"Bro, mau mampir ngopi dulu kagak?" tanya Gilang sembari menganggukan kepala mencoba menikmati musik di dalam mobil. Gilang memutar kepalanya ke kanan dan melempar pandangan ke luar jendela. Ia terlihat cemas karena melihat para pemotor sibuk menerobos celah sempit antara mobil dan trotoar. Ia takut para pemotor itu akan menyebabkan goresan pada mobil yang ia kendarai. Meskipun 8 tahun sudah ia menjadi supir pribadi yang merangkap asisten bagi sahabatnya sendiri, tetap saja perasaan was-was selalu menghantui di kala kemacetan melanda di Ibu Kota ini. Maklum, ini mobil mahal dan bukan miliknya. Takut rugi bandar, Bosque!!
"Nggak dulu. Langsung kantor aja, buruan!" jawab David dengan nada meninggi dan terlihat gusar sambil mengecek sesuatu di tablet- nya."Kan rapat direksi masih entar jam 10. Ngapain buru-buru?" tanya Gilang heran."Gue belum bikin resume, Nyet! Aarrggh! Sialan emang!" geram David setengah meremas tablet - nya."Njir!! Kesambet ape Lo?" Gilang sangat terkejut mendengar kalimat yang diucapkan David. seorang David yang sangat ambisius bisa bisanya melupakan hal terpenting dalam hidupnya!"Kampret emang Bokap gue!" kata David kesal."Hussh!! Istighfar, Vid!! Gimanapun itu Bos gue juga. Gue boleh ngatain Lo, tapi nggak mungkin juga gue ngatain Bos gue yang satu itu!" sahut Gilang penuh penekanan."Sialan Lo!!" David memaki sambil melepar tablet ke jok belakang sebagai ganti bahwa ia tak tega memukul ayah satu anak yang duduk di sampingnya itu."Gue tebak ya, pasti ini ada hubungannya sama calon mantu. Iya kan?" tanya Gilang yang perlahan-lahan melajukan mobilnya."Cih. Calon mantu. Apa itu? Semua sama aja! Lo liat kan kelakuan Nicho? Ya pasti begitu juga dapetnya." Gilang tahu kemana arah pembicaraan David. Ia sedang membahas adik iparnya yang merangkap juga sebagai rivalnya selama kurang lebih 7 tahun terakhir.Nicholas Soewardi 7 tahun lalu datang sebagai pegawai baru di perusahaan Bapak Johan Pramono - Ayah David. Ia termasuk pria cerdas, mudah beradaptasi dan cepat tanggap dalam menerima hal baru. Selain karena sifat-sifat tersebut yang banyak digemari oleh atasannya, ia pun memiliki sifat dan sikap yang banyak disukai oleh kaum hawa, termasuk Patricia Kamila Pramono, adik seorang Wakil Presiden Direktur, David Jonathan Pramono. Oleh sebab itu, bukan tak mungkin karir Nicholas bisa melesat bak rudal nuklir dan berhasil mengancam kedudukan David saat ini."Oke, terus Lo maunya apa? Seperti yg Bokap lo bilang, kalau sampai lo nggak dapet istri, persaingan bisnislah second solution- nya. Menurut gue, itu fair banget sih." kata Gilang mengutarakan pendapatnya."Ya nggak fair-lah!" bantah David tak terima. "Hanya karena dia jadi menantu Bokap sekarang bisa bersaing sama gue yang jelas-jelas anak kandungnya! Harusnya yang jadi saingan gue, ya adik gue sendiri.""Ngaco lo, Vid. Jelas-jelas kalian beda jurusan, Mila pramugari, elo businessman. Ya Bokap lo adil dong milih Nicho jadi saingan lo." sahut Gilang penuh antusias. Sebenarnya ia juga sama sekali tak setuju jika kelak Nicho jadi calon Presdir di Perusahaan itu. Sama halnya dengan sahabatnya itu, ia merasa Nicho seperti menantu yang hanya doyan harta. Makanya, Gilang berusaha membakar semangat David dengan terus memanas-manasi hati dan pikirannya."Apa susahnya sih cari istri? Stok lo kan banyak dari jaman dulu, tinggal pilih aja salah satu terus hubungin mereka. Masalah rasa, pikirin entar dah." lanjut Gilang mencoba memberi solusi."Sialan! Lo pikir mau beli roti apa!" sahut David sambil memijat kepalanya yang mendadak pening. "Gue tiduran dulu lah. Kecilin tuh musik!""Okay, Bos!"======"Selamat Pagi, Pak!" sapa dua orang wanita yaitu bawahan David saat melalui lorong menuju ruangan di kantornya. David pun hanya membalas mereka dengan senyuman sekadarnya. Batinnya begitu penat sampai-sampai tersenyum pun malas.David pun mendengar suara berbisik-bisik dari keduanya sembari mereka berlalu. Ia sudah tak heran, Bita dan Sari memang ratu gosip di ruangan kantornya. Wajar saja jika sikapnya pagi ini menjadi topik hangat di bibir mereka karena setiap hari David selalu nampak ceria, selalu membalas sapaan para bawahannya dengan senyumnya yang menawan."Selamat pagi, Pak!" sapa Patrick yang langsung berdiri dari bangkunya. Ia menjabat sebagai sekretaris handal dan terpercaya bagi David."Pagi." balas David tanpa senyuman dengan lesu."Pak, Ada Pak Presdir di ruangan Bapak." ucap Patrick yang membuat David menghentikan gerak tangannya untuk membuka handel pintu. Ia tahu alasan Ayahnya datang ke ruangannya."Bapak mau saya buatkan kopi juga?" lanjut Patrick menawarkan diri dengan senang hati."Tolong buatkan. Kali ini dengan gula." pinta David dan pintu pun ia dorong dengan perlahan.Patrick diam sejenak dan tertegun. Baru kali ini dia mendengar permintaan David seperti itu selama 5 tahun mengabdi menjadi sekretaris. Biasanya kopi pahit adalah favoritnya.David memasuki ruangan dan melihat sekeliling ruangannya karena tidak melihat ayahnya duduk di sofa tamu. Pak Johan ternyata sedang berdiri di dekat jendela samping meja kebesaran David."Pagi Pa!" sapa David mencoba seramah dan seceria mungkin setelah menutup pintu.Pak Johan hanya membalas sapaan David dengan berdeham. Hal itu membuat batin David semakin bergejolak. Sepenting itukah menantu perempuan untuk Ayahnya?David melangkahkan kakinya dan duduk di kursi depan mejanya, buka di kursi kebesarannya. Ia melihat cangkir kopi yang ada di atas mejanya. Uap panas masih banyak mengepul di sana yang menandakan bahwa ayahnya baru saja datang."Kenapa kamu nggak pulang? Tidur di hotel lagi? Mau menghindar terus dari Papa sama Mama? Waktu terus berjalan, Vid. Mau sampai kapan kamu menundanya?" tanya Pak Johan memecah keheningan, "Cheryl sudah 4 tahun dan kamu masih belum beristri."Cheryl adalah buah cinta Mila dan Nicho. Dugaan David benar, ayahnya datang kemari pasti ingin membahas hal itu lagi. Sejak 3 hari yang lalu ia memang sengaja tak pulang ke rumah, usai perdebatan hebat mengenai 'kapan kamu nikah?' Pertanyaan itu membuat kuping David terus berdenging kesakitan.Tok tok tok.Patrik mengetok pintu ruangan David dan langsung masuk dengan membawa sebuah nampan yang berisi secangkir kopi untuk David. Pembicaraan ayah dan anak itu terhenti sesaat."Kopinya, Pak.""Iya, tolong taruh situ saja!" pinta David dengan mengedikkan dagunya ke arah meja tamu di belakang Patrick."Baik, Pak." Patrick meletakkan cangkir kopi itu di atas meja, "Saya permisi dulu, Pak.""Makasih." ucap David sambil menganggukan kepala dan tersenyum."Apa perlu Papa carikan wanita untukmu?" tanya Pak Johan yang masih menatap keluar jendela kaca itu."Tidak perlu, Pa. Seperti David bilang, David akan cari sendiri." jawab David."Cari-cari-cari!" sahut Pak Johan dengan nada yang meninggi sambil membentangkan tangan kirinya ke samping.Pak Johan memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah mata putranya, "Mau kamu cari kemana lagi? Belum puas kamu bermain dengan wanita yang hanya mengincar hartamu!! Cari satu wanita yang benar saja tidak becus!!"David yang mendengar kemarahan ayahnya itu hanya bisa membelalakkan matanya karena terkejut. Tak disangka, ternyata Pak Johan bisa mengetahui track record-nya dengan para wanita yang ia bawa ke kehidupan pribadinya."Lari kemana saja uang gajimu selama kerja di sini, hah!" bentak Pak Johan tepat di depan muka David."Anu, Pa." David terbata, masih syok karena ternyata ayahnya tahu ke mana uang gaji David dihabiskan. Pak Johan begitu murka saat ini."Anu anu anu! JAWAB DENGAN LANTANG SEPERTI KAMU YANG MENGUMBAR PUISI CINTA UNTUK PARA WANITAMU ITU!" seru Pak Johan dengan suara menggelegar hingga seluruh penjuru ruangan David bahkan mungkin terdengar sampai di luar ruangan itu. Kedua tangannya mengudara bak pemain teater sedang membawakan puisi di depan penonton. Hal itu seketika membuat David malu, memikirkan bagaimana jika anak buahnya mendengar, terlebih Bita dan Sari yang mendengar. Rumor buruk pun akan segera menyebar ke seluruh sudut gedung kantor ini.David bisa saja tampak tegas, berwibawa dan garang di depan karyawannya, tapi tidak jika di depan orang yang bernama Johan ini. Karakter orang ini begitu mendominasi bagi kehidupan David dari lahir hingga detik ini. Ia tak akan naik pitam hingga ke pucuk jika sesuatu berjalan sesuai rencananya."Jangan kamu kira Papa tidak tahu apa-apa!" ucap Pak Johan yang tiba-tiba memutar tubuhnya dan tangan kiri menggebrak meja. Wajahnya begitu dekat dengan wajah David. Matanya melotot seperti sedang menggertak jiwa playboy yang ada di dalam diri putranya. David hanya bisa terdiam. Pasrah karena seperti sudah ditelanjangi oleh ayahnya sendiri."Papa diam bukan berarti Papa tidak tahu! Papa diam bukan berarti Papa tidak memperhatikan kalian! Diam Papa selama ini ingin memberi kalian waktu untuk bertanggung jawab atas hidup kalian di masa muda!" ujar Pak Johan masih dengan nada tegasnya."Tapi tolong.. Bantu Papa kali ini dengan sungguh-sungguh, Nak!" kata Pak Johan menurunkan nada bicaranya menjadi sangat lembut."Papa bangun bisnis ini dengan keringat dan darah Papa. Jika penerus bisnis ini masih sedarah dengan Papa, Papa akan lebih bahagia dan lega." lanjut Pak Johan."Kalau memang mau Papa David penerusnya, kasih aja sekarang. Kenapa harus nunggu David nikah dulu?" tanya David sedikit
"Lang, tolong kunci mobilnya nanti lo taruh di kamar gue aja." pinta David saar mesin mobil sudah mati. Mobil David itu sudah parkir di garasi huniannya. Rumahnya yang megah dan luas membuat mungkin 10 mobil bisa masuk ke garasi ini."Tumben, Bro. Mau kemana Lo?" tanya Gilang dengan sapaan yang khas jika berada diluar kantor atau tidak sedang dihadapan keluarga David."Kencan." jawab David singkat sambil membuka pintu mobil dan keluar dari sana."Sama siapa, Bro?" tanya Gilang sambil berteriak karena penasaran. Bosnya kumat lagi kah?"Sandra." jawab David lirih dari luar mobil dan membuat Gilang tak mendengarnya dengan jelas."Siapa?" teriak Gilang dari dalam mobil. Tetapi David malas untuk mengulangi jawabannya lagi dan berlalu pergi memasuki rumah."Dia bilang siapa ya? San- San siapa? Ahh awas aja kalau dia kumat lagi! Udah tau situasi genting begini, disuruh cari istri malah mau kencan buta!" Gilang tak henti-hentinya menggerutu di sepanjang ia berjalan menuju ke kamar David.Gil
Kencan hari pertama telah sukses dilalui David dan Sandra. Perasaan tak nyaman yang awalnya dirasakan oleh David pun sirna. Pekerjaan Sandra saat ini adalah seorang manajer keuangan di perusahaan barunya. Jadi wajar jika hunian dan penampilan Sandra kini tampak mewah dan glamor.David pun secara intens membalas setiap pesan yang dikirim oleh Sandra. David dengan senang hati menanggapi setiap pesan dari Sandra selama itu tidak menganggu pekerjaan mereka masing-masing. Mereka pun merencanakan pertemuan kedua mereka di minggu depan.Suatu pagi di ruang kantor yang dipimpin oleh David, terjadi sebuah kegaduhan kecil yang disebabkan oleh dua orang wanita. Seperti biasa, Bita mendapat berita mengejutkan dan ia pun segera memberitahukan kepada Sari, sobat bergosipnya. Sari mendengarkan dengan seksama cerita yang diungkapkan oleh Bita."Lo serius, Ta?" tanya Sari sambil menutup mulutnya."Gue sih serius kalau soal rumor itu, tapi yang benernya kayak gimana ya gue belum mastiin lagi." sahut Bi
David mendengar pintu ruangan kantornya di ketuk. Ia pun mempersilakan masuk orang yang mengetuk pintu tersebut. Ternyata Gilang, David pun bernapas lega. Selama setengah jam David harus menunggu kehadiran sahabatnya itu dengan perasaan gelisah."Iyap, Bos. Ada perintah apa nih?" tanya Gilang langsung duduk di kursi."Kemana aja sih, lo? Lama amat!" gerutu David kesal."Maapin ya, ada panggilan alam tadi." jawab Gilang cengengesan."Hah! Alesan aja, lo!""Kenapa sih, Bos? Uring-uringan? Heran deh kayak bini gue aja kalo lagi PMS." Kini giliran Gilang yang menggerutu."Bingung gue mau cerita dari mana?" kata David sambil memutar manik matanya."Cerita ya cerita aja sih, Bos.""Jadi gini-"David menceritakan kejadian tadi pagi yang disebabkan oleh Bita. Gilang pun mendengarkannya dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus sepanjang cerita. Tetapi kelakuan Gilang malah membuat David kesal."Kepala lo kenapa sih? Lo kira gue lagi nge-rap apa? Manggut-manggut mulu."
Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ib
David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Cukup lama Kirana menanti wanita di depannya ini sadar dari pingsannya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Kirana menatap Wenda lekat-lekat dengan gelisah. Wajahnya cantik meskipun tubuhnya terlampau mungil jika dibanding dengan tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dan berisi. Wenda duduk disebuah kursi. Kepalanya tertunduk lemas, tubuhnya terikat pada sandaran kursi, begitu juga kedua tangan terikat di belakang dan kakinya."Heh bangun!" Kirana sudah tak sabar. Ia menepuk-nepuk pipi Wenda dengan kasar. Tak lama, Wenda mengerang lemah. Ia membuka matanya yang masih kabur. Kirana yang tahu bahwa Wenda sudah sadar, mulai memegang dagu Wenda dengan kasar dan mendongakkan kepalanya. Wajah mereka begitu dekat.Kirana menatap tajam ke wajah Wenda. Wenda yang masih lemah hanya bisa meringis kesakitan karena Kirana mencengkram dagunya sangat kencang."Jangan kasar-kasar, Kirana."Wenda yang pandangannya masih kabur, melihat sosok perempuan yang tidak ia kenal berada
Poli kandungan siang ini tak begitu ramai. Wenda segaja memilih hari ini karena kebetulan ia berdinas pagi. Ia ingin segera mengecek kandungannya karena sudah telalu lama ia terlambat haid."Selamat ya, Wenda, atas kehamilanmu. Perkembangan janinmu bagus." Dokter Pandu menyelamati Wenda selagi alat USG tertempel di perutnya."Terima kasih, Dok." ucap Wenda sedikit tegang. Ia melihat layar monitor yang tergantung di dinding. Sebuah kantong kehamilan beserta janin di dalamnya tergambar jelas di sana. Haruskah ia merasa bahagia atas kehidupan yang tak diduga ini? Memang sudah sewajarnya, kehidupan ini mungkin akan hadir setelah apa yang ia dan David lakukan selayaknya suami istri pada umumnya."Kita kontrol lagi bulan depan ya, Wen."Dokter Pandu melepaskan alat USG dan perawat membersihkan gel yang masih tersisa di perut Wenda."Saya beri vitamin-vitamin, diminum satu kali sehari saja." lanjut Dokter Pandu sambil berjalan ke mejanya dan mengetikkan sesuatu di kompu
Widya menghela napas panjangnya, sedangkan Wina terus menggenggam kedua tangan Wenda dengan mimik wajah sendu. Wenda telah menceritakan kisah 'cinta' antara dirinya dengan David."Gue tau, gue salah menaruh harapan ke laki-laki ini. Yang gue kira bakal balas perasaan cinta gue. Gue tau, gue cuma dimanfaatin karena situasi yang keluarga gue alami." Wenda menarik napasnya sejenak, "Tapi perasaan gue nggak bisa bohong, kalau gue suka.. cinta.. sama dia sejak pertama kali gue ketemu lagi setelah dewasa.""Kalau boleh gue saranin. Menurut gue, lo jangan lepasin David gitu aja sih. Lo mau anak lo ini nggak punya bapak? Lo harus perjuangin apa yang jadi hak lo dan si jabang bayi ini, Wen." ucap Wina dengan tatapan mata dari yang muram dan sendu berubah menjadi berkilat-kilat penuh amarah."Kalau menurut gue, gue sih setuju sama sebagian saran Wina, Wen. Lo emang harus perjuangin hak lo dan anak lo ini. David emang harus tanggung jawab sepenuhnya atas anak lo ini. Tapi, lo juga
David menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Dilihatnya Wenda juga sudah siap dengan sabuk pengaman di tubuhnya. Wenda duduk terdiam dan menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong."Are you okey, Wen?" tanya David khawatir. Bukan tanpa sebab, itu karena Wenda hanya menyantap sarapannya dengan porsi yang sedikit sekali. Berbeda dari hari biasanya."Aku nggak papa." jawab Wenda datar.Santi dan Monic menyusul masuk ke mobil kemudian. Mereka sangat berisik khas anak-anak yang sedang bersenda gurau. Hari ini David berinisiatif mengantar Wenda, Santi dan Monic karena ia bingung harus mengisi waktunya dengan kegiatan apa."Kalian sudah siap?" tanya David menoleh ke belakang."Siap, Mas." ucap Santi dan Monic bersamaan. Mereka juga telah memasang sabuk pengamannya."Ayo kita berangkat!" seru David dan disambut dengan riang oleh Santi serta Monic.David memutar lagu anak-anak di dalam mobil. Santi dan Monic pun bernyanyi dengan riang hingga sampai di s
Wenda masih duduk di tepi ranjang ayahnya. Ia begitu bingung dan canggung bagaimana harus menghadapi pria yang sedang mengambil koper dari bagasi mobil. Mengapa pria itu tiba-tiba datang ke rumahnya hampir tengah malam? Padahal sudah berulang kali ia menolak untuk bertemu bahkan pernah suatu kali ia mengusir pria itu saat datang ke rumahnya pagi hari. Waktu itu ayahnya tidak ada di rumah dan Wenda hanya sendirian karena usai dinas malam. Jadi, tidak ada yang bisa menghalagi Wenda untuk mengusir pria ini.Jadi, percuma rasanya jika Wenda mengusirnya di kedatangannya malam ini, ayahnya pasti akan curiga karena tak tahu apa-apa mengenai permasalahan mereka yang sebenarnya. Sungguh pintar pria ini memanfaatkan situasi. Dia datang di tengah malam saat orang yang bisa mempersilakan dia masuk ke dalam ada di rumah. Wenda berdecak kesal.Suara berisik terdengar di luar, membuat Wenda penasaran. Ia mengintip dari ambang pintu dan dilihatnya David sedang menarik sebuah koper sangat be
Gilang baru saja memasukkan mobil yang ia kendarai ke dalam garasi di kediaman Pramono. Dilihatnya mobil milik Pak Johan tidak ada di sana."Bokap lo pergi, Vid?""Hm?" David yang sedari tadi membaca proposal dalam perjalanan pulang dari berbagai rekanan perusahaannya di tabletnya, mulai mendongakkan kepalanya. Memandang sekeliling garasi. Hanya tertinggal mobil miliknya, ibunya, dan 2 mobil cadangan lainnya."Nah, tuh bokap lo pulang." tunjuk Gilang ke arah pagar rumah yang tertutup rapat. Garasi itu terbuka otomatis dan mobil Pak Johan mulai memasuki area kediamannya. David pun keluar dari mobil dan membereskan barang-barang miliknya di jok penumpang belakang."Papa sama Mama abis dari mana? Tumben nggak ngabarin David kalau pergi." tanya David setelah kedua orang tuanya keluar dari mobil."Kamu sendiri kenapa baru pulang?" tanya Pak Johan tak menjawab pertanyaan David. Ia heran mengapa anaknya itu pulang larut, padahal tadi siang baru saja mendapatkan sanksi s
Wenda berjalan memasuki sebuah restoran yang mewah. Ia merasa rendah diri memasuki restoran itu dengan pakaian casual yang saat ini ia kenakan. Blouse biru muda dengan aksen rumbai di bagian dada dan celana kain berwarna krem. Ia sama sekali tak tahu jika restoran ini termasuk dalam golongan restoran yang sangat mewah.Sebenarnya, Wenda memiliki gaun indah hasil pemberian dari calon mantan mertuanya. Namun, tak ia bawa saat kepergian di hari keributan itu karena ia merasa itu bukan miliknya."Selamat malam. Sudah pesan tempat, Bu?" tanya seorang pelayan yang menghampirinya."Mmm.. sudah." Wenda berpikir sejenak, "Atas nama Kristina.""Baik, mari silakan di sebelah sini, Bu."Wenda mengikuti pelayan itu ke sebuah ruangan yang lumayan jauh masuk ke dalam restoran itu. Pelayan membuka pintu dan Wenda melihat Bu Tina sudah berada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan tersenyum sumringah saat menatap Wenda. Di sebelah Bu Tina, ada Pak Johan yang juga ikut berdiri dan
"Nicholas ada di ruangannya?" tanya David kepada Tasya-sekretaris Nicho-begitu sampai di depan ruangan Nicho."Ada, Pak David. Tapi sedang ada-Pak David.. tunggu, Pak.."David langsung melangkah masuk ke ruangan itu tanpa mempedulikan Tasya yang berusaha menghalanginya. David melihat ada dua orang pria tak dikenalnya sedang duduk berhadapan dengan Nicho di meja kerjanya. Penampilan mereka rapi, berstelan jas hitam, namun raut wajahnya nampak seperti preman."Mas David.." gumam Nicho."Maaf, Pak Nicho. Tapi Pak David-" Kalimat Tasya terhenti saat Nicho mengangkat tangan kanannya dan mengangguk. Tasya pun langsung paham dengan isyarat Nicho. Ia keluar ruangan dalam diam."Bisa kita ngobrol sebentar?" tanya David sambil menatap lekat ke arah dua orang pria itu, "Ini penting."Nicho mengalihkan pandangannya ke dua pria di depannya dan tersenyum, "Kita lanjutkan besok lagi. Terima kasih atas bantuannya.""Sama-sama, Mas. Kami undur diri dulu." Mereka pun salin
"Mama nggak habis pikir sama jalan pikiranmu, Vid. Mama kira kamu sama Wenda memang ada hubungan yang sengaja kalian sembunyikan karena itu kamu selalu menolak perjodohan yang Mama dan Papa sarankan."Bu Tina langsung mengadakan sidang di ruang kerja Pak Johan begitu David tiba di rumah usai mengantar Wenda pulang ke rumah ayahnya. David tak menyangka jika ibundanya masih dalam kondisi 'on' meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat.Yang benar saja! Mana bisa Bu Tina tidur nyenyak setelah melihat menantu perempuan satu-satunya meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya setelah keributan heboh sore tadi. Bisa jadi malah tidak akan pernah kembali ke rumah ini. Bu Tina tidak bisa tinggal diam begitu saja."Aku minta maaf, Ma.." David hanya bisa tertunduk lesu. Ia duduk di sofa dengan wajah yang muram."Bukan untuk Mama permintaan maafmu itu, tapi ke Wenda! Bisa-bisanya kamu nipu Mama sekaligus Tuhanmu dengan surat kontrak pernikahan itu! Pernikahan itu sakral, V