Maaf ya baru bisa update lagi....
Ketegangan mendominasi aula istana di mana pertemuan sedang berlangsung. Pangeran Ibram berjalan masuk setelah dipersilahkan dan dengan santai duduk di kursinya. Sementara Sabir dan Samir saling lirik. Ibram bukannya tidak menyadari situasi, namun ia enggan melakukan sesuatu untuk mengawali pembahasan. Laporan mingguan dari pejabat kerajaan sudah selesai dipaparkan. Raja Abram juga sudah memberikan keputusan. Terkait masalah yang terjadi semalam pun sudah disampaikan oleh Pangeran Sabir dan mengungkapkan tindakan yang selanjutkan akan dilakukannya. Saat salah seorang mentri bertanya tentang acara penyambutan calon putri mahkota. Raja Abram langsung mengungkapkan jika Putri Ahana menolak untuk menggelar acara mewah itu. Pernyataan itu diangguki oleh Pangeran Ibram dan mengundang bisik kegaduhan. Wakil Perdana Mentri Irsyam akhitrnya mengajukan pertanyaan. Sejak tadi sudah banyak yang berbisik dan menunggu Pangeran Ibram mengemukakan rencana penyambutan untuk istrinya. Namun ia diam s
“Kita semua tahu jika Pangeran Ibram tidak peduli dengan pernikahan bahkan tidak tertarik pada wanita. Setiap kali membahas pernikahan ia terus saja berusaha berkelit dengan mengatakan akan memilih pasangannya sendiri. Mungkin ia memiliki kelainan tersendiri. Itu berarti Putri Ahana hanya datang sebagai istri pajangan saja,” sambung wakil perdana mentri. "Aku rasa itu tidak benar, Wakil Perdana Mentri,” ucap perdana mentri mengarahkan dagunya ke arah yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya sehingga tidak menanggapi rekan-rekannya. Ratu Meghna dan Ratu Ragina memberi berkat dan berdoa keselamatan Pada Pangeran Ibram dan para prajurit yang akan pergi ke wilayah perbatasan. Perdana mentri sempat melihat kedua ratu itu memanggilnya karena fokus menoleh ke sisi lain di mana istrinya berdiri. Saat itu Pangeran Ibram hanya tertegun menatap Ahana yang belum juga beranjak dan hanya diam menatapnya. Pangeran Ibram mencuci tangannya dengan air kendi yang disiramkan Ibu Suri Sanjana dan berg
Beberapa mentri yang menjadi anggota partai langit hanya bisa terdiam melihat Tuan Irsyam melampiaskan amarahnya. Barang-barang di ruangan tempat mereka berkumpul sudah hancur di sana-sini. Meja dan kursi sudah terbalik dan tidak berada di posisinya. Makanan dan minuman yang dihidangnkan sudah tumpah dan berserakan. Tubuh mereka sudah gemetaran dan keringat dingin mulai memenuhi tubuh mereka. bahkan di antara yang hadir itu bisa merasakan jika bulir keringatnya sudah sebesar biji jagung. Kabar terakhir yang mereka ketahui Pangeran Ibram menikahi putri buruk rupa dalam keadaan terpaksa. Tadinya mereka berpikir akan mudah mendapat celah untuk menyingkirkan Putri Ahana. Tapi dugaan mereka justru dibalas sebuah penegasan dari sang putra makhota kerajaan. “Dia… berani-beraninya pangeran yang satu itu! Dia sengaja melakukannya!!!” teriaknya diikuti kepalan kedua tangannya yang memukul permukaan meja. “Ibram Al-Ikram, dia sengaja melakukannya di depan semua orang untuk menegaskan hal itu se
Pangeran Sabir mendengar kabar kepulangan Pangeran lbram dari perbatasan. Diserahkannya laporan kasus kepada asistennya, Kapten Bagir. Tentunya dengan tatapan sedikit memaksa karena ingin segera berlari ke kediaman saudaranya itu. Namun ketika melintasi alun-alun istana, ia melihat Kapten Zain yang justru menunjuk ke arah kediamannya. Pertanda Pangeran lbram ada di sana dan hal itu semakin menguatkan dugaannya jika ada hal yang penting dan mendesak. Ketika berhasil mendorong pintu gerbang kediamannya, Sabir meringis memperhatikan penampilan Ibram yang sedang mencuci tangannya. Pakaiannya kotor penuh lumpur. Ibram melirik sakunya sebagai isyarat jika yang sedang dicari Sabir ada di dalam sana. "Kau merindukanku?" tanya Ibram berhenti melangkah memindai gerak bahu Sabir. Ia tahu jika saudaranya itu pasti berlari untuk segera menemuinya. "Tidak, tidak akan!” jawab Sabir sambil geleng kepala melihat penampilan Ibram. "Kau berkelahi di kubangan lumpur?" “Tidak. Pelakunya mencoba melempa
"Sebenarnya aku yang memintanya menolak melakukannya,” ucap Ahana mengejutkan semua orang. Ternyata penuturan Ibram beberapa hari lalu bukan rencana pria itu. Abram terkesiap dan mengernyit menatap adik ipar barunya itu. “Kamu yang meminta? Tapi mengapa Adik Ipar? Apa yang akan dikatakan semua orang jika kami tidak menyambutmu?” tanya Abram sedikit kesal. “Apa kalian semua menerimaku di keluarga ini dan di kerajaan ini?” tanya Ahana. Mereka semua mengangguk. “Apakah menyambut seseorang dalam keluarga hanya ditandai dengan upacara yang mewah? Mengundang dan memperlihatkannya pada banyak orang bak perhiasan mahal? Membuat semua orang sibuk mempersiapkan ini dan itu? Lalu mengeluarkan banyak anggaran kas?" tanya Ahana murung tanpa berniat menatap mereka. Semua orang dalam ruangan itu menoleh termasuk Ibram. Paman Anirudh tersenyum melirik istrinya, Bibi Sahna. Sedangkan Paman Amir memperbaiki posisi duduknya menatap Ahana yang terdiam. "Lalu seperti apa yang kau inginkan?" tanya Abram
“Tetaplah di sini sebentar bersama Alina, aku dan Sabir akan berkeling istana sebentar lalu kembali ke sini,” bisiknya pada Ahana yang akhirnya sadar dan beranjak turun dari pangkuannya. Ibram memberi isyarat agar Sabir ikut dengannya. "Kami akan kembali,” ucap Sabir beranjak mengikuti Ibram lalu berbalik menatap Alina dengan berkata, “Ingatkan aku memberitahu Kapten Bagir kalau pertemuan besok sore dibatalkan.” "Lihat Kak Sabir, dia menoleh tanpa dipanggil. Sementara Kak Ibram pergi begitu saja. Kak Ahana bersabarlah, dia mungkin tidak akan menoleh meski kami memanggilnya. Selalu saja seperti itu. Ibram Al-Ikram kakakku yang suka seenaknya,” gerutu Samir yang masih kesal diingatkan tentang ujiannya. “Dia tidak pernah melakukannya. Seperti biasa, alasannya pembicaraan sudah selesai. Benarkan Samir?” tanya Abram. Samir mengangguk sambil menikmati salak yang dikunyahnya. "Benarkah?” tanya Ahana dan ketiga saudari iparnya mengangguk. Paman Amir turut mengangguk, jarinya bergerak memb
Seorang pelayan datang membawa semangkuk air panas di hadapan Ahana. Dari tadi ia sudah menunggu Ibram. Setelah lelah memanggilnya turun dan selalu dibalas dengan jawaban ‘iya’ saja dari ruang bacanya di lantai yang tidak bersekat sama sekali. Lebih mirip lantai melayang yang menempel di salah satu dinding kamar yang luas ini. Merasa suaminya tidak juga beranjak, Ahana pun tersenyum licik dengan menjalankan rencananya. Pelan-pelan ia berjalan menaiki anak tangga ke ruang kerja suaminya itu. Tapi saat masih berada di anak tangga keempat, ia pura terjatuh. "Auuwwhhh!!!” teriaknya mengaduh kesakitan setelah menginjak papan anak tangga dengan keras lalu duduk bersimpuh. Ahana mulai memainkan sandiwaranya sambil memegangi pergelangan kakinya. Langkah kaki Ibram yang berlari menuruni anak tangga mulai terdengar dan hal itu membuatnya tersenyum. Sambil terus menunduk memegangi kakinya dan bersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai. Ahana mulai menghitung di dalam hatinya, “Satu,
"Bisakah kamu menungguku di sana?" tanya Ibram menunjuk ke arah kedai yang semula mereka datangi. Terlihat di sana Hiswad sedang memakan rumput dalam keranjang. Ahana mengangguk. “Baiklah, boleh aku memesan sesuatu di sana? Tidak akan ada yang mengenaliku dengan pakaian pelayan seperti ini. Justru akan terlihat mencurigakan jika aku hanya duduk tanpa memesan sesuatu bukan?” tanya Ahana menunggu keputusan suaminya. Wilayah ini asing baginya dan ia tidak ingin membuat masalah. Kini gantian Ibram yang mengangguk. "Tentu. Bila pesanan itu ada serbuknya, jangan dimakan. Bila ada yang bicara padamu, abaikan dan tolak saja dengan halus." "Aku tahu. Harus berapa kali lagi kamu akan mengatakannya. Tenanglah, aku ingat dengan jelas hal yang kamu katakan sebelum kita berangkat. Lagipula, siapa yang akan menggangguku?" ujar Ahana tenang. “Di sini tempat umum, ada banyak orang di sini dan jika ada yang berani macam-macam padaku, Hiswad akan menendang mereka seperti perintahku. Jika tetap di sini