"Bro, mau mampir ngopi dulu kagak?" tanya Gilang sembari menganggukan kepala mencoba menikmati musik di dalam mobil. Gilang memutar kepalanya ke kanan dan melempar pandangan ke luar jendela. Ia terlihat cemas karena melihat para pemotor sibuk menerobos celah sempit antara mobil dan trotoar. Ia takut para pemotor itu akan menyebabkan goresan pada mobil yang ia kendarai. Meskipun 8 tahun sudah ia menjadi supir pribadi yang merangkap asisten bagi sahabatnya sendiri, tetap saja perasaan was-was selalu menghantui di kala kemacetan melanda di Ibu Kota ini. Maklum, ini mobil mahal dan bukan miliknya. Takut rugi bandar, Bosque!!
"Nggak dulu. Langsung kantor aja, buruan!" jawab David dengan nada meninggi dan terlihat gusar sambil mengecek sesuatu di tablet- nya."Kan rapat direksi masih entar jam 10. Ngapain buru-buru?" tanya Gilang heran."Gue belum bikin resume, Nyet! Aarrggh! Sialan emang!" geram David setengah meremas tablet - nya."Njir!! Kesambet ape Lo?" Gilang sangat terkejut mendengar kalimat yang diucapkan David. seorang David yang sangat ambisius bisa bisanya melupakan hal terpenting dalam hidupnya!"Kampret emang Bokap gue!" kata David kesal."Hussh!! Istighfar, Vid!! Gimanapun itu Bos gue juga. Gue boleh ngatain Lo, tapi nggak mungkin juga gue ngatain Bos gue yang satu itu!" sahut Gilang penuh penekanan."Sialan Lo!!" David memaki sambil melepar tablet ke jok belakang sebagai ganti bahwa ia tak tega memukul ayah satu anak yang duduk di sampingnya itu."Gue tebak ya, pasti ini ada hubungannya sama calon mantu. Iya kan?" tanya Gilang yang perlahan-lahan melajukan mobilnya."Cih. Calon mantu. Apa itu? Semua sama aja! Lo liat kan kelakuan Nicho? Ya pasti begitu juga dapetnya." Gilang tahu kemana arah pembicaraan David. Ia sedang membahas adik iparnya yang merangkap juga sebagai rivalnya selama kurang lebih 7 tahun terakhir.Nicholas Soewardi 7 tahun lalu datang sebagai pegawai baru di perusahaan Bapak Johan Pramono - Ayah David. Ia termasuk pria cerdas, mudah beradaptasi dan cepat tanggap dalam menerima hal baru. Selain karena sifat-sifat tersebut yang banyak digemari oleh atasannya, ia pun memiliki sifat dan sikap yang banyak disukai oleh kaum hawa, termasuk Patricia Kamila Pramono, adik seorang Wakil Presiden Direktur, David Jonathan Pramono. Oleh sebab itu, bukan tak mungkin karir Nicholas bisa melesat bak rudal nuklir dan berhasil mengancam kedudukan David saat ini."Oke, terus Lo maunya apa? Seperti yg Bokap lo bilang, kalau sampai lo nggak dapet istri, persaingan bisnislah second solution- nya. Menurut gue, itu fair banget sih." kata Gilang mengutarakan pendapatnya."Ya nggak fair-lah!" bantah David tak terima. "Hanya karena dia jadi menantu Bokap sekarang bisa bersaing sama gue yang jelas-jelas anak kandungnya! Harusnya yang jadi saingan gue, ya adik gue sendiri.""Ngaco lo, Vid. Jelas-jelas kalian beda jurusan, Mila pramugari, elo businessman. Ya Bokap lo adil dong milih Nicho jadi saingan lo." sahut Gilang penuh antusias. Sebenarnya ia juga sama sekali tak setuju jika kelak Nicho jadi calon Presdir di Perusahaan itu. Sama halnya dengan sahabatnya itu, ia merasa Nicho seperti menantu yang hanya doyan harta. Makanya, Gilang berusaha membakar semangat David dengan terus memanas-manasi hati dan pikirannya."Apa susahnya sih cari istri? Stok lo kan banyak dari jaman dulu, tinggal pilih aja salah satu terus hubungin mereka. Masalah rasa, pikirin entar dah." lanjut Gilang mencoba memberi solusi."Sialan! Lo pikir mau beli roti apa!" sahut David sambil memijat kepalanya yang mendadak pening. "Gue tiduran dulu lah. Kecilin tuh musik!""Okay, Bos!"======"Selamat Pagi, Pak!" sapa dua orang wanita yaitu bawahan David saat melalui lorong menuju ruangan di kantornya. David pun hanya membalas mereka dengan senyuman sekadarnya. Batinnya begitu penat sampai-sampai tersenyum pun malas.David pun mendengar suara berbisik-bisik dari keduanya sembari mereka berlalu. Ia sudah tak heran, Bita dan Sari memang ratu gosip di ruangan kantornya. Wajar saja jika sikapnya pagi ini menjadi topik hangat di bibir mereka karena setiap hari David selalu nampak ceria, selalu membalas sapaan para bawahannya dengan senyumnya yang menawan."Selamat pagi, Pak!" sapa Patrick yang langsung berdiri dari bangkunya. Ia menjabat sebagai sekretaris handal dan terpercaya bagi David."Pagi." balas David tanpa senyuman dengan lesu."Pak, Ada Pak Presdir di ruangan Bapak." ucap Patrick yang membuat David menghentikan gerak tangannya untuk membuka handel pintu. Ia tahu alasan Ayahnya datang ke ruangannya."Bapak mau saya buatkan kopi juga?" lanjut Patrick menawarkan diri dengan senang hati."Tolong buatkan. Kali ini dengan gula." pinta David dan pintu pun ia dorong dengan perlahan.Patrick diam sejenak dan tertegun. Baru kali ini dia mendengar permintaan David seperti itu selama 5 tahun mengabdi menjadi sekretaris. Biasanya kopi pahit adalah favoritnya.David memasuki ruangan dan melihat sekeliling ruangannya karena tidak melihat ayahnya duduk di sofa tamu. Pak Johan ternyata sedang berdiri di dekat jendela samping meja kebesaran David."Pagi Pa!" sapa David mencoba seramah dan seceria mungkin setelah menutup pintu.Pak Johan hanya membalas sapaan David dengan berdeham. Hal itu membuat batin David semakin bergejolak. Sepenting itukah menantu perempuan untuk Ayahnya?David melangkahkan kakinya dan duduk di kursi depan mejanya, buka di kursi kebesarannya. Ia melihat cangkir kopi yang ada di atas mejanya. Uap panas masih banyak mengepul di sana yang menandakan bahwa ayahnya baru saja datang."Kenapa kamu nggak pulang? Tidur di hotel lagi? Mau menghindar terus dari Papa sama Mama? Waktu terus berjalan, Vid. Mau sampai kapan kamu menundanya?" tanya Pak Johan memecah keheningan, "Cheryl sudah 4 tahun dan kamu masih belum beristri."Cheryl adalah buah cinta Mila dan Nicho. Dugaan David benar, ayahnya datang kemari pasti ingin membahas hal itu lagi. Sejak 3 hari yang lalu ia memang sengaja tak pulang ke rumah, usai perdebatan hebat mengenai 'kapan kamu nikah?' Pertanyaan itu membuat kuping David terus berdenging kesakitan.Tok tok tok.Patrik mengetok pintu ruangan David dan langsung masuk dengan membawa sebuah nampan yang berisi secangkir kopi untuk David. Pembicaraan ayah dan anak itu terhenti sesaat."Kopinya, Pak.""Iya, tolong taruh situ saja!" pinta David dengan mengedikkan dagunya ke arah meja tamu di belakang Patrick."Baik, Pak." Patrick meletakkan cangkir kopi itu di atas meja, "Saya permisi dulu, Pak.""Makasih." ucap David sambil menganggukan kepala dan tersenyum."Apa perlu Papa carikan wanita untukmu?" tanya Pak Johan yang masih menatap keluar jendela kaca itu."Tidak perlu, Pa. Seperti David bilang, David akan cari sendiri." jawab David."Cari-cari-cari!" sahut Pak Johan dengan nada yang meninggi sambil membentangkan tangan kirinya ke samping.Pak Johan memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah mata putranya, "Mau kamu cari kemana lagi? Belum puas kamu bermain dengan wanita yang hanya mengincar hartamu!! Cari satu wanita yang benar saja tidak becus!!"David yang mendengar kemarahan ayahnya itu hanya bisa membelalakkan matanya karena terkejut. Tak disangka, ternyata Pak Johan bisa mengetahui track record-nya dengan para wanita yang ia bawa ke kehidupan pribadinya."Lari kemana saja uang gajimu selama kerja di sini, hah!" bentak Pak Johan tepat di depan muka David."Anu, Pa." David terbata, masih syok karena ternyata ayahnya tahu ke mana uang gaji David dihabiskan. Pak Johan begitu murka saat ini."Anu anu anu! JAWAB DENGAN LANTANG SEPERTI KAMU YANG MENGUMBAR PUISI CINTA UNTUK PARA WANITAMU ITU!" seru Pak Johan dengan suara menggelegar hingga seluruh penjuru ruangan David bahkan mungkin terdengar sampai di luar ruangan itu. Kedua tangannya mengudara bak pemain teater sedang membawakan puisi di depan penonton. Hal itu seketika membuat David malu, memikirkan bagaimana jika anak buahnya mendengar, terlebih Bita dan Sari yang mendengar. Rumor buruk pun akan segera menyebar ke seluruh sudut gedung kantor ini.David bisa saja tampak tegas, berwibawa dan garang di depan karyawannya, tapi tidak jika di depan orang yang bernama Johan ini. Karakter orang ini begitu mendominasi bagi kehidupan David dari lahir hingga detik ini. Ia tak akan naik pitam hingga ke pucuk jika sesuatu berjalan sesuai rencananya."Jangan kamu kira Papa tidak tahu apa-apa!" ucap Pak Johan yang tiba-tiba memutar tubuhnya dan tangan kiri menggebrak meja. Wajahnya begitu dekat dengan wajah David. Matanya melotot seperti sedang menggertak jiwa playboy yang ada di dalam diri putranya. David hanya bisa terdiam. Pasrah karena seperti sudah ditelanjangi oleh ayahnya sendiri."Papa diam bukan berarti Papa tidak tahu! Papa diam bukan berarti Papa tidak memperhatikan kalian! Diam Papa selama ini ingin memberi kalian waktu untuk bertanggung jawab atas hidup kalian di masa muda!" ujar Pak Johan masih dengan nada tegasnya."Tapi tolong.. Bantu Papa kali ini dengan sungguh-sungguh, Nak!" kata Pak Johan menurunkan nada bicaranya menjadi sangat lembut."Papa bangun bisnis ini dengan keringat dan darah Papa. Jika penerus bisnis ini masih sedarah dengan Papa, Papa akan lebih bahagia dan lega." lanjut Pak Johan."Kalau memang mau Papa David penerusnya, kasih aja sekarang. Kenapa harus nunggu David nikah dulu?" tanya David sedikit
"Lang, tolong kunci mobilnya nanti lo taruh di kamar gue aja." pinta David saar mesin mobil sudah mati. Mobil David itu sudah parkir di garasi huniannya. Rumahnya yang megah dan luas membuat mungkin 10 mobil bisa masuk ke garasi ini."Tumben, Bro. Mau kemana Lo?" tanya Gilang dengan sapaan yang khas jika berada diluar kantor atau tidak sedang dihadapan keluarga David."Kencan." jawab David singkat sambil membuka pintu mobil dan keluar dari sana."Sama siapa, Bro?" tanya Gilang sambil berteriak karena penasaran. Bosnya kumat lagi kah?"Sandra." jawab David lirih dari luar mobil dan membuat Gilang tak mendengarnya dengan jelas."Siapa?" teriak Gilang dari dalam mobil. Tetapi David malas untuk mengulangi jawabannya lagi dan berlalu pergi memasuki rumah."Dia bilang siapa ya? San- San siapa? Ahh awas aja kalau dia kumat lagi! Udah tau situasi genting begini, disuruh cari istri malah mau kencan buta!" Gilang tak henti-hentinya menggerutu di sepanjang ia berjalan menuju ke kamar David.Gil
Kencan hari pertama telah sukses dilalui David dan Sandra. Perasaan tak nyaman yang awalnya dirasakan oleh David pun sirna. Pekerjaan Sandra saat ini adalah seorang manajer keuangan di perusahaan barunya. Jadi wajar jika hunian dan penampilan Sandra kini tampak mewah dan glamor.David pun secara intens membalas setiap pesan yang dikirim oleh Sandra. David dengan senang hati menanggapi setiap pesan dari Sandra selama itu tidak menganggu pekerjaan mereka masing-masing. Mereka pun merencanakan pertemuan kedua mereka di minggu depan.Suatu pagi di ruang kantor yang dipimpin oleh David, terjadi sebuah kegaduhan kecil yang disebabkan oleh dua orang wanita. Seperti biasa, Bita mendapat berita mengejutkan dan ia pun segera memberitahukan kepada Sari, sobat bergosipnya. Sari mendengarkan dengan seksama cerita yang diungkapkan oleh Bita."Lo serius, Ta?" tanya Sari sambil menutup mulutnya."Gue sih serius kalau soal rumor itu, tapi yang benernya kayak gimana ya gue belum mastiin lagi." sahut Bi
David mendengar pintu ruangan kantornya di ketuk. Ia pun mempersilakan masuk orang yang mengetuk pintu tersebut. Ternyata Gilang, David pun bernapas lega. Selama setengah jam David harus menunggu kehadiran sahabatnya itu dengan perasaan gelisah."Iyap, Bos. Ada perintah apa nih?" tanya Gilang langsung duduk di kursi."Kemana aja sih, lo? Lama amat!" gerutu David kesal."Maapin ya, ada panggilan alam tadi." jawab Gilang cengengesan."Hah! Alesan aja, lo!""Kenapa sih, Bos? Uring-uringan? Heran deh kayak bini gue aja kalo lagi PMS." Kini giliran Gilang yang menggerutu."Bingung gue mau cerita dari mana?" kata David sambil memutar manik matanya."Cerita ya cerita aja sih, Bos.""Jadi gini-"David menceritakan kejadian tadi pagi yang disebabkan oleh Bita. Gilang pun mendengarkannya dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus sepanjang cerita. Tetapi kelakuan Gilang malah membuat David kesal."Kepala lo kenapa sih? Lo kira gue lagi nge-rap apa? Manggut-manggut mulu."
Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ib
David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Wenda tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa atas perlakuan David terhadapnya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Kehangatan yang ada di tangan kanannya mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat ia merasa sedikit kepanasan, terutama di bagian wajahnya. Wenda ingin sekali melepaskan genggaman itu, tetapi semakin Wenda berkutik, semakin erat pula David menggenggamnya. Bahkan akan menarik tangan Wenda untuk tetap berada di atas paha David. Tangannya berada di daerah yang sangat menegangkan, zona di mana membuat Wenda teringat akan sesuatu yang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Wenda memejamkan matanya dan menggeleng dengan cepat. "Kenapa Wen?" "Eh, enggak papa Mas." jawab Wenda cepat. Ia baru sadar ternyata David memperhatikan dirinya sedari tadi. "Kamu sakit? Kepalamu pusing?" "Enggak, Mas. Aku nggak kenapa-kenapa." jawab Wenda lagi dengan cepat. "Tanganmu agak anget sih." David mengelus tangan Wenda yang ada di genggamannya. Ia pun melepas genggaman itu dan mengendali
Wenda sudah bersiap untuk menuju ke rumah sakit lagi walaupun pada akhirnya nanti ia akan berhadapan dengan omelan mertua karena sikap keras kepalanya. Tangan dan kaki yang beberapa hari kemarin sakit, badan yang sekarang lelah karena kurang tidur pun, seolah tak ia rasakan sama sekali. Ia pun bersikeras untuk tetap datang setiap hari ke rumah sakit demi adik bungsunya itu. Wenda merasa, apa yang dulu menjadi tanggung jawab ibunya, kini ia harus menggantikannya. Terlebih Santi masih terlalu kecil dan tak seharusnya ia kehilangan sosok ibu diusianya saat ini. "Sorry, Wen, nunggu lama. Tadi ada telpon dari David." ucap Gilang yang kini sudah masuk ke dalam mobil sambil membawa sebuah amplop besar berwarna cokelat. Wenda sudah menunggunya dengan masuk ke dalam mobil yang sudah menyala. "Kenapa sama David, Mas?" tanya Wenda penasaran. "Ini, dia, anu, apa.. berkas dia ada yang ketinggalan." jawab Gilang sedikit terbata. Gilang agak terkejut karena Wenda bert
"Wen.. Bangun...!"Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Bu Tina menepuk perlahan lengan Wenda dan ia masih saja tertidur pulas di sofa samping ranjang Santi. "Mbak Wenda belum mau bangun ya, Tante?" tanya Santi dengan kondisi yang masih sangat lemah. Ia memiringkan tubuhnya perlahan untuk menatap Bu Tina dan Wenda. "Belum, Nak." jawab Bu Tina, "Wen, Wenda sayang.. Bangun.. ""Iya, Mas.. Bentar lagi, Wenda masih ngantuk.."Bu Tina tersenyum geli mendengar kata 'Mas' yang terucap di bibir Wenda. Pasti menantunya itu mengira dirinya adalah David, anaknya. Memang sebaiknya pengantin baru itu jangan berpisah terlalu lama. Akhinya akan jadi seperti ini 'kan? "Wenda.. Bangun..!" Bu Tina menepuk lengan Wenda lebih keras lagi. Namun ternyata hasilnya sama saja. Wenda malah sedikit menggeliat dan melipat kedua lengan ke depan tubuhnya. Seperti sedang memeluk sesuatu. "Iya, Mas.. Wenda juga kangen sama Mas... Hmmm..""W
"David itu bener-bener keterlaluan! Nggak ada rasa empatinya sama sekali. Lagi kondisi kayak gini bisa-bisanya dia berlagak jadi bos, yang tinggal perintah sana perintah sini! Emang dia pikir Santi itu barang yang bisa asal dipindah tempat apa!"Wenda terus saja menggerutu di sepanjang perjalanannya menuju ruang rawat Santi. Ia meluapkan semua rasa kekesalannya atas ucapan David tadi. Ia masih tak habis pikir dengan kelakuan David yang seenak jidat itu. "Mending dia pergi aja jauh-jauh daripada harus repot-repot dateng ke sini tengah malem, kalo cuma mau ngajak ribut. Huh!"Wenda menghela napas kesalnya sekali lagi. Ia menghentikan gerutuannya usai lift yang ia naiki sudah sampai di lantai yang ia tuju. Ia terlalu malu untuk menggerutu sendiri di sepanjang lorong ruangan, di mana perawat terkadang masih lalu-lalang untuk mengecek kondisi pasien di kamar masing-masing. Saat ini, Santi tengah menjalani terapi penambahan trombosit dari para donor s
Sejak mendapat kabar buruk mengenai kondisi adik iparnya, David langsung terbang kembali ke Jakarta malam itu juga. Hampir saja David kehabisan tiket, karena hari ini hari Minggu, jadwal penerbangan di Bali saat itu padat sekali. David pun terbang dengan jadwal penerbangan terakhir di malam itu. Sesampainya di Jakarta, David juga langsung menuju ke rumah sakit tempat Santi dirawat. Namun karena ia datang disaat hampir tengah malam dan bukan di waktu jam besuk pasien, ia pun tak diperbolehkan masuk oleh petugas security. David pun hanya bisa mengalah setelah berbagai kalimat negosiasi ditolak mentah-mentah oleh mereka. David sadar, ini memang bukan saat yang tepat untuk menjenguk Santi, tetapi ia juga merasa khawatir dengan kondisi kaki Wenda yang tengah sakit. Bu Tina memberi tahunya bahwa Wenda malam ini tidur di rumah sakit ini untuk menjaga adiknya. Itulah mengapa ia hanya ingin memastikan bahwa Wenda baik-baik saja. Itu saja! David hanya bisa duduk
Mobil hitam itu melaju dengan tangkas memasuki area parkir di sebuah rumah sakit. Gilang, sang pengemudi handal sudah sangat terlatih untuk mencari slot kosong di area parkir dengan cepat. Hal inilah yang memberi kelegaan di dalam hati Wenda. Batinnya kini tengah terkoyak karena kabar buruk sedang menimpa adik bungsunya itu. Wenda melangkah keluar mobil dengan cepat sambil menggandeng Monic. Tak lama Bu Tina dan Gilang menyusul kemudian. Dengan setengah berlari Wenda memasuki gedung rumah sakit itu dan bertanya kepada salah seorang petugas security."Siang, Pak. Mau tanya ruangan Dahlia di mana ya, Pak?" tanya Wenda menyebutkan nama ruangan berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari Monic. Meskipun informasi itu belum terlalu detail di kamar nomer berapa adiknya, Santi, tengah dirawat. "Ibu silakan jalan ke arah sini, nanti ruangannya ada di sebelah kanan Ibu." ucap pria security tersebut dengan ramah sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya.
"Habisnya nggak sembuh-sembuh. Kan kasian istriku ini.. Mau ya sayang?" David mencoba merayunya dengan panggilan itu lagi. Membuat bulu kuduk Wenda merinding. "Diih, ogah!" sahut Wenda singkat lalu reflek mematikan panggilan telepon itu dan melempar ponsel untuk menjauhi dari dirinya. Ia pun menenggelamkan wajahnya lagi ke atas bantalnya.Wenda begitu terkejut ketika Tuan Muda itu tiba-tiba meneleponnya. Tepat di saat Wenda sedang memikirkan David di dalam otaknya bersama dengan kenangan yang terjadi kemarin malam di hotel Lombok. Bagaimana David bisa tahu bahwa ia sedang memikirkannya? Bahkan David menjawab apa yang sedang ia tanyakan di dalam otaknya. Wenda hanya ingin tahu apakah David sudah sampai di Bali atau belum. Memikirkan hal ini membuat Wenda merasa malu. Ia pun memukul-mukul ranjangnya perlahan untuk pelampiasan emosinya itu. Tak lama, Wenda pun segera beranjak dan duduk di atas ranjang dengan sangat cepat. Ia seperti teringat akan
Nicho membuka pintu kamar hotel tempat di mana awalnya ia akan bermalam dengan wanita koper itu. Namun, tak jadi ia lakukan karena sudah tertangkap basah oleh kakak iparnya sendiri. Wanita itu sangat terkejut saat melihat wajah Nicho sudah lebam dan bibir berdarah. Sedangkan David hanya menyeringai kecut melihat drama yang ditampilkan oleh wanita itu. "Mas, wajahmu kenapa?" tanya Wanita Koper yang akan menyentuh wajahnya tetapi di tepis oleh Nicho. Nicho pun lanjut berjalan dengan langkah gontai dan masuk ke dalam kamar. Wanita itu bergantian menatap David yang hanya berdiri di ambang pintu. "Mbak, mau tau jawabannya nggak?" cibir David sambil bersandar di tembok. "Mas tau siapa yang mukul suami saya?" tanya Wanita Koper penasaran. "Saya yang mukul." jawab David enteng saja tanpa beban apalagi merasa bersalah. "Loh, Mas ini siapa ya kok berani-beraninya mukul suami saya? Ada masalah apa sama suami saya, ha?" Wanita itu naik pitam dan memelototi David."Ck! Ini suaminya siapa, tapi
Pesawat David landing tepat pukul 11 malam Waktu Indonesia Tengah. Rasa lelah sudah menghantui tubuhnya hingga tanpa sadar ia salah mengambil koper saat bagasi pesawat mulai dibuka. Warna koper itu sama-sama hitam dan besarnya juga tak jauh berbeda. Namun perbedaan itu terletak pada motifnya. "Maaf, Mas. Itu koper saya." ucap seorang wanita tinggi semampai dan berambut panjang dengan model highlight. Jika wanita itu tak memperingatkan David sudah bisa dipastikan koper itu akan terbawa sampai ke hotel. "Oh iyakah?" David pun mengecek koper itu sekilas dan benar saja seperti apa yang diucap wanita cantik itu. "Maaf, Mbak, kopernya mirip. Ini saya kembalikan." David memberikan koper itu dengan perasaan malu dan canggung. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pun berlalu pergi. Sedangkan David masih menunggu kedatangan koper miliknya. David menaiki taksi yang sudah tersedia di bandara. Untuk kali ini tidak ada supir pribadi utusan dari perus