"Kapten Zain, ada apa?" tanya Manaf mewakili rasa penasaran semua wanita yang duduk di sana.
"Yang Mulia Putri Ahana, Anda diminta untuk menghadiri pertemuan di aula istana kerajaan,” kata Zain.
Prangg!!!
"Apa?!!" tanya Manaf terkejut. Sendok di tangannya jatuh mengenai nampan besi. Begitu juga dengan para istri dari mentri dan dewan kerajaan kini melongo ketika dua prajurit lain mengangguk.
Mereka terkejut karena pertama kalinya gadis dari kerajaan mereka menghadiri pertemuan politik. Semua mata mengarah pada Ahana yang sama terkejutnya. Tidak menyangka jika ucapan suaminya semalam bukanlah gurauan.
"Yang Mulia Pangeran Ibram sendiri yang meminta saya menjemput dan mengantarkan Anda ke sana," ucap Zain menunjukkan pedang Ibram padanya, "Pangeran Ibram sudah mendapat izin dari Yang Mulia Ratu Maura dan semua orang tidak keberatan."
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ahana bingung. Sulit baginya untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Mohon maaf lama baru update, ada sedikit kendala dengan filenya. Selamat membaca ya...
Ahana tercengang karena sejak dulu Hanan selalu bercerita jika aula istana seringkali ribut dengan berbagai permasalahan dan perdebatan. “Jika ada yang ingin kalian katakan, bersuaralah saat ini juga! Aku dengan senang hati akan memberikan jawaban,” kata Pangeran Ibram mengeratkan genggamannya. "Aku ingin tahu alasanmu menikahi putriku,” kata Ratu Maura tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu utama aula dan duduk tenang di singgahsananya. Meskipun Pangeran Ibram adalah menantunya, ia tidak bisa membuat menantunya mendominasi pertemuan pagi ini. “Aku punya tiga alasan ketika mengatakan bersedia menikah dengan Putri Ahana. Pertama, dia bukan orang munafik. Kedua, dia cerdas, keras kepala dan memiliki keberanian. Dia bukannya gegabah seperti yang kalian pikirkan selama ini, tapi tidak ingin tertekan dengan aturan. Ketiga… suatu saat akan aku sampaikan secara pribadi Yang Mulia Ratu,” jawab Pangeran Ibram yang membuat semua orang kembali tercengang. “Yang Mulia
Jamuan makan siang telah dihidangkan di alun-alun istana. Ratu Maura duduk didampingi putra dan putrinya. Para mentri dan pejabat tinggi kerajaan duduk di kursi mereka masing-masing sambil bercengkrama dan menikmati santap siang. Beberapa penari menampilkan tarian dengan banyak taburan bunga. "Di mana suamimu?” bisik Ratu Maura pada putrinya sambil terus melirik kursi kosong di sampingnya. Sejak meninggalkan aula tadi, ia belum melihat menantunya itu dan juga Zain. Dalam hati Maura sedikit menyesal. Harusnya ia meminta menantunya secara langsung untuk menghadiri acara ini. Beberapa tamu yang hadir tampaknya mulai berbisik. "Ibu, dia tadi bilang ingin sholat dulu. Dia sendiri yang bilang akan datang. Tenanglah," bisik Ahana. “Kau yakin?" tanya Ratu Maura cemas. "Aku sudah mengatakan padanya jika ia tidak ingin menghadiri acara ini, dia bisa menolak. Aku bisa memberikan alasan lain. Tapi dia bilang tidak ingin merebut hak seorang ibu. Lagipula d
Tangan kiri Pangeran Ibram kembali menangkap gagang pedangnya. Sementara tangan kanannya mendorong bilah pedangnya dengan dua jari tangannya. Kini ujung pedang itu sudah mengarah pada titik incarannya. Tepat di leher Jendral Angga yang hanya terdiam dengan kepala menengadah. Pedang Jendral Angga masing diacungkan ke atas, namun tubuhnya kaku. Menyadari jika tali sabuknya terputus dan kini tersisa satu. Jika bergerak, mungkin saja celananya akan melorot. Pangeran Ibram mengunci pergerakan Jendral Angga dengan menahan silang salah satu kakinya. “Kali ini satu menit tiga puluh lima detik," ucap Zain yang membuat para jendral di sampingnya menoleh. Tampak sekertaris kerajaan pun menuliskan itu di buku catatannya setelah ketiga kalinya gendang dipukul dan bendera biru kembali dikibarkan. Panglima Ragaf tertawa setelah ketiga jendral pilihannya telah dikalahkan oleh Pangeran Ibram. la menghela napas seraya melihat tatapan Ratu Maura padanya yang tersenyum senang. T
“Kau benar Adik, jika kita berhasil menjualnya ke pulau seberang, maka kita bisa punya uang menutupi kebutuhan kita selama setahun. Kau lihat, sepertinya dia seorang bangsawan,” ucap pria bertubuh pendek dengan luka bakar di sebagian wajahnya. "Tapi Kakak, ada pria itu bersamanya. Apa mungkin itu suaminya?” tanya sang adik. "Aku rasa bukan. Lihat, mereka hanya duduk diam tidak saling bicara. Apa yang dilakukan pria itu? Apa dia sedang menyembah sesuatu di dalam air atau sedang bersemedi?" tanyanya ketika sedang memperhatikan punggung Pangeran Ibram dari sela semak-semak. "Aku rasa begitu, sejak tadi ia bertingkah aneh. Dia mengangkat tangan lalu tunduk kemudian sujud. Sekarang ia malah menengadahkan tangan saja ke langit. Sepertinya di tempat ini ada roh dengan kekuatan besar. Mungkin karena itulah mereka datang,” pikir sang adik mengernyit, “Kakak lihat, di sana ada dua ekor kuda. Mereka masing-masing menunggangnya. Menurutku, pria itu adalah pengawaln
Ahana menunggu dengan resah Ibram selesai beribadah. Ketika suaminya menoleh ke kanan dan ke kiri ia menghela lega. Pikirnya sebentar lagi, karena suaminya perlahan menengadahkan tangan memanjatkan doa.“Bagaimana kau bisa yakin itu rekan bandit?" tanya Ahana ketika Ibram baru saja meletakkan sajadah yang dilipatnya.Masih teringat jelas di kepalanya saat suaminya berteriak memanggil nama kudanya. Hiswad, kuda itu langsung meringkik dan menoleh menatap Ahana. Kemudian berlari membawanya kembali ke tenda."Aku memasang perangkapku dan mereka sudah masuk dalam jebakan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bergerak. Apa kamu masih ingat wajah pria yang mengejar-ngejarmu dulu karena ingin membungkammu?” tanya Ibram seraya memasang kembali sepatunya."Memangnya mengapa kau menanyakannya?” tanya Ahana balik.Sebenarnya ia menyadari bahwa tidak sopan membalas pertanyaan dengan pertanyaan juga. Tapi yang ada di hadapannya ini adalah su
“Yang Mulia!” panggil pelayan yang berdiri di belakangnya segera menopangnya.“Semua ini karena aku. Jika saja aku tidak membuatnya kesal, maka ini tidak akan….”“Adik ipaaarrr!!!" teriak gemuk di depannya dan mengejutkan Ahana.Pria itu berlari menghampiri sosok yang tubuhnya menjadi sasaran belasan anak panah. Para pemanah juga tidak kalah terkejut. Mereka baru saja menyerang majikan mereka sendiri. Kini pria tua itu yang lari terbirit-birit menghampiri adik iparnya yang jatuh bertekuk lutut."Apa yang terjadi? Kenapa kau bi-” Masih dengan mata membelalak ia menoleh ke arah gapura yang merupakan jalan menuju ruang bawah tanah.Tak tak tak!“Selamat malam, Tuan Ranajaya," ucap seseorang yang menapaki tangga batu dengan suara langkahnya yang membuat suasana menjadi menegangkan.Dua anak panah api berhasil ditangkisnya dengan ujung rantai. Panah berapi itu terlempar ke arah bangunan peng
“Aku menyadarinya saat melihat luka di punggung tanganmu. Luka yang dibuat seseorang sehingga seorang pangeran mengincarmu,” ucap Ahana dengan mata berkaca-kaca. “Kau pasti ketakutan selama bertahun-tahun dan selalu bersembunyi di balik topi jeramimu itu.” "Anak buahku sudah memberi mereka bubuk beracun. Beruntung kau bisa selamat karena dibawa kema…” ucap Baron si Topi Jerami tercengang saat melihat Zain melambai padanya. Zain mulai menebar serbuk di atas penginapan. Sementara rekannya membuat deretan pemanah itu jatuh satu persatu dari atap penginapan. Ahana dan kedua pelayannya lega karena mereka tampak baik-baik saja. "Dia! Dia di sini?!” Baron membelalak melihat Zain. Seingatnya pria itu sudah diikat di batang pohon bersama rekannya yang lain. "Apa maksudmu? Baron!” bentak Ranajaya yang melihat Zain mengenakan pakaian khas bangsawan, “Jadi benar pria ini adalah suami gadis itu? Bukan yang di atas sana iu? Aku bersumpah akan….” “Apa kau be
Prajurit pribadi Pangeran Hanan hanya bisa tertegun saat memasuki sebuah pondok bambu di perbatasan desa. Bagaimana tidak? Puluhan orang dengan luka yang sama sedang merintih kesakitan. Mereka diikat di tiang dan adapula di dinding. Ada juga yang terbaring di atas lembaran daun pisang dalam keadaan kaki terikat tali yang tertanam ke dalam tanah. Sementara jumlah tabib dan obat yang ada terbatas. Keenam tabib itu adalah tabib yang dibayar Zain dari beberapa desa sekitar. Pangeran Hanan mengenali bungkusan obat itu dari pusat pengobatan kerajaan. Bungkusan yang pernah dibawa salah seorang prajurit pribadi Pangeran Ibram. "Yang Mulia Pangeran, tidak salah lagi. Orang yang mereka maksud adalah Pangeran Ibram. Beberapa di antara mereka mengaku tidak melihat wajahnya. Tapi mereka melihat orang itu memegang pedang dengan kepala harimau di ujung gagang pedangnya. Selain itu, ia juga mengendarai kuda hitam yang cukup besar dari kuda pada umumnya. Hal yang membingungka