Sesi perkenalan keluarga hanya tinggal keluarga Pak Agus saja. Wenda dan Santi yang baru saja kembali dari toilet langsung diminta ayahnya untuk segera menyusul mereka ke depan. Mereka pun naik ke atas podium dan memperkenalkan diri dimulai dari Pak Agus lalu berurutan sampai yang paling kecil. Seluruh pasang mata memandang mereka satu per satu saat memperkenalkan diri.
“Perkenalkan nama saya Wenda Marinka Putri. Panggil saja saya Wenda, sa-“ Wenda terbata dan menghentikan bicaranya. Matanya terpaku kepada pria yang sedari tadi menatapnya. Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersandar ke kursi. Matanya terus memperhatikan Wenda dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah sedang menilai Wenda bak model yang sedang memperagakan busana. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah David.‘Sialan! Ngapain sih ngliatinnya gitu banget! ‘ batin Wenda yang geram dengan sikap David.“Wen, kok brenti?” Ibu menyadarkan Wenda dari amarahnya.“Ma-maaf. Saya put“Bu, ACnya dingin ya!” ucap Monic kegirangan.“Iya, Bu! Ayah suruh beli mobil ini dong, Bu!” sahut Santi menambahi.“Ssssstt!” Bu Tiwi menutup mulut mereka dengan kedua tangannya. “Maaf ya Mas David!”“Nggak papa, Bu.” balas David tersenyum sambil menginjak pedal gas perlahan. Wenda yang duduk di jok penumpang depan merasa sedikit malu melihat tingkah norak kedua adik perempuannya. Ya, maklum saja, mobil yang mereka miliki memang tidak senyaman dan secanggih kepunyaan keluarga kaya ini.“Om, itu ada musiknya nggak?” tanya Santi dengan polosnya masih memanggil David dengan sebutan itu. Wenda yang mendengarnya langsung memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela. Menahan senyum gelinya dengan menggigit kedua bibirnya.“Husssh! Jangan panggil Om! Panggil Mas David!” bisik Bu Tiwi dengan panik kepada Santi. Santi yang kebingungan hanya bisa celingukan bergantian memandang ibunya yang sudah memelototinya dan jok penumpang depan yang diduduki oleh Wenda.“Santi
Sore hari di sebuah café yang unik. Desain interiornya klasik ala Eropa. Menambah kenyamanan bagi para pengunjungnya. Wenda duduk sambil meminum minumannya dan menatap ke arah David yang berdiri di kejauhan membelakanginya. Dia sedang menelepon seseorang di sana. Mungkin salah satu pegawai di kantornya.Wenda enggan melepaskan pandangan matanya dari pria itu. Sambil bertopang dagu, Wenda menyapu tatapan ke pria itu dari ujung kepala hingga ujung sepatu hitamnya sebelum ia berbalik badan dan bisa saja memergoki apa yang tengah Wenda lakukan. David mengenakan setelan jas berwarna abu-abu yang membuatnya terlihat semakin gagah. Punggungnya begitu bidang dan lebar. Wenda masih tak habis pikir jika lelaki itu dulu adalah anak yang tambun. Wenda sudah lama tak merasakan pergi berduaan saja dengan seorang lelaki. Terakhir yang dia ingat sudah sejak lulus SMA. Wenda terpaksa putus dengan pacarnya di awal semester saat kuliah karena pacarnya kuliah di kota yang berbeda dengannya da
Wenda bersenandung merdu mengikuti alunan musik yang didengarnya di mobil. Ia menyusuri jalanan menuju rumahnya. Ia tidak jadi mengantarkan Bos Muda itu kembali ke kantornya. David memilih menaiki taksi online daripada harus merepotkan Wenda. Jika hal itu menjadi pilihan pada akhirnya, Wenda tak perlu repot menawarkan diri untuk mengantarnya kembali ke kantornya.Tetapi, tak apalah, nongkrong di café tadi menghasilkan buah tangan untuk keluarganya. Pizza enak sebagai camilan di malam hari. Terngiang kembali obrolan mereka di cafe tadi sewaktu Wenda bertanya apakah David sudah punya pacar atau belum. “Memang kenapa jika aku sudah punya dan kenapa jika aku belum punya?” David bertanya dengan menatap lekat ke arah dua manik mata Wenda.“Ti-tinggal jawab aja, Mas. Tidak usah bertanya balik dan berbelit-belit.” ucap Wenda sangat gugup. Ia menjadi salah tingkah karena David tak melepaskan genggaman terlebih kini menatap dalam tepat di kedua matanya. “Kamu suka ya sam
“Malam Ma.” David menyapa Bu Tina usai dipersilakan masuk ke kamarnya. David melihat ibunya sedang duduk di depan meja rias. “Belum tidur, Nak?” tanya Bu Tina menatap putranya dari pantulan cermin sambil mengoleskan krim wajah. “Belum. Papa kemana?” David menjawab sambil memegang kedua pundak ibunya.“Biasa, di ruang kerja.”“Ma, sekali lagi makasih ya, udah mau bujuk Papa buat nunda perjodohan itu.” ucap David tersenyum lalu mencium ujung kepala ibunya. “Iya, sama-sama. Tapi bukan berarti kamu bisa ingkar janji sama kita, ya.” Bu Tina membalasnya dengan mengelus tangan putra kesayangannya itu yang masih memegang bahunya dengan hangat. “Iya, Ma.” David berjalan menuju ranjang yang begitu mewah dan besar lalu duduk di sana. “Ma, makasih juga buat acara makan malam minggu yang lalu.”“Justru Mama yang makasih. Berkat ide kamu, pegawai di rumah yang selama ini kerja sama kita bisa seneng-seneng bareng sama kita.” sahut Bu Tina dengan wajah yang s
David memang sangat berambisi ingin menjadi Pewaris Tunggal menggantikan ayahnya di perusahaan. Namun perjalanan itu tak berjalan mulus begitu saja. Saat ini ia merasa semua berjalan tak seperti yang ia harapkan. Perjodohan dari orang tuanya dan kekecewaan atas hubungannya dengan Sandra telah memenuhi memori dalam otaknya. Bagaimana kini semua hal yang ia inginkan tak bisa dengan mudah ia dapatkan seperti dulu. Putus asa dan frustasi benar-benar membuatnya tak bisa bekerja dengan baik. Ia lelah dan penat.Solusi instan dan sesaat untuk perasaannya yang penat saat ini ialah pergi sejenak entah ke mana kaki melangkah. Melihat café yang jarang ia kunjungi padahal tempat itu terletak di kantornya sendiri menjadi daya tariknya saat ini. Dengan santai ia berjalan sambil melihat ke dalam balik kaca café yang tak terlalu luas itu. Banyak karyawan-karyawannya yang sedang rehat dan berbincang di sana.“Maaf.”Seorang wanita hampir saja menabrak David ketika ia hendak masuk ke c
Gilang benar-benar tak menyangka bahwa David akan berpikiran segila itu. Ia merasa lebih baik David bermain-main saja dengan wanita yang dia mau seperti dulu, daripada harus melakukan ide gila itu. Gilang memijat kedua keningnya usai mendengarkan semua kisah yang tidak sengaja terjadi dan dialami oleh David di café waktu itu. “Dia butuh uang dan gue bisa ngasih itu. Tapi dengan syarat, dia harus mau jadi istri gue dalam waktu dekat ini. Daripada gue buang-buang uang gue buat cewek yang nggak jelas.” ucap David mengulangi pembicaraan mengenai ide gila itu dengan menambahkan alasan agar Gilang mau membantunya. “Udah sakit lo, Vid. Sakit!” hujat Gilang dengan ketus, “Berani-beraninya lo mau maenin yang namanya pernikahan. Pernikahan itu sakral, Vid. Kenapa lo nggak milih cewek yang mau dijodohin sama lo itu?” “Gue nggak mau.” sahut David sama ketusnya, "Kalau gue milih salah satu diantara mereka, berarti gue akan terjebak dalam status pernikahan yang gue nggak mau dari awal. Lo ngerti
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 20.47 WIB. Perasaan Wenda tiba-tiba menjadi gelisah dan jantungnya berdegub lumayan kencang. Sesaat ketika tiga menit yang lalu ada sebuah pesan masuk. Pesan dari pria yang bernama David. Ia mengirim pesan bahwa ia sudah tiba di rumah sakit dan sedang menunggunya di basement. Pria itu sudah menggelitik hatinya karena hatinya sudah terlalu lama kosong.Kebohongan yang dilakukan David kembali terngiang di pikirannya. Mungkinkah ia dengan sengaja ingin mendekati Wenda karena merasa tertarik dengannya? Makanya alasan itu dibuat dengan sengaja. Agar mereka bisa menjadi dekat. Karena memang tidak ada alasan yang tepat, yang bisa membuat mereka tiba-tiba menjadi akrab. Atau mungkinkah David punya maksud terselubung? Ia sadar dirinya siapa, latar belakangnya apa, meskipun profesinya sekarang merupakan profesi yang membanggakan dan terhormat. Namun tetap saja tak mampu menutupi jati diri yang sesungguhnya bahwa ia adalah anak dari seorang supir. Lihat, bagaim
David terkejut mendengar kalimat yang ia ucapkan sendiri. Kebingungan yang dialaminya telah membuat lidahnya kelu lalu menjadi gugup dibuatnya. Sehingga kalimat itulah yang justru keluar dari mulutnya dengan sangat lancar. Payah! Kalimat ini akan membuat Wenda menjadi salah paham.David melihat Wenda sudah membelalakkan matanya sangat lebar. Itu menjadi bukti bahwa ia sedang terkejut tak terperi. David segera mempekerjakan otaknya lebih keras lagi untuk merangkai kata dengan baik dan benar. Ia harus meluruskan kesalahpahaman ini segera."Wenda, sorry. Maksud aku bukan begitu." Wenda melepaskan tangannya yang tergenggam di kedua tangan David secara perlahan. Mimik wajah itu seketika berubah menjadi tanya, alisnya berkerut dan matanya menatap tajam."Lalu maksud Mas apa?" tanya Wenda yang masih dengan alis berkerut.David masih terlalu gugup untuk memulainya harus dari mana. Ia menutup wajahnya sebagian dengan telapak tangan kanannya dan menghela napas perlahan. Ia berusaha menenangkan d
Wenda tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa atas perlakuan David terhadapnya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Kehangatan yang ada di tangan kanannya mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat ia merasa sedikit kepanasan, terutama di bagian wajahnya. Wenda ingin sekali melepaskan genggaman itu, tetapi semakin Wenda berkutik, semakin erat pula David menggenggamnya. Bahkan akan menarik tangan Wenda untuk tetap berada di atas paha David. Tangannya berada di daerah yang sangat menegangkan, zona di mana membuat Wenda teringat akan sesuatu yang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Wenda memejamkan matanya dan menggeleng dengan cepat. "Kenapa Wen?" "Eh, enggak papa Mas." jawab Wenda cepat. Ia baru sadar ternyata David memperhatikan dirinya sedari tadi. "Kamu sakit? Kepalamu pusing?" "Enggak, Mas. Aku nggak kenapa-kenapa." jawab Wenda lagi dengan cepat. "Tanganmu agak anget sih." David mengelus tangan Wenda yang ada di genggamannya. Ia pun melepas genggaman itu dan mengendali
Wenda sudah bersiap untuk menuju ke rumah sakit lagi walaupun pada akhirnya nanti ia akan berhadapan dengan omelan mertua karena sikap keras kepalanya. Tangan dan kaki yang beberapa hari kemarin sakit, badan yang sekarang lelah karena kurang tidur pun, seolah tak ia rasakan sama sekali. Ia pun bersikeras untuk tetap datang setiap hari ke rumah sakit demi adik bungsunya itu. Wenda merasa, apa yang dulu menjadi tanggung jawab ibunya, kini ia harus menggantikannya. Terlebih Santi masih terlalu kecil dan tak seharusnya ia kehilangan sosok ibu diusianya saat ini. "Sorry, Wen, nunggu lama. Tadi ada telpon dari David." ucap Gilang yang kini sudah masuk ke dalam mobil sambil membawa sebuah amplop besar berwarna cokelat. Wenda sudah menunggunya dengan masuk ke dalam mobil yang sudah menyala. "Kenapa sama David, Mas?" tanya Wenda penasaran. "Ini, dia, anu, apa.. berkas dia ada yang ketinggalan." jawab Gilang sedikit terbata. Gilang agak terkejut karena Wenda bert
"Wen.. Bangun...!"Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Bu Tina menepuk perlahan lengan Wenda dan ia masih saja tertidur pulas di sofa samping ranjang Santi. "Mbak Wenda belum mau bangun ya, Tante?" tanya Santi dengan kondisi yang masih sangat lemah. Ia memiringkan tubuhnya perlahan untuk menatap Bu Tina dan Wenda. "Belum, Nak." jawab Bu Tina, "Wen, Wenda sayang.. Bangun.. ""Iya, Mas.. Bentar lagi, Wenda masih ngantuk.."Bu Tina tersenyum geli mendengar kata 'Mas' yang terucap di bibir Wenda. Pasti menantunya itu mengira dirinya adalah David, anaknya. Memang sebaiknya pengantin baru itu jangan berpisah terlalu lama. Akhinya akan jadi seperti ini 'kan? "Wenda.. Bangun..!" Bu Tina menepuk lengan Wenda lebih keras lagi. Namun ternyata hasilnya sama saja. Wenda malah sedikit menggeliat dan melipat kedua lengan ke depan tubuhnya. Seperti sedang memeluk sesuatu. "Iya, Mas.. Wenda juga kangen sama Mas... Hmmm..""W
"David itu bener-bener keterlaluan! Nggak ada rasa empatinya sama sekali. Lagi kondisi kayak gini bisa-bisanya dia berlagak jadi bos, yang tinggal perintah sana perintah sini! Emang dia pikir Santi itu barang yang bisa asal dipindah tempat apa!"Wenda terus saja menggerutu di sepanjang perjalanannya menuju ruang rawat Santi. Ia meluapkan semua rasa kekesalannya atas ucapan David tadi. Ia masih tak habis pikir dengan kelakuan David yang seenak jidat itu. "Mending dia pergi aja jauh-jauh daripada harus repot-repot dateng ke sini tengah malem, kalo cuma mau ngajak ribut. Huh!"Wenda menghela napas kesalnya sekali lagi. Ia menghentikan gerutuannya usai lift yang ia naiki sudah sampai di lantai yang ia tuju. Ia terlalu malu untuk menggerutu sendiri di sepanjang lorong ruangan, di mana perawat terkadang masih lalu-lalang untuk mengecek kondisi pasien di kamar masing-masing. Saat ini, Santi tengah menjalani terapi penambahan trombosit dari para donor s
Sejak mendapat kabar buruk mengenai kondisi adik iparnya, David langsung terbang kembali ke Jakarta malam itu juga. Hampir saja David kehabisan tiket, karena hari ini hari Minggu, jadwal penerbangan di Bali saat itu padat sekali. David pun terbang dengan jadwal penerbangan terakhir di malam itu. Sesampainya di Jakarta, David juga langsung menuju ke rumah sakit tempat Santi dirawat. Namun karena ia datang disaat hampir tengah malam dan bukan di waktu jam besuk pasien, ia pun tak diperbolehkan masuk oleh petugas security. David pun hanya bisa mengalah setelah berbagai kalimat negosiasi ditolak mentah-mentah oleh mereka. David sadar, ini memang bukan saat yang tepat untuk menjenguk Santi, tetapi ia juga merasa khawatir dengan kondisi kaki Wenda yang tengah sakit. Bu Tina memberi tahunya bahwa Wenda malam ini tidur di rumah sakit ini untuk menjaga adiknya. Itulah mengapa ia hanya ingin memastikan bahwa Wenda baik-baik saja. Itu saja! David hanya bisa duduk
Mobil hitam itu melaju dengan tangkas memasuki area parkir di sebuah rumah sakit. Gilang, sang pengemudi handal sudah sangat terlatih untuk mencari slot kosong di area parkir dengan cepat. Hal inilah yang memberi kelegaan di dalam hati Wenda. Batinnya kini tengah terkoyak karena kabar buruk sedang menimpa adik bungsunya itu. Wenda melangkah keluar mobil dengan cepat sambil menggandeng Monic. Tak lama Bu Tina dan Gilang menyusul kemudian. Dengan setengah berlari Wenda memasuki gedung rumah sakit itu dan bertanya kepada salah seorang petugas security."Siang, Pak. Mau tanya ruangan Dahlia di mana ya, Pak?" tanya Wenda menyebutkan nama ruangan berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari Monic. Meskipun informasi itu belum terlalu detail di kamar nomer berapa adiknya, Santi, tengah dirawat. "Ibu silakan jalan ke arah sini, nanti ruangannya ada di sebelah kanan Ibu." ucap pria security tersebut dengan ramah sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya.
"Habisnya nggak sembuh-sembuh. Kan kasian istriku ini.. Mau ya sayang?" David mencoba merayunya dengan panggilan itu lagi. Membuat bulu kuduk Wenda merinding. "Diih, ogah!" sahut Wenda singkat lalu reflek mematikan panggilan telepon itu dan melempar ponsel untuk menjauhi dari dirinya. Ia pun menenggelamkan wajahnya lagi ke atas bantalnya.Wenda begitu terkejut ketika Tuan Muda itu tiba-tiba meneleponnya. Tepat di saat Wenda sedang memikirkan David di dalam otaknya bersama dengan kenangan yang terjadi kemarin malam di hotel Lombok. Bagaimana David bisa tahu bahwa ia sedang memikirkannya? Bahkan David menjawab apa yang sedang ia tanyakan di dalam otaknya. Wenda hanya ingin tahu apakah David sudah sampai di Bali atau belum. Memikirkan hal ini membuat Wenda merasa malu. Ia pun memukul-mukul ranjangnya perlahan untuk pelampiasan emosinya itu. Tak lama, Wenda pun segera beranjak dan duduk di atas ranjang dengan sangat cepat. Ia seperti teringat akan
Nicho membuka pintu kamar hotel tempat di mana awalnya ia akan bermalam dengan wanita koper itu. Namun, tak jadi ia lakukan karena sudah tertangkap basah oleh kakak iparnya sendiri. Wanita itu sangat terkejut saat melihat wajah Nicho sudah lebam dan bibir berdarah. Sedangkan David hanya menyeringai kecut melihat drama yang ditampilkan oleh wanita itu. "Mas, wajahmu kenapa?" tanya Wanita Koper yang akan menyentuh wajahnya tetapi di tepis oleh Nicho. Nicho pun lanjut berjalan dengan langkah gontai dan masuk ke dalam kamar. Wanita itu bergantian menatap David yang hanya berdiri di ambang pintu. "Mbak, mau tau jawabannya nggak?" cibir David sambil bersandar di tembok. "Mas tau siapa yang mukul suami saya?" tanya Wanita Koper penasaran. "Saya yang mukul." jawab David enteng saja tanpa beban apalagi merasa bersalah. "Loh, Mas ini siapa ya kok berani-beraninya mukul suami saya? Ada masalah apa sama suami saya, ha?" Wanita itu naik pitam dan memelototi David."Ck! Ini suaminya siapa, tapi
Pesawat David landing tepat pukul 11 malam Waktu Indonesia Tengah. Rasa lelah sudah menghantui tubuhnya hingga tanpa sadar ia salah mengambil koper saat bagasi pesawat mulai dibuka. Warna koper itu sama-sama hitam dan besarnya juga tak jauh berbeda. Namun perbedaan itu terletak pada motifnya. "Maaf, Mas. Itu koper saya." ucap seorang wanita tinggi semampai dan berambut panjang dengan model highlight. Jika wanita itu tak memperingatkan David sudah bisa dipastikan koper itu akan terbawa sampai ke hotel. "Oh iyakah?" David pun mengecek koper itu sekilas dan benar saja seperti apa yang diucap wanita cantik itu. "Maaf, Mbak, kopernya mirip. Ini saya kembalikan." David memberikan koper itu dengan perasaan malu dan canggung. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pun berlalu pergi. Sedangkan David masih menunggu kedatangan koper miliknya. David menaiki taksi yang sudah tersedia di bandara. Untuk kali ini tidak ada supir pribadi utusan dari perus