Malam ini kaki Satria berdenyut brutal maka dia mengerang kesakitan, jadi Dika berteriak memanggil bantuan dan akhirnya Satria kembali dilarikan ke rumah sakit. Namun, kabar ini tidak disampaikan pada keluarga Satria. Jadi, Isabella baru saja mendengarnya saat pagi hari. "Jadi Satria tidak di sini!" Gadis ini sangat kaget hingga kalang kabut."Mohon maaf kami tidak memberi kabar karena kejadiannya tengah malam," ucap santun pria berseragam ini. Maka, segera Isabella menuju ke rumah sakit tempat Satria dirawat. Tidak lupa, dia juga mengabari Haris dan Mia. Namun, dalam kegelisahan Isabella pada Satria, dia juga mengingat nasib Dika. "Dika bagaimana, apa dia tidak punya keluhan?" Sulit untuk tidak memberikan perhatian lebih pada Dika karena Isabella sudah menganggap Dika sebagai saudaranya.Setibanya di rumah sakit, Isabella segera melihat keadaan Satria yang ternyata lukanya kembali terbuka. "Apa yang terjadi?" "Seseorang menyerang saya saat tidur!" Satria mendengus kesal, tetapi ju
Keluarga Naura menemui Devan, tetapi saat ini Satria sudah keluar melalui pintu lain. "Kenapa Naura di sini, apa Naura tahu saya di sini? Tapi saya sudah bebas ...." Hal ini membingungkan untuk Satria sekaligus meresahkan karena dia berharap Naura tidak tahu dia dipenjara. Sementara, Devan tidak mengatakan nama Satria saat Ginanjar menanyakan siapa yang sebelumnya menjenguknya. Satria kembali ke dalam mobil, dia diantar sopir. "Apa ada saudara Naura yang dipenjara di sini? Tapi keluarga Naura keluarga baik-baik, rasanya tidak mungkin saudaranya dipenjara." Satria mencoba menerka tetapi tidak menemukan terkaan yang tepat. Kali ini Satria tidak kemanapun lagi karena kondisinya tidak memungkinkan, pun kondisi teman-temannya sama dengannya. Jadi, mereka hanya berkomunikasi lewat telepon. Setibanya di rumah, Satria disambut hangat oleh Mia, "Terimakasih ya, Sayang karena kamu cepat pulang. Mama sangat khawatir ...."Satria tersenyum lembut. "Mama tidak perlu khawatir." Satria menggunak
"Sanak saudara kami kuliah di kampus yang sama dengan kamu?" Ginanjar berkata pada Satria hingga lelaki ini sedikit mengerjap. "Semoga tidak sampai dihukum, Om. Apalagi masih kuliah, kasihan dan pasti masa depannya hancur." Senyuman santun Satria, tetapi di hatinya sangat hambar dan cemas. 'Semoga yang dimaksud papanya Naura bukan Devan!'Bukan hanya Satria yang berkata di dalam hati, tetapi juga Haris. 'Kamu tahu jika dipenjara maka masa depan akan hancur, tapi kenapa kamu seolah sengaja menghancurkan masa depan kamu! Jika tidak ada papa, mungkin kamu sudah berakhir menjadi orang bernasib malang!'Ginanjar mendesah, "Pengacara sedang mengusahakan supaya Devan terbebas." Desahnya sangat sendu karena keluarga adalah segalanya. Namun, saat ini Satria terkejut. 'Apa, Devan! Jadi, Devan dan Naura bersaudara!'"Pasti bisa bebas." Haris terkekeh kecil, tetapi hatinya menyimpan kesal pada Satria. Naura juga berkata di dalam hatinya. 'Pasti Satria tahu.'Saat ini Mia muncul dari dapur deng
Isabella segera berkumpul dengan keluarga Naura, kemudian mereka melakukan shalat magrib berjamaah termasuk Satria walaupun laki-laki ini shalat tidak seperti biasanya, dia duduk. Hal yang dilakukan Satria bisa dianggap aneh karena biasanya dia tidak shalat, tetapi sekarang tiba-tiba melakukan shalat, tetapi di mata keluarganya ini adalah anugerah, mereka semua merasa bahagia termasuk Isabella. Haris yang menjadi imam dalam shalat. Lalu, Naura dan Isabella berdiri bersebelahan saat shalat hingga membuat Naura semakin gugup, tetapi dia selalu berusaha tetap khusu hingga shalat selesai. "Alhamdulillah ...," ucap Isabella dengan wajah berseri, lalu menatap Naura. "Alhamdulillah, kita masih diberi umur dan kita diberi kesempatan shalat berjamaah." "Iya ...." Naura mengangguk kecil dan tersenyum kecil, tetapi aura wajahnya tidak kalah sejuk dan berseri dari Isabella.Mereka tidak meninggalkan mushola. tetapi membaca Al-Qur'an bergilir sebagaimana dalam pengajian yang biasa dihadiri oleh
Pukul sembilan, Satria dan Isabella baru saja kembali ke kamar setelah mengantar keluarga Naura ke halaman. Laki-laki ini tidak mengatakan apapun, tetapi kali ini Isabella yang berkata, "Saya berterimakasih pada Naura dan keluarganya karena menjenguk kamu. Tapi ... apa kalian tidak malu saling memandang di depan keluarga?" Suaranya terjaga, tetapi ekspresinya sangat serius. "Apa maksud kamu?" Ekspresi dingin Satria. "Saya memperhatikan kalian. Saya tahu, kalian tidak menganggap saya ada, tapi jangan lupakan keberadaan mama dan papa kamu, lalu mama dan papanya Naura. Apa yang akan mereka pikirkan jika kalian sengaja melakukan hal tidak pantas?" Satria memandangi Isabella, tetapi tatapannya sangat dingin. "Tidak ada yang mempermasalahkan ini selain kamu." Pun, suaranya dingin dan datar."Karena saya istri kamu." "Kamu cemburu?" Tatapan Satria tidak berubah. "Tidak." Ekspresi dan nada suara Isabella tidak berubah. "Jadi apa masalahnya?" Satria segera memalingkan tubuhnya dan hendak
Hari ini Satria tidak bisa pergi kemanapun karena seolah Mia menjaganya dengan ketat, bahkan Satria merasa jika dia masih berada di dalam ruangan perawatan hanya saja tempatnya lebih luas dan enjoi. "Ck, ternyata kamu pandai mempengaruhi sampa-sampai mama mendengarkan semua ucapan kamu!" Laki-laki ini menyalahkan Isabella. Satria sedang berada di halaman dan ingin segera pergi, tetapi Mia selalu mondar-mandir mencarinya, pun sopir berkata jika kali ini dia tidak bisa mengantar Satria kemanapun atas perintah dari Haris dan Mia. "Mama dan papa terpengaruh omongan kamu. Hebat sekali!" Satria semakin menghardik Isabella. Sementara, saat ini Isabella sedang mendapatkan kunjungan dari Dika. "Hi." Selalu, menggoda Isabella adalah rutinitasnya setiap kali bertemu gadis itu. Dan Dika tidak pernah melupakan tatapan teduh serta senyuman hangatnya. "Iya, selamat pagi ... ada yang bisa saya bantu?" Isabella bersikap propesional kala dirinya duduk di belakang meja khusus perawat."Saya salah ja
"Ambil saja." Suara Satria terdengar sangat datar dan dingin yang menandakan jika dia tidak merasa kehilangan jika Dika mengambil Isabella. Hal ini membuat Dika merasa iba pada nasib Isabella, tapi dia juga tidak akan gegabah karena mungkin hanya Satria yang tidak mencintai Isabella, bisa saja perasaan Isabella berkebalikan. Dika berhenti membahas Isabella karena sikap Satria terlalu kejam. "Sudahlah, belum tentu Abel mau pada saya," kekeh kosongnya, "Ngomong-ngomong, mungkin sampai beberapa minggu ke depan kita cuma harus fokus pada kesehatan, lalu melanjutkan hidup yang baru. Kita tidak usah dendam pada geng kelas teri, mereka semua akan dipenjara. Saya rasa komplotan mereka yang berhasil lolos akan cepat ditangkap." Mata Dika memicing tajam, menyimpan amarah yang tidak tersampaikan. Satria mengerti jika Dika tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang Isabella. "Ya. Anggap saja geng kita sedang beristirahat." Pertemuan mereka selesai, dan pada sore hari Dika menyodorkan tiket n
"Pergi kemana saja sama Dika?" Satria menginterograsi Isabella seolah istrinya ketahuan berselingkuh. "Nonton." Isabella menunjukan tatapan sendunya karena suaminya selalu memberikannya pada lelaki lain. "Nonton. Sampai selarut ini!" Satu alis Satria terangkat seakan sedang mencurigai Isabella. "Kita pergi ke mall. Dika membelikan saya baju, lalu mengajak makan, terakhir kita nonton. Dari awal saya sudah menolak, tapi Dika bilang dia sudah bertemu kamu dan katanya kamu tidak akan marah. Jadi tolong jangan bertanya apapun lagi karena ini kan yang kamu mau. Toh sebelumnya kamu berniat memberikan saya pada Dika, jadi apa bedanya hari ini." Isabella berkata panjang, meluapkan sedikit isi hatinya, tetapi suaranya tetap terjaga. Saat ini Satria tidak mengatakan apapun karena yang dikatakan Isabella benar, dia yang berniat memberikan istrinya pada Dika. Namun, Satria mendengus saat berpikir negatif pada Isabella. "Yang saya tahu kamu bukan gadis murahan. Tapi ... apa sekarang kamu masih