Pangeran Sabir menghela napas panjang melihat kakaknya yang diam saja. Tidak sedikitpun menanggapi ucapannya sejak tadi. Beberapa laporan ia sampaikan termasuk tentang pelaku yang mencelakai ratunya tampak tidak menarik baginya. Bahkan ketika sekertaris kerajaan melaporkan hasil perkembangan dari pusat pengobatan, Raja Abram masih saja bergeming. Tatapannya kosong dan menurut Sabir, mungkin saja sudah menembus tembok hingga ke gerbang istana. Mendengar suara pintu kamar yang diketuk tiga kali diikuti suara derit pintu besar itu, sekertaris kerajaan pamit.
“Aku sudah dapat petunjuk untuk penawarnya,” ujar Ibram santai dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan kedua kakinya masih menyentuh lantai. Raja Abram langsung menoleh dan menyingkap selimutnya dan beringsut mendekati adiknya, “Aku tidak ingin mengatakannya padamu. Aku ke sini karena ingin mengatakannya pada Sabir.”
“Jangan bercanda Ibram! Katakan petunjuk apa yang kau punya?!” tegas Abram menahan bahu adiknya yang sama sekali tidak menatapnya, malah fokus pada Sabir.
“Sabir, apa raja membuatmu kesal? Sudah berapa banyak yang kau sampaikan tapi ia sama sekali tidak mengindahkanmu dan sekertaris kerajaan?” Sindiran Ibram membuat Abram mendengus kesal dan menatap Sabir penuh permohonan seraya menggedikkan dagunya ke arah Ibram. Berharap adiknya itupun mau berkompromi dan memaafkannya.
“Kau benar sekali Ibram, rasanya kesal sekali melihatnya seenaknya saja. Memang dia saja yang sakit melihat kakak ipar seperti itu?” ujar Sabir yang ikut rebahan di atas tempat tidur dengan sisi berlawanan dengan Ibram, namun kepala keduanya saling berdekatan. “Aku dengar kau baru kembali subuh tadi. Kau dari mana? Samir mengira kau ke tempat pusat pelatihan pasukanmu, tapi Zain bilang kau tidak ada di sana. Hamdan bilang kau juga tidak berada di pusat niaga milikmu.”
“Kalian berniat mengabaikanku?” Raja Abram memukul keduanya dengan bantal.
“Ke penjara lembah, menemui tabib yang sudah meracuniku.” Jawaban Ibram membuat wajah keduanya pias. Untuk pertama kalinya sejak dua puluh tahun kejadian itu Ibram mau menemui tabib itu.
“Kau sudah gila?!” Abram menarik tangan adiknya yang bertumpu di dahi menutupi wajahnya.
“Bukannya dari dulu kau selalu menganggap aku gila? Aku tidak suka menunggu. Aku menganggapnya sebagai petunjuk karena bagaimana pun dulu dia seorang tabib. Darinya aku mendapatkan jurnal racun Ibu Aruna dan sebagai gantinya aku menyiapkan lahan makam untuknya.”
“Kau berniat membunuhnya?! Tidak, tidak mungkin…. Kau bahkan tidak membunuh seekor hewan pun kecuali hewan kurban dan ular. Semut dan nyamuk saja tidak kau bunuh. Lalu untuk apa lahan makam itu?” Raja Abram mengguncang tubuh adiknya untuk segera membuka mata dan memjawab pertanyaannya.
“Sabir, jangan berisik!”
“Bukan aku yang berisik, tapi Yang Mulia Raja yang mengganggumu.” Sabir kembali memejamkan mata setelah mendengar ucapan Ibram tadi. Ia tahu saudara sepupunya itu tidak akan bertindak gegabah. Sekalipun nekat, Ibram punya perhitungannya sendiri.
“Aku akan menempatkan pasukan bayangan Sabir. Tidak boleh ada yang tahu jika kondisinya seperti sekarang. Jika akal sehatnya belum juga kembali, pukul saja kepalanya seperti yang biasa ia lakukan pada kita bertiga.”
“Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa aku memukul kepala seorang raja? Aku bisa dihukum jika ada yang tahu,” bisik Sabir yang masih bisa didengar Abram.
“Kau itu bukan orang awam tentang tindak kekerasan. Buat saja seolah-olah dia yang tidak sadar tiba-tiba tersandung dan kau pun tidak sengaja mengenai kepalanya. Jangan lupa lakukan dengan menyakitkan. Kalau dia memarahimu, katakan padaku nanti biar aku yang memarahinya. Aku tahu banyak rahasianya. Termasuk dia yang diam-diam menghabiskan kue kesukaan Samir dan mengkambinghitamkan orang lain,” ujar Ibram juga berbisik dan membuat Abram semakin kesal.
“Kau mau ke mana?” tanya Abram saat melihat Ibram tiba-tiba bangkit disusul Sabir. Dirinya benar-benar diabaikan.
“Sabir, aku akan keluar istana. Lebih tepatnya pergi meninggalkan kerajaan ini.” Ibram membuat keduanya terkesiap. Hasil penyelidikan bahkan belum keluar dan Ibram berniat pergi. Dulu saat Ratu Meghna keguguran, Ibram yang salahkan dan terpaksa diasingkan selama setahun. Setelahnya Ibram memutuskan berkeliling dunia. Terlalu muak dengan kehidupan di istana. Ia pun kembali setelah dipaksa kembali saat mendiang ayahnya Rara Arsyad sakit keras dan berharap bertemu dengannya disaat-saat terakhir hidupnya.
“Kau akan pergi seperti dulu lagi meninggalkan kami?” tanya Sabir menghampiri Ibram yang sibuk memeriksa hidangan di atas meja. Melihat ada beberapa ekor semut yang menghampiri piring keramik, ia pun duduk menikmati sarapan untuk raja yang belum tersentuh sama sekali.
“Ibram!” panggil Sabir yang ikut duduk di hadapannya.
“Aku tidak sebodoh dan selugu dulu. Aku kembali jelas untuk membuat mereka membayar apa yang mereka lakukan padaku. Aku belum tahu siapa yang kali ini menjadi dalang kejadian ini? Dulu aku mengalah dan meninggalkan istana seperti yang dilakukan Ibu Aruna. Hari dimana aku melangkahkan kaki melewati gerbang perbatasan, aku berjanji akan menjahit mulut mereka sekalipun sudah menjadi mayat. Rencana pembunuhan ratu tidak akan bertenti di sini sampai Yang Mulia Raja Abram menyerah.” Sabir mengangguk setuju.
“Pilihannya setelah itu hanya membuatku sukarela melepas tahtanya. Para mentri kemudian menjadikanku raja disaat aku sendiri menolak dan… pilihan itu akan beralih padamu. Kau pun jelas-jelas menolak dan pilihan terakhir adalah Samir,” Ibram kembali mengunyah dan menelan makanannya lalu menunjuk kakaknya yang terdiam di atas tempat tidur, “Dia tidak hanya akan kehilangan kedua ratu dan calon anaknya saja. Tapi seluruh keluarganya.”
“Ibram,” cicit Sabir karena tidak ingin kakaknya itu tersinggung. Ibram suka sekali menyindir tidak pandang jika orang itu seorang raja sekalipun. Ibram hanya terkekeh dan menikmati makannya. Perutnya lapar dan ia harus segera bersiap.
“Kenapa? Aku benar kan? Dimulai dari kita berdua yang pembangkang. Paman dan bibi juga akan kecewa. Samir yang polos dan terlalu lugu hanya akan jadi budak para serigala berbulu domba. Satu-satunya yang akan berdiri di sisinya hanya Ibu Suri Kerajaan. Itu pun jika beliau tidak goyah dan meninggalkan pengecut itu,” ujarnya enteng dengan sudut matanya mengawasi jendela kamar. Jangan sampai ada yang menguping mereka.
“Jaga ucapanmu yang berlebihan itu,” bisik Sabir sambil melirik kakaknya yang masih terdiam.
“Aku akan berangkat ke selatan, tapi buat kamuflase seolah aku ke pulau utara. Katakan saja aku ke kerajaan sahabat mencari obat penawar,” Ibram menatap Abram yang menghentikan langkahnya dengan tatapan penuh tanya.
“Untuk?” Sabir memutuskan tatapan kakak beradik itu.
“Menemukan penawarnya yang menurut seseorang mungkin ada di sana. Aku tidak bisa diam menunggu. Ada tiga tempat yang memiliki peluang mengenai penawarnya. Tapi aku beIum mengambil keputusan. Tadinya aku ingin membicarakannya, itupun jika...”
Ibram menggantung ucapannya dan kaki kirinya mengetuk lantai di bawah meja. Menghitung didetik keberapakah kakaknya akan bereaksi. Namun di luar dugaan, baru diketukan kedua Abram sudah bersuara. Jawabannya pun sangat mengejutkan.
“Katakan, kali ini aku yang akan mengikuti rencanamu tanpa berkomentar. Aku tahu kau punya pertimbangan dan rencana matang ketika datang padaku tanpa sempat mengganti pakaianmu,” ujar Abram yakin dan membuat senyum di wajah Ibram terbit. Senyum menyebalkan di mata Abram namun ia tidak memiliki pilihan lain. Adiknya yang menyebalkan itu memang orang yang paling bisa diandalkan disaat genting sekalipun.
Abram dan Sabir mendengarkan dengan seksama rencana yang dijelaskan Ibram. Keduanya berkali-kali menunjukkan reaksi berbeda. Saat Sabir setuju, Abram malah merasa keberatan. Tapi kembali lagi pada ucapannya tadi jika ia akan mengikuti rencana Ibram tanpa berkomentar. Resiko dari keputusan Ibram cukup besar. Di sisi lain Abram juga berharap jika rencana Ibram membuahkan hasil seperti harapan mereka.
Meski yang disebut Ibram sebagai harapan itu adalah sebuah rumor. Namun mendengar nama ibu suri dari salah satu kerajaan di selatan memahami tentang penggunaan racun. Rasanya itu secercah harapan ditengah gelapnya putus asa.
Abram sendiri pernah mendengar nama Ibu Suri Visya yang suka bepergian ke beberapa daerah bahkan ke beberapa kerajaan. Wanita tua yang terkenal tegas itu berkeliling untuk mendalami ilmu pengobatan, termasuk memanfaatkan racikan racun untuk melawan racun lain. Setidaknya mereka tidak tinggal diam saja di saat Meghna sedang sekarat dan kondisi Gina yang menurun karena dirundung rasa bersalah.
“Sebelum kau pergi, bisa kau temui Samir?” Sabir menahan langkah Ibram yang kini mengangguk memahami kekhawatirannya.
“Sebelum kau pergi, bisa kau temui Samir?” Sabir menahan langkah Ibram yang kini mengangguk memahami kekhawatirannya.
“Tenang saja, dia sudah tidak murung lagi saat mengunjungi pusat pengobatan. Dia pasti sudah bertemu tabib sombong itu,” Ibram kembali melanjutkan langkahnya setelah menatap lama ke arah kediaman ratu, “Aku akan menemui Ratu Gina sebelum berangkat. Dia juga harus dikembalikan akal sehatnya seperti Abram.”
“Kau benar, kondisinya menurun sejak kemarin. Tabib bahkan mengatakan jika ia sulit tidur. Hal itu tentu akan berpengaruh pada bayinya.”
“Jangan lupa untuk meminta seseorang mengawasi gerak-gerik tabib wanita yang bertubuh gemuk di kediaman kakak. Dia sedikit mencurigakan. Semalam dia berada di kamar Ratu Gina kan? Aku melihatnya keluar dari sana dengan senyum mencurigakan saat aku membawa kakak ke sana meski kau yang membawanya masuk. Tepatnya saat aku bicara dengan tabib.” Sabir mengangguk mengiyakan permintaan Ibram dan sadar dirinya lengah.
Ibram mengetuk pintu kamar Ratu Gina dan ada Alina di sana. Istri dari Sabir itu tersenyum ramah seperti biasa. Ibram mengatakan ingin bicara berdua dulu dengan Ratu Gina setelahnya nanti ia pun ingin mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Alina. Alina pun mengerti dan mohon diri dan mengatakan akan menunggu di luar. Ibram menghampiri sahabat kecilnya sekaligus kakak iparnya, membisikkan sesuatu yang membuat Gina berkali-kali mengangguk patuh.Senyum pun terbit di wajah pucatnya kala mendengar harapan yang diucapkan Ibram dan memintanya agar merahasiakannya. Ibram mengatakan meskipun raja melarangnya, namun menurutnyaGina berhak tahu karena saat ini dirinya memegang tanggung jawab ratu pertama hingga Ratu Meghna kembali pulih.Ibram berusaha membangkitkan kembali rasa percaya diri dan tekad sahabatnya itu. Meski Gina kadang manja, tapi sosok Gina yang Ibram tahu cukup keras kepala untuk hal yang diinginkannya. Termasuk mencintai kakaknya selama berta
Kerajaan Akhtaran, salah satu kerajaan yang cukup disegani oleh kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusa. Kerajaan yang kini masih berdiri kokoh sejak 200 tahun yang lalu. Namun peristiwa 30 tahun lalu mengguncang kerajaan tersebut. Raja Arsyad menikahi putri dari Penasihat Kerajaan yang bernama Aruna. Aruna seorang gadis yang memiliki paras cantik rupawan dan kecerdasan yang mengagumkan. Kecintaannya pada buku menjadikannya sosok yang dikagumi dan diinginkan banyak keluarga. Terlebih para pria di Kerajaan Akhtaran. Raja Arsyad berniat menikahkan adiknya Pangeran Amir dengan Aruna
Tahun berganti dan Ibram tumbuh menjadi sosok yang dingin. Ia cukup bersikap hangat pada keluarganya saja. Orang-orang yang menerima kehadirannya, kecuali Ibu Suri Sanjana. Adik kandung ayahnya yang juga merupakan ibu kandung Pangeran Sabir dan Pangeran Samir. Ia membenci bibinya sendiri setelah tahu jika bibinya itulah yang memberikan kesaksian bahwa Ratu Aruna memilih menyelamatkan dirinya dibanding ibunya. Juga tentang Ratu Aruna yang berusaha mengobati ibu kandungnya dengan berbagai ramuan. Semua orang pun menduga jika Ratu Aruna yang sudah meracuni Ratu Dairah Zara dengan dalih memberinya obat.
Zain mengernyit setelah membaca surat yang baru saja diterimanya melalui seekor merpati. Sebagai sahabat sekaligus pengawal pribadi Ibram sejak 11 tahun lalu, Zain cukup mengerti kebiasaan Ibram. Namun tidak dengan yang terjadi hari ini. Tiba-tiba saja sahabatnya itu mengubah rencana yang sudah mereka susun di markas militer. Ibram justru memilih berangkat ke Kepulauan Mutiara. Setahu Zain daerah itu merupakan kumpulan pulau kecil yang di tengahnya terdapat sebuah pulau yang tidak begitu besar namun cukup berbeda di bandingkan pulau sekitarnya. Pulau itulah yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Hindu Dh
“Aku punya firasat buruk,” ucap Zain ketika melintasi alun-alun kota menuju gerbang istana yang cukup megah. Di sepanjang jalan ada banyak lampion yang menjadi penerang. Terlihat indah dengan hiasan bunga kering yang sengaja ditempel di bagian luar. Beberapa orang penjaja sedang menawari mereka beberapa hasil tangan namun mereka terpaksa menolak dengan halus karena sedang terburu-buru ke istana. Dari penduduk mereka tahu jika kerajaan ini sedang merayakan rencana pernikahan putri Ratu Maura yakni Putri Ahana. Putri Ahana memang terkenal dengan kecantikannya yang mirip dengan sang ibu. Sebentar lagi akan bertunangan dengan pangeran dari Kerajaan Jaraban. Salah satu kerajaan tetangga yang juga merupakan kerajaan sahabat kerajaan ini. Ibram tiba di gerbang istana dan Zain menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah menunggu beberapa saat, mereka disambut oleh Pangeran Hanan. Putra Mahkota Kerajaan Dharmajaya, Putra dari Ratu Maura sekaligus adik kembar dari Putri Aha
Empat hari berada di Kerajaan Dharmajaya benar-benar dimanfaatkan Ibram untuk menikmati udara bebas. Saat kembali ke Kerajaan Akhtaran nanti, mungkin ia akan kembali dikekang atau ditempatkan di balik jeruji khusus yang dibuat untuknya. Panglima Ahlam bahkan tertawa terbahak-bahak ketika melihat ruang penjara khusus untuk muridnya itu. Para mentri sudah beberapa kali berusaha mengendalikan Ibram namun selalu saja berujung kegagalan.“Dari mana?” tanya Zain ketika menghampiri Ibram yang baru saja menyelinap masuk ke dalam penginapan. Meskipun menyamar dan berpenampilan seperti rakyat jelata, tetap saja gerak-geriknya bisa dikenali oleh Zain.“Jalan-jalan sebelum mereka kembali mengurungku. Sudah menuntaskan urusan yang kemarin? Di mana yang lain? Apa ada orang yang datang dari istana mencariku?” Ibram memberondong sahabatnya dengan banyak pertanyaan sambil melepaskan pakaian kumal yang digunakannya.“Urusan kemarin dalam tahap
“Bukankah mawar itu berduri? Mawar adalah satu bunga yang bisa menyakiti.” Ucapan Ibram tidak sepenuhnya salah. Tapi wanita seusia pengasuhnya itu menggeleng tampaknya kurang setuju dengan apa yang diungkapkannya. “Itu jika Tuan berusaha menggenggamnya terlalu kuat. Tapi ketika disentuh dengan perlahan dan lembut, maka mawar itu akan bertahan lama. Menyebarkan aromanya yang menenangkan dan perlahan mengusir ketegangan. Seperti efek paparan. Maaf, saya sudah lancang dan terkesan menggurui,” ujarnya.
Semua orang yang menghadiri acara itu tentu saja terkejut. Ratu Maura sudah lemas kala mendengar penolakan dari Pangeran Dalani. Harapan terakhirnya untuk mempertahankan perjanjian antarkerajaan di Kepulauan Mutiara sudah berakhir. Hanan berlari menghampiri ibunya yang menatap tidak percaya pada putrinya. Ahana dan kekeraskepalaannya mengacaukan segalanya. Tadinya ia berpikir putrinya akan berkorban demi kebaikan semua orang, nyatanya itu hanya angan.Suara bisik-bisik para tamu yang membicarakan mereka rasanya seperti hujaman batu. Terlebih tatapan pura-pura iba namun mungkin kenyataannya mereka sedang menertawakan keluarganya. Ratu Maura tidak lagi bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok dengan kerajaannya. Hasil bumi dari kerajaannya akan dibeli dengan harga rendah seperti kesepakatan kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Nusa yang sejak dulu menjalin kerjasama dengan tiga kerajaan di Kepulauan Mutiara.Akses perairan akan dibatasi dan rakyat kerajaannya tanpa s
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar