Tangan kiri Pangeran Ibram kembali menangkap gagang pedangnya. Sementara tangan kanannya mendorong bilah pedangnya dengan dua jari tangannya. Kini ujung pedang itu sudah mengarah pada titik incarannya. Tepat di leher Jendral Angga yang hanya terdiam dengan kepala menengadah.
Pedang Jendral Angga masing diacungkan ke atas, namun tubuhnya kaku. Menyadari jika tali sabuknya terputus dan kini tersisa satu. Jika bergerak, mungkin saja celananya akan melorot. Pangeran Ibram mengunci pergerakan Jendral Angga dengan menahan silang salah satu kakinya.
“Kali ini satu menit tiga puluh lima detik," ucap Zain yang membuat para jendral di sampingnya menoleh. Tampak sekertaris kerajaan pun menuliskan itu di buku catatannya setelah ketiga kalinya gendang dipukul dan bendera biru kembali dikibarkan.
Panglima Ragaf tertawa setelah ketiga jendral pilihannya telah dikalahkan oleh Pangeran Ibram. la menghela napas seraya melihat tatapan Ratu Maura padanya yang tersenyum senang. T
Bersambung.... Ingin tahu cuplikan part berikutnya? Follow sosmed Rat!hka saja. Ada banyak cerita lain yang bisa kalian baca....
“Kau benar Adik, jika kita berhasil menjualnya ke pulau seberang, maka kita bisa punya uang menutupi kebutuhan kita selama setahun. Kau lihat, sepertinya dia seorang bangsawan,” ucap pria bertubuh pendek dengan luka bakar di sebagian wajahnya. "Tapi Kakak, ada pria itu bersamanya. Apa mungkin itu suaminya?” tanya sang adik. "Aku rasa bukan. Lihat, mereka hanya duduk diam tidak saling bicara. Apa yang dilakukan pria itu? Apa dia sedang menyembah sesuatu di dalam air atau sedang bersemedi?" tanyanya ketika sedang memperhatikan punggung Pangeran Ibram dari sela semak-semak. "Aku rasa begitu, sejak tadi ia bertingkah aneh. Dia mengangkat tangan lalu tunduk kemudian sujud. Sekarang ia malah menengadahkan tangan saja ke langit. Sepertinya di tempat ini ada roh dengan kekuatan besar. Mungkin karena itulah mereka datang,” pikir sang adik mengernyit, “Kakak lihat, di sana ada dua ekor kuda. Mereka masing-masing menunggangnya. Menurutku, pria itu adalah pengawaln
Ahana menunggu dengan resah Ibram selesai beribadah. Ketika suaminya menoleh ke kanan dan ke kiri ia menghela lega. Pikirnya sebentar lagi, karena suaminya perlahan menengadahkan tangan memanjatkan doa.“Bagaimana kau bisa yakin itu rekan bandit?" tanya Ahana ketika Ibram baru saja meletakkan sajadah yang dilipatnya.Masih teringat jelas di kepalanya saat suaminya berteriak memanggil nama kudanya. Hiswad, kuda itu langsung meringkik dan menoleh menatap Ahana. Kemudian berlari membawanya kembali ke tenda."Aku memasang perangkapku dan mereka sudah masuk dalam jebakan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bergerak. Apa kamu masih ingat wajah pria yang mengejar-ngejarmu dulu karena ingin membungkammu?” tanya Ibram seraya memasang kembali sepatunya."Memangnya mengapa kau menanyakannya?” tanya Ahana balik.Sebenarnya ia menyadari bahwa tidak sopan membalas pertanyaan dengan pertanyaan juga. Tapi yang ada di hadapannya ini adalah su
“Yang Mulia!” panggil pelayan yang berdiri di belakangnya segera menopangnya.“Semua ini karena aku. Jika saja aku tidak membuatnya kesal, maka ini tidak akan….”“Adik ipaaarrr!!!" teriak gemuk di depannya dan mengejutkan Ahana.Pria itu berlari menghampiri sosok yang tubuhnya menjadi sasaran belasan anak panah. Para pemanah juga tidak kalah terkejut. Mereka baru saja menyerang majikan mereka sendiri. Kini pria tua itu yang lari terbirit-birit menghampiri adik iparnya yang jatuh bertekuk lutut."Apa yang terjadi? Kenapa kau bi-” Masih dengan mata membelalak ia menoleh ke arah gapura yang merupakan jalan menuju ruang bawah tanah.Tak tak tak!“Selamat malam, Tuan Ranajaya," ucap seseorang yang menapaki tangga batu dengan suara langkahnya yang membuat suasana menjadi menegangkan.Dua anak panah api berhasil ditangkisnya dengan ujung rantai. Panah berapi itu terlempar ke arah bangunan peng
“Aku menyadarinya saat melihat luka di punggung tanganmu. Luka yang dibuat seseorang sehingga seorang pangeran mengincarmu,” ucap Ahana dengan mata berkaca-kaca. “Kau pasti ketakutan selama bertahun-tahun dan selalu bersembunyi di balik topi jeramimu itu.” "Anak buahku sudah memberi mereka bubuk beracun. Beruntung kau bisa selamat karena dibawa kema…” ucap Baron si Topi Jerami tercengang saat melihat Zain melambai padanya. Zain mulai menebar serbuk di atas penginapan. Sementara rekannya membuat deretan pemanah itu jatuh satu persatu dari atap penginapan. Ahana dan kedua pelayannya lega karena mereka tampak baik-baik saja. "Dia! Dia di sini?!” Baron membelalak melihat Zain. Seingatnya pria itu sudah diikat di batang pohon bersama rekannya yang lain. "Apa maksudmu? Baron!” bentak Ranajaya yang melihat Zain mengenakan pakaian khas bangsawan, “Jadi benar pria ini adalah suami gadis itu? Bukan yang di atas sana iu? Aku bersumpah akan….” “Apa kau be
Prajurit pribadi Pangeran Hanan hanya bisa tertegun saat memasuki sebuah pondok bambu di perbatasan desa. Bagaimana tidak? Puluhan orang dengan luka yang sama sedang merintih kesakitan. Mereka diikat di tiang dan adapula di dinding. Ada juga yang terbaring di atas lembaran daun pisang dalam keadaan kaki terikat tali yang tertanam ke dalam tanah. Sementara jumlah tabib dan obat yang ada terbatas. Keenam tabib itu adalah tabib yang dibayar Zain dari beberapa desa sekitar. Pangeran Hanan mengenali bungkusan obat itu dari pusat pengobatan kerajaan. Bungkusan yang pernah dibawa salah seorang prajurit pribadi Pangeran Ibram. "Yang Mulia Pangeran, tidak salah lagi. Orang yang mereka maksud adalah Pangeran Ibram. Beberapa di antara mereka mengaku tidak melihat wajahnya. Tapi mereka melihat orang itu memegang pedang dengan kepala harimau di ujung gagang pedangnya. Selain itu, ia juga mengendarai kuda hitam yang cukup besar dari kuda pada umumnya. Hal yang membingungka
Ahana membuka matanya dan melihat matahari yang perlahan terbit. Menghirup udara dalam-dalam dan kembali menghembuskannya perlahan. la menarik rapat selimut yang menutupinya. Tersenyum karena mimpi buruk yang dialaminya kini berakhir dan mandapati pemandangan begitu indah. Setelah beberapa kali menghirup udara, ia merasakan hembusan angin semakin mengusiknya. Ia berbalik dan merasakan pembaringannya keras. Tidak empuk seperti kasurnya. Masih dengan mata terpejam ia meraba mencari bantal gulingnya. Namun telapak tangannya justru menyentuh permukaan yang kasar. Matanya kembali mengerjap dan melihat suaminya bersandar di pohon dengan melipat lengan di dadanya. Mata tajam itu masih terpejam dan tidurnya terlihat begitu pulas. Pandangannya beralih dan mendapati rumput dan batuan. Menyadari mereka tidak berada di kamar ataupun tenda, Ahana bangun dan duduk menyapu pandang sekitarnya. Kini ia sadar jika ini bukan mimpi. Apa yang dialaminya semalam benar-benar terjadi.
"Aku merusak pagimu dengan mengatakan hal ini,” tambah Ibram karena istrinya masih saja diam. “Tapi aku senang kamu bersedia membaginya. Lalu apa yang membuatmu tidak membalas dendam saja padanya? Misalnya saja menurunkannya dari tahta sebagai ibu suri kerajaan atau melakukan pembalasan lainnya?" tanya Ahana yang merasa jika hal itu tidak akan sulit dilakukan oleh Ibram. “Aku melakukannya dengan caraku. Balas dendam pertamaku padanya dengan menyagangi kedua putranya. Sabir dan Samir adalah saudaraku dan mereka tidak terlibat sama sekali,” jawab Ibram lugas. Ibram kembali melanjutkan ceritanya tentang kegigihan Sabir maupun Samir untuk mencaritahu. Sesekali Ahana akan membelalak mendengar dan tanpa ia sadari semakin tertarik dengan empat bersaudara itu. Hari-hari Ibram dan saudara-saudaranya terdengar begitu berbeda dan mengundang rasa penasarannya. “Meski Sabir dan Samir terus bertanya, aku diam. Ibu Suri diam, kakak dan juga kakak ipar diam. Begitu j
Malam sudah menyapa dan Ahana merasa takjub. Ini pertama kali dalam hidupnya mengendarai kapal sebesar ini. Sama sekali tidak terasa guncangan ombak. Belum lagi pergerakan kapal hitam ini tergolong cepat dibanding kapal-kapal pada umumnya. Tadinya ia sempat meremehkan ucapan suaminya. Ibram mengatakan jika tidak ada kendala, mereka akan tiba besok siang di Kerajaan Akhtaran. Namun sepertinya sekarang ia harus percaya mengingat anggukan Zain dan menyadari kecepatan laju kapal dengan ukiran harimau di dindingnya ini. Setahunya, Hanan dan pamannya mengatakan jika butuh dua hari dua malam untuk tiba di dermaga utama Kerajaan Akhtaran dengan menggunakan kapal besar. Bisa dengan sehari semalam jika menunggang kuda dan menyebrang melalui kerajaan lain yang hanya berbatas selat dengan kerajaan mereka. Perjalanan laut hanya akan butuh sekitar tiga hingga empat jam dengan perahu biasa. Teringat kala dirinya pamit, Ahana beranjak membuka bungkusan yang diberikan Paman M