"Jangan kamu kira Papa tidak tahu apa-apa!" ucap Pak Johan yang tiba-tiba memutar tubuhnya dan tangan kiri menggebrak meja. Wajahnya begitu dekat dengan wajah David. Matanya melotot seperti sedang menggertak jiwa playboy yang ada di dalam diri putranya. David hanya bisa terdiam. Pasrah karena seperti sudah ditelanjangi oleh ayahnya sendiri.
"Papa diam bukan berarti Papa tidak tahu! Papa diam bukan berarti Papa tidak memperhatikan kalian! Diam Papa selama ini ingin memberi kalian waktu untuk bertanggung jawab atas hidup kalian di masa muda!" ujar Pak Johan masih dengan nada tegasnya."Tapi tolong.. Bantu Papa kali ini dengan sungguh-sungguh, Nak!" kata Pak Johan menurunkan nada bicaranya menjadi sangat lembut."Papa bangun bisnis ini dengan keringat dan darah Papa. Jika penerus bisnis ini masih sedarah dengan Papa, Papa akan lebih bahagia dan lega." lanjut Pak Johan."Kalau memang mau Papa David penerusnya, kasih aja sekarang. Kenapa harus nunggu David nikah dulu?" tanya David sedikit menantang.Pak Johan menundukkan kepalanya dan mendengus. Ia segera menegakkan tubuhnya kembali dan menjaukan wajahnya dari muka anaknya. Kedua tangannya berkacak pinggang dan memalingkan wajahnya dari tatapan anaknya. Ia nampak kesal dan menggigit bibir bawahnya dengan singkat."Kamu! Berurusan sama satu wanita aja nggak becus, mau ngurusin orang banyak!" ucap Pak Johan sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya."Loh itu bukan tolak ukur yang fair dong, Pa. Pencapaian David sudah banyak. Sepuluh tahun, Pa, David bantu Papa di perusahaan ini! Kurang apa lagi?" sahut David sambil berdiri dari kursi, "Dan itu nggak sebanding kalau Papa mau David bersaing sama Nicho. Nicho itu cuma menantu Papa dan David anak kandung Papa.""Tapi setidaknya masih ada Cheryl, cucu kandung Papa!" sahut Pak Johan dengan dagu terangkat. David jatuh terduduk di kursinya lagi. Tangannya bersandar di meja dan memegang kepalanya yang mendadak pening. Alasan itu membuat David bungkam, tak ingin mengelak lagi."Baiklah kalau itu mau Papa. Beri David waktu lagi." pinta David dengan suara yang lesu."Enam bulan-""Pa!" teriak David dan melotot ke arah Pak Johan pertanda penolakan."Lima Bulan-" Semakin David protes, semakin Pak Johan mengurangi waktunya."Pa!""Em-""Nggak gampang cari cewek tulus jaman sekarang!" potong David memprotesnya segera sebelum waktu semakin menipis."Papa dan Mama bantu carikan.""Tapi, Pa.""Empat Bulan. Oke deal! Dalam waktu empat bulan akan Papa dan Mama bawakan calon untukmu. Papa pergi dulu." ucap Pak Johan sembari merapikan jasnya lalu berjalan dan meninggalkan David yang hanya bisa melongo tak berdaya."Kopi Papa masih utuh, kamu minum saja." kata Pak Johan tersenyum tengil saat berhenti di depan pintu. Jelas, David tak akan meminum kopi ayahnya. Pahit.Benar saja, tak sia-sia David meminta kopi manis kepada Patrick. Ia pun segera menyeruputnya sebelum terlanjur dingin. Setidaknya kehangatan kopi manis ini bisa memberi rasa lain di pagi ini.=======Hari yang sangat melelahkan bagi David dengan setumpuk berkas yang harus ia cek dan tanda tangani. Ia pun berjalan menuju kursi pijat elektrik yang di sudut ruangan tak jauh dari meja kerjanya. Tubuhnya kali ini terasa pegal dari hari-hari biasanya. Mungkin karena energi yang sudah separo terkuras di pagi tadi.David merebahkan tubuhnya dan menyetel pengaturan di kursi pijat itu. Kursi pijat ini memang merupakan fasilitas dari kantor khusus untuk jajaran direksi saja.David mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Ia mencari nomor bernama Patrick. Ia terlanjur nyaman jika harus bangun lagi dan menggunakan telepon kantor yang ada di atas meja kerjanya untuk menghubungi Patrick."Patrick, tolong untuk 30 menit ke depan, jangan ada yang masuk ke ruangan saya!" pinta David begitu Patrick mengangkat panggilan tersebut."Baik, Pak! Bapak tidak makan sian dulu?" tanya Patrick di seberang telepon."Nanti saja. Saya telepon kamu lagi kalau saya lapar." jawab David sambil memijat keningnya."Baik, Pak."David memutus sambungan teleponnya dan jempolnya kembali memainkan layar ponselnya. Ternyata ia sedang melihat daftar kontak telepon para mantannya. Ia tampak serius memperhatikan satu per satu nama dan foto yang terpampang di layar ponselnya. Telunjuknya terangkat dan mengusap-usap bibirnya, ia memicingkan matanya seperti sedang mengingat sesuatu."Cassandra." gumam David yang masih memicingkan matanya."Argh!" geram David dengan menggertakkan giginya lalu menghembuskan nafas panjang dan terkulai lemas. Tak mau lagi melihat ponselnya. Ia pun mencoba menikmati setiap pijitan yang terasa di seluruh badannya.Sejujurnya, dalam benak David, sudah memiliki prinsip bahwa ia apa yang sudah terjadi di masa lalu tak akan pernah ia mau ulang kembali. Mantan adalah sejarah, tak akan menjadi secercah asa untuk masa depan. Terlebih saat itu ia menjalani tidak dengan hati yang serius dan tulus. Itulah sebabnya ia merasa dilema saat ini. Berurusan dengan mantan lagi atau menerima perjodohan dari orang tuanya?"Oke oke oke!" kata David seperti orang gila setelah pikiran dan batinnya terlibat pertikaian. David pun memutuskan untuk menghubungi Sandra yang menurut dia kadar matrealistisnya masih wajar.Sudah tiga tahun tak pernah saling bertukar kabar dan ia hanya bisa beberapa kali melihat aktivitas Sandra di akun media sosialnya. Itu membuat David merasa sedikit canggung. Ia lebih baik bertemu dengan wanita baru, tapi tentu saja bukan wanita pilihan orang tuanya. Ia sangat enggan jika harus dijodohkan, namun mencari wanita baru kini bukan hal mudah baginya. Waktunya sangat terbatas karena pekerjaan terus memenuhi kehidupan David mulai dari ia membuka mata hingga mata terpejam di malam hari."Halo!" sapa David seketika sambungan telepon diangkat."Hai, David!" balas Sandra yang terdengar sangat sumringah di seberang sana.Ternyata dia masih menyimpan nomorku, begitu kata batin David sambil tersenyum tipis."Apa kabar kamu? Udah lama banget kita nggak teleponan sejak kita putus."Sandra cukup agresif di awal pembicaran. Hal itu membuat David kehilangan kata-kata dalam beberapa detik. Ternyata Sandra belum berubah."Baik, San. Kamu apa kabar?""Baik juga." suara genit sedikit keluar dari nada bicara Sandra."Kamu ada waktu nggak weekend ini?" tanya David to the point.Hening."Sandra." panggil David karena tidak ada jawaban segera."Ehm, weekend ya? Sorry, Vid. Kayaknya aku belum bisa deh." tolak Sandra dengan suara genit yang kentara sekali di telinga David.Dasar sok jual mahal.David pun mengulas senyum kemenangannya, "Baiklah kalau begitu. Aku matikan telepon dulu ya, aku harus rapat direksi sekarang.""Tapi-"David segera memencet tombol bergambar telepon merah di layar ponselnya sebelum wanita itu meneruskan kalimatnya."Cih. Tiga tahun berlalu dan kamu masih sok jual mahal. Trikmu terlalu lawas Sandra." ucap David menahan tawanya.Tak berselang lama ponsel David berdering merdu. Ia pun tahu siapa yang meneleponnya. Sandra. Ia mendengus tawa lalu berdiri dari kursi pijatnya. Tubuhnya mendadak kembali segar. Sepertinya ia rindu dengan kehidupan masa lalunya. Sudah lama ia tak merasakan sentuhan para wanita.Telepon masih berdering lagi. David melempar ponsel perlahan ke atas meja kerjanya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Telepon itu mati. Tak berselang lama terdengar suara notifikasi dari pesan singkat. David membuka pesan itu.Sandra : Maaf, David kalo aku ganggu kamu. Mungkin kita bisa ketemu weekend depan. Jadwalku kosong. Gimana?Jika ada yang menarik benangnya, harus ada yang mengulurnya. Karena kalau tidak, benang itu akan putus dan layang-layang tidak akan terbang dengan sempurna. Bukan begitu?"Lang, tolong kunci mobilnya nanti lo taruh di kamar gue aja." pinta David saar mesin mobil sudah mati. Mobil David itu sudah parkir di garasi huniannya. Rumahnya yang megah dan luas membuat mungkin 10 mobil bisa masuk ke garasi ini."Tumben, Bro. Mau kemana Lo?" tanya Gilang dengan sapaan yang khas jika berada diluar kantor atau tidak sedang dihadapan keluarga David."Kencan." jawab David singkat sambil membuka pintu mobil dan keluar dari sana."Sama siapa, Bro?" tanya Gilang sambil berteriak karena penasaran. Bosnya kumat lagi kah?"Sandra." jawab David lirih dari luar mobil dan membuat Gilang tak mendengarnya dengan jelas."Siapa?" teriak Gilang dari dalam mobil. Tetapi David malas untuk mengulangi jawabannya lagi dan berlalu pergi memasuki rumah."Dia bilang siapa ya? San- San siapa? Ahh awas aja kalau dia kumat lagi! Udah tau situasi genting begini, disuruh cari istri malah mau kencan buta!" Gilang tak henti-hentinya menggerutu di sepanjang ia berjalan menuju ke kamar David.Gil
Kencan hari pertama telah sukses dilalui David dan Sandra. Perasaan tak nyaman yang awalnya dirasakan oleh David pun sirna. Pekerjaan Sandra saat ini adalah seorang manajer keuangan di perusahaan barunya. Jadi wajar jika hunian dan penampilan Sandra kini tampak mewah dan glamor.David pun secara intens membalas setiap pesan yang dikirim oleh Sandra. David dengan senang hati menanggapi setiap pesan dari Sandra selama itu tidak menganggu pekerjaan mereka masing-masing. Mereka pun merencanakan pertemuan kedua mereka di minggu depan.Suatu pagi di ruang kantor yang dipimpin oleh David, terjadi sebuah kegaduhan kecil yang disebabkan oleh dua orang wanita. Seperti biasa, Bita mendapat berita mengejutkan dan ia pun segera memberitahukan kepada Sari, sobat bergosipnya. Sari mendengarkan dengan seksama cerita yang diungkapkan oleh Bita."Lo serius, Ta?" tanya Sari sambil menutup mulutnya."Gue sih serius kalau soal rumor itu, tapi yang benernya kayak gimana ya gue belum mastiin lagi." sahut Bi
David mendengar pintu ruangan kantornya di ketuk. Ia pun mempersilakan masuk orang yang mengetuk pintu tersebut. Ternyata Gilang, David pun bernapas lega. Selama setengah jam David harus menunggu kehadiran sahabatnya itu dengan perasaan gelisah."Iyap, Bos. Ada perintah apa nih?" tanya Gilang langsung duduk di kursi."Kemana aja sih, lo? Lama amat!" gerutu David kesal."Maapin ya, ada panggilan alam tadi." jawab Gilang cengengesan."Hah! Alesan aja, lo!""Kenapa sih, Bos? Uring-uringan? Heran deh kayak bini gue aja kalo lagi PMS." Kini giliran Gilang yang menggerutu."Bingung gue mau cerita dari mana?" kata David sambil memutar manik matanya."Cerita ya cerita aja sih, Bos.""Jadi gini-"David menceritakan kejadian tadi pagi yang disebabkan oleh Bita. Gilang pun mendengarkannya dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus sepanjang cerita. Tetapi kelakuan Gilang malah membuat David kesal."Kepala lo kenapa sih? Lo kira gue lagi nge-rap apa? Manggut-manggut mulu."
Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ib
David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Wenda duduk termenung di sudut café yang terletak di dalam kantor ayahnya itu. Minuman kopi yang tergeletak di sana pun telah habis ia minum. Dahaga melandanya karena harus berpikir bagaimana mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh ayahnya. Uang lima ratus juta telah habis tidak bersisa. Melaporkan kasus ini kepada polisi juga pasti memerlukan banyak biaya dan tenaga. Sedangkan tabungan yang dihasilkan Wenda dari jerih payahnya bekerja juga belum begitu banyak. Mungkin hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari dan sedikit untuk biaya sekolah adik-adiknya, sisanya entah apakah bisa untuk melanjutkan kehidupan mereka lagi.Ayahnya telah kembali bekerja sesaat setelah majikan meneleponnya. Profesinya sebagai supir pribadi bagi pengusaha bernama Johan Pramono sudah berjalan sekitar 23 tahun lamanya. Keterpurukan dan kemiskinan yang dialami Wenda sekeluarga dahulu tak lagi dirasakan ketika ayahnya mengabdi sebagai supir yang setia. Berkat ketelatenan dan kesaba
Cukup lama Kirana menanti wanita di depannya ini sadar dari pingsannya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Kirana menatap Wenda lekat-lekat dengan gelisah. Wajahnya cantik meskipun tubuhnya terlampau mungil jika dibanding dengan tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dan berisi. Wenda duduk disebuah kursi. Kepalanya tertunduk lemas, tubuhnya terikat pada sandaran kursi, begitu juga kedua tangan terikat di belakang dan kakinya."Heh bangun!" Kirana sudah tak sabar. Ia menepuk-nepuk pipi Wenda dengan kasar. Tak lama, Wenda mengerang lemah. Ia membuka matanya yang masih kabur. Kirana yang tahu bahwa Wenda sudah sadar, mulai memegang dagu Wenda dengan kasar dan mendongakkan kepalanya. Wajah mereka begitu dekat.Kirana menatap tajam ke wajah Wenda. Wenda yang masih lemah hanya bisa meringis kesakitan karena Kirana mencengkram dagunya sangat kencang."Jangan kasar-kasar, Kirana."Wenda yang pandangannya masih kabur, melihat sosok perempuan yang tidak ia kenal berada
Poli kandungan siang ini tak begitu ramai. Wenda segaja memilih hari ini karena kebetulan ia berdinas pagi. Ia ingin segera mengecek kandungannya karena sudah telalu lama ia terlambat haid."Selamat ya, Wenda, atas kehamilanmu. Perkembangan janinmu bagus." Dokter Pandu menyelamati Wenda selagi alat USG tertempel di perutnya."Terima kasih, Dok." ucap Wenda sedikit tegang. Ia melihat layar monitor yang tergantung di dinding. Sebuah kantong kehamilan beserta janin di dalamnya tergambar jelas di sana. Haruskah ia merasa bahagia atas kehidupan yang tak diduga ini? Memang sudah sewajarnya, kehidupan ini mungkin akan hadir setelah apa yang ia dan David lakukan selayaknya suami istri pada umumnya."Kita kontrol lagi bulan depan ya, Wen."Dokter Pandu melepaskan alat USG dan perawat membersihkan gel yang masih tersisa di perut Wenda."Saya beri vitamin-vitamin, diminum satu kali sehari saja." lanjut Dokter Pandu sambil berjalan ke mejanya dan mengetikkan sesuatu di kompu
Widya menghela napas panjangnya, sedangkan Wina terus menggenggam kedua tangan Wenda dengan mimik wajah sendu. Wenda telah menceritakan kisah 'cinta' antara dirinya dengan David."Gue tau, gue salah menaruh harapan ke laki-laki ini. Yang gue kira bakal balas perasaan cinta gue. Gue tau, gue cuma dimanfaatin karena situasi yang keluarga gue alami." Wenda menarik napasnya sejenak, "Tapi perasaan gue nggak bisa bohong, kalau gue suka.. cinta.. sama dia sejak pertama kali gue ketemu lagi setelah dewasa.""Kalau boleh gue saranin. Menurut gue, lo jangan lepasin David gitu aja sih. Lo mau anak lo ini nggak punya bapak? Lo harus perjuangin apa yang jadi hak lo dan si jabang bayi ini, Wen." ucap Wina dengan tatapan mata dari yang muram dan sendu berubah menjadi berkilat-kilat penuh amarah."Kalau menurut gue, gue sih setuju sama sebagian saran Wina, Wen. Lo emang harus perjuangin hak lo dan anak lo ini. David emang harus tanggung jawab sepenuhnya atas anak lo ini. Tapi, lo juga
David menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Dilihatnya Wenda juga sudah siap dengan sabuk pengaman di tubuhnya. Wenda duduk terdiam dan menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong."Are you okey, Wen?" tanya David khawatir. Bukan tanpa sebab, itu karena Wenda hanya menyantap sarapannya dengan porsi yang sedikit sekali. Berbeda dari hari biasanya."Aku nggak papa." jawab Wenda datar.Santi dan Monic menyusul masuk ke mobil kemudian. Mereka sangat berisik khas anak-anak yang sedang bersenda gurau. Hari ini David berinisiatif mengantar Wenda, Santi dan Monic karena ia bingung harus mengisi waktunya dengan kegiatan apa."Kalian sudah siap?" tanya David menoleh ke belakang."Siap, Mas." ucap Santi dan Monic bersamaan. Mereka juga telah memasang sabuk pengamannya."Ayo kita berangkat!" seru David dan disambut dengan riang oleh Santi serta Monic.David memutar lagu anak-anak di dalam mobil. Santi dan Monic pun bernyanyi dengan riang hingga sampai di s
Wenda masih duduk di tepi ranjang ayahnya. Ia begitu bingung dan canggung bagaimana harus menghadapi pria yang sedang mengambil koper dari bagasi mobil. Mengapa pria itu tiba-tiba datang ke rumahnya hampir tengah malam? Padahal sudah berulang kali ia menolak untuk bertemu bahkan pernah suatu kali ia mengusir pria itu saat datang ke rumahnya pagi hari. Waktu itu ayahnya tidak ada di rumah dan Wenda hanya sendirian karena usai dinas malam. Jadi, tidak ada yang bisa menghalagi Wenda untuk mengusir pria ini.Jadi, percuma rasanya jika Wenda mengusirnya di kedatangannya malam ini, ayahnya pasti akan curiga karena tak tahu apa-apa mengenai permasalahan mereka yang sebenarnya. Sungguh pintar pria ini memanfaatkan situasi. Dia datang di tengah malam saat orang yang bisa mempersilakan dia masuk ke dalam ada di rumah. Wenda berdecak kesal.Suara berisik terdengar di luar, membuat Wenda penasaran. Ia mengintip dari ambang pintu dan dilihatnya David sedang menarik sebuah koper sangat be
Gilang baru saja memasukkan mobil yang ia kendarai ke dalam garasi di kediaman Pramono. Dilihatnya mobil milik Pak Johan tidak ada di sana."Bokap lo pergi, Vid?""Hm?" David yang sedari tadi membaca proposal dalam perjalanan pulang dari berbagai rekanan perusahaannya di tabletnya, mulai mendongakkan kepalanya. Memandang sekeliling garasi. Hanya tertinggal mobil miliknya, ibunya, dan 2 mobil cadangan lainnya."Nah, tuh bokap lo pulang." tunjuk Gilang ke arah pagar rumah yang tertutup rapat. Garasi itu terbuka otomatis dan mobil Pak Johan mulai memasuki area kediamannya. David pun keluar dari mobil dan membereskan barang-barang miliknya di jok penumpang belakang."Papa sama Mama abis dari mana? Tumben nggak ngabarin David kalau pergi." tanya David setelah kedua orang tuanya keluar dari mobil."Kamu sendiri kenapa baru pulang?" tanya Pak Johan tak menjawab pertanyaan David. Ia heran mengapa anaknya itu pulang larut, padahal tadi siang baru saja mendapatkan sanksi s
Wenda berjalan memasuki sebuah restoran yang mewah. Ia merasa rendah diri memasuki restoran itu dengan pakaian casual yang saat ini ia kenakan. Blouse biru muda dengan aksen rumbai di bagian dada dan celana kain berwarna krem. Ia sama sekali tak tahu jika restoran ini termasuk dalam golongan restoran yang sangat mewah.Sebenarnya, Wenda memiliki gaun indah hasil pemberian dari calon mantan mertuanya. Namun, tak ia bawa saat kepergian di hari keributan itu karena ia merasa itu bukan miliknya."Selamat malam. Sudah pesan tempat, Bu?" tanya seorang pelayan yang menghampirinya."Mmm.. sudah." Wenda berpikir sejenak, "Atas nama Kristina.""Baik, mari silakan di sebelah sini, Bu."Wenda mengikuti pelayan itu ke sebuah ruangan yang lumayan jauh masuk ke dalam restoran itu. Pelayan membuka pintu dan Wenda melihat Bu Tina sudah berada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan tersenyum sumringah saat menatap Wenda. Di sebelah Bu Tina, ada Pak Johan yang juga ikut berdiri dan
"Nicholas ada di ruangannya?" tanya David kepada Tasya-sekretaris Nicho-begitu sampai di depan ruangan Nicho."Ada, Pak David. Tapi sedang ada-Pak David.. tunggu, Pak.."David langsung melangkah masuk ke ruangan itu tanpa mempedulikan Tasya yang berusaha menghalanginya. David melihat ada dua orang pria tak dikenalnya sedang duduk berhadapan dengan Nicho di meja kerjanya. Penampilan mereka rapi, berstelan jas hitam, namun raut wajahnya nampak seperti preman."Mas David.." gumam Nicho."Maaf, Pak Nicho. Tapi Pak David-" Kalimat Tasya terhenti saat Nicho mengangkat tangan kanannya dan mengangguk. Tasya pun langsung paham dengan isyarat Nicho. Ia keluar ruangan dalam diam."Bisa kita ngobrol sebentar?" tanya David sambil menatap lekat ke arah dua orang pria itu, "Ini penting."Nicho mengalihkan pandangannya ke dua pria di depannya dan tersenyum, "Kita lanjutkan besok lagi. Terima kasih atas bantuannya.""Sama-sama, Mas. Kami undur diri dulu." Mereka pun salin
"Mama nggak habis pikir sama jalan pikiranmu, Vid. Mama kira kamu sama Wenda memang ada hubungan yang sengaja kalian sembunyikan karena itu kamu selalu menolak perjodohan yang Mama dan Papa sarankan."Bu Tina langsung mengadakan sidang di ruang kerja Pak Johan begitu David tiba di rumah usai mengantar Wenda pulang ke rumah ayahnya. David tak menyangka jika ibundanya masih dalam kondisi 'on' meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat.Yang benar saja! Mana bisa Bu Tina tidur nyenyak setelah melihat menantu perempuan satu-satunya meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya setelah keributan heboh sore tadi. Bisa jadi malah tidak akan pernah kembali ke rumah ini. Bu Tina tidak bisa tinggal diam begitu saja."Aku minta maaf, Ma.." David hanya bisa tertunduk lesu. Ia duduk di sofa dengan wajah yang muram."Bukan untuk Mama permintaan maafmu itu, tapi ke Wenda! Bisa-bisanya kamu nipu Mama sekaligus Tuhanmu dengan surat kontrak pernikahan itu! Pernikahan itu sakral, V