“Yang Mulia!” panggil pelayan yang berdiri di belakangnya segera menopangnya.
“Semua ini karena aku. Jika saja aku tidak membuatnya kesal, maka ini tidak akan….”
“Adik ipaaarrr!!!" teriak gemuk di depannya dan mengejutkan Ahana.
Pria itu berlari menghampiri sosok yang tubuhnya menjadi sasaran belasan anak panah. Para pemanah juga tidak kalah terkejut. Mereka baru saja menyerang majikan mereka sendiri. Kini pria tua itu yang lari terbirit-birit menghampiri adik iparnya yang jatuh bertekuk lutut.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau bi-” Masih dengan mata membelalak ia menoleh ke arah gapura yang merupakan jalan menuju ruang bawah tanah.
Tak tak tak!
“Selamat malam, Tuan Ranajaya," ucap seseorang yang menapaki tangga batu dengan suara langkahnya yang membuat suasana menjadi menegangkan.
Dua anak panah api berhasil ditangkisnya dengan ujung rantai. Panah berapi itu terlempar ke arah bangunan peng
“Aku menyadarinya saat melihat luka di punggung tanganmu. Luka yang dibuat seseorang sehingga seorang pangeran mengincarmu,” ucap Ahana dengan mata berkaca-kaca. “Kau pasti ketakutan selama bertahun-tahun dan selalu bersembunyi di balik topi jeramimu itu.” "Anak buahku sudah memberi mereka bubuk beracun. Beruntung kau bisa selamat karena dibawa kema…” ucap Baron si Topi Jerami tercengang saat melihat Zain melambai padanya. Zain mulai menebar serbuk di atas penginapan. Sementara rekannya membuat deretan pemanah itu jatuh satu persatu dari atap penginapan. Ahana dan kedua pelayannya lega karena mereka tampak baik-baik saja. "Dia! Dia di sini?!” Baron membelalak melihat Zain. Seingatnya pria itu sudah diikat di batang pohon bersama rekannya yang lain. "Apa maksudmu? Baron!” bentak Ranajaya yang melihat Zain mengenakan pakaian khas bangsawan, “Jadi benar pria ini adalah suami gadis itu? Bukan yang di atas sana iu? Aku bersumpah akan….” “Apa kau be
Prajurit pribadi Pangeran Hanan hanya bisa tertegun saat memasuki sebuah pondok bambu di perbatasan desa. Bagaimana tidak? Puluhan orang dengan luka yang sama sedang merintih kesakitan. Mereka diikat di tiang dan adapula di dinding. Ada juga yang terbaring di atas lembaran daun pisang dalam keadaan kaki terikat tali yang tertanam ke dalam tanah. Sementara jumlah tabib dan obat yang ada terbatas. Keenam tabib itu adalah tabib yang dibayar Zain dari beberapa desa sekitar. Pangeran Hanan mengenali bungkusan obat itu dari pusat pengobatan kerajaan. Bungkusan yang pernah dibawa salah seorang prajurit pribadi Pangeran Ibram. "Yang Mulia Pangeran, tidak salah lagi. Orang yang mereka maksud adalah Pangeran Ibram. Beberapa di antara mereka mengaku tidak melihat wajahnya. Tapi mereka melihat orang itu memegang pedang dengan kepala harimau di ujung gagang pedangnya. Selain itu, ia juga mengendarai kuda hitam yang cukup besar dari kuda pada umumnya. Hal yang membingungka
Ahana membuka matanya dan melihat matahari yang perlahan terbit. Menghirup udara dalam-dalam dan kembali menghembuskannya perlahan. la menarik rapat selimut yang menutupinya. Tersenyum karena mimpi buruk yang dialaminya kini berakhir dan mandapati pemandangan begitu indah. Setelah beberapa kali menghirup udara, ia merasakan hembusan angin semakin mengusiknya. Ia berbalik dan merasakan pembaringannya keras. Tidak empuk seperti kasurnya. Masih dengan mata terpejam ia meraba mencari bantal gulingnya. Namun telapak tangannya justru menyentuh permukaan yang kasar. Matanya kembali mengerjap dan melihat suaminya bersandar di pohon dengan melipat lengan di dadanya. Mata tajam itu masih terpejam dan tidurnya terlihat begitu pulas. Pandangannya beralih dan mendapati rumput dan batuan. Menyadari mereka tidak berada di kamar ataupun tenda, Ahana bangun dan duduk menyapu pandang sekitarnya. Kini ia sadar jika ini bukan mimpi. Apa yang dialaminya semalam benar-benar terjadi.
"Aku merusak pagimu dengan mengatakan hal ini,” tambah Ibram karena istrinya masih saja diam. “Tapi aku senang kamu bersedia membaginya. Lalu apa yang membuatmu tidak membalas dendam saja padanya? Misalnya saja menurunkannya dari tahta sebagai ibu suri kerajaan atau melakukan pembalasan lainnya?" tanya Ahana yang merasa jika hal itu tidak akan sulit dilakukan oleh Ibram. “Aku melakukannya dengan caraku. Balas dendam pertamaku padanya dengan menyagangi kedua putranya. Sabir dan Samir adalah saudaraku dan mereka tidak terlibat sama sekali,” jawab Ibram lugas. Ibram kembali melanjutkan ceritanya tentang kegigihan Sabir maupun Samir untuk mencaritahu. Sesekali Ahana akan membelalak mendengar dan tanpa ia sadari semakin tertarik dengan empat bersaudara itu. Hari-hari Ibram dan saudara-saudaranya terdengar begitu berbeda dan mengundang rasa penasarannya. “Meski Sabir dan Samir terus bertanya, aku diam. Ibu Suri diam, kakak dan juga kakak ipar diam. Begitu j
Malam sudah menyapa dan Ahana merasa takjub. Ini pertama kali dalam hidupnya mengendarai kapal sebesar ini. Sama sekali tidak terasa guncangan ombak. Belum lagi pergerakan kapal hitam ini tergolong cepat dibanding kapal-kapal pada umumnya. Tadinya ia sempat meremehkan ucapan suaminya. Ibram mengatakan jika tidak ada kendala, mereka akan tiba besok siang di Kerajaan Akhtaran. Namun sepertinya sekarang ia harus percaya mengingat anggukan Zain dan menyadari kecepatan laju kapal dengan ukiran harimau di dindingnya ini. Setahunya, Hanan dan pamannya mengatakan jika butuh dua hari dua malam untuk tiba di dermaga utama Kerajaan Akhtaran dengan menggunakan kapal besar. Bisa dengan sehari semalam jika menunggang kuda dan menyebrang melalui kerajaan lain yang hanya berbatas selat dengan kerajaan mereka. Perjalanan laut hanya akan butuh sekitar tiga hingga empat jam dengan perahu biasa. Teringat kala dirinya pamit, Ahana beranjak membuka bungkusan yang diberikan Paman M
Jika saja tidak menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, maka mereka pasti mengira pangeran yang satu itu tengah berdusta. Seorang Ibram Al-Ikram menggandeng tangan seorang wanita untuk pertama kalinya. Pangeran Mahkota Kerajaan Akhtaran itu baru saja menuntun istrinya turun dari kereta kuda. Bahkan menggunakan sepatunya sendiri sebagai pijakan untuk wanita itu turun. Belum lagi pakaian yang mereka kenakan terlihat senada. Kapten Zain terperangah mendapati jejeran pejabat tinggi kerajaan bersedia menyambut kedatangan Pangeran Ibram dan Putri Ahana siang ini. Mungkin lebih tepatnya, mereka penasaran. Tentu saja karena mereka terkejut mendengar kabar pernikahan Pangeran Ibram yang tiba-tiba. Kembali ke kerajaan ini dengan memboyong istrinya. Ayah Kapten Zain, Panglima Ahlam sudah mengabari jika para pejabat kerajaan gusar. Pemicunya adalah ketika mendengar kapal hitam dengan dinding berukiran harimau milik Pangeran Ibram meninggalkan dermaga khususnya. Awalnya me
“Katakan saja pada mereka kalau Ibram Al-Ikram tidak pernah lupa dengan hukumannya. Aku sudah berjanji dan akan aku tepati. Kami berdua mohon diri,” kata Ibram pamit. “Istirahatlah, kalau bisa buat yang banyak,” kata Ibu Suri Sanjana saat menatap Ahana yang melongo mendengarnya. Wanita paruh baya itu turut serta dengan gurauan anak-anaknya. Sepanjang langkahnya menyusuri koridor istana, Ibram hanya diam saja. Ahana terusik dengan perubahan raut wajah suaminya ketika membalas ucapan Raja Abram. Tadinya Ibram terlihat malas dan tiba-tiba menjadi tegang. Sudah beberapa pintu kamar mereka lalui dan langkah Ibram belum juga berhenti. Istana ini jauh lebih besar dibanding istana Kerajaan Dharmajaya. Dirinya tidak tahu, kamar mana yang mereka tuju. Ahana diam-diam melirik suaminya yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia tersentak kala menabrak punggung suaminya. Ahana meringis karena tanpa sadar dirinya turut melamun. “Kamu penasaran dengan ucapa
Sabir meminta Alina mengajak Ahana ke ruang makan lebih dulu. Sementara mereka bertiga akan menyusul. Ibram mengangguk setuju dan kedua wanita itu patuh dan beranjak. Setelah keduanya cukup jauh, Samir mengguncang lengan kedua kakak laki-lakinya. “Apa yang kamu lihat di gerbang sampai ketakutan seperti ini?” tanya Ibram mengernyit memperhatikan keringat dingin di seluruh wajah adiknya. “Pri-pria yang a-aku temui beberapa ha-hari lalu di gerbang istana, di-dia tewas dengan ba-banyak luka gigitan di tu-tubuhnya,” jawab Samir terbata sembari menutup sebelah matanya dengan telapak tangan. “Maksudmu pria paruh baya yang mengalami kebutaan di mata kirinya?” tanya Sabir dan Samir langsung mengangguk kencang. Kini giliran Sabir yang terhenyak. Saking terkejutnya ia merasa kakinya lemas dan tangan kirinya berpegang di bahu kanan Ibram. “Kau mengenal pria itu?” tanya Ibram dan Sabir mengangguk. “Dia adalah mata-mataku yang selama beberapa waktu ini menghilang. Dia sempat mengirimkan pesan j
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar