diri. Tepatnya tidak peduli sama sekali.
“Jangan mengumpat atau memikirkan hal lain saat aku serius Samir!” Suara Ibram sudah seperti sebilah pedang yang ditarik keluar dari sarungnya.
“Kali ini aku yang akan mengadilinya. Aku akan minta pada Yang Mulia Raja dan Ratu untuk memimpin proses pengadilan,” ucap Samir menggebu.
“Sungguh?” Ibram sangsi, jelas sekali meragukan ucapan adiknya, “Memangnya kau sudah menamatkan 10 jilid buku pasal peraturan hukum pidana kerajaan?” tanya Ibram lagi. Samir mendadak lesu dan semangatnya dipatahkan begitu saja. Kedua bahunya merosot diiringi hela napas berat.
“Aku baru baca tiga jilid. Tapi tiap kali membacanya aku mengantuk. Itu bacaan yang sangat membosankan. Tidak bisakah kakak minta pada Kak Abram? Kasihanilah aku…” rengeknya.
“Pria sejati tidak butuh dikasihani. Berapa kali harus aku katakan padamu?” Ibram menjentik dahi Samir yang mengaduh.
“Kau tahu kan aku sangat menyukaimu. Kadang orang berpikir kaulah kakak kandungku, bukan Kak Sabir. Tapi wajahku lebih mirip dengannya. Biarkan aku memanfaatkan waktu ini dengan sebaik mungkin sebelum kau menikah. Saat kau punya istri nanti mungkin kau akan mengabaikanku.” Samir menunduk meletakkan dagunya di antara kedua lututnya.
“Tidak akan,” ucap Ibram mengusap puncak kepalanya dan beranjak menuruni anak tangga.
“Sungguh?”
“Apa Sabir mengabaikanmu setelah menikah dengan Alina?” Samir menggeleng.
“Kakak, kau sungguhan kan? Apa jangan-jangan kau tidak berniat untuk menikah? Kak Abram punya dua orang istri. Kak Sabir juga sudah menikah dengan kakak ipar Alina. Lalu bagaimana denganmu? Kalau kau tidak menikah, bagaimana mereka akan menikahkanku?” Samir menendang batu kecil di depannya dan reaksi Ibram biasa saja.
“Aku belum tertarik dengan pernikahan karena belum menemukan seseorang yang tepat,” ucap Ibram melangkah lebih cepat menuju markas militer di sisi kanan istana.
“Bagaimana bisa menemukan seseorang saat kakak sendiri belum berniat menemukannya? Bukannya segala sesuatu itu harus dimulai dengan niat yang baik? Aduhh!!” Samir terjatuh dengan bokong yang mendarat tepat di rumput, “Setidaknya katakan sesuatu atau beri kode! Isyarat Kakak! Jangan berhenti mendadak seperti ini! Bagaimana kalau kakiku sampai patah? Para tabib sedang sibuk dan aku jauh lebih sibuk!” gerutunya.
“Kau yang menabrakku, kenapa justru kau yang marah?” Ibram menghela napas panjang dan mengulurkan tangan pada adiknya yang cemberut.
“Karena aku yang jadi korban. Punggungmu itu benar-benar tembok. Jidatku ikut sakit karena terbentur punggungmu.”
“Jangan mencari alasan! Kenapa kakimu bisa selemah itu? Kau itu tidak menabrak seekor gajah, malah langsung jatuh. Bagaimana jadinya jika aku sengaja menyenggolmu atau menendangmu?” Ibram berusaha meredam emosinya yang rasanya tengah diuji.
“Aku memang tidak menabrak seekor gajah, tapi harimau. Aduh! Kakak!!” keluh Samir saat Ibram menjitak kepalanya, “Kenapa kau selalu saja emosi saat disinggung tentang pernikahan? Apa sebelumnya kau pernah sakit hati karena ditinggal menikah oleh gadis lain?”
“Tidak. Aku belum pernah tertarik sekalipun pada seorang gadis, karena itulah aku belum tertarik memikirkan pernikahan. Jangan lamban kalau tidak mau ditinggal!” Samir setengah berlari menyusul langkah cepat Ibram.
“Kalau begitu jawab pertanyaanku dengan serius dan jujur kakak. Aku ingin jawaban dari hati, bukan dari kepalamu,” pinta Samir sambil menunjuk dadanya dengan telunjuk kiri dan menahan lengan Ibram dengan tangan kanannya, “Aku tidak ingin disebut pangeran yang tidak laku karena belum menikah diusianya yang sudah matang. Apa benar, kakak tidak suka jika ada yang dekat-dekat dengan kakak? Apa benar dugaan orang-orang kalau Kakak menyim-” Samir menunjukkan cengiran lebarnya untuk menyinggung kakaknya yang menatap tajam mendengar ucapannya barusan.
“Aku akan menikah Samir saat Allah mengirimkan seseorang yang tepat untukku. Jangankan dekat-dekat, aku akan menjaganya sedekat ini,” ucap Ibram melingkarkan lengan kirinya di leher Samir dan nyaris mencekiknya.
“Ya Allah!! Ampuni dosa Pangeran Ibram Al-Ikram. Dia hampir saja khilaf menyakiti adik kesayangannya. Jangan bawa dia ke neraka lain lagi karena setan-setan akan iri padanya!” teriakan candaan Samir di akhir kalimatnya, “Kakak, jangan tegang… tenangkan pikiranmu agar bisa tetap muda sepertiku.”
“Usiaku masih 28 tahun. Aku belum tua!” kilah Ibram.
“Dalam sejarah kerajaan kita, kakak satu-satunya putra mahkota yang belum menikah diusia yang melebihi 22 tahun. Sudah lebih 6 tahun dari aturan kerajaan. Satu hal lagi yang membuatku penasaran. Apa nanti kalau kakak menikah, kakak akan mencintainya seperti kak Abram mencintai kak Meghna? Setidaknya nikahi seseorang agar rumor tentangmu bisa hilang.”
“Rumor? Maksudmu rumor tenang aku yang penyuka sesama jenis?” tanya Ibram enteng seolah membicaran cuaca.
“Wah… kau sudah tahu dan sesantai ini? Rumor ini bisa merusak wibawamu. Kata bibi, wajah tampan di balik wajah seram milikmu akan sia-sia.”
“Tentu saja aku tahu. Telingaku cukup tajam untuk mendengar orang-orang yang suka merumpi. Meski aku tidur nyenyak sekalipun, aku memasang banyak telinga di kerajaan ini untuk memberitahu apa saja yang terjadi.” Ibram kembali melanjutkan langkahnya sambil memperhatikan menara pusat di mana anak buahnya memeriksa keadaan istana dengan teropong.
“Kalau begitu, beritahu padaku seperti apa gadis yang kau inginkan? Kakak, kau ini seorang pangeran, apalagi kau seorang put.... Baiklah, aku cuma bertanya, bukan memaksa,” Samir menggaruk kepalanya dan melangkah lebih dulu lalu bergeming. Tampak menyadari seseuatu dan Ibram turut menghentikan langkahnya. “Apa sebelumnya kau pernah ditolak? Ada yang menolak menikah denganmu?”
Ibram mendekati Samir dan menatap adiknya dengan serius. Samir sampai menelan ludahnya susah payah. Langkahnya mundur selangkah. Bersiaga jangan sampai Ibram memukul kepalanya atau menendang kakinya. Sepertinya ucapannya barusan sudah membangunkan harimau putih. Namun kini ia justru bingung melihat senyum tipis dan tatapan hangat dari Ibram.
“Dengar Samir, ini terakhir kali kau bertanya tentang masalah ini padaku. Jangan membuatku kesal seperti para tetua! Aku tahu mereka sengaja memintamu mendesakku dan mencari tahu. Mereka bodoh jika berpikir aku akan menuruti keinginan mereka karena kau merengek padaku. Aku tidak bisa memberi siapapun celah untuk ikut campur dalam hidupku! Cukup Kak Meghna yang sudah seperti ibu bagiku memohon agar aku jadi putra mahkota sampai mereka memiliki pewaris,” Ibram menjeda ucapannya dan menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap Samir.
“Dan….”
“Aku sudah putuskan dalam hidupku hanya akan menikah sekali saja dan memiliki satu orang istri. Aku tidak peduli siapa dan bagaimana dia serta latar belakangnya. Sekalipun dia seorang budak. Aku ingin dia adalah gadis yang bisa aku hormati dan menerima aku apa adanya, bukan karena statusku seorang pangeran atau putra mahkota yang bahkan terpaksa menerima status menyebalkan ini. Aku ingin dia menyadari menginginkan seorang Ibram Al-Ikram, bukan statusku. Aku akan belajar mencintainya dan memohon pada Allah agar menyatukan aku dengannya. Aku tidak semampu mendiang ayahku yang memiliki empat orang istri atau kakak yang memutuskan untuk menikah lagi dan memiliki dua orang istri. Berlaku adil tidaklah mudah. Aku tidak suka berbagi apa yang menjadi hakku. Jadi aku juga tidak ingin membagi haknya atas diriku pada wanita lain. Aku ingin memiliki seseorang yang membuat mataku selalu mencari keberadaannya. Hanya dengan melihatnya dari jauh saja membuatku tenang dan bisa sejenak melupakan masalahku. Aku dan dia ingin menjadi kita dan mengatakan pada orang lain inilah kami. Singkatnya, aku ingin memiliki duniaku dengannya,” ungkap Ibram panjang lebar tanpa membiarkan Samir menyela ucapannya.
Samir menatap takjub sambil mengangguk-angguk lalu menghela napas berat, “Kakak, kau itu menginginkan seorang dewi. Auuhhh!! Kenapa suka sekali menjitak kepalaku?” Samir meringis.
Ibram menoleh dan melihat Dam, pengawal pribadi raja itu menghampiri mereka berdua dan mengatakan ingin menyampaikan hasil penyelidikan atas perintah Sabir. Awalnya Dam ragu karena ada Samir, namun Ibram mengatakan jika adiknya berhak tahu. Samir menjadi kembali percaya diri.
Sepenggal kalimat itu begitu berarti baginya yang seringkali dianggap remeh oleh ibunya. Ibu Suri Sanjana yang seringkali menuntutnya menjadi sempurna. Hasil penyelidikan terbaru lagi-lagi membuat Ibram terkejut. Pelaku percobaan pembunuhan yang telah menelan pil beracun itu ternyata hamil.
“Gadis itu pelayan istana di bagian paviliun. Wajar saja ia jarang terlihat di sekitar istana. Ia sudah bekerja hampir setahun. Ia yatim piatu sejak tiga bulan lalu. Ibunya meninggal karena penyakit paru. Tapi anehnya, ada luka cambuk di punggungnya. Lukanya cukup unik. Selain itu ada luka gores di lehernya yang coba ditutupinya dengan kosmetik. Sejenis riasan yang menyerupai bedak dan sedikit lengket. Wanita itu hamil, namun sepertinya belum menyadari jika dirinya hamil, karena itulah ia nekat menelan pil,” Dam berbisik meskipun hanya mereka bertiga yang ada di tengah lapangan.
“Usia kandungannya?” tanya Ibram.
“Sebulan. Selain tabib dan pangeran Sabir, hanya kita bertiga yang tahu hal ini,” ujar Dam.
“Jangan beritahu raja, aku akan mengirim Hamdan menemuimu. Malam ini aku akan berangkat ke suatu tempat mencari penawar. Apapun yang terjadi, laporkan langsung pada Sabir. Samir bisa menjadi perantara pesan disaat darurat. Ingat Samir, jangan percaya pada siapapun! Jangan menelan semua berita mentah-mentah tanpa mendiskusikannya dengan Dam atau Sabir!”
“Aku mengerti Kakak. Kau sebenarnya mau ke mana? Mencari penawar atau seorang dewi?” Samir mencibir, masih kesal karena Ibram tidak mengajak serta dirinya.
“Dam, abaikan saja kakakku itu,” ujar Samir saat Ibram kembali bergegas ke markas militer, “Dia tidak akan bisa menikah sampai kapanpun jika menginginkan istri seorang dewi.”
“Seorang dewi? Pantas saja para putri mentri tidak dilirik sama sekali.”
“Jangan menyebarkan rumor Dam!”
“Pangeran Samir, Anda yang baru saja menyebarkannya. Anda yang memberitahuku.”
“Kakak akan keluar kerajaan setelah sekian lama. Apa dia akan baik-baik saja? Kenapa tidak mengirim jendral-jendral lain saja?” Samir kembali melanjutkan langkahnya bersama Dam dan melupakan keinginannya untuk ke markas militer.
Tadinya ia sudah menyusun bergabagai rencana. Salah satunya bahkan sampai merengek-rengek pada Raja Abram agar dirinya bisa ikut dengan Ibram. Kini ia lupa dengan keinginannya itu. Pikirannya lebih tertuju pada ucapan Ibram tadi. Anehnya, ia justru penasaran di mana bisa menemukan sosok seorang dewi untuk Ibram?
###
Kerajaan Akhtaran, salah satu kerajaan yang cukup disegani oleh kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusa. Kerajaan yang kini masih berdiri kokoh sejak 200 tahun yang lalu. Namun peristiwa 30 tahun lalu mengguncang kerajaan tersebut. Raja Arsyad menikahi putri dari Penasihat Kerajaan yang bernama Aruna. Aruna seorang gadis yang memiliki paras cantik rupawan dan kecerdasan yang mengagumkan. Kecintaannya pada buku menjadikannya sosok yang dikagumi dan diinginkan banyak keluarga. Terlebih para pria di Kerajaan Akhtaran. Raja Arsyad berniat menikahkan adiknya Pangeran Amir dengan Aruna
Tahun berganti dan Ibram tumbuh menjadi sosok yang dingin. Ia cukup bersikap hangat pada keluarganya saja. Orang-orang yang menerima kehadirannya, kecuali Ibu Suri Sanjana. Adik kandung ayahnya yang juga merupakan ibu kandung Pangeran Sabir dan Pangeran Samir. Ia membenci bibinya sendiri setelah tahu jika bibinya itulah yang memberikan kesaksian bahwa Ratu Aruna memilih menyelamatkan dirinya dibanding ibunya. Juga tentang Ratu Aruna yang berusaha mengobati ibu kandungnya dengan berbagai ramuan. Semua orang pun menduga jika Ratu Aruna yang sudah meracuni Ratu Dairah Zara dengan dalih memberinya obat.
Zain mengernyit setelah membaca surat yang baru saja diterimanya melalui seekor merpati. Sebagai sahabat sekaligus pengawal pribadi Ibram sejak 11 tahun lalu, Zain cukup mengerti kebiasaan Ibram. Namun tidak dengan yang terjadi hari ini. Tiba-tiba saja sahabatnya itu mengubah rencana yang sudah mereka susun di markas militer. Ibram justru memilih berangkat ke Kepulauan Mutiara. Setahu Zain daerah itu merupakan kumpulan pulau kecil yang di tengahnya terdapat sebuah pulau yang tidak begitu besar namun cukup berbeda di bandingkan pulau sekitarnya. Pulau itulah yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Hindu Dh
“Aku punya firasat buruk,” ucap Zain ketika melintasi alun-alun kota menuju gerbang istana yang cukup megah. Di sepanjang jalan ada banyak lampion yang menjadi penerang. Terlihat indah dengan hiasan bunga kering yang sengaja ditempel di bagian luar. Beberapa orang penjaja sedang menawari mereka beberapa hasil tangan namun mereka terpaksa menolak dengan halus karena sedang terburu-buru ke istana. Dari penduduk mereka tahu jika kerajaan ini sedang merayakan rencana pernikahan putri Ratu Maura yakni Putri Ahana. Putri Ahana memang terkenal dengan kecantikannya yang mirip dengan sang ibu. Sebentar lagi akan bertunangan dengan pangeran dari Kerajaan Jaraban. Salah satu kerajaan tetangga yang juga merupakan kerajaan sahabat kerajaan ini. Ibram tiba di gerbang istana dan Zain menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah menunggu beberapa saat, mereka disambut oleh Pangeran Hanan. Putra Mahkota Kerajaan Dharmajaya, Putra dari Ratu Maura sekaligus adik kembar dari Putri Aha
Empat hari berada di Kerajaan Dharmajaya benar-benar dimanfaatkan Ibram untuk menikmati udara bebas. Saat kembali ke Kerajaan Akhtaran nanti, mungkin ia akan kembali dikekang atau ditempatkan di balik jeruji khusus yang dibuat untuknya. Panglima Ahlam bahkan tertawa terbahak-bahak ketika melihat ruang penjara khusus untuk muridnya itu. Para mentri sudah beberapa kali berusaha mengendalikan Ibram namun selalu saja berujung kegagalan.“Dari mana?” tanya Zain ketika menghampiri Ibram yang baru saja menyelinap masuk ke dalam penginapan. Meskipun menyamar dan berpenampilan seperti rakyat jelata, tetap saja gerak-geriknya bisa dikenali oleh Zain.“Jalan-jalan sebelum mereka kembali mengurungku. Sudah menuntaskan urusan yang kemarin? Di mana yang lain? Apa ada orang yang datang dari istana mencariku?” Ibram memberondong sahabatnya dengan banyak pertanyaan sambil melepaskan pakaian kumal yang digunakannya.“Urusan kemarin dalam tahap
“Bukankah mawar itu berduri? Mawar adalah satu bunga yang bisa menyakiti.” Ucapan Ibram tidak sepenuhnya salah. Tapi wanita seusia pengasuhnya itu menggeleng tampaknya kurang setuju dengan apa yang diungkapkannya. “Itu jika Tuan berusaha menggenggamnya terlalu kuat. Tapi ketika disentuh dengan perlahan dan lembut, maka mawar itu akan bertahan lama. Menyebarkan aromanya yang menenangkan dan perlahan mengusir ketegangan. Seperti efek paparan. Maaf, saya sudah lancang dan terkesan menggurui,” ujarnya.
Semua orang yang menghadiri acara itu tentu saja terkejut. Ratu Maura sudah lemas kala mendengar penolakan dari Pangeran Dalani. Harapan terakhirnya untuk mempertahankan perjanjian antarkerajaan di Kepulauan Mutiara sudah berakhir. Hanan berlari menghampiri ibunya yang menatap tidak percaya pada putrinya. Ahana dan kekeraskepalaannya mengacaukan segalanya. Tadinya ia berpikir putrinya akan berkorban demi kebaikan semua orang, nyatanya itu hanya angan.Suara bisik-bisik para tamu yang membicarakan mereka rasanya seperti hujaman batu. Terlebih tatapan pura-pura iba namun mungkin kenyataannya mereka sedang menertawakan keluarganya. Ratu Maura tidak lagi bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok dengan kerajaannya. Hasil bumi dari kerajaannya akan dibeli dengan harga rendah seperti kesepakatan kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Nusa yang sejak dulu menjalin kerjasama dengan tiga kerajaan di Kepulauan Mutiara.Akses perairan akan dibatasi dan rakyat kerajaannya tanpa s
“Aku bersedia.” Suara itu terdengar jelas di keheningan aula istana. Semua mata tertuju pada sosok yang baru saja berdiri dari tempat duduknya dan menoleh pada Raja Takur serta yang lainnya. Zain hanya bisa melongo melihat Jendral Harimau Putih yang berjalan ke pusat drama malam ini. Zain tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran Ibram saat ini. Sungguh yang dikatakan ayahnya benar adanya. Tidak ada yang bisa menebak seorang Ibram Al-Ikram. Kalau saja para anggota keluarga atau para pejabat Kerajaan Akhtaran mendengar dua kata itu, mungkin mereka akan pingsan. Sama sepertinya yang saat ini merasa tiba-tiba dilanda pening. Suasana masih hening dan yang terdengar hanya langkah kaki Ibram. “Jangan ikut campur Jendral!” Raja Jabaran memperingatkan. Ia tidak ingin ada orang lain selain dari Kepulauan Mutiara yang ikut campur. “Sepertinya Anda takut Yang Mulia Raja Takur, kaki Anda sampai gemetar. Putra Anda sampai lupa bernapas. Berdiri sedekat in
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar