Raja Abram berlari menuju kamar Ratu pertamanya, Ratu Meghna. Dari arah berlawanan Pangeran Ibram juga ikut berlari dan keduanya saling tatap untuk beberapa saat. ada banyak pengawal dan pelayan yang berjaga di depan pintu kamar. Sementara Pangeran Samir duduk di lantai sambil bersandar di tiang dan menerawang langit malam. Penampilannya kacau balau dan tidak henti-hentinya menagis. Terisak seperti anak kecil, melupakan statusnya sebagai salah satu pangeran kerajaan yang selama ini selalu menjunjung tinggi harga dirinya. Rasa bersalahnya yang lalai akan tugas yang diamanahkan padanya kini membuatnya menjadi seorang pecundang. Rasa percaya dirinya seakan sirna dan jauh di dalam lubuk hatinya, selain rasa bersalah, ia juga takut akan kemungkinan terburuk.
"Samir, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raja Abram pada adik sepupunya.
"Yang Mulia, aku siap menerima hukuman matiku malam ini juga. Aku benar-benar jadi pecundang seperti ucapan ibu tempo hari. Aku pangeran yang gagal. Aku... aku membuat kesalahan fatal," Pangeran Samir bukannya menjawab pertanyaan Raja Abram, ia justru mengutarakan isi kepalanya dengan menatap sepasang kaki yang kotor karena tidak mengenakan alas kakinya. Suaranya yang terdengar lirih itu seakan sudah tidak memiliki harapan hidup lagi.
Raja Abram yang tidak memahami ucapan adiknya itu memilih bergegas melewati pintu yang dibuka oleh dua pengawal. Pandangannya tertuju pada tubuh istrinya yang terbaring lemah sedang ditangani beberapa orang tabib. Ingin menghampiri namun akal sehatnya masih bekerja untuk tidak mengganggu para tabib bekerja. Namun melihat tabib senior menghela napas berat seraya memejamkan mata dan menoleh ke arahnya, langkah kakinya pun terhenti.
Gelengan pelan dari tabib senior itu membuatnya terjatuh karena sulit menerima kenyataan. Para pelayan mencoba membantunya, tapi Pangeran Ibram menutup pintu dan mengisyaratkan agar mereka semua menjauh. Kembali ke posisi dan melakukan tugas masing-masing. Keadaaan sedang genting dan ia tidak boleh lengah membiarkan sembarangan orang mendekati kakaknya. Tatapannya dengan tabib senior yang juga merupakan tabib pribadinya itu seolah memberi isyarat jika pria tua itu ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting.
"Yang Mulia, tolong kendalikan dirimu. Berdirilah! Kuatkan dirimu dan dengarkan ucapan tabib. Aku di sini siap menerima titah darimu. Jangan jadi raja yang cengeng mengingat bagaimana angkuhnya kau memaksaku jadi pangeran mahkota. Kalau kau masih terus seperti ini, aku akan mengadukanmu pada kedua ratumu dan kau akan kehilangan wajahmu," bisik Ibram dengan sedikit mengancam agar kakaknya bisa segera mengendalikan diri. Ibram mencoba memapah kakaknya yang masih bergeming.
Jika saja latihan fisiknya selama ini biasa saja, maka ia akan kesulitan menahan tubuh kakaknya yang lebih tinggi dan lebih besar darinya itu mendekati tempat tidur. Sejenak Ibram tertegun melihat wajah pucat kakak iparnya yang tidak sadarkan diri. Pantas saja raja sombong yang dipapahnya ini sampai bergeming seakan kehilangan daya tubuhnya. Cubitan Ibram di lengan kakaknya membuat Raja Abram menoleh dan mendapati tatapan tajam adiknya. Raja Abram memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam.
"Ratuku, buka matamu! Jangan menakutiku dengan pura-pura tidur seperti ini! Kau sudah berjanji akan menemaniku membaca semua dokumen malam ini, tapi mengapa kau tidur lebih dulu? Apa kau marah padaku?" Raja Abram duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan kanan Ratu Meghna.
"Yang Mulia, saat ini Ratu Pertama...."
"Diam!!!" bentak Raja Abram yang membuat semua orang terlonjak. Terkejut mendengar suara teriakan dengan amarah yang tertahan itu. Satu-satunya orang yang yang tidak menunjukkan reaksi berlebihan hanya Pangeran Ibram. Meskipun ia menganggap kakaknya sombong, namun membentak bukanlah kebiasaan dari kakaknya. Tabib yang hendak menjelaskan sesuatu itu pun menciut dan perlahan melangkah mundur. Tabib senior memberi isyarat agar tabib juniornya yang merupakan ahli racun itu mengerti dan memintanya untuk menjelaskannya pada Pangeran Ibram.
Saat tabib senior hendak melanjutkan pengobatannya, Raja Abram kembali membentak dan bertanya apa yang hendak dilakukannya pada sang ratu. Pangeran Ibram menghampiri kakaknya dan menariknya menjauh. Meski meronta, Raja Abram tidak mampu menahan kekuatan tangan adiknya yang menjauhkannya dari sang istri. Rasa sesak di dadanya tidak bisa ia sangkal ketika melihat bibir dan bahkan kuku isrinya mulai gelap karena efek racun dari panah yang menancap di pundak istrinya. Tadinya ia tidak percaya dengan laporan pengawal kerajaan yang berlari ke ruang kerjanya, namun sekarang rasa dingin tangan istrinya serasa membekas di telapak tangannya. Fakta jika istrinya tidak baik-baik saja dan bukan sengaja mengabaikannya.
"Lepaskan! Lepaskan!!" teriak Raja Abram yang meronta.
"Kalau begitu sadarlah dan kendalikan dirimu!!!" balas Pangeran Ibram lebih keras dan menghempaskan tubuh kakaknya yang nyaris membuatnya jatuh tersungkur jika Pangeran Sabir tidak buru-buru menopangnya. Pangeran Ibram kembali menghampiri dan memojokkan kakaknya ke salah satu ruangan diikuti Pangeran Sabir.
"Tindakanmu yang hilang akal sehat yang akan membuatnya tiada. Tabib sedang mengobati kakak iparku. Jangan coba-coba mendekat jika kau hanya mengacaukan pengobatannya. Racunnya tidak akan berhenti jika kau menangis atau berteriak! Tenangkan dirimu dan berpikir apa tindakanmu selanjutnya dan biarkan para tabib melakukan tugasnya. Kau itu raja, bukan anak kecil yang merengek saat keadaan tidak sesuai yang kau harapkan. Ratu Kerajaan Akhtaran diserang di dalam istananya sendiri. Itu bukan hal yang biasa! Pelakunya belum diketahui dan kau malah goyah seperti ini?" desis Ibram menahan kesal.
"Kakak, tenanglah, kakak ipar tentu akan mendengarmu jika berteriak seperti tadi di sampingnya. Ibram benar, sekarang situasinya sedang genting dan kami butuh kau dan pikiran tenangmu untuk mengambil keputusan. Berikan perintahmu dan jangan membuat musuh senang dengan melihatmu terpuruk seperti ini. Kalau ingin menyalahkan, salahkan aku yang lengah dengan keamanan kedua ratumu. Jika keduanya melihatmu seperti ini, mereka akan marah dan merasa bersalah," bisik Pangeran Sabir sembari memeluk kakaknya dan menepuk punggungnya menenangkan. Perlahan menuntun kakaknya duduk agar bisa lebih tenang.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Pangeran Ibram duduk bersila dengan kedua lengan terlipat di depan dadanya. Matanya terpejam, enggan melihat kondisi kakaknya yang kacau dan malah jatuh pingsan dalam pelukan Sabir. Mau bagaimana lagi, ia tidak berada di istana saat kejadian itu terjadi.
"Seseorang mencoba membunuh Ratu Gina dengan mengarahkan anak panah beracun itu padanya, tapi Ratu Meghna melindunginya, menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Menurut dugaanku, seseorang mengincar calon bayi kakak. Ada yang tidak menginginkan raja memiliki pewaris. Jika ini dibiarkan hanya dengan menghukum pelaku penyerangan, rasanya tidak cukup. Pelakunya akan menyalahkan dirimu dan membuat seolah ini rencanamu. Seperti kejadian-kejadian lalu yang akan berujung minta kau melepas statusmu sebagai putra mahkota. Awas saja kalau kau juga goyah!" ancam Sabir.
"Kau yakin?" tanya Ibram mendengus kesal ketika melihat sepasang alis sepupunya itu bergerak naik, "Aku tahu tapi terlalu awal membuat dugaan. Jika berhasil mendepakku, pelakunya akan menjadikan Samir boneka mereka."
"Makanya kau juga jangan bertingkah yang aneh-aneh di saat seperti ini!" Sabir menoleh melihat Abram dengan prihatin.
Masalah kakaknya sejak menjadi raja rasanya tidak ada habisnya. Terlebih sejak memutuskan mengabulkan keinginan Ratu Meghna untuk kembali menikah agar mereka memiliki pewaris. Itu juga karena karena laki-laki keras kepala di depannya ini menolak semua perjodohan untuknya. Tadinya mereka pikir seorang Ibram akan luluh untuk menikah pada akhirnya setelah mendengar jika raja dan ratu sulit memiliki keturunan.
Tapi reaksinya mengejutkan dengan mengatakan untuk tidak menjilat ludah sendiri dan memenuhi janji kerajaan yang tidak akan memaksanya menikah. Kalaupun seorang Ibram ingin menikah, maka ia kan menikah dengan gadis pilihannya sendiri dan tidak boleh ada satupun yang berhak mengatur istrinya. bukannya bersimpati, malah mempertahankan kekeraskepalaannya.
"Ada apa? Apa yang kau pikirkan? Katakan sebelum aku membuatmu merasa diinterogasi," bisik Ibram pada adik sepupunya yang usianya hanya terpaut 112 hari lebih muda darinya. Usia sepantaran membuat keduanya tidak memiliki kecanggunggan sama sekali. Anehnya, Ibram yang saudara kandung dengan Abram merasa lebih nyaman mengatakan rahasia dan juga perasaannya pada Sabir, begitu juga sebaliknya.
Sedangkan Samir, si bungsu lebih nyaman mencurahkan dan mengadukan semua hal pada Abram sehingga dianggap manja oleh keluarga. Mau bagaimana lagi? Abram memang terkadang memanjakan Samir dan anehnya si bungsu itu memang akan sangat penurut pada raja. Bertolak belakang dengan Ibram yang tidak segan-segan menolak jika tidak suka dan Sabir yang selalu suka menego atau membuat kesepakatan jika dirinya keberatan.
"Sebelumnya, sudah beberapa kali Ratu Gina hampir diracuni dan hampir tertimpa patung. Ratu Meghna memperketat segalanya sejak saat itu. Hari ini keduanya duduk bercengkrama dengan putri-putri mentri. Seperti biasa ingin mencari calon istri untukmu. Panah pertama melesat hampir mengenai kaki Ratu Gina. Panah itu tidak mengandung racun sama sekali. Dugaanku hanya ingin mengejutkannya atau membuatnya terjatuh. Jika ia terjatuh, kandungannya akan dalam bahaya." Sabir melirik Ibram.
"Karena terkejut, langkahnya terhenti dan itu justru menguntungkan pelakunya. Panah berikutnya jadi lebih mudah untuk dibidik ke arahnya," ujar Ibram dengan mempermainkan telunjuk di dahinya. Tidak habis pikir bagaimana bisa menara pemantau luput melihat kejadian itu. Bertanya-tanya di sudut mana pelakunya bersembunyi dan membidik kedua ratu, "Kau ada di sana?"
"Tidak, aku memeriksa persenjataan baru yang kau beli di gudang markas. Samir dan Dim yang berada di sana," jawab Sabir.
"Ibram, kau punya dugaan?" Sabir mencubit pangkal hidungnya dan kembali memikirkan laporan yang masuk padanya sejak sore tadi. Ia menyadari jika serangan ini sangat terencana dan yang mengusik benaknya, siapakah otak dari kekacauan ini?
"Untuk saat ini tidak, tapi aku tidak akan memenjarakan pelakunya, tapi membuatnya sengsara di sisa hidupnya. Pertama, aku akan membawa kedua tangannya pada Abram. Ya ampun, mental raja ini benar-benar masalah besar. Apa wanita bisa membuat hidupnya berakhir begitu saja sampai kehilangan akal sehat?""Kau akan tahu jawabannya saat mencintai seseorang Ibram. Kau tidak bisa berkata-kata nantinya.""Pelakunya menelan pil beracun yang sama dengan racun yang ada di ujung panah itu. Racun itu bukan racun yang mudah untuk ditemukan. Butuh biaya besar untuk meracik racun mematikan seperti itu. Selain itu, butuh uang yang banyak untuk menutup mulut pembuatnya. Pelakunya tidak akan membunuh peraciknya jika tidak memiliki penawarnya. penawar itu adalah jaminan hidupnya." Ibram memijat kepalanya yang pening."Aku juga sependapat denganmu. Paman sudah meminta agar semua sarjana pengobatan berkumpul di aula istana.""Sabir, apa selama tiga hari aku meninggalkan istana,
“Aku tahu itu Jendral. Selain jurnal itu, ada sebuah petunjuk dan mungkin bisa jadi harapan. Tanaman Udambara. Tanaman langka itu pernah sekali disebut Ratu Aruna bisa menjadi penawar segala macam racun. Setetes dari ekstraknya bisa menetralkan racun hanya dalam waktu sehari semalam saja. Aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa tanaman itu. Tapi Ratu Aruna menangis memohon pada Yang Mulia Raja Arsyad untuk mengirim banyak jendral untuk mencari tanaman itu ketika Ratu Zara keracunan dan terpaksa melahirkan Pangeran Ibram sebelum waktu kelahirannya.”Rangakain kaliamat itu terus saja terngiang di telinga Ibram. Mengusik batin dan ketenangannya. Berkali-kali dalam hati mempertanyakah benar atau tidak.“Ada seseorang yang berniat menggulingkan Raja Arsyad, tapi Ratu Aruna melakukan pertukaran dengan orang itu dengan meninggalkan kerajaan, suami dan juga kedua putranya. Ratu Aruna tahu pelaku yang sudah meracuni Ratu Zara. Demi membuat orang itu
Pangeran Sabir menghela napas panjang melihat kakaknya yang diam saja. Tidak sedikitpun menanggapi ucapannya sejak tadi. Beberapa laporan ia sampaikan termasuk tentang pelaku yang mencelakai ratunya tampak tidak menarik baginya. Bahkan ketika sekertaris kerajaan melaporkan hasil perkembangan dari pusat pengobatan, Raja Abram masih saja bergeming. Tatapannya kosong dan menurut Sabir, mungkin saja sudah menembus tembok hingga ke gerbang istana. Mendengar suara pintu kamar yang diketuk tiga kali diikuti suara derit pintu besar itu, sekertaris kerajaan pamit. “Aku sudah dapat pet
Ibram mengetuk pintu kamar Ratu Gina dan ada Alina di sana. Istri dari Sabir itu tersenyum ramah seperti biasa. Ibram mengatakan ingin bicara berdua dulu dengan Ratu Gina setelahnya nanti ia pun ingin mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Alina. Alina pun mengerti dan mohon diri dan mengatakan akan menunggu di luar. Ibram menghampiri sahabat kecilnya sekaligus kakak iparnya, membisikkan sesuatu yang membuat Gina berkali-kali mengangguk patuh.Senyum pun terbit di wajah pucatnya kala mendengar harapan yang diucapkan Ibram dan memintanya agar merahasiakannya. Ibram mengatakan meskipun raja melarangnya, namun menurutnyaGina berhak tahu karena saat ini dirinya memegang tanggung jawab ratu pertama hingga Ratu Meghna kembali pulih.Ibram berusaha membangkitkan kembali rasa percaya diri dan tekad sahabatnya itu. Meski Gina kadang manja, tapi sosok Gina yang Ibram tahu cukup keras kepala untuk hal yang diinginkannya. Termasuk mencintai kakaknya selama berta
Kerajaan Akhtaran, salah satu kerajaan yang cukup disegani oleh kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusa. Kerajaan yang kini masih berdiri kokoh sejak 200 tahun yang lalu. Namun peristiwa 30 tahun lalu mengguncang kerajaan tersebut. Raja Arsyad menikahi putri dari Penasihat Kerajaan yang bernama Aruna. Aruna seorang gadis yang memiliki paras cantik rupawan dan kecerdasan yang mengagumkan. Kecintaannya pada buku menjadikannya sosok yang dikagumi dan diinginkan banyak keluarga. Terlebih para pria di Kerajaan Akhtaran. Raja Arsyad berniat menikahkan adiknya Pangeran Amir dengan Aruna
Tahun berganti dan Ibram tumbuh menjadi sosok yang dingin. Ia cukup bersikap hangat pada keluarganya saja. Orang-orang yang menerima kehadirannya, kecuali Ibu Suri Sanjana. Adik kandung ayahnya yang juga merupakan ibu kandung Pangeran Sabir dan Pangeran Samir. Ia membenci bibinya sendiri setelah tahu jika bibinya itulah yang memberikan kesaksian bahwa Ratu Aruna memilih menyelamatkan dirinya dibanding ibunya. Juga tentang Ratu Aruna yang berusaha mengobati ibu kandungnya dengan berbagai ramuan. Semua orang pun menduga jika Ratu Aruna yang sudah meracuni Ratu Dairah Zara dengan dalih memberinya obat.
Zain mengernyit setelah membaca surat yang baru saja diterimanya melalui seekor merpati. Sebagai sahabat sekaligus pengawal pribadi Ibram sejak 11 tahun lalu, Zain cukup mengerti kebiasaan Ibram. Namun tidak dengan yang terjadi hari ini. Tiba-tiba saja sahabatnya itu mengubah rencana yang sudah mereka susun di markas militer. Ibram justru memilih berangkat ke Kepulauan Mutiara. Setahu Zain daerah itu merupakan kumpulan pulau kecil yang di tengahnya terdapat sebuah pulau yang tidak begitu besar namun cukup berbeda di bandingkan pulau sekitarnya. Pulau itulah yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Hindu Dh
“Aku punya firasat buruk,” ucap Zain ketika melintasi alun-alun kota menuju gerbang istana yang cukup megah. Di sepanjang jalan ada banyak lampion yang menjadi penerang. Terlihat indah dengan hiasan bunga kering yang sengaja ditempel di bagian luar. Beberapa orang penjaja sedang menawari mereka beberapa hasil tangan namun mereka terpaksa menolak dengan halus karena sedang terburu-buru ke istana. Dari penduduk mereka tahu jika kerajaan ini sedang merayakan rencana pernikahan putri Ratu Maura yakni Putri Ahana. Putri Ahana memang terkenal dengan kecantikannya yang mirip dengan sang ibu. Sebentar lagi akan bertunangan dengan pangeran dari Kerajaan Jaraban. Salah satu kerajaan tetangga yang juga merupakan kerajaan sahabat kerajaan ini. Ibram tiba di gerbang istana dan Zain menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah menunggu beberapa saat, mereka disambut oleh Pangeran Hanan. Putra Mahkota Kerajaan Dharmajaya, Putra dari Ratu Maura sekaligus adik kembar dari Putri Aha
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat
"Alina tidak mengirim pesan apapun. Biasanya kalau Alina tidak datang, dia akan menyisipkan kertas pesan di bawah mangkuk. Dia benar-benar marah padauk. Kalau dipikir… ini adalah pertama kalinya,” batin Pangeran Sabir sembari beristigfar. “Tuan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Arwan yang berdiri di sisinya. Dengan wajah murung dan tatapan yang mengarah ke lantai, Pangeran Sabir menjawab, “Beritahu langsung Pangeran Ibram, aku tidak baik-baik saja. Katakan padanya aku melihat banyak pintu tapi tidak memiliki satu pun kunci untuk bisa membukanya.” *** Sambil bersenandung riang Pangeran Samir menaiki tangga batu kediaman Pangeran Ibram. Tapi ia terkejut karena pelayan mengatakan jika keduanya sudah pergi terburu-buru. Samir kecewa karena dirinya terlambat. "Apa semuanya baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?” tanya Pangeran Samir pada pelayan dan dijawab bahwa semuanya baik-baik saja sama seperti kemarin. Pelayan itu bahkan mengutarakan keresahannya karena ha
"Samir mungkin bertemu Zain atau seseorang di depan. Karena itulah dia belum muncul sampai sekarang. Memangnya ada apa kau mencarinya? Apa Samir membuat kesalahan?” tanya Ibram. "Tidak, aku memintanya membawakan bukti penting dari Kapten Bagir setelah menyelidiki tempat penjagalan hewan di desa selatan, karena Kak Abram tidak mengizinkanku keluar ibukota. Dia seakan mengikat kakiku,” keluh Sabir yang kemudian menenggak habis minumannya. Ibram yang mengunyah jambu bijinya menimpali, “Baguslah.” "Kau senang?" tanya Sabir mengernyit melihat saudaranya yang begitu santai menghadapi situasi saat ini. Ibram justru mengangguk dan Sabir menggigit bibirnya kesal. Merasa ada kemungkinan terjadi perdebatan antara dua sepupu itu, Alina mencoba mencairkan ketegangan. "Ahana, apa yang sedang kau buat?" tanya Wanita yang hari ini mengenakan pakaian kuning lembut dengan sulaman bunga kenanga. Sama seperti aroma wewangian yang selalu digunakannya. "Aku sedang menulis surat untuk Hanan. Aku meminta
Samir menggigit bibir dalamnya. Tapi ujung sepatunya sedikit digeser ke samping memberi Sabir isyarat agar segera memberi alasan. Ibram masih dengan raut wajah datar meraih gelas teh milik Samir. Melihat tingkah Ahana dan Samir yang kikuk dan berusaha menghindarinya, Ibram justru semakin yakin ada hal yang sengaja mereka sembunyikan. “Tidak ada yang lain Kakak Ipar," elak Alina sembari menawarkan tambahan teh tapi ditolak oleh Ibram. "Firasatku mengatakan, kamu sedang merahasiakan sesuatu dariku," kata Ibram pada istrinya yang sedang meraih gelas. Dugaannya tepat saat melihat tangan Ahana sedikit gemetar memegang gelasnya. Ahana menggedikkan bahu lalu membalas, "Itu firasatmu saja.” Ahana menoleh dan menatap tegas suaminya itu. "Mengapa reaksimu berlebihan?" Ibram kembali mendesak. "Karena kamu terus bertanya. Itu menyebalkan!” balas Ahana telak. Ibram kembali melipat kedua lengan di depan dadanya. Menyembunyikan tangan kanannya yang kembali gemetar dan kebas. “Aku penasaran, kar