Kira-kira cara apa yang akan dilakukan Pangeran Ibram? Nantikan part berikutnya!
Pangeran Sabir mendengar kabar kepulangan Pangeran lbram dari perbatasan. Diserahkannya laporan kasus kepada asistennya, Kapten Bagir. Tentunya dengan tatapan sedikit memaksa karena ingin segera berlari ke kediaman saudaranya itu. Namun ketika melintasi alun-alun istana, ia melihat Kapten Zain yang justru menunjuk ke arah kediamannya. Pertanda Pangeran lbram ada di sana dan hal itu semakin menguatkan dugaannya jika ada hal yang penting dan mendesak. Ketika berhasil mendorong pintu gerbang kediamannya, Sabir meringis memperhatikan penampilan Ibram yang sedang mencuci tangannya. Pakaiannya kotor penuh lumpur. Ibram melirik sakunya sebagai isyarat jika yang sedang dicari Sabir ada di dalam sana. "Kau merindukanku?" tanya Ibram berhenti melangkah memindai gerak bahu Sabir. Ia tahu jika saudaranya itu pasti berlari untuk segera menemuinya. "Tidak, tidak akan!” jawab Sabir sambil geleng kepala melihat penampilan Ibram. "Kau berkelahi di kubangan lumpur?" “Tidak. Pelakunya mencoba melempa
"Sebenarnya aku yang memintanya menolak melakukannya,” ucap Ahana mengejutkan semua orang. Ternyata penuturan Ibram beberapa hari lalu bukan rencana pria itu. Abram terkesiap dan mengernyit menatap adik ipar barunya itu. “Kamu yang meminta? Tapi mengapa Adik Ipar? Apa yang akan dikatakan semua orang jika kami tidak menyambutmu?” tanya Abram sedikit kesal. “Apa kalian semua menerimaku di keluarga ini dan di kerajaan ini?” tanya Ahana. Mereka semua mengangguk. “Apakah menyambut seseorang dalam keluarga hanya ditandai dengan upacara yang mewah? Mengundang dan memperlihatkannya pada banyak orang bak perhiasan mahal? Membuat semua orang sibuk mempersiapkan ini dan itu? Lalu mengeluarkan banyak anggaran kas?" tanya Ahana murung tanpa berniat menatap mereka. Semua orang dalam ruangan itu menoleh termasuk Ibram. Paman Anirudh tersenyum melirik istrinya, Bibi Sahna. Sedangkan Paman Amir memperbaiki posisi duduknya menatap Ahana yang terdiam. "Lalu seperti apa yang kau inginkan?" tanya Abram
“Tetaplah di sini sebentar bersama Alina, aku dan Sabir akan berkeling istana sebentar lalu kembali ke sini,” bisiknya pada Ahana yang akhirnya sadar dan beranjak turun dari pangkuannya. Ibram memberi isyarat agar Sabir ikut dengannya. "Kami akan kembali,” ucap Sabir beranjak mengikuti Ibram lalu berbalik menatap Alina dengan berkata, “Ingatkan aku memberitahu Kapten Bagir kalau pertemuan besok sore dibatalkan.” "Lihat Kak Sabir, dia menoleh tanpa dipanggil. Sementara Kak Ibram pergi begitu saja. Kak Ahana bersabarlah, dia mungkin tidak akan menoleh meski kami memanggilnya. Selalu saja seperti itu. Ibram Al-Ikram kakakku yang suka seenaknya,” gerutu Samir yang masih kesal diingatkan tentang ujiannya. “Dia tidak pernah melakukannya. Seperti biasa, alasannya pembicaraan sudah selesai. Benarkan Samir?” tanya Abram. Samir mengangguk sambil menikmati salak yang dikunyahnya. "Benarkah?” tanya Ahana dan ketiga saudari iparnya mengangguk. Paman Amir turut mengangguk, jarinya bergerak memb
Seorang pelayan datang membawa semangkuk air panas di hadapan Ahana. Dari tadi ia sudah menunggu Ibram. Setelah lelah memanggilnya turun dan selalu dibalas dengan jawaban ‘iya’ saja dari ruang bacanya di lantai yang tidak bersekat sama sekali. Lebih mirip lantai melayang yang menempel di salah satu dinding kamar yang luas ini. Merasa suaminya tidak juga beranjak, Ahana pun tersenyum licik dengan menjalankan rencananya. Pelan-pelan ia berjalan menaiki anak tangga ke ruang kerja suaminya itu. Tapi saat masih berada di anak tangga keempat, ia pura terjatuh. "Auuwwhhh!!!” teriaknya mengaduh kesakitan setelah menginjak papan anak tangga dengan keras lalu duduk bersimpuh. Ahana mulai memainkan sandiwaranya sambil memegangi pergelangan kakinya. Langkah kaki Ibram yang berlari menuruni anak tangga mulai terdengar dan hal itu membuatnya tersenyum. Sambil terus menunduk memegangi kakinya dan bersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai. Ahana mulai menghitung di dalam hatinya, “Satu,
"Bisakah kamu menungguku di sana?" tanya Ibram menunjuk ke arah kedai yang semula mereka datangi. Terlihat di sana Hiswad sedang memakan rumput dalam keranjang. Ahana mengangguk. “Baiklah, boleh aku memesan sesuatu di sana? Tidak akan ada yang mengenaliku dengan pakaian pelayan seperti ini. Justru akan terlihat mencurigakan jika aku hanya duduk tanpa memesan sesuatu bukan?” tanya Ahana menunggu keputusan suaminya. Wilayah ini asing baginya dan ia tidak ingin membuat masalah. Kini gantian Ibram yang mengangguk. "Tentu. Bila pesanan itu ada serbuknya, jangan dimakan. Bila ada yang bicara padamu, abaikan dan tolak saja dengan halus." "Aku tahu. Harus berapa kali lagi kamu akan mengatakannya. Tenanglah, aku ingat dengan jelas hal yang kamu katakan sebelum kita berangkat. Lagipula, siapa yang akan menggangguku?" ujar Ahana tenang. “Di sini tempat umum, ada banyak orang di sini dan jika ada yang berani macam-macam padaku, Hiswad akan menendang mereka seperti perintahku. Jika tetap di sini
Dapur kediaman Pangeran Ibram dan Putri Ahana tampak sibuk. Beberapa pelayan baru saja selesai memotong daging teripang yang dibelinya tadi di pasar dermaga. Ahana sudah meminta para pelayan mengeringkan semuanya dan harus segera menumbuknya setelah benar-benar kering. Sedangkan teripang berukuran paling besar sengaja dipisahkan untuk menjadi lauk santap siang kali ini.Berbagai rempah pun diolah dan ditambahkan ke dalam masakan teripang emas itu. Melihat masakannya hampir matang, Ahana meminta mereka semua mulai membersihkan dapur dan bersiap menyajikan makan siang. la sendiri kembali ke kamarnya karena ingin kembali mandi. Seperti biasa, putri dari Ratu Maura itu akan bernyanyi seakan berada di dunianya sendiri.Suaranya yang bersenandung menarik langkah kaki seseorang yang baru saja memasuki ruang tamu kediamannya. Rumah yang dulunya selalu sepi dan tenang itu kini terlihat lebih berisik dari biasanya. Beberapa pelayan mondar-mandir di halaman belakang menjemur potongan daging teri
Ahana dan seluruh anggota kerajaan yang berada di istana turut hadir. Begitu mendengar dirinya menyetujui untuk hadir dalam pertemuan ini, para pelayan dan pengawal di istana mulai merumpi. Termasuk membicarakan para mentri yang katanya terlihat bahagia berjalan ke aula pertemuan. Tapi yang dilihat Ahana saat ini, justru sebaliknya. Mereka tampak tidak senang dengan kehadirannya. Semua orang sedang menunggu kehadiran Pangeran lbram dan Pangeran Sabir. Kedua pangeran itu memang meninggalkan istana subuh tadi. Pangeran Ibram mengunjungi pusat pelatihan prajurit pribadinya. Lain halnya Pangeran Sabir yang mengunjungi seorang tahanan di penjara lembah. "Yang Mulia Raja," ucap sekertaris kerajaan menghampiri. "Aku yakin dia akan segera datang," ujar Raja Abram yang kembali diingatkan. Ia sangat yakin jika adiknya akan segera meninggalkan apapun yang dikerjakannya saat ini setelah menerima pesan darinya. Pun demikian halnya dengan Sabir yang mungkin harus menunda tugasnya dan kembali ke i
“Cium saja Kakak Ipar, tidak akan ada yang marah,” bisik Pangeran Samir. Pangeran Sabir berdeham lalu berkata, “Cari tempat lain sana!” “Kamu keren sekali Ahana. Aku salut padamu,” bisik Putri Alina berlalu menyusul langkah suaminya. Ahana tertunduk malu. Niatnya ternyata salah sasaran berbalik padanya bagai bumerang. Harusnya ia tidak percaya diri begitu saja. Bukankah tadi dirinya sendiri yang mengatakan jika suaminya sulit ditebak? “Ayo!” ajak Ibram menarik tangan Ahana untuk ikut bersamanya. “Ke mana?!” Ahana tersentak kaget. Ibram tersenyum tipis dan berbisik, “Sabir bilang cari tempat lain.” Ahana membelalak dan menggeleng kencang. Ia benar-benar ingin kabur sekarang. Suara pekikannya membuat beberapa pengawal dan pelayan istana menoleh saat suaminya tiba-tiba menggendongnya. Ahana benar-benar merasa malu saat ini dan pasrah menyembunyikan wajahnya. Langkah Ibram terhenti dan Ahana melirik siapa gerangan yang menghampiri mereka. “Hiswad?” Ahana mengernyit dan Ibram menuru
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar