Kencan hari pertama telah sukses dilalui David dan Sandra. Perasaan tak nyaman yang awalnya dirasakan oleh David pun sirna. Pekerjaan Sandra saat ini adalah seorang manajer keuangan di perusahaan barunya. Jadi wajar jika hunian dan penampilan Sandra kini tampak mewah dan glamor.
David pun secara intens membalas setiap pesan yang dikirim oleh Sandra. David dengan senang hati menanggapi setiap pesan dari Sandra selama itu tidak menganggu pekerjaan mereka masing-masing. Mereka pun merencanakan pertemuan kedua mereka di minggu depan.Suatu pagi di ruang kantor yang dipimpin oleh David, terjadi sebuah kegaduhan kecil yang disebabkan oleh dua orang wanita. Seperti biasa, Bita mendapat berita mengejutkan dan ia pun segera memberitahukan kepada Sari, sobat bergosipnya. Sari mendengarkan dengan seksama cerita yang diungkapkan oleh Bita."Lo serius, Ta?" tanya Sari sambil menutup mulutnya."Gue sih serius kalau soal rumor itu, tapi yang benernya kayak gimana ya gue belum mastiin lagi." sahut Bita penuh keyakinan."Gila sih ini cewek. Cantik sih, tapi-""Iya cantik. Dia emang udah jadi primadona pas kita masih sekolah. Aku sih nggak pernah sekelas sama dia, tapi seluruh angkatan bahkan mungkin satu sekolah tau dia siapa." kata Bita menegaskan pendapat Sari."Kalau beneran mereka pacaran dan rumor itu bener, kasian Pak David sih." ucap Sari menanggapi foto yang tampil di layar ponsel Bita.Ternyata mereka sedang membicarakan sebuah foto antara David dan Sandra saat mereka kencan beberapa hari yang lalu. Foto tersebut di upload oleh Sandra ke akun media sosialnya. Foto itu memang tak menjelaskan apapun perihal status hubungan mereka sedang berpacaran. Mereka hanya berfoto dengan posisi duduk berseberangan di sebuah meja restoran. Keduanya sama-sama menatap ke arah kamera. Sandra hanya membubuhkan sebuah caption 'Lunch with my old friend'.Rumor yang beredar di anggota geng Bita sewaktu SMA adalah mereka mencurigai bahwa Sandra menjadi simpanan om-om alias Sandra punya Sugar Daddy. Bukan tanpa alasan, beberapa kali salah seorang teman Bita yang bekerja sebagai front office di sebuah hotel ternama memergoki Sandra keluar masuk hotel tersebut. Sandra bisa saja tak mengenali teman sekolahnya sendiri, tetapi dia sebagai primadona, siapa yang tak tahu sosok Sandra."Padahal ya, kamar yang didatengin Sandra itu udah di booking sama cowok loh. Katanya sih Om-Om. Hiiyyh." ucap Bita. Bulu kuduknya merinding sendiri saat membayangkan kejadian itu jika seandainya terjadi di depan matanya."Kerja, woy!" sebuah suara dari arah belakang Sari dan Bita mengejutkan mereka. Patrick berdiri sambil membawa setumpuk berkas. Sedari tadi ia sibuk mondar-mandir melalui mereka, tetapi mereka tak menggubrisnya. Malah makin asyik berbicara berdua. Patrick pun geram dan menegur mereka."Siapa tuh? Kok foto sama Pak David?" tanya Patrick malah penasaran karena tak sengaja melihat foto dari ponsel yang Bita pegang. Bita pun menjelaskan kembali siapa sosok wanita cantik yang ia tampilan di layar ponselnya. Patrick pun tampak tertarik dengan cerita yang Bita katakan. Sedangkan Sari tak bosan juga untuk mendengarnya kembali.Pesona Bita sebagai ratu gosip memang tak terelakkan. Siapa pun yang mendengar cerita Bita, akan terlena dan terbuai. Bita begitu mendalami dan emosional dalam membawakan dongengnya, itulah sebabnya tak satupun kata yang tak ingin dilewatkan oleh para pendengarnya. Patrick, Sang Sekretaris teladan pada akhirnya bertekuk lutut menjadi pendengar setianya."Eheem." Suara dehaman terdengar dari balik komputer di meja kerja Bita. Ketiganya terperangah ketika tahu siapa yang berdiri di hadapan mereka."Pak David." ucap ketiganya berbarengan. Semua terlihat panik dan gelagapan. Patrick segera menegakkan tubuhnya. Ia sudah dalam posisi berdiri namun membungkuk karena ingin mendengarkan lebih jelas cerita Bita. Sedangkan Bita dan Sari segera beranjak dari kursinya. Tak lupa, Bita meletakkan ponselnya di atas meja dalam posisi terbalik, layar menghadap ke bawah."Kalian kembali bekerja dan untuk Bita masuk ke ruangan saya segera!" kata David tegas dan berwibawa.Mampus!Batin Bita panik dan takut. Sepertinya ia mau disidang karena membicarakan bosnya di belakangnya.Sari pun menatap iba sahabatnya tersebut, "Ta, gimana dong?""Nggak tau deh. Semoga Pak David lagi baik." sahut Bita yang terus memanjatkan doa di dalam hati."Makanya kerja jangan kebanyakan nggosip!" ejek Patrick sambil berlalu pergi. Bita yang mendengar ucapan tersebut hanya bisa menghentakkan pelan kakinya karena sebal. Kalau bukan karena Patrick yang bertanya tadi, kejadian ini tidak akan ada.Bita yang masih kesal melangkah masuk ke ruangan bosnya dengan langkah gontai. Ia mengetuk pintu pelan dan membukanya tanpa harus menunggu jawaban."Permisi, Pak!" sapa Bita perlahan. Bita melihat David sedang berdiri menghadap jendela yang terbuat dari kaca. Memandang keluar sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Jas hitamnya tak sedang bosnya kenakan, hanya tersampir di kursi kerjanya. Setelan rompi dan celana berwarna senada yaitu abu-abu, membuat Bita terkesima melihatnya. Menurut Bita bosnya ini sangat tampan dan gagah. Perangainya juga ramah dan baik. Tetapi ketika sedang dalam kondisi amarah, oohh jangan berharap wajah tampan nan ramah itu akan terlihat."Silakan duduk!" Benar saja. Nada datar menggema di seluruh ruangan. Tanpa menengok sedikitpun, Bita menduga bahwa wajah bosnya pasti seperti iblis. Bulu kuduk Bita mendadak merinding dan jantungnya seperti mau copot."Baik, Pak!" kata Bita menurut saja. Ia terdiam dan terpaku hanya menatap sebuah berkas bermap warna kuning di atas meja kerja."Revisi lagi laporanmu itu dan serahkan hasilnya hari ini juga." kata David tanpa beralih sedikit pun ke arah Bita."Baik, Pak." jawab Bita singkat sambil mengambil berkas bermap kuning itu.Hening.Bita kikuk. Tak sabar apa yang ingin diucapkan lagi oleh bosnya tersebut. Ia pun memainkan jari-jarinya dengan cepat. Gugup. Jantungnya berdegup kencang."Kenapa masih di sini?" Bita terkejut dan melihat David sudah berbalik ke arahnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ternyata dugaannya salah besar. Wajah iblis itu tak keluar dari wajah Pak David."Itu saja, Pak?" tanya Bita melongo."Iya.""Baik, Pak." Bita menutup bibirnya yang melongo lalu beranjak dari kursinya dan memutar tubuhnya hendak meninggalkan ruangan itu."Kalau kamu masih ada yang mau dibicarakan dengan saya, silakan saja. Daripada kamu membicarakan saya dari belakang."Deg!Bita berhenti melangkah dan memutar tubuhnya menghadap David, "Maaf, Pak." ucap Bita sambil membungkukkan badannya."Silakan duduk, jika ingin bicara. Tidak baik membicarakan orang yang tak tahu kebenaran pastinya seperti apa. Apalagi itu mengenai privasi orang." kata David menasihati sambil menyeruput kopinya lalu duduk di kursi kerjanya."Silakan duduk!" perintah David menunjuk kursi di seberangnya dengan dagu. Bita hanya bisa menurut bak anak kecil yang dimarahi ayahnya. David menarik kursinya agar lebih dekat ke meja. Tubuhnya maju dan kedua tangannya ia lipat di atas meja. Kali ini wajahnya nampak serius, seakan siap mendengarkan cerita yang akan dikisahkan oleh Bita."Maaf, Pak, bukannya saya lancang. Tapi-" Bita dilema, haruskah ia menceritakan sesuatu seperti ini ke bosnya? Tetapi dia pun tak tega kalau Si Bos masuk dalam jeratan wanita itu. Bosnya terlalu sempurna, tidak cocok dengan wanita itu. Ah sudahlah, terlanjur tertangkap basah. Semoga saja dia nggak bete.Bita pun menjelaskan dengan detail apa yang telah ia dengar sebelumnya. Tanpa mengurangi maupun melebih-lebihkanya. Termasuk tempat kejadian perkara, kapan saja itu terjadi, dan terutama rasa simpatinya kepada David."Terima kasih, Bita. Atas perhatian dan simpatimu. Saya apresiasi itu. Tetapi itu adalah ranah pribadi saya dan teman saya tersebut." David berkata dengan lembut dan ramah. Tidak ada sama sekali mimik wajah kemarahan, malah ia selalu tersenyum sepanjang Bita berbicara."Alangkah lebih baik, hal itu disimpan saja untuk jadi pembelajaran dalam diri kamu. Saya melihat, akhir-akhir ini kinerja kamu menurun. Menurut saya, kamu termasuk karyawan yang berbakat dan memiliki banyak potensi. Saya sangat menyayangkan kalau sampai sikap kamu ini berpengaruh pada kinerja kamu. Tolong, jaga sikapmu jika sudah di kantor." kata David memberi nasihat."Sudah ya, Bita. Fokus saja dengan pekerjaanmu. Silakan kamu revisi laporan tersebut. Saya tunggu maksimal besok pagi saja." lanjut David mencoba menenangkan Bita yang sudah tampak menyesal dengan perbuatannya."Baik Pak-terima kasih-maaf sekali lagi, Pak!" ucap Bita terbata lalu undur diri dari ruangan kerja David.Tak dapat dipercaya! Cerita apa itu barusan ku dengar itu!David mendengar pintu ruangan kantornya di ketuk. Ia pun mempersilakan masuk orang yang mengetuk pintu tersebut. Ternyata Gilang, David pun bernapas lega. Selama setengah jam David harus menunggu kehadiran sahabatnya itu dengan perasaan gelisah."Iyap, Bos. Ada perintah apa nih?" tanya Gilang langsung duduk di kursi."Kemana aja sih, lo? Lama amat!" gerutu David kesal."Maapin ya, ada panggilan alam tadi." jawab Gilang cengengesan."Hah! Alesan aja, lo!""Kenapa sih, Bos? Uring-uringan? Heran deh kayak bini gue aja kalo lagi PMS." Kini giliran Gilang yang menggerutu."Bingung gue mau cerita dari mana?" kata David sambil memutar manik matanya."Cerita ya cerita aja sih, Bos.""Jadi gini-"David menceritakan kejadian tadi pagi yang disebabkan oleh Bita. Gilang pun mendengarkannya dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus sepanjang cerita. Tetapi kelakuan Gilang malah membuat David kesal."Kepala lo kenapa sih? Lo kira gue lagi nge-rap apa? Manggut-manggut mulu."
Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ib
David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Wenda duduk termenung di sudut café yang terletak di dalam kantor ayahnya itu. Minuman kopi yang tergeletak di sana pun telah habis ia minum. Dahaga melandanya karena harus berpikir bagaimana mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh ayahnya. Uang lima ratus juta telah habis tidak bersisa. Melaporkan kasus ini kepada polisi juga pasti memerlukan banyak biaya dan tenaga. Sedangkan tabungan yang dihasilkan Wenda dari jerih payahnya bekerja juga belum begitu banyak. Mungkin hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari dan sedikit untuk biaya sekolah adik-adiknya, sisanya entah apakah bisa untuk melanjutkan kehidupan mereka lagi.Ayahnya telah kembali bekerja sesaat setelah majikan meneleponnya. Profesinya sebagai supir pribadi bagi pengusaha bernama Johan Pramono sudah berjalan sekitar 23 tahun lamanya. Keterpurukan dan kemiskinan yang dialami Wenda sekeluarga dahulu tak lagi dirasakan ketika ayahnya mengabdi sebagai supir yang setia. Berkat ketelatenan dan kesaba
Suatu pagi di hari Jumat yang cerah. Keluarga Pak Agus terlibat dalam perbincangan penting menurut Bu Tiwi. Pembicaraan itu membahas sebuah undangan makan malam dari majikan Pak Agus di hari sabtu malam esok. Undangan tersebut baru keluar semalam, seusai Pak Agus menyelesaikan tugasnya.“Wenda, Ibu harus pakai baju apa nih?” Bu Tiwi bertanya dengan gelisah.“Pakai aja yang biasa Ibu pakai kalau berangkat kondangan.” jawab Wenda sambil menyuapi sesendok nasi beserta lauknya.“Iya, Bu. Pakai saja kebaya yang dipakai buat nikahannya Hardi.” Pak Agus pun menyetujui pendapat Wenda.“Ayah, memang Ibu dan Ayah mau ke mana? “ tanya Dimas kebingungan melihat kakak dan orang tuanya meributkan masalah pakaian ibunya.Pak Agus baru saja ingat, ternyata beliau belum memberitahukan kepada ketiga anaknya yang lain. Ia baru memberitahukan kepada istrinya, sedangkan Wenda pasti sudah tahu perihal undangan itu dari ibunya. Undangan ini sangat spesial bagi Bu Tiwi, karena sela
“Selamat malam semuanya! Selamat datang untuk para undangan!” Suara Gilang menggelegar di halaman belakang kediaman Johan Pramono karena pengeras suara yang disediakan. Ia hadir sebagai tamu undangan dan juga sebagai pembawa acara. Ia berdiri di podium kecil yang tingginya mungkin sekitar setengah meter.“Karena seluruh tamu undangan sudah hadir, sebelum kita memulai acara pada malam hari ini, alangkah baiknya kita memanjatkan doa memohon kelancaran acara ini hingga selesai nantinya. Berdoa mulai.” Seluruh tamu undangan bersama-sama memanjatkan doa lalu mengakhiri bersama yang dipandu oleh Gilang, “Berdoa selesai.”Acara makan malam ini terkesan sangat mewah bagi Wenda karena halaman belakang rumah Pak Johan disulap sedemikian rupa menjadi sangat indah. Lampu-lampu gantung berwarna kuning menghiasi seluruh taman. Kursi dan meja bundar tertata rapi sebanyak sebelas set, sesuai dengan jumlah kepala keluarga yang hadir di sini. Di kejauhan, tampak meja panjang yang diatasny
Wenda tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa atas perlakuan David terhadapnya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Kehangatan yang ada di tangan kanannya mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat ia merasa sedikit kepanasan, terutama di bagian wajahnya. Wenda ingin sekali melepaskan genggaman itu, tetapi semakin Wenda berkutik, semakin erat pula David menggenggamnya. Bahkan akan menarik tangan Wenda untuk tetap berada di atas paha David. Tangannya berada di daerah yang sangat menegangkan, zona di mana membuat Wenda teringat akan sesuatu yang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Wenda memejamkan matanya dan menggeleng dengan cepat. "Kenapa Wen?" "Eh, enggak papa Mas." jawab Wenda cepat. Ia baru sadar ternyata David memperhatikan dirinya sedari tadi. "Kamu sakit? Kepalamu pusing?" "Enggak, Mas. Aku nggak kenapa-kenapa." jawab Wenda lagi dengan cepat. "Tanganmu agak anget sih." David mengelus tangan Wenda yang ada di genggamannya. Ia pun melepas genggaman itu dan mengendali
Wenda sudah bersiap untuk menuju ke rumah sakit lagi walaupun pada akhirnya nanti ia akan berhadapan dengan omelan mertua karena sikap keras kepalanya. Tangan dan kaki yang beberapa hari kemarin sakit, badan yang sekarang lelah karena kurang tidur pun, seolah tak ia rasakan sama sekali. Ia pun bersikeras untuk tetap datang setiap hari ke rumah sakit demi adik bungsunya itu. Wenda merasa, apa yang dulu menjadi tanggung jawab ibunya, kini ia harus menggantikannya. Terlebih Santi masih terlalu kecil dan tak seharusnya ia kehilangan sosok ibu diusianya saat ini. "Sorry, Wen, nunggu lama. Tadi ada telpon dari David." ucap Gilang yang kini sudah masuk ke dalam mobil sambil membawa sebuah amplop besar berwarna cokelat. Wenda sudah menunggunya dengan masuk ke dalam mobil yang sudah menyala. "Kenapa sama David, Mas?" tanya Wenda penasaran. "Ini, dia, anu, apa.. berkas dia ada yang ketinggalan." jawab Gilang sedikit terbata. Gilang agak terkejut karena Wenda bert
"Wen.. Bangun...!"Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Bu Tina menepuk perlahan lengan Wenda dan ia masih saja tertidur pulas di sofa samping ranjang Santi. "Mbak Wenda belum mau bangun ya, Tante?" tanya Santi dengan kondisi yang masih sangat lemah. Ia memiringkan tubuhnya perlahan untuk menatap Bu Tina dan Wenda. "Belum, Nak." jawab Bu Tina, "Wen, Wenda sayang.. Bangun.. ""Iya, Mas.. Bentar lagi, Wenda masih ngantuk.."Bu Tina tersenyum geli mendengar kata 'Mas' yang terucap di bibir Wenda. Pasti menantunya itu mengira dirinya adalah David, anaknya. Memang sebaiknya pengantin baru itu jangan berpisah terlalu lama. Akhinya akan jadi seperti ini 'kan? "Wenda.. Bangun..!" Bu Tina menepuk lengan Wenda lebih keras lagi. Namun ternyata hasilnya sama saja. Wenda malah sedikit menggeliat dan melipat kedua lengan ke depan tubuhnya. Seperti sedang memeluk sesuatu. "Iya, Mas.. Wenda juga kangen sama Mas... Hmmm..""W
"David itu bener-bener keterlaluan! Nggak ada rasa empatinya sama sekali. Lagi kondisi kayak gini bisa-bisanya dia berlagak jadi bos, yang tinggal perintah sana perintah sini! Emang dia pikir Santi itu barang yang bisa asal dipindah tempat apa!"Wenda terus saja menggerutu di sepanjang perjalanannya menuju ruang rawat Santi. Ia meluapkan semua rasa kekesalannya atas ucapan David tadi. Ia masih tak habis pikir dengan kelakuan David yang seenak jidat itu. "Mending dia pergi aja jauh-jauh daripada harus repot-repot dateng ke sini tengah malem, kalo cuma mau ngajak ribut. Huh!"Wenda menghela napas kesalnya sekali lagi. Ia menghentikan gerutuannya usai lift yang ia naiki sudah sampai di lantai yang ia tuju. Ia terlalu malu untuk menggerutu sendiri di sepanjang lorong ruangan, di mana perawat terkadang masih lalu-lalang untuk mengecek kondisi pasien di kamar masing-masing. Saat ini, Santi tengah menjalani terapi penambahan trombosit dari para donor s
Sejak mendapat kabar buruk mengenai kondisi adik iparnya, David langsung terbang kembali ke Jakarta malam itu juga. Hampir saja David kehabisan tiket, karena hari ini hari Minggu, jadwal penerbangan di Bali saat itu padat sekali. David pun terbang dengan jadwal penerbangan terakhir di malam itu. Sesampainya di Jakarta, David juga langsung menuju ke rumah sakit tempat Santi dirawat. Namun karena ia datang disaat hampir tengah malam dan bukan di waktu jam besuk pasien, ia pun tak diperbolehkan masuk oleh petugas security. David pun hanya bisa mengalah setelah berbagai kalimat negosiasi ditolak mentah-mentah oleh mereka. David sadar, ini memang bukan saat yang tepat untuk menjenguk Santi, tetapi ia juga merasa khawatir dengan kondisi kaki Wenda yang tengah sakit. Bu Tina memberi tahunya bahwa Wenda malam ini tidur di rumah sakit ini untuk menjaga adiknya. Itulah mengapa ia hanya ingin memastikan bahwa Wenda baik-baik saja. Itu saja! David hanya bisa duduk
Mobil hitam itu melaju dengan tangkas memasuki area parkir di sebuah rumah sakit. Gilang, sang pengemudi handal sudah sangat terlatih untuk mencari slot kosong di area parkir dengan cepat. Hal inilah yang memberi kelegaan di dalam hati Wenda. Batinnya kini tengah terkoyak karena kabar buruk sedang menimpa adik bungsunya itu. Wenda melangkah keluar mobil dengan cepat sambil menggandeng Monic. Tak lama Bu Tina dan Gilang menyusul kemudian. Dengan setengah berlari Wenda memasuki gedung rumah sakit itu dan bertanya kepada salah seorang petugas security."Siang, Pak. Mau tanya ruangan Dahlia di mana ya, Pak?" tanya Wenda menyebutkan nama ruangan berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari Monic. Meskipun informasi itu belum terlalu detail di kamar nomer berapa adiknya, Santi, tengah dirawat. "Ibu silakan jalan ke arah sini, nanti ruangannya ada di sebelah kanan Ibu." ucap pria security tersebut dengan ramah sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya.
"Habisnya nggak sembuh-sembuh. Kan kasian istriku ini.. Mau ya sayang?" David mencoba merayunya dengan panggilan itu lagi. Membuat bulu kuduk Wenda merinding. "Diih, ogah!" sahut Wenda singkat lalu reflek mematikan panggilan telepon itu dan melempar ponsel untuk menjauhi dari dirinya. Ia pun menenggelamkan wajahnya lagi ke atas bantalnya.Wenda begitu terkejut ketika Tuan Muda itu tiba-tiba meneleponnya. Tepat di saat Wenda sedang memikirkan David di dalam otaknya bersama dengan kenangan yang terjadi kemarin malam di hotel Lombok. Bagaimana David bisa tahu bahwa ia sedang memikirkannya? Bahkan David menjawab apa yang sedang ia tanyakan di dalam otaknya. Wenda hanya ingin tahu apakah David sudah sampai di Bali atau belum. Memikirkan hal ini membuat Wenda merasa malu. Ia pun memukul-mukul ranjangnya perlahan untuk pelampiasan emosinya itu. Tak lama, Wenda pun segera beranjak dan duduk di atas ranjang dengan sangat cepat. Ia seperti teringat akan
Nicho membuka pintu kamar hotel tempat di mana awalnya ia akan bermalam dengan wanita koper itu. Namun, tak jadi ia lakukan karena sudah tertangkap basah oleh kakak iparnya sendiri. Wanita itu sangat terkejut saat melihat wajah Nicho sudah lebam dan bibir berdarah. Sedangkan David hanya menyeringai kecut melihat drama yang ditampilkan oleh wanita itu. "Mas, wajahmu kenapa?" tanya Wanita Koper yang akan menyentuh wajahnya tetapi di tepis oleh Nicho. Nicho pun lanjut berjalan dengan langkah gontai dan masuk ke dalam kamar. Wanita itu bergantian menatap David yang hanya berdiri di ambang pintu. "Mbak, mau tau jawabannya nggak?" cibir David sambil bersandar di tembok. "Mas tau siapa yang mukul suami saya?" tanya Wanita Koper penasaran. "Saya yang mukul." jawab David enteng saja tanpa beban apalagi merasa bersalah. "Loh, Mas ini siapa ya kok berani-beraninya mukul suami saya? Ada masalah apa sama suami saya, ha?" Wanita itu naik pitam dan memelototi David."Ck! Ini suaminya siapa, tapi
Pesawat David landing tepat pukul 11 malam Waktu Indonesia Tengah. Rasa lelah sudah menghantui tubuhnya hingga tanpa sadar ia salah mengambil koper saat bagasi pesawat mulai dibuka. Warna koper itu sama-sama hitam dan besarnya juga tak jauh berbeda. Namun perbedaan itu terletak pada motifnya. "Maaf, Mas. Itu koper saya." ucap seorang wanita tinggi semampai dan berambut panjang dengan model highlight. Jika wanita itu tak memperingatkan David sudah bisa dipastikan koper itu akan terbawa sampai ke hotel. "Oh iyakah?" David pun mengecek koper itu sekilas dan benar saja seperti apa yang diucap wanita cantik itu. "Maaf, Mbak, kopernya mirip. Ini saya kembalikan." David memberikan koper itu dengan perasaan malu dan canggung. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pun berlalu pergi. Sedangkan David masih menunggu kedatangan koper miliknya. David menaiki taksi yang sudah tersedia di bandara. Untuk kali ini tidak ada supir pribadi utusan dari perus