Share

2. Jurnal racun

Author: Rat!hka saja
last update Last Updated: 2021-11-14 01:35:05

"Untuk saat ini tidak, tapi aku tidak akan memenjarakan pelakunya, tapi membuatnya sengsara di sisa hidupnya. Pertama, aku akan membawa kedua tangannya pada Abram. Ya ampun, mental raja ini benar-benar masalah besar. Apa wanita bisa membuat hidupnya berakhir begitu saja sampai kehilangan akal sehat?"

"Kau akan tahu jawabannya saat mencintai seseorang Ibram. Kau tidak bisa berkata-kata nantinya."

"Pelakunya menelan pil beracun yang sama dengan racun yang ada di ujung panah itu. Racun itu bukan racun yang mudah untuk ditemukan. Butuh biaya besar untuk meracik racun mematikan seperti itu. Selain itu, butuh uang yang banyak untuk menutup mulut pembuatnya. Pelakunya tidak akan membunuh peraciknya jika tidak memiliki penawarnya. penawar itu adalah jaminan hidupnya." Ibram memijat kepalanya yang pening.

"Aku juga sependapat denganmu. Paman sudah meminta agar semua sarjana pengobatan berkumpul di aula istana."

"Sabir, apa selama tiga hari aku meninggalkan istana, ada yang mencurigakan selain rapat pagi di aula pertemuan? Alina bilang Mentri Pajak menentang kebijakan baru yang kuusulkan dan tua bangka itu malah memarahimu."

"Lupakan saja soal itu. Masalah kita sekarang adalah penawar racun. Satu hal lagi, pelaku yang membidik dengan anak panah itu seorang wanita," Sabir mengisyaratkan agar Ibram tidak sampai berteriak karena terkejut mendengar pelakunya adalah wanita.

"Pelakunya wanita? Dia menyamar manjadi pelayan?" bisik Ibram.

"Entahlah, saat ditangkap, ia tidak mengenakan pakaian pelayan. Ia bahkan memangkas rambutnya. Jika saja Alina tidak menyadari jika dia wanita, aku pun mungkin akan tertipu. Paman meminta agar tidak ada yang menyentuh tubuh wanita itu untuk sementara waktu sebelum jenis racunnya diketahui."

"Bagaimana Alina bisa tahu dia seorang wanita?"

"Kukunya. Di kukunya ada bekas wewangian dari kamar Ratu Gina. Tidak ada seorang pria pun diizinkan masuk ke dalam kamar pribadi ratu selain raja. Setelah itu, tabib memeriksa tubuhnya dan benar dia seorang wanita." Sabir mengulum senyum melihat keterkejutan Ibram.

"Sejak kapan dia seberat ini?" tanya Ibram ketika menggantikan Sabir memapah Abram. 

Di luar sana sudah terdengar tangisan para bibinya. Keduanya pamit untuk mengantarkan Raja Abram ke kamar Ratu Gina yang letaknya berhadapan dengan kamar Ratu Meghna. Di sana penjagaan cukup ketat atas perintah Ibram. Tabib senior kembali menghampiri Ibram dan mengutarakan pendapatnya sementara Sabir beranjak membawa Raja Abram.

"Pangeran, jika dalam beberapa hari tidak ada penawar untuk Yang Mulia Ratu Meghna, maka sulit baginya untuk bertahan. Saat ini, kita harus menunggu luka tubuhnya mengering sebelum melakukan metode yang sama saat anda diracuni dulu. Yang Mulia Raja mungkin akan keberatan, tapi Ibu Suri Sanjana sudah memberi izin. Beliau mengatakan untuk tidak menunda lebih lama sebelum racunnya semakin menyebar."

"Mengapa Anda tidak membuat penawarnya?" Ibram mendesah berat.

"Jika saja aku tahu komposisi penawarnya, maka sudah aku buat sejak tadi. Aku hanya bisa menekan penyebaran racunnya."

"Tabib, katakan dengan jujur, di mana racun itu dibuat? Di daerah mana? Siapa kira-kira yang membuatnya? Siapa yang kira-kira punya penawarnya? Bersujud pun aku bisa, asal kakakku tidak terpuruk seperti ini. Ratu Meghna bukan sekedar kakak bagiku, dia itu jiwanya kakakku. Katakan di mana aku bisa menemukan penawarnya? Menimba kawah gunung atau menyelam ke dasar laut pun aku bisa asal mereka baik-baik saja," bisik Ibram dengan suara bergetar.

"Temui tabib mendiang raja. Dia mungkin tahu sesuatu. Selain Ibu Ratu Aruna, hanya mantan tabib mendiang raja saja yang memiliki banyak pengetahuan tentang racun," balas tabib pribadi Pangeran Ibram penuh sesal karena solusinya sama saja mengorek luka lama dari pangeran yang berdiri di sampingnya itu.

"Tidak apa-apa Paman. kau hanya menjalankan tugasmu sebagai tabib. aku berjanji akan mendapatkan penawarnya bagaimana pun caranya. Lakukan saja yang terbaik dan aku akan mengupayakan penawarnya. Aku tidak bisa menunggu lama dan berharap pada tabib istana saja. Laporan kesehatan Ratu Meghna hanya boleh disampaikan langsung pada Raja Abram dan Pangeran Sabir saja. Ini perntah dariku karena Yang Mulia Raja belum sadarkan diri."

"Anda mau ke mana Yang Mulia?"

"Ke mana lagi selain penjara lembah. Orang yang kemungkinan tahu ada di sana," ucap Pangeran Ibram bergegas dengan langkah terburu-buru menuju ke kediamannya. Ia akan berangkat malam ini juga.

Sang tabib hanya bisa memandang punggung tegap itu dengan rasa bersalah. Bibirnya kelu ingin mengungkap kebenaran, namun ia pun tahu akibat jika dirinya melanggar sumpah. Bukan hanya air mata yang akan tumpah, tapi juga darah.

"Paman, katakan yang paman tabib sembunyikan dari Ibram," ucap Sabir yang diam-diam mendengar pembicaraan mereka tadi. "Sebagai Kepala Kepolisian, ia pun merasa tidak berdaya saat ini. Aku tahu paman menyembunyikan sesuatu tentang masa lalu. Raut bersalah di wajah paman sekarang sama seperti beberapa tahun lalu saat uji penawar itu gagal."

       ###

Pangeran Ibram menelusuri jalan setapak di kegelapan malam. Derap langkah kudanya terpacu menuju penjara lembah tempat para penjahat yang berani menargetkan keluarganya. Pangeran Ibram dikenal berhati dingin, sangat berbeda dengan ketiga saudaranya. Baginya, para penjahat yang menyakiti keluarganya tidak akan ia biarkan menikmati cahaya matahari, air hangat dan angin segar. Mereka yang terkurung di bawah sana hanya bisa berteman kegelapan dan mendengar suara air terjun.

Penjara lembah terletak di lembah terdalam wilayah Kerajaan Akhtaran. Masing-masing penghuni penjara itu akan terkurung di ruangan berupa lorong sempit yang membatasi gerak mereka. Kebebasan yang mereka dapatkan adalah bebas bernapas, bebas membuka mata dan membuka mulut. Setiap informasi penting yang mereka bagikan akan mengurangi satu hari hukuman mereka. Tersiksa? Tentu saja. Mengakhiri hidup mereka pun tidak akan dibiarkan, sehingga upaya itu pun akan sia-sia.

Suara derap langkah dan tepukan tangan dengan irama khas membuat penjaga gerbang bergegas menghampiri. Mereka sudah hapal betul dengan suara itu. Begitupun pangkal gagang pedang kepala harimau yang ditunjukkan pria bertopeng yang berjalan masuk ke dalam sana. Tak ada yang bicara, hanya menganggukkan kepala dengan isyarat tangan yang bisa terlihat dari cahaya remang obor yang terpasang di dinding gua.

Langkah Ibram terhenti ketika sampai di depan salah satu jeruji besi dan meletakkan obor kecil di dinding. Cahaya itu pun memenuhi lorong sempit di mana seseorang sedang berbaring dengan selimut lusuh miliknya. Seseorang yang sudah berpuluh tahun tidak pernah ia lihat lagi setelah kejadian naas itu. Ibram menarik napas dan menguatkan dirinya, semua ini demi kakaknya dan demi kerajaan ini.

“Aku tahu kau tidak tidur sejak mendengar langkah kakiku. Aku datang membawa sebuah pertukaran. Aku ingin informasi darimu.” Suara tenang dan berat milik Ibram membuat para tahanan lain merinding.

“Apa Raja Abram yang mengirimmu?” tanya pria tua dengan rambut uban panjang hingga ke punggungnya. Pria itu kembali merapatkan selimutnya tanpa berniat bangun dari pembaringannya.

“Bukan Raja, tapi Pangeran Ibram yang mengirimku,” jawab Ibram sendiri dengan menjentikkan jarinya tiga kali dan pria itu langsung bergegas menghampiri jeruji besi.

Sosok pria tegap bertubuh besar berdiri di hadapannya dengan topeng harimau putih menutupi wajah. Tangan kirinya memegang pedang harimau putih yang pangkalnya diukir dengan batu giok hitam putih. Suara jentikan jari itu mengundang perhatian tahanan lain. Mereka menyadari siapa yang tengah berkunjung. Jendral Harimau Putih adalah Jendral kesayangan Raja Abram.

Jendral yang memiliki kemampuan, bukan hanya dari segi fisik tapi juga otak dan jaringan yang tidak seorangpun di Kerajaan Akhtaran yang meragukannya. Satu-satunya jendral yang berani menentang dan melakukan apapun perintah Raja Abram dan Pangeran Mahkota Ibram. Sampai saat ini selain anggota keluarga kerajaan, yang tahu identitas asli Jendral Harimau Putih, hanyalah Panglima Kerajaan, yakni Panglima Ahlam.

“Jendral, Jendral, kumohon kabulkan satu keinginanku. Aku mohon!” pinta mantan tabib mendiang Raja Arsyad itu berlutut dengan menangkup kedua tangannya. Raut wajahnya penuh permohonan seolah yang ingin disampaikannya itu adalah permohonan terakhirnya.

“Katakan lalu kita buat kesepakatan,” suara itu terdengar lebih dingin di banding udara yang menusuk kulitnya. Pria tua itu memberanikan diri untuk memegang jeruji besi. Ibram bisa melihat keriput kasar di wajah yang terakhir kali dilihatnya dua puluh tahun lalu.

“Aku ingin dimakamkan di sisi makam istriku. Aku mohon Jendral. Tidak masalah jika tubuhku dicincang, tapi aku mohon makamkan aku di sisi makam istriku,” mohonnya dengan air mata yang berderai di kedua pipinya.

“Bukankah istrimu sendiri menolak untuk bertemu denganmu saat terakhir kali dia melihatmu? Pangeran Ibram sudah menduga keinginanmu ini dan mengatakan tergantung dari jawabanmu. Jika misiku berhasil, maka aku pastikan kau dimakamkan di sisi makam istrimu,” Jendral Harimau mengulurkan sebuah kertas dengan cap kerajaan milik Pangeran Ibram yang dibaca oleh pria tua itu, “Waktumu untuk memutuskan hingga api itu padam.”

“Tidak, aku akan mengatakannya sekarang. Racun itu adalah racun yang dulunya dikembangkan oleh Ratu Aruna untuk menekan rasa sakit dari cakaran harimau. Dibuatnya untuk mendiang Raja Arsyad yang berniat untuk memelihara seekor harimau. Untuk berjaga-jaga jika seseorang terkena luka cakaran hewan itu, Ratu Aruna membuatnya dengan dosis yang rendah. Tapi seseorang pasti telah mengubah komposisinya menjadi sangat mematikan dengan mencampurkan bisa ular. Ratu Meghna bisa tiada kurang dalam seminggu jika racunnya dibiarkan menyebar. Apa tabib Pangeran Ibram yang menanganinya?” tanyanya dan dijawab anggukan pelan oleh Jendral Harimau Putih.

Pria tua itu kembali memejamkan mata sambil menggeleng pelan. Setelah menghela pasrah, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Tabib itu tahu tentang penawar racun dari racun awal yang dibuat Ratu Aruna. Satu-satunya petunjuk untuk saat ini adalah buku jurnal racun milik Ratu Aruna. Aku menitipkannya pada pengasuh Pangeran Ibram. Dia tidak tahu jika itu barang milik Ratu Aruna. Katakan padanya, sesuatu akan hilang bukan karena menjadi abu, melainkan karena dilupakan. Dia akan mengingatnya.”

“Jika kau berbohong? Ucapanmu bukan hanya berupa petunjuk yang tidak berdasar, bukan sebuah solusi.” Tapi balasan pria itu menarik perhatiannya. Lagi-lagi pria itu berbisik penuh hati-hati.

“Terpaksa?” tanya Jendral Harimau Putih penasaran. Ibram bertanya-tanya dalam benaknya. Bagaimana bisa dirinya disebut terpaksa dilahirkan? Pria tua itu menoleh ke belakang jendral dan mengisyaratkannya untuk mendekat. Ibram maju selangkah dan bisa melihat kedua tangan keriput itu gemetar.

“Pangeran Ibram lahir dengan cara yang tidak normal. Ratu Aruna membedah perut Ratu Zara untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Ibram. Saat itu Ratu Zara sekarat dan memohon agar bayinya diselamatkan. Sebenarnya Ratu Zara meninggal sebelum Pangeran Ibram lahir dan Ratu Aruna nekat membedah perutnya sehingga disalahkan atas kematian Ratu Zara,” ucapnya dengan air mata yang kembali jatuh.

Ibram untuk beberapa saat bergeming. Bertanya-tanya benarkah hal itu atau hanya trik pria tua di hadapannya? “Faktanya, Ratu Aruna hanya berusaha menyelamatkan putranya, walau Pangeran Ibram bukan darah dagingnya. Sekaranga, sejarah kembali terulang. Sama halnya dengan Ratu Aruna. Ratu Meghna pun demikian. Dia pun diberi ramuan yang merusak rahimnya sejak keguguran sehingga tidak bisa memiliki keturunan.”

“Itu bukan berita baru. Katakan hal yang lebih berguna!” ucap Ibram lagi dengan menahan diri agar kaki kirinya tidak menendang kaki lemah pria itu. Pria itu berbisik lirih nyaris tidak terdengar.

 “Aku tidak percaya ucapanmu.” Ibram menolak mempercayainya di mulut saja. Namun sebenarnya diam-diam selama ini ia pun mencaritahu keberadaan ibu tirinya itu. Ibram hanya berusaha agar pria tua itu kembali buka mulut dan mengatakan rahasia yang diketahuinya. Jika dirinya terpancing, pria tua itu bisa saja memanfaatkannya. Kembali pria itu berbisik menyebutkan satu nama.

“Pangeran Ibram hanya akan menertawakan bualanmu!” tukas Ibram merotasi bola matanya di bali topeng yang digunakannya. Ia tidak suka mendengar nama itu.

“Pangeran Ibram mungkin akan tertawa. Tapi ia tahu jika tangan kirinya kebas, maka ia akan pusing dan perlahan kehilangan kesadaran. Sampai saat ini lidahnya pasti belum bisa merasakan apapun karena efek racun kedua yang diminumnya. Tepatnya racun untuk Raja Abram dihari penobatannya sebagai putra mahkota. Upayanya menyelamatkan kakaknya itu membuatnya kehilangan indra pengecapnya.” Pria tua itu menunduk penuh sesal.

Tabib yang dulunya terkenal dengan kemampuannya sebagai salah satu ahli penawar racun itu mengusap kasar wajahnya. Menghapus air matanya yang kembali berderai. Ibram bisa tahu jika itu bukan air mata kebohongan, namun air mata penyesalan.

“Menurutmu bagaimana bisa ia tahu jika di minuman Pangeram Abram saat itu beracun? Akulah yang diam-diam memberitahunya.Tapi semua orang tidak ada yang percaya ucapan Pangeran Ibram yang memperingatkan semua orang,” tambahnya lagi dengan tergugu. Ibram mengingat kejadian hari itu. Hari di mana dirinya berlari tanpa henti ke aula istana meski lutut dan sikunya terluka.

“Aku akui jika aku salah ingin meracuni Pangeran Ibram dan Pangeran Abram saat itu. Tapi permohonan istriku membuatku sadar disaat terakhir dan membuat Pangeran Ibram mengetahuinya. Harapanku ia membuat kekacauan agar acara penobatan itu kacau dan aku punya kesempatan membuat minuman itu tumpah," bisik pria tua itu. Tapi ia justru meminumnya di hadapan semua orang,” ujarnya lagi dan kini ia terus membenturkan kepalanya di geruji besi.

“Aku tidak tertarik dengan dongengmu. Siapa yang memiliki tanaman Udambara?” Ibram mengepalkan tangannya menahan marah.

“Aku tidak tahu, sudah puluhan tahun aku di sini. Satu-satunya petunjuk adalah jurnal racun mantan Ratu Aruna. Jendral! Jendral ku mohon sampaikan pada Pangeran Ibram permohonan terakhirku….” Pria tua itu terus berteriak dan menjulurkan kedua lengannya berusaha menggapai punggung yang perlahan menjauh. Pria tua itu diambang putus asa dengan harapan yang tidak disambut. Tangisannya terdengar menyayat hati menyebut lirih nama mendiang istrinya.

###

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nona Pelangi
sesuatu bisa hilang bukan karena jadi abu, tapi dilupakan. I like this
goodnovel comment avatar
iras saja
Penjahat bisa tobat juga ya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   3. Penawar

    “Aku tahu itu Jendral. Selain jurnal itu, ada sebuah petunjuk dan mungkin bisa jadi harapan. Tanaman Udambara. Tanaman langka itu pernah sekali disebut Ratu Aruna bisa menjadi penawar segala macam racun. Setetes dari ekstraknya bisa menetralkan racun hanya dalam waktu sehari semalam saja. Aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa tanaman itu. Tapi Ratu Aruna menangis memohon pada Yang Mulia Raja Arsyad untuk mengirim banyak jendral untuk mencari tanaman itu ketika Ratu Zara keracunan dan terpaksa melahirkan Pangeran Ibram sebelum waktu kelahirannya.”Rangakain kaliamat itu terus saja terngiang di telinga Ibram. Mengusik batin dan ketenangannya. Berkali-kali dalam hati mempertanyakah benar atau tidak.“Ada seseorang yang berniat menggulingkan Raja Arsyad, tapi Ratu Aruna melakukan pertukaran dengan orang itu dengan meninggalkan kerajaan, suami dan juga kedua putranya. Ratu Aruna tahu pelaku yang sudah meracuni Ratu Zara. Demi membuat orang itu

    Last Updated : 2021-11-14
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   4. Rencana Ibram

    Pangeran Sabir menghela napas panjang melihat kakaknya yang diam saja. Tidak sedikitpun menanggapi ucapannya sejak tadi. Beberapa laporan ia sampaikan termasuk tentang pelaku yang mencelakai ratunya tampak tidak menarik baginya. Bahkan ketika sekertaris kerajaan melaporkan hasil perkembangan dari pusat pengobatan, Raja Abram masih saja bergeming. Tatapannya kosong dan menurut Sabir, mungkin saja sudah menembus tembok hingga ke gerbang istana. Mendengar suara pintu kamar yang diketuk tiga kali diikuti suara derit pintu besar itu, sekertaris kerajaan pamit. “Aku sudah dapat pet

    Last Updated : 2021-11-14
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   5. Seorang Dewi

    Ibram mengetuk pintu kamar Ratu Gina dan ada Alina di sana. Istri dari Sabir itu tersenyum ramah seperti biasa. Ibram mengatakan ingin bicara berdua dulu dengan Ratu Gina setelahnya nanti ia pun ingin mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Alina. Alina pun mengerti dan mohon diri dan mengatakan akan menunggu di luar. Ibram menghampiri sahabat kecilnya sekaligus kakak iparnya, membisikkan sesuatu yang membuat Gina berkali-kali mengangguk patuh.Senyum pun terbit di wajah pucatnya kala mendengar harapan yang diucapkan Ibram dan memintanya agar merahasiakannya. Ibram mengatakan meskipun raja melarangnya, namun menurutnyaGina berhak tahu karena saat ini dirinya memegang tanggung jawab ratu pertama hingga Ratu Meghna kembali pulih.Ibram berusaha membangkitkan kembali rasa percaya diri dan tekad sahabatnya itu. Meski Gina kadang manja, tapi sosok Gina yang Ibram tahu cukup keras kepala untuk hal yang diinginkannya. Termasuk mencintai kakaknya selama berta

    Last Updated : 2021-11-14
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   6. Ratu Kerajaan Akhtaran

    Kerajaan Akhtaran, salah satu kerajaan yang cukup disegani oleh kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusa. Kerajaan yang kini masih berdiri kokoh sejak 200 tahun yang lalu. Namun peristiwa 30 tahun lalu mengguncang kerajaan tersebut. Raja Arsyad menikahi putri dari Penasihat Kerajaan yang bernama Aruna. Aruna seorang gadis yang memiliki paras cantik rupawan dan kecerdasan yang mengagumkan. Kecintaannya pada buku menjadikannya sosok yang dikagumi dan diinginkan banyak keluarga. Terlebih para pria di Kerajaan Akhtaran. Raja Arsyad berniat menikahkan adiknya Pangeran Amir dengan Aruna

    Last Updated : 2021-11-28
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   7. Masa lalu Ibram

    Tahun berganti dan Ibram tumbuh menjadi sosok yang dingin. Ia cukup bersikap hangat pada keluarganya saja. Orang-orang yang menerima kehadirannya, kecuali Ibu Suri Sanjana. Adik kandung ayahnya yang juga merupakan ibu kandung Pangeran Sabir dan Pangeran Samir. Ia membenci bibinya sendiri setelah tahu jika bibinya itulah yang memberikan kesaksian bahwa Ratu Aruna memilih menyelamatkan dirinya dibanding ibunya. Juga tentang Ratu Aruna yang berusaha mengobati ibu kandungnya dengan berbagai ramuan. Semua orang pun menduga jika Ratu Aruna yang sudah meracuni Ratu Dairah Zara dengan dalih memberinya obat.

    Last Updated : 2021-11-30
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   8. Mengubah rencana

    Zain mengernyit setelah membaca surat yang baru saja diterimanya melalui seekor merpati. Sebagai sahabat sekaligus pengawal pribadi Ibram sejak 11 tahun lalu, Zain cukup mengerti kebiasaan Ibram. Namun tidak dengan yang terjadi hari ini. Tiba-tiba saja sahabatnya itu mengubah rencana yang sudah mereka susun di markas militer. Ibram justru memilih berangkat ke Kepulauan Mutiara. Setahu Zain daerah itu merupakan kumpulan pulau kecil yang di tengahnya terdapat sebuah pulau yang tidak begitu besar namun cukup berbeda di bandingkan pulau sekitarnya. Pulau itulah yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Hindu Dh

    Last Updated : 2021-12-05
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   9. Tanaman Udambara

    “Aku punya firasat buruk,” ucap Zain ketika melintasi alun-alun kota menuju gerbang istana yang cukup megah. Di sepanjang jalan ada banyak lampion yang menjadi penerang. Terlihat indah dengan hiasan bunga kering yang sengaja ditempel di bagian luar. Beberapa orang penjaja sedang menawari mereka beberapa hasil tangan namun mereka terpaksa menolak dengan halus karena sedang terburu-buru ke istana. Dari penduduk mereka tahu jika kerajaan ini sedang merayakan rencana pernikahan putri Ratu Maura yakni Putri Ahana. Putri Ahana memang terkenal dengan kecantikannya yang mirip dengan sang ibu. Sebentar lagi akan bertunangan dengan pangeran dari Kerajaan Jaraban. Salah satu kerajaan tetangga yang juga merupakan kerajaan sahabat kerajaan ini. Ibram tiba di gerbang istana dan Zain menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah menunggu beberapa saat, mereka disambut oleh Pangeran Hanan. Putra Mahkota Kerajaan Dharmajaya, Putra dari Ratu Maura sekaligus adik kembar dari Putri Aha

    Last Updated : 2021-12-13
  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   10. Dari Elang Untuk Harimau

    Empat hari berada di Kerajaan Dharmajaya benar-benar dimanfaatkan Ibram untuk menikmati udara bebas. Saat kembali ke Kerajaan Akhtaran nanti, mungkin ia akan kembali dikekang atau ditempatkan di balik jeruji khusus yang dibuat untuknya. Panglima Ahlam bahkan tertawa terbahak-bahak ketika melihat ruang penjara khusus untuk muridnya itu. Para mentri sudah beberapa kali berusaha mengendalikan Ibram namun selalu saja berujung kegagalan.“Dari mana?” tanya Zain ketika menghampiri Ibram yang baru saja menyelinap masuk ke dalam penginapan. Meskipun menyamar dan berpenampilan seperti rakyat jelata, tetap saja gerak-geriknya bisa dikenali oleh Zain.“Jalan-jalan sebelum mereka kembali mengurungku. Sudah menuntaskan urusan yang kemarin? Di mana yang lain? Apa ada orang yang datang dari istana mencariku?” Ibram memberondong sahabatnya dengan banyak pertanyaan sambil melepaskan pakaian kumal yang digunakannya.“Urusan kemarin dalam tahap

    Last Updated : 2021-12-20

Latest chapter

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   56. Dilarang Berdebat

    Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   55. Persiapan Perayaan

    Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   54. Benang Puja

    “Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   53. Hanya Ingin

    Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   52. Terkejut

    Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   51. Diserang Serangga

    “Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   50. Ingkar Janji

    "Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   49. Kecemesan

    "Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta

  • Bukan Jendral Tapi Pangeran   48. Salah Sasaran

    Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar

DMCA.com Protection Status