Semua orang yang menghadiri acara itu tentu saja terkejut. Ratu Maura sudah lemas kala mendengar penolakan dari Pangeran Dalani. Harapan terakhirnya untuk mempertahankan perjanjian antarkerajaan di Kepulauan Mutiara sudah berakhir. Hanan berlari menghampiri ibunya yang menatap tidak percaya pada putrinya. Ahana dan kekeraskepalaannya mengacaukan segalanya. Tadinya ia berpikir putrinya akan berkorban demi kebaikan semua orang, nyatanya itu hanya angan.
Suara bisik-bisik para tamu yang membicarakan mereka rasanya seperti hujaman batu. Terlebih tatapan pura-pura iba namun mungkin kenyataannya mereka sedang menertawakan keluarganya. Ratu Maura tidak lagi bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok dengan kerajaannya. Hasil bumi dari kerajaannya akan dibeli dengan harga rendah seperti kesepakatan kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Nusa yang sejak dulu menjalin kerjasama dengan tiga kerajaan di Kepulauan Mutiara.
Akses perairan akan dibatasi dan rakyat kerajaannya tanpa s
“Aku bersedia.” Suara itu terdengar jelas di keheningan aula istana. Semua mata tertuju pada sosok yang baru saja berdiri dari tempat duduknya dan menoleh pada Raja Takur serta yang lainnya. Zain hanya bisa melongo melihat Jendral Harimau Putih yang berjalan ke pusat drama malam ini. Zain tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran Ibram saat ini. Sungguh yang dikatakan ayahnya benar adanya. Tidak ada yang bisa menebak seorang Ibram Al-Ikram. Kalau saja para anggota keluarga atau para pejabat Kerajaan Akhtaran mendengar dua kata itu, mungkin mereka akan pingsan. Sama sepertinya yang saat ini merasa tiba-tiba dilanda pening. Suasana masih hening dan yang terdengar hanya langkah kaki Ibram. “Jangan ikut campur Jendral!” Raja Jabaran memperingatkan. Ia tidak ingin ada orang lain selain dari Kepulauan Mutiara yang ikut campur. “Sepertinya Anda takut Yang Mulia Raja Takur, kaki Anda sampai gemetar. Putra Anda sampai lupa bernapas. Berdiri sedekat in
Matahari rasanya bersinar lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak? Gara-gara acara ritual semalam berganti menjadi acara pertunangan dadakan, maka hari ini pun terjadi hal yang serupa. Hari yang awalnya disangka akan menjadi hari pertunangan, kini jadi hari pernikahan. Semua dekorasi dari dalam aula istana hingga alun-alun istana disiapkan dalam semalam.“Aku rasanya masih tidak percaya kau akan menikah hari ini,” kata Zain menatap para pelayan dan pengawal istana yang melakukan pengaturan di halaman istana.
Ibram melangkah mendekati Ahana yang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Sejak ayahnya tiada, ia sama sekali tidak pernah menangis di depan siapapun selain Hanan. Hanya Hanan yang tahu rapuhnya seorang Ahana.“Apakah fakta yang mengejutkan semua orang ini akan membuatmu mundur dari pernikahan ini? Apakah kamu sengaja tidak ingin menikah denganku sehingga mengungkapkan hal yang sebenarnya sengaja dilakukan orang lain? Sama seperti altar pernikahan ini?” tanya Ibram pada Ahana dengan lemah lembut. Gadis itu menggeleng lemah dan mengaku malu.Sekali lagi Ibram melemparkan sindiran yang tepat. Zain bisa melihat mereka berusaha menelan ludah susah payah. Disaat yang sama Zain pun merasa waspada karena suara Ibram terlalu lembut. Biasanya jika seperti ini, sahabatnya akan meledak seperti meriam buatannya.“Jangan mengorbankan kehidupanmu Yang Mulia Pangeran Ibram. Aku memohon maaf atas apa yang-”“Seorang ibu tidak selay
Hanan mengulas senyum dan Ahana membalasnya dengan senyuman pula. Tidak menyadari jika air matanya menetes. Ahana baru menyadari jika setelah resmi menikah nanti, ia tidak lagi akan bersama Hanan. Masing-masing dari mereka akan memiliki kehidupan baru dan terpisah jarak yang jauh.Lamunan Hanan terhenti ketika Zain berbisik jika sudah saatnya mengucapkan ijab qabul. Hanan mengulurkan tangan kanannya lebih dulu disambut oleh Ibram. Raja Hutama adalah salah satu dari tiga raja yang diajak Zain untuk menjadi saksi pernikahan Raja yang merupakan satu-satunya raja muslim di Kepulauan Mutiara.Baru saja tiba pagi tadi sebelum acara penobatan Hanan dan terkejut melihat Pangeran Ibram. Bahkan sempat tidak mempercayai ucapan Zain jika Ibram yang akan menikah dengan Putri Ahana. Raja Hutama menjadi orang pertama mengatakan kata ‘sah’ setelah ijab qabul itu diucap dalam satu tarikan napas. Disusul dua orang saksi lainnya dan keluarga Ahana kemudian semua orang yang me
"Aku tahu. Jika aku kembali dan datang ke sana lebih awal, Putri Ahana mungkin akan merasa tidak nyaman. Aku harus memberinya waktu bicara banyak hal dengan ibu. Jika aku tidak datang ke sana, itu mungkin menyinggung perasaannya. Jebakan macam apa ini?" tanya Ibram seraya memijat pangkal hidungnya. “Apa Anda menyesalinya? Menyesali keputusanmu menikahi saudara kembarku?” tanya Hanan. “Aku tidak pernah menyesali keputusan apapun dari hidupku Adik ipar. Mulai sekarang kau tidak lagi diizinkan menyebut panggilan formal disaat seperti ini. Itu hanya jika ada orang lain. Di sini hanya ada ada aku, kau, dan Zain sahabatku. Tanyakan padanya apapun yang ingin kau ketahui tentangku,” ucap Pangeran Ibram berdiri dan kembali memandang keduanya bergantian, “Kita akan bicara besok, beristirahatlah!” Pelayan yang sudah menunggu di gerbang taman berjalan memandu dan mengiringnya menuju ke kamar. Saat memasuki bagian istana dalam, tampak Manaf menunggunya di dekat tangga. Da
Beberapa detik kemudian, pakaian berat yang dikenakan Ahana terlepas. Menyisakan pakaian berbahan sutra biru muda degan hiasan bunga yang disulam. Satu persatu Ibram melepaskan hiasan di rambut istrinya dan sengaja menjatuhkannya di lantai kayu.Ahana kembali bernapas lega karena Ibram beranjak ke arah jendela. Degup jantungnya yag tidak menentu tadi perlahan stabil. Matanya menatap lantai kamarnya yang cukup berantakan penuh dengan perhiasan. Baju luarannya, selendangnya dan riasan rambutnya pun tergeletak begitu saja di lantai.“Akkhh!!”Ahana kembali memekik saat Ibram memadamkan lilin di dekat jendela. Ahana yang terkejut menjatuhkan kalung yang baru saja ia lepas. Kamarnya sudah menjadi lebih gelap dari sebelumnya.“Yang Mulia, kenapa mematikan lilin yang itu? Itu lilin yang paling terang di kamar ini. Bukankah ini sedikit gelap?” cicit Ahana mulai gugup. Ia harus meralat pikirannya tadi jika suaminya itu masih sam
Dua orang pelayan sedang mengendap-endap keluar dari gerbang belakang istana. Salah satu dari keduanya berjaga dekat pintu masuk, sementara yang satunya menemui seseorang yang tidak jauh dari ujung jalan mengenakan jubah ungu tua. Jalanan tampak sepi dan sedikit berkabut. Matahari baru saja terbit."Katakan berita apa yang kalian punya?" tanya suara seorang wanita dari balik tudung yang dikenakannya. Pelayan itu pun berbisik padanya. Tak lama kemudian, wanita itu memberikan sekantong koin pada pelayan itu.
"Kapten Zain, ada apa?" tanya Manaf mewakili rasa penasaran semua wanita yang duduk di sana. "Yang Mulia Putri Ahana, Anda diminta untuk menghadiri pertemuan di aula istana kerajaan,” kata Zain. Prangg!!! "Apa?!!" tanya Manaf terkejut. Sendok di tangannya jatuh mengenai nampan besi. Begitu juga dengan para istri dari mentri dan dewan kerajaan kini melongo ketika dua prajurit lain mengangguk. Mereka terkejut karena pertama kalinya gadis dari kerajaan mereka menghadiri pertemuan politik. Semua mata mengarah pada Ahana yang sama terkejutnya. Tidak menyangka jika ucapan suaminya semalam bukanlah gurauan. "Yang Mulia Pangeran Ibram sendiri yang meminta saya menjemput dan mengantarkan Anda ke sana," ucap Zain menunjukkan pedang Ibram padanya, "Pangeran Ibram sudah mendapat izin dari Yang Mulia Ratu Maura dan semua orang tidak keberatan." "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ahana bingung. Sulit baginya untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar