Ia hanya mengikuti naluri kelelakiannya. Diciumnya bahu istrinya dengan lembut.Nara sangat terkejut dan menoleh memandang Fatan yang berdiri di belakangnya. Pria yang baru saja menyandang status suami itu sudah tidak mampu berkonsentrasi pada akhirnya, menghentikan pekerjaan tangannya. Ia hanya sibuk dengan degup di jantungnya. Sedangkan tatapan matanya, tertuju ke arah bibir yang sudah sangat dekat dengannya.Hembusan nafas suaminya, terasa hangat menyentuh wajahnya. Nara tersenyum dan berniat untuk menjahili Fatan. Bila pria yang baru saja berubah status jadi suaminya, tidak bisa memulai lebih dulu, maka tidak ada salahnya bila Nara yang akan memulai lebih dulu. Selama beberapa hari melewati proses pingitan, Fatan belajar lewat video dan website, untuk mengetahui apa saja yang dilakukannya ketika melakukan malam pertama dengan istrinya. Ia harus mencari video berciuman dan memperhatikannya. Meskipun ciuman pertama, namun ia ingin memberikan kesan yang indah untuk sang istri. Set
Fatan merasakan gemuruh didada. Dinginnya suhu di dalam kamar, sudah tidak terasa oleh tubuhnya yang sudah mulai berkeringat. Ada rasa gugup dan takut-takut yang datang melanda. Namun semua itu tersingkirkan karena rasa penasaran, ingin tahu dan mencicipi rasa yang memabukkan dan membuat candu. Pria berwajah tampan itu melepaskan tautan bibirnya, yang sudah menempel sejak tadi. Dihirupnya udara yang banyak sambil memandang wajah cantik istrinya. Nara kewalahan ketika mendapatkan serangan dari suaminya. Apa yang dilakukan oleh Fatan, tidak terbayangkan olehnya. Meskipun pria itu masuk kategori amatiran, namun ternyata cukup lihai. Nara memanfaatkan waktu yang diberikan suaminya, untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya.Setelah sama-sama menghirup udara yang banyak, Fatan kembali mencium bibir Nara. pria itu seakan tidak ada puasnya, setiap kali mencium bibir yang terasa manis dan lembut. Tangan yang sejak tadi diam, kini sudah mulai aktif bekerja. Tangannya sudah berani untuk mengusap
Fatan menggenggam tangan istrinya dengan sebelah tangannya. Ia mulai mencoba untuk menerobos gawang pertahanan istrinya. Apa yang sudah dipelajarinya, kini mulai diterapkannya. Awalnya hanya mendorong sedikit demi sedikit sambil menatap mata Nara. Disaat Nara mulai lengah, ia mendorong dengan kuat. Suara jeritan serta air mata istrinya, pertanda bahwa dirinya sudah berhasil menjadi suami sesuatunya. "Abang sakit Nara menangis menahan rasa sakit yang tidak pernah terbayangkan olehnya."Tahan ya sayang, sakitnya cuma sebentar." Fatan mengusap air mata dan mencium bibir bibir istrinya."Sok tahu." Nara menangis menahan rasa sakitnya. Meskipun dia selalu mendengarkan orang mengatakan sakit hanya sebentar, namun ia ragu saat merasakan sakit yang luar biasa seperti ini. "Kata yang sudah berpengalaman kayak gitu." Fatan menatap mata istrinya yang sedang berlinang air mata. Ia tersenyum dan mengusap air mata yang membasahi pipi Nara. Setelah rasa sakit berangsur berkurang dan tangisnya mula
Hana menggelengkan kepalanya"Kenapa nggak mau?" tanya Daffin"Baru saja kemarin dari dokter, masa sekarang sudah ke dokter lagi. Nanti kalau kita dokter, pasti dokter akan berkata, hamil besar memang seperti ini mak Hana, apa lagi kalau sudah dekat dengan jadwal persalinan." Hana berkata seperti apa yang selama ini dijawab oleh dokter spesialis kandungannya. Hana sudah sangat hafal dengan jawaban dari dokter spesialis kandungannya.Daffin menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan. Apa yang dikatakan oleh istrinya, memang benar. Biasanya dokter akan memberi jawaban seperti yang diucapkan Hana. Tentunya setelah memeriksa kondisi kehamilan istri tercintanya."Anak-anak Daddy, sehat-sehat ya disini. Sebentar lagi, kita akan bertemu dan berkumpul. Papi sudah tidak sabar ingin memeluk kalian, mendengar suara kalian." Daffin mengusap perut Hana dan menciumnya dengan penuh kasih sayang."Hana tersenyum memandang wajah suaminya. "Abang, jangan jauh-jauh dari Ha
Susi memandang nasi yang ada di dalam piringnya. Meskipun perutnya terasa perih, namun tetap saja tidak berselera untuk menyentuh nasi putih dengan menu tempe goreng dan sayur bening. "Aku sangat bosan makan seperti ini. Setiap hari menunya seperti ini selalu," batinnya. "Sudah beberapa bulan ini, kenapa adik, kamu tidak pernah nganterin lagi makanan ke sini?" tanya seorang narapidana yang sedang menyuapkan nasi kedalam mulutnya. Berliana hanya diam tanpa menjawab. Dimasukkannya nasi ke dalam mulutnya dan langsung menelan begitu saja. Setelah Hana tidak pernah lagi mengantarkan makanan-makanan enak untuknya, ia murni memakan makanan dari jatah tahanan saja. Meskipun sudah berbulan-bulan berada di sini, namun tetap saja lidahnya belum bisa menerima rasa makanan jatah dari tahanan. Terkadang, ia makan hanya untuk mengisi lambungnya saja. Susi memandang wajah narapidana yang sedang berbicara tersebut. Telinganya panas ketika orang itu menanyakan tentang anak tiri yang sudah menjebloska
Daffin masuk ke dalam kamar, dilihatnya Hana yang sedang berbaring miring ke arah dinding sambil memijat tulang punggung bagian belakang. Melihat gerak tangan sang istri, ia tahu bahwa wanita berperut besar itu sedang merasa sakit. Tanpa bertanya, pria itu duduk di belakang punggung dan mulai memijit istrinya.Hana memandang ke belakang dan tersenyum ketika melihat Daffin yang ternyata sudah duduk di belakangnya "Kok nggak kedengaran sih suaranya.""Tadi masuknya memang pelan-pelan kirain lagi tidur, takut ganggu. Sakit ya dek, pinggangnya?" Daffin berkata sambil mencium pipi istrinya."Iya, sejak tadi bangun tidur, pinggang Hana sakit sekali. Hana kasihan lihat mama yang sejak tadi pijat pinggang Hana." Hana teringat mama mertuanya yang tidak ada henti-hentinya melepaskan tangan dari pinggang bagian belakang, panggul dan kakinya. Wanita itu begitu sangat sabar menemaninya. "Sabar ya sayang, sebentar lagi anak kita akan lahir." Meskipun hanya tinggal menunggu hari, namun mengapa tera
Surya duduk dengan gelisah. Berulang kali pria itu menempelkan telinganya di daun pintu dan berharap bisa mendengarkan suara tangis kedua cucunya. Namun lagi-lagi ia harus kecewa dan pada akhirnya kembali duduk di kursi yang berada di depan ruang persalinan. "Pa gimana kabar Hana?" Nara bertanya sambil mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan."Papa belum tahu," jawab Surya. "Apa dokter atau perawat belum ada yang keluar dari ruangan untuk kita tanyain?" Mengetahui sahabatnya menjalin persalinan hari ini, membuat dirinya panik. Nara takut ada sesuatu yang buruk terjadi dengan kandungan sahabatnya. Surya menggelengkan kepalanya"Apa Hana tidak jadi Cesar pa?" Seharusnya ia berada di depan ruangan operasi bukan ruangan persalinan. "Papa nggak tahu, tadi papa lagi di kantor terus mama nelpon kata Mama, papa langsung ke rumah sakit karena Hana mau melahirkan. Jadi belum sempat banyak tanya." Surya berkata dengan raut wajah cemas. Nara diam mendengar ucapan dari papa mertua sahabatny
Bab 222"Kak Nara, apa kak Hana sudah lahiran?" Cinta bertanya dengan napas ngos-ngosan. Gadis itu kemudian duduk di samping Nara. Nara menggelengkan kepalanya. "Belum ya?" Melihat gelengan kepala Nara, Cinta mengambil kesimpulan."Gak tahu maksudnya, sejak tadi belum ada perawat atau dokter yang keluar." Nara menjelaskan."Sudah berapa jam, pa?" Cinta memandang Surya."Sudah 3 jam." Surya berkata dengan sangat pelan, namun bisa didengar jelas oleh Cinta dan Nara."Apa, sudah tiga jam pa? Perawat atau dokter belum juga ada yang keluar?" Cinta berkata dengan mata yang terbelalak besar. Kehadiran gadis itu bukan untuk menenangkan hatinya, namun semakin membuat ia pusin dan cemas. "Bagaimana mana ini, apa papa harus ketuk pintu." Surya panik dan beranjak dari duduknya. "Papa jangan, kita tidak tahu seperti apa kondisi Hana. Bila papa berbuat seperti itu, yang ada menganggu pekerjaan dokter." Nara dengan cepat menarik tangan Surya dan memaksa pria itu untuk kembali duduk. Ia berharap