David mendengar pintu ruangan kantornya di ketuk. Ia pun mempersilakan masuk orang yang mengetuk pintu tersebut. Ternyata Gilang, David pun bernapas lega. Selama setengah jam David harus menunggu kehadiran sahabatnya itu dengan perasaan gelisah.
"Iyap, Bos. Ada perintah apa nih?" tanya Gilang langsung duduk di kursi."Kemana aja sih, lo? Lama amat!" gerutu David kesal."Maapin ya, ada panggilan alam tadi." jawab Gilang cengengesan."Hah! Alesan aja, lo!""Kenapa sih, Bos? Uring-uringan? Heran deh kayak bini gue aja kalo lagi PMS." Kini giliran Gilang yang menggerutu."Bingung gue mau cerita dari mana?" kata David sambil memutar manik matanya."Cerita ya cerita aja sih, Bos.""Jadi gini-"David menceritakan kejadian tadi pagi yang disebabkan oleh Bita. Gilang pun mendengarkannya dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus sepanjang cerita. Tetapi kelakuan Gilang malah membuat David kesal."Kepala lo kenapa sih? Lo kira gue lagi nge-rap apa? Manggut-manggut mulu." ucap David kesal sambil memukul pelan kepala Gilang."Sorry, Bos. Terlalu menghayati. Hehe." David pun melanjutkan ceritanya hingga selesai. Kepala Gilang pun ikut berhenti mengangguk-angguk."Tolong dong lo selidikin itu cewek. Sebenernya kayak gimana? Kalo emang beneran simpenan, masa depan gue bisa terancam." pinta David memelas."Lah, Bos, Bos. Ngapain sih ribet pake diselidikin. Tinggal cut aja terus cari yang lain." sahut Gilang memberi solusi yang lebih mudah."Waktu gue mepet, kampret! Cuma empat bulan! Terhitung dari dua minggu lalu!" geram David penuh emosi. Rasanya ingin menonjok muka Gilang sebagai pelampiasan."Maap, Bos. Gue lupa kalo Bos abis di sidang Tuan Besar. Okelah Bos, siap laksanakan!" ucap Gilang sambil memberi tanda hormat dengan tangan kanannya.Ini adalah kali pertamanya Gilang menjalankan profesi sebagai detektif pribadi. Ia pun bersemangat melaksanakan misi yang diamanahkan padanya. Agaknya dia bosan dengan profesi kesehariannya sebagai supir, asisten pribadi, tempat curhat, tempat omelan, dan masih banyak lagi profesi yang bisa Gilang lakukan.======Langit malam yang begitu cerah. Bulan dan bintang saling berlomba memancarkan sinar temaramnya. Tetapi hawa dingin akan selalu hadir jika suasana seperti ini. Sepoi angin semilir ikut hadir menambah sensasinya.David menutup pintu balkon kamarnya yang seluruhnya terbuat dari kaca. Ia suka jika kamarnya nampak bercahaya dan terang di pagi hingga sore hari. Selain membuat kamarnya tidak lembab, ia pun bisa menikmati pemandangan di luar sana kala penat menguasai pikirannya. Ia lalu berjalan menuju ujung kamar dan menggeser tirai berwarna abu-abu yang menjuntai panjang hingga ke lantai sehingga membuat suasana malam di luar tak tampak lagi.Terdengar suara anak kecil berteriak memanggil kakek dan neneknya di lantai satu. Pasti itu Cheryl. David menebak dari dalam hati. Ia bergegas membuka pintu kamarnya dan setengah berlari menuju tangga. Kakinya yang jenjang membuatnya bisa melewati dua anak tangga sekaligus. Ia tak sabar bertemu dengan keponakannya yang centil itu."Om David!" seru Cheryl begitu melihat sosok David muncul di hadapannya. Anak kecil beringsut dari gendongan ayahnya. David pun mengulurkan kedua tangannya. Dan...Hap!Cheryl terjun ke dalam dekapan pamannya yang tampan itu. David pun menghujani kecupan rindu ke pipi dan leher Cheryl. Anak kecil itu tertawa karena geli yang ia rasakan."Hapouuffuuufuufuu. Kamu kok lama banget nggak ke sini? Dari mana aja kamu? Hapouuffuuufuufuu.." tanya David sembari terus menggelitik Cheryl dengan kecupan dan tangannya. Cheryl tertawa terbahak-bahak menahan geli."Udah deh, bocah ketemu bocah." gumam Ibu Kristina menanggapi tingkah putra sulungnya itu. Nicho dan Mila hanya bisa tersenyum melihat keakraban paman dan keponakannya itu."Ayo kita duduk di meja makan saja!" ajak Pak Johan mendahului yang lainnya."David, udahan, Cheryl udah capek itu!" seru Bu Tina, "Ayo kita makan!"David menghentikannya dan mengajak Cheryl untuk makan bersama. Setiap hari Sabtu acara makan malam diadakan di kediaman Pak Johan. Nicho dan Mila yang tak tinggal bersama lagi membuat David tak bisa bertemu Cheryl sesering mungkin. Baru dua minggu saja tak bersua sudah membuat David rindu setengah mati. Selain pemandangan yang indah dari balik jendela kaca di kamarnya, Cheryl juga merupakan sesuatu yang bisa menghilangkan penat di pikirannya.Cheryl, gadis kecil berumur empat tahun itu merubah satu sifatnya. Playboy. Meskipun tak lahir dari darah dagingnya sendiri, David selalu merasa bagaimana jika ada lelaki di luar sana ada yang seperti pamannya? Lalu menyakiti keponakannya yang menggemaskan itu? Sungguh malang nasibnya jika hal itu sampai terjadi. Lalu bagaimana jika itu terjadi dengan anak perempuannya sendiri?David pun berpikir, mungkin sikapnya inilah yang selama ini selalu membuat para wanita hanya mengincar hartanya. Kala itu, pada akhirnya David memutuskan untuk mengakhiri perjalanan cintanya dan membuka lembaran baru hanya dengan satu wanita saja yaitu Sandra. Tetapi yang terjadi ternyata Sandra terlalu banyak tingkah dan menuntut. Menurut dia, David tak pernah ada waktu lagi untuknya selama setahun terakhir, tak pernah memperhatikannya lagi, selalu sibuk bekerja dan bekerja.David sudah pusing mendengar keluhan dari Sandra. Bukankah dia juga suka jika David memanjakan dengan harta yang dimilikinya? Mengapa David bekerja keras untuk masa depan mereka tidak boleh? David pun menganggap ini ujian yang harus dilalui Sandra, namun Sandra tak dapat lulus dengan sempurna."Kita lebih baik putus saja jika kamu sudah nggak perhatian sama aku lagi." ucap Sandra seusai menangis dan mengadu di depan David. David yang sudah jengah dengan kelakuan Sandra, akhirnya mengiyakan tanpa ada embel-embel apapun lagi."Kalau udah nangisnya, ayo aku antar pulang sekarang!" David menatap dingin gadis di hadapannya yang sudah berhenti menangis. Sandra terkejut karena David langsung mengiyakan gertakan minta putusnya itu. David memanggil seorang pelayan untuk dibawakan tagihan makan malam mereka."Ayo!" David beranjak tanpa menggandeng Sandra seperti biasanya.Sandra mengekor kepada David dengan mimik wajah yang kecut. Ia terlalu gengsi untuk menarik ucapannya yang sudah terlontar keluar. Padahal maksud hati ia hanya ingin mencobai David saja. Tetapi kenyataannya adalah sebaliknya. Sandra pun hanya bisa terdiam sepanjang perjalanan pulang menahan perasaan murka dan kecewanya.David mencoba fokus untuk menyetir. Ia merasa kecewa juga dengan Sandra. Mengapa semudah itu meminta putus darinya? Gengsinya juga tinggi, ia yang biasanya memutuskan dan meninggalkan secara sepihak dengan para wanitanya yang lalu, sangat anti dan enggan untuk merengek-rengek di depan wanita agar tak diputuskan hubungan."Nggak mampir dulu, Vid?" tanya Sandra setelah mereka sampai di depan kosnya."Enggak. Aku langsungan aja." jawab David datar tanpa ekspresi.Itulah komunikasi terakhir yang mereka jalin. Selebihnya mereka hanya terkungkung dalam perasaan gengsi hingga seiring berjalannya waktulah yang membuat mereka melupakan satu sama lain.Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ib
David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Wenda duduk termenung di sudut café yang terletak di dalam kantor ayahnya itu. Minuman kopi yang tergeletak di sana pun telah habis ia minum. Dahaga melandanya karena harus berpikir bagaimana mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh ayahnya. Uang lima ratus juta telah habis tidak bersisa. Melaporkan kasus ini kepada polisi juga pasti memerlukan banyak biaya dan tenaga. Sedangkan tabungan yang dihasilkan Wenda dari jerih payahnya bekerja juga belum begitu banyak. Mungkin hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari dan sedikit untuk biaya sekolah adik-adiknya, sisanya entah apakah bisa untuk melanjutkan kehidupan mereka lagi.Ayahnya telah kembali bekerja sesaat setelah majikan meneleponnya. Profesinya sebagai supir pribadi bagi pengusaha bernama Johan Pramono sudah berjalan sekitar 23 tahun lamanya. Keterpurukan dan kemiskinan yang dialami Wenda sekeluarga dahulu tak lagi dirasakan ketika ayahnya mengabdi sebagai supir yang setia. Berkat ketelatenan dan kesaba
Suatu pagi di hari Jumat yang cerah. Keluarga Pak Agus terlibat dalam perbincangan penting menurut Bu Tiwi. Pembicaraan itu membahas sebuah undangan makan malam dari majikan Pak Agus di hari sabtu malam esok. Undangan tersebut baru keluar semalam, seusai Pak Agus menyelesaikan tugasnya.“Wenda, Ibu harus pakai baju apa nih?” Bu Tiwi bertanya dengan gelisah.“Pakai aja yang biasa Ibu pakai kalau berangkat kondangan.” jawab Wenda sambil menyuapi sesendok nasi beserta lauknya.“Iya, Bu. Pakai saja kebaya yang dipakai buat nikahannya Hardi.” Pak Agus pun menyetujui pendapat Wenda.“Ayah, memang Ibu dan Ayah mau ke mana? “ tanya Dimas kebingungan melihat kakak dan orang tuanya meributkan masalah pakaian ibunya.Pak Agus baru saja ingat, ternyata beliau belum memberitahukan kepada ketiga anaknya yang lain. Ia baru memberitahukan kepada istrinya, sedangkan Wenda pasti sudah tahu perihal undangan itu dari ibunya. Undangan ini sangat spesial bagi Bu Tiwi, karena sela
“Selamat malam semuanya! Selamat datang untuk para undangan!” Suara Gilang menggelegar di halaman belakang kediaman Johan Pramono karena pengeras suara yang disediakan. Ia hadir sebagai tamu undangan dan juga sebagai pembawa acara. Ia berdiri di podium kecil yang tingginya mungkin sekitar setengah meter.“Karena seluruh tamu undangan sudah hadir, sebelum kita memulai acara pada malam hari ini, alangkah baiknya kita memanjatkan doa memohon kelancaran acara ini hingga selesai nantinya. Berdoa mulai.” Seluruh tamu undangan bersama-sama memanjatkan doa lalu mengakhiri bersama yang dipandu oleh Gilang, “Berdoa selesai.”Acara makan malam ini terkesan sangat mewah bagi Wenda karena halaman belakang rumah Pak Johan disulap sedemikian rupa menjadi sangat indah. Lampu-lampu gantung berwarna kuning menghiasi seluruh taman. Kursi dan meja bundar tertata rapi sebanyak sebelas set, sesuai dengan jumlah kepala keluarga yang hadir di sini. Di kejauhan, tampak meja panjang yang diatasny
Sesi perkenalan keluarga hanya tinggal keluarga Pak Agus saja. Wenda dan Santi yang baru saja kembali dari toilet langsung diminta ayahnya untuk segera menyusul mereka ke depan. Mereka pun naik ke atas podium dan memperkenalkan diri dimulai dari Pak Agus lalu berurutan sampai yang paling kecil. Seluruh pasang mata memandang mereka satu per satu saat memperkenalkan diri.“Perkenalkan nama saya Wenda Marinka Putri. Panggil saja saya Wenda, sa-“ Wenda terbata dan menghentikan bicaranya. Matanya terpaku kepada pria yang sedari tadi menatapnya. Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersandar ke kursi. Matanya terus memperhatikan Wenda dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah sedang menilai Wenda bak model yang sedang memperagakan busana. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah David.‘Sialan! Ngapain sih ngliatinnya gitu banget! ‘ batin Wenda yang geram dengan sikap David.“Wen, kok brenti?” Ibu menyadarkan Wenda dari amarahnya. “Ma-maaf. Saya put
Cukup lama Kirana menanti wanita di depannya ini sadar dari pingsannya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Kirana menatap Wenda lekat-lekat dengan gelisah. Wajahnya cantik meskipun tubuhnya terlampau mungil jika dibanding dengan tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dan berisi. Wenda duduk disebuah kursi. Kepalanya tertunduk lemas, tubuhnya terikat pada sandaran kursi, begitu juga kedua tangan terikat di belakang dan kakinya."Heh bangun!" Kirana sudah tak sabar. Ia menepuk-nepuk pipi Wenda dengan kasar. Tak lama, Wenda mengerang lemah. Ia membuka matanya yang masih kabur. Kirana yang tahu bahwa Wenda sudah sadar, mulai memegang dagu Wenda dengan kasar dan mendongakkan kepalanya. Wajah mereka begitu dekat.Kirana menatap tajam ke wajah Wenda. Wenda yang masih lemah hanya bisa meringis kesakitan karena Kirana mencengkram dagunya sangat kencang."Jangan kasar-kasar, Kirana."Wenda yang pandangannya masih kabur, melihat sosok perempuan yang tidak ia kenal berada
Poli kandungan siang ini tak begitu ramai. Wenda segaja memilih hari ini karena kebetulan ia berdinas pagi. Ia ingin segera mengecek kandungannya karena sudah telalu lama ia terlambat haid."Selamat ya, Wenda, atas kehamilanmu. Perkembangan janinmu bagus." Dokter Pandu menyelamati Wenda selagi alat USG tertempel di perutnya."Terima kasih, Dok." ucap Wenda sedikit tegang. Ia melihat layar monitor yang tergantung di dinding. Sebuah kantong kehamilan beserta janin di dalamnya tergambar jelas di sana. Haruskah ia merasa bahagia atas kehidupan yang tak diduga ini? Memang sudah sewajarnya, kehidupan ini mungkin akan hadir setelah apa yang ia dan David lakukan selayaknya suami istri pada umumnya."Kita kontrol lagi bulan depan ya, Wen."Dokter Pandu melepaskan alat USG dan perawat membersihkan gel yang masih tersisa di perut Wenda."Saya beri vitamin-vitamin, diminum satu kali sehari saja." lanjut Dokter Pandu sambil berjalan ke mejanya dan mengetikkan sesuatu di kompu
Widya menghela napas panjangnya, sedangkan Wina terus menggenggam kedua tangan Wenda dengan mimik wajah sendu. Wenda telah menceritakan kisah 'cinta' antara dirinya dengan David."Gue tau, gue salah menaruh harapan ke laki-laki ini. Yang gue kira bakal balas perasaan cinta gue. Gue tau, gue cuma dimanfaatin karena situasi yang keluarga gue alami." Wenda menarik napasnya sejenak, "Tapi perasaan gue nggak bisa bohong, kalau gue suka.. cinta.. sama dia sejak pertama kali gue ketemu lagi setelah dewasa.""Kalau boleh gue saranin. Menurut gue, lo jangan lepasin David gitu aja sih. Lo mau anak lo ini nggak punya bapak? Lo harus perjuangin apa yang jadi hak lo dan si jabang bayi ini, Wen." ucap Wina dengan tatapan mata dari yang muram dan sendu berubah menjadi berkilat-kilat penuh amarah."Kalau menurut gue, gue sih setuju sama sebagian saran Wina, Wen. Lo emang harus perjuangin hak lo dan anak lo ini. David emang harus tanggung jawab sepenuhnya atas anak lo ini. Tapi, lo juga
David menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Dilihatnya Wenda juga sudah siap dengan sabuk pengaman di tubuhnya. Wenda duduk terdiam dan menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong."Are you okey, Wen?" tanya David khawatir. Bukan tanpa sebab, itu karena Wenda hanya menyantap sarapannya dengan porsi yang sedikit sekali. Berbeda dari hari biasanya."Aku nggak papa." jawab Wenda datar.Santi dan Monic menyusul masuk ke mobil kemudian. Mereka sangat berisik khas anak-anak yang sedang bersenda gurau. Hari ini David berinisiatif mengantar Wenda, Santi dan Monic karena ia bingung harus mengisi waktunya dengan kegiatan apa."Kalian sudah siap?" tanya David menoleh ke belakang."Siap, Mas." ucap Santi dan Monic bersamaan. Mereka juga telah memasang sabuk pengamannya."Ayo kita berangkat!" seru David dan disambut dengan riang oleh Santi serta Monic.David memutar lagu anak-anak di dalam mobil. Santi dan Monic pun bernyanyi dengan riang hingga sampai di s
Wenda masih duduk di tepi ranjang ayahnya. Ia begitu bingung dan canggung bagaimana harus menghadapi pria yang sedang mengambil koper dari bagasi mobil. Mengapa pria itu tiba-tiba datang ke rumahnya hampir tengah malam? Padahal sudah berulang kali ia menolak untuk bertemu bahkan pernah suatu kali ia mengusir pria itu saat datang ke rumahnya pagi hari. Waktu itu ayahnya tidak ada di rumah dan Wenda hanya sendirian karena usai dinas malam. Jadi, tidak ada yang bisa menghalagi Wenda untuk mengusir pria ini.Jadi, percuma rasanya jika Wenda mengusirnya di kedatangannya malam ini, ayahnya pasti akan curiga karena tak tahu apa-apa mengenai permasalahan mereka yang sebenarnya. Sungguh pintar pria ini memanfaatkan situasi. Dia datang di tengah malam saat orang yang bisa mempersilakan dia masuk ke dalam ada di rumah. Wenda berdecak kesal.Suara berisik terdengar di luar, membuat Wenda penasaran. Ia mengintip dari ambang pintu dan dilihatnya David sedang menarik sebuah koper sangat be
Gilang baru saja memasukkan mobil yang ia kendarai ke dalam garasi di kediaman Pramono. Dilihatnya mobil milik Pak Johan tidak ada di sana."Bokap lo pergi, Vid?""Hm?" David yang sedari tadi membaca proposal dalam perjalanan pulang dari berbagai rekanan perusahaannya di tabletnya, mulai mendongakkan kepalanya. Memandang sekeliling garasi. Hanya tertinggal mobil miliknya, ibunya, dan 2 mobil cadangan lainnya."Nah, tuh bokap lo pulang." tunjuk Gilang ke arah pagar rumah yang tertutup rapat. Garasi itu terbuka otomatis dan mobil Pak Johan mulai memasuki area kediamannya. David pun keluar dari mobil dan membereskan barang-barang miliknya di jok penumpang belakang."Papa sama Mama abis dari mana? Tumben nggak ngabarin David kalau pergi." tanya David setelah kedua orang tuanya keluar dari mobil."Kamu sendiri kenapa baru pulang?" tanya Pak Johan tak menjawab pertanyaan David. Ia heran mengapa anaknya itu pulang larut, padahal tadi siang baru saja mendapatkan sanksi s
Wenda berjalan memasuki sebuah restoran yang mewah. Ia merasa rendah diri memasuki restoran itu dengan pakaian casual yang saat ini ia kenakan. Blouse biru muda dengan aksen rumbai di bagian dada dan celana kain berwarna krem. Ia sama sekali tak tahu jika restoran ini termasuk dalam golongan restoran yang sangat mewah.Sebenarnya, Wenda memiliki gaun indah hasil pemberian dari calon mantan mertuanya. Namun, tak ia bawa saat kepergian di hari keributan itu karena ia merasa itu bukan miliknya."Selamat malam. Sudah pesan tempat, Bu?" tanya seorang pelayan yang menghampirinya."Mmm.. sudah." Wenda berpikir sejenak, "Atas nama Kristina.""Baik, mari silakan di sebelah sini, Bu."Wenda mengikuti pelayan itu ke sebuah ruangan yang lumayan jauh masuk ke dalam restoran itu. Pelayan membuka pintu dan Wenda melihat Bu Tina sudah berada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan tersenyum sumringah saat menatap Wenda. Di sebelah Bu Tina, ada Pak Johan yang juga ikut berdiri dan
"Nicholas ada di ruangannya?" tanya David kepada Tasya-sekretaris Nicho-begitu sampai di depan ruangan Nicho."Ada, Pak David. Tapi sedang ada-Pak David.. tunggu, Pak.."David langsung melangkah masuk ke ruangan itu tanpa mempedulikan Tasya yang berusaha menghalanginya. David melihat ada dua orang pria tak dikenalnya sedang duduk berhadapan dengan Nicho di meja kerjanya. Penampilan mereka rapi, berstelan jas hitam, namun raut wajahnya nampak seperti preman."Mas David.." gumam Nicho."Maaf, Pak Nicho. Tapi Pak David-" Kalimat Tasya terhenti saat Nicho mengangkat tangan kanannya dan mengangguk. Tasya pun langsung paham dengan isyarat Nicho. Ia keluar ruangan dalam diam."Bisa kita ngobrol sebentar?" tanya David sambil menatap lekat ke arah dua orang pria itu, "Ini penting."Nicho mengalihkan pandangannya ke dua pria di depannya dan tersenyum, "Kita lanjutkan besok lagi. Terima kasih atas bantuannya.""Sama-sama, Mas. Kami undur diri dulu." Mereka pun salin
"Mama nggak habis pikir sama jalan pikiranmu, Vid. Mama kira kamu sama Wenda memang ada hubungan yang sengaja kalian sembunyikan karena itu kamu selalu menolak perjodohan yang Mama dan Papa sarankan."Bu Tina langsung mengadakan sidang di ruang kerja Pak Johan begitu David tiba di rumah usai mengantar Wenda pulang ke rumah ayahnya. David tak menyangka jika ibundanya masih dalam kondisi 'on' meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat.Yang benar saja! Mana bisa Bu Tina tidur nyenyak setelah melihat menantu perempuan satu-satunya meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya setelah keributan heboh sore tadi. Bisa jadi malah tidak akan pernah kembali ke rumah ini. Bu Tina tidak bisa tinggal diam begitu saja."Aku minta maaf, Ma.." David hanya bisa tertunduk lesu. Ia duduk di sofa dengan wajah yang muram."Bukan untuk Mama permintaan maafmu itu, tapi ke Wenda! Bisa-bisanya kamu nipu Mama sekaligus Tuhanmu dengan surat kontrak pernikahan itu! Pernikahan itu sakral, V