“Katakan saja pada mereka kalau Ibram Al-Ikram tidak pernah lupa dengan hukumannya. Aku sudah berjanji dan akan aku tepati. Kami berdua mohon diri,” kata Ibram pamit.
“Istirahatlah, kalau bisa buat yang banyak,” kata Ibu Suri Sanjana saat menatap Ahana yang melongo mendengarnya. Wanita paruh baya itu turut serta dengan gurauan anak-anaknya.
Sepanjang langkahnya menyusuri koridor istana, Ibram hanya diam saja. Ahana terusik dengan perubahan raut wajah suaminya ketika membalas ucapan Raja Abram. Tadinya Ibram terlihat malas dan tiba-tiba menjadi tegang.
Sudah beberapa pintu kamar mereka lalui dan langkah Ibram belum juga berhenti. Istana ini jauh lebih besar dibanding istana Kerajaan Dharmajaya. Dirinya tidak tahu, kamar mana yang mereka tuju. Ahana diam-diam melirik suaminya yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia tersentak kala menabrak punggung suaminya.
Ahana meringis karena tanpa sadar dirinya turut melamun. “Kamu penasaran dengan ucapa
Yang tanya kisahnya Pangeran Sabir sama Putri Alina seperti apa, sabar ya. Lagi cari rumah yang tepat.
Sabir meminta Alina mengajak Ahana ke ruang makan lebih dulu. Sementara mereka bertiga akan menyusul. Ibram mengangguk setuju dan kedua wanita itu patuh dan beranjak. Setelah keduanya cukup jauh, Samir mengguncang lengan kedua kakak laki-lakinya. “Apa yang kamu lihat di gerbang sampai ketakutan seperti ini?” tanya Ibram mengernyit memperhatikan keringat dingin di seluruh wajah adiknya. “Pri-pria yang a-aku temui beberapa ha-hari lalu di gerbang istana, di-dia tewas dengan ba-banyak luka gigitan di tu-tubuhnya,” jawab Samir terbata sembari menutup sebelah matanya dengan telapak tangan. “Maksudmu pria paruh baya yang mengalami kebutaan di mata kirinya?” tanya Sabir dan Samir langsung mengangguk kencang. Kini giliran Sabir yang terhenyak. Saking terkejutnya ia merasa kakinya lemas dan tangan kirinya berpegang di bahu kanan Ibram. “Kau mengenal pria itu?” tanya Ibram dan Sabir mengangguk. “Dia adalah mata-mataku yang selama beberapa waktu ini menghilang. Dia sempat mengirimkan pesan j
Ketegangan mendominasi aula istana di mana pertemuan sedang berlangsung. Pangeran Ibram berjalan masuk setelah dipersilahkan dan dengan santai duduk di kursinya. Sementara Sabir dan Samir saling lirik. Ibram bukannya tidak menyadari situasi, namun ia enggan melakukan sesuatu untuk mengawali pembahasan. Laporan mingguan dari pejabat kerajaan sudah selesai dipaparkan. Raja Abram juga sudah memberikan keputusan. Terkait masalah yang terjadi semalam pun sudah disampaikan oleh Pangeran Sabir dan mengungkapkan tindakan yang selanjutkan akan dilakukannya. Saat salah seorang mentri bertanya tentang acara penyambutan calon putri mahkota. Raja Abram langsung mengungkapkan jika Putri Ahana menolak untuk menggelar acara mewah itu. Pernyataan itu diangguki oleh Pangeran Ibram dan mengundang bisik kegaduhan. Wakil Perdana Mentri Irsyam akhitrnya mengajukan pertanyaan. Sejak tadi sudah banyak yang berbisik dan menunggu Pangeran Ibram mengemukakan rencana penyambutan untuk istrinya. Namun ia diam s
“Kita semua tahu jika Pangeran Ibram tidak peduli dengan pernikahan bahkan tidak tertarik pada wanita. Setiap kali membahas pernikahan ia terus saja berusaha berkelit dengan mengatakan akan memilih pasangannya sendiri. Mungkin ia memiliki kelainan tersendiri. Itu berarti Putri Ahana hanya datang sebagai istri pajangan saja,” sambung wakil perdana mentri. "Aku rasa itu tidak benar, Wakil Perdana Mentri,” ucap perdana mentri mengarahkan dagunya ke arah yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya sehingga tidak menanggapi rekan-rekannya. Ratu Meghna dan Ratu Ragina memberi berkat dan berdoa keselamatan Pada Pangeran Ibram dan para prajurit yang akan pergi ke wilayah perbatasan. Perdana mentri sempat melihat kedua ratu itu memanggilnya karena fokus menoleh ke sisi lain di mana istrinya berdiri. Saat itu Pangeran Ibram hanya tertegun menatap Ahana yang belum juga beranjak dan hanya diam menatapnya. Pangeran Ibram mencuci tangannya dengan air kendi yang disiramkan Ibu Suri Sanjana dan berg
Beberapa mentri yang menjadi anggota partai langit hanya bisa terdiam melihat Tuan Irsyam melampiaskan amarahnya. Barang-barang di ruangan tempat mereka berkumpul sudah hancur di sana-sini. Meja dan kursi sudah terbalik dan tidak berada di posisinya. Makanan dan minuman yang dihidangnkan sudah tumpah dan berserakan. Tubuh mereka sudah gemetaran dan keringat dingin mulai memenuhi tubuh mereka. bahkan di antara yang hadir itu bisa merasakan jika bulir keringatnya sudah sebesar biji jagung. Kabar terakhir yang mereka ketahui Pangeran Ibram menikahi putri buruk rupa dalam keadaan terpaksa. Tadinya mereka berpikir akan mudah mendapat celah untuk menyingkirkan Putri Ahana. Tapi dugaan mereka justru dibalas sebuah penegasan dari sang putra makhota kerajaan. “Dia… berani-beraninya pangeran yang satu itu! Dia sengaja melakukannya!!!” teriaknya diikuti kepalan kedua tangannya yang memukul permukaan meja. “Ibram Al-Ikram, dia sengaja melakukannya di depan semua orang untuk menegaskan hal itu se
Pangeran Sabir mendengar kabar kepulangan Pangeran lbram dari perbatasan. Diserahkannya laporan kasus kepada asistennya, Kapten Bagir. Tentunya dengan tatapan sedikit memaksa karena ingin segera berlari ke kediaman saudaranya itu. Namun ketika melintasi alun-alun istana, ia melihat Kapten Zain yang justru menunjuk ke arah kediamannya. Pertanda Pangeran lbram ada di sana dan hal itu semakin menguatkan dugaannya jika ada hal yang penting dan mendesak. Ketika berhasil mendorong pintu gerbang kediamannya, Sabir meringis memperhatikan penampilan Ibram yang sedang mencuci tangannya. Pakaiannya kotor penuh lumpur. Ibram melirik sakunya sebagai isyarat jika yang sedang dicari Sabir ada di dalam sana. "Kau merindukanku?" tanya Ibram berhenti melangkah memindai gerak bahu Sabir. Ia tahu jika saudaranya itu pasti berlari untuk segera menemuinya. "Tidak, tidak akan!” jawab Sabir sambil geleng kepala melihat penampilan Ibram. "Kau berkelahi di kubangan lumpur?" “Tidak. Pelakunya mencoba melempa
"Sebenarnya aku yang memintanya menolak melakukannya,” ucap Ahana mengejutkan semua orang. Ternyata penuturan Ibram beberapa hari lalu bukan rencana pria itu. Abram terkesiap dan mengernyit menatap adik ipar barunya itu. “Kamu yang meminta? Tapi mengapa Adik Ipar? Apa yang akan dikatakan semua orang jika kami tidak menyambutmu?” tanya Abram sedikit kesal. “Apa kalian semua menerimaku di keluarga ini dan di kerajaan ini?” tanya Ahana. Mereka semua mengangguk. “Apakah menyambut seseorang dalam keluarga hanya ditandai dengan upacara yang mewah? Mengundang dan memperlihatkannya pada banyak orang bak perhiasan mahal? Membuat semua orang sibuk mempersiapkan ini dan itu? Lalu mengeluarkan banyak anggaran kas?" tanya Ahana murung tanpa berniat menatap mereka. Semua orang dalam ruangan itu menoleh termasuk Ibram. Paman Anirudh tersenyum melirik istrinya, Bibi Sahna. Sedangkan Paman Amir memperbaiki posisi duduknya menatap Ahana yang terdiam. "Lalu seperti apa yang kau inginkan?" tanya Abram
“Tetaplah di sini sebentar bersama Alina, aku dan Sabir akan berkeling istana sebentar lalu kembali ke sini,” bisiknya pada Ahana yang akhirnya sadar dan beranjak turun dari pangkuannya. Ibram memberi isyarat agar Sabir ikut dengannya. "Kami akan kembali,” ucap Sabir beranjak mengikuti Ibram lalu berbalik menatap Alina dengan berkata, “Ingatkan aku memberitahu Kapten Bagir kalau pertemuan besok sore dibatalkan.” "Lihat Kak Sabir, dia menoleh tanpa dipanggil. Sementara Kak Ibram pergi begitu saja. Kak Ahana bersabarlah, dia mungkin tidak akan menoleh meski kami memanggilnya. Selalu saja seperti itu. Ibram Al-Ikram kakakku yang suka seenaknya,” gerutu Samir yang masih kesal diingatkan tentang ujiannya. “Dia tidak pernah melakukannya. Seperti biasa, alasannya pembicaraan sudah selesai. Benarkan Samir?” tanya Abram. Samir mengangguk sambil menikmati salak yang dikunyahnya. "Benarkah?” tanya Ahana dan ketiga saudari iparnya mengangguk. Paman Amir turut mengangguk, jarinya bergerak memb
Seorang pelayan datang membawa semangkuk air panas di hadapan Ahana. Dari tadi ia sudah menunggu Ibram. Setelah lelah memanggilnya turun dan selalu dibalas dengan jawaban ‘iya’ saja dari ruang bacanya di lantai yang tidak bersekat sama sekali. Lebih mirip lantai melayang yang menempel di salah satu dinding kamar yang luas ini. Merasa suaminya tidak juga beranjak, Ahana pun tersenyum licik dengan menjalankan rencananya. Pelan-pelan ia berjalan menaiki anak tangga ke ruang kerja suaminya itu. Tapi saat masih berada di anak tangga keempat, ia pura terjatuh. "Auuwwhhh!!!” teriaknya mengaduh kesakitan setelah menginjak papan anak tangga dengan keras lalu duduk bersimpuh. Ahana mulai memainkan sandiwaranya sambil memegangi pergelangan kakinya. Langkah kaki Ibram yang berlari menuruni anak tangga mulai terdengar dan hal itu membuatnya tersenyum. Sambil terus menunduk memegangi kakinya dan bersembunyi di balik rambut panjangnya yang tergerai. Ahana mulai menghitung di dalam hatinya, “Satu,
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar