"Lang, tolong kunci mobilnya nanti lo taruh di kamar gue aja." pinta David saar mesin mobil sudah mati. Mobil David itu sudah parkir di garasi huniannya. Rumahnya yang megah dan luas membuat mungkin 10 mobil bisa masuk ke garasi ini.
"Tumben, Bro. Mau kemana Lo?" tanya Gilang dengan sapaan yang khas jika berada diluar kantor atau tidak sedang dihadapan keluarga David."Kencan." jawab David singkat sambil membuka pintu mobil dan keluar dari sana."Sama siapa, Bro?" tanya Gilang sambil berteriak karena penasaran. Bosnya kumat lagi kah?"Sandra." jawab David lirih dari luar mobil dan membuat Gilang tak mendengarnya dengan jelas."Siapa?" teriak Gilang dari dalam mobil. Tetapi David malas untuk mengulangi jawabannya lagi dan berlalu pergi memasuki rumah."Dia bilang siapa ya? San- San siapa? Ahh awas aja kalau dia kumat lagi! Udah tau situasi genting begini, disuruh cari istri malah mau kencan buta!" Gilang tak henti-hentinya menggerutu di sepanjang ia berjalan menuju ke kamar David.Gilang mengetok pintu sebuah kamar dan langsung terdengar suara berkata 'Masuk'. Ia membuka pintu dan melihat David sedang melepas jas dan dasinya. Ia segera menggantungkan kunci mobil tersebut di atas etalase kaca bernuansa simpel tetapi elegan.Etalase tersebut terletak di seberang pintu kamar David. David menggunakan etalase itu untuk menaruh benda-benda favoritnya, yaitu action figure dari semua tokoh kartun maupun layar lebar."Bro, lo tadi nggak serius 'kan bilang mau kencan buta?" tanya Gilang seusai menggantung kunci mobil."Kapan gue pernah serius, hm?" David balik bertanya sambil merebahkan diri di sofa dan memainkan ponselnya."Gue serius nanya, woy!" Gilang pun mulai geram karena gaya slengekan David mulai keluar kalau berurusan dengan wanita."Lo ngerti nggak sih masa depan lo tergantung sama hal kayak gini?" lanjut Gilang dengan nada mulai meninggi."Kan lo yang nyuruh gue ngehubungi mantan. Gimana sih lo! Ya gue ikutin saran lo. Nih gue lagi nge-chat Si Sandra." sahut David kesal sampai terbangun dari rebahannya."Oh. Sandra." ucap Gilang singkat merasa malu karena sudah berburuk sangka, "Sandra yang seksi itu ya?""Giliran seksi aja lo inget. Inget, anak lo dah satu! Gue tampol lo!" Tangan David mengudara siap memukul Gilang yang telah duduk di sampingnya. Tapi tentu saja itu hanya candaan David saja. Gilang pun hanya cekikikan."Kenapa Sandra?" tanya Gilang ingin tahu dengan menjulurkan kepalanya untuk mengintip isi obrolan dengan Sandra."Entahlah. Kepikirannya dia aja. Ngapain si lo? Kepo amat! Pulang sono lo!" usir David sambil menjejak kaki dan menjauhkan ponselnya dari Gilang."Iya iya, Tuan Muda! Gilang undur diri dulu." sahut Gilang sambil berdiri lalu membungkukkan badannya bak pengawal raja, "Permisi, Tuan! Semoga besok kencannya sukses. Masa depan cerah!"David pun hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah laku sahabatnya tersebut. Ia melanjutkan obrolannya di pesan singkat sesuai Gilang menutup pintu kamarnya.Sandra : Besok jadi kita lunch bareng?David : Jadi san. Aku jemput di mana? Aku jemput kamu jam 10.Sandra : Jemput di apartmen aku dong. Btw, apartmen aku udh pindah ya. Di sini.Sandra mengirim sebuah map location. David pun membuka map tersebut. Ia tak asing dengan nama dan lokasi apartemen tersebut. Jelas saja, itu adalah salah satu apartemen mewah yang sangat kondang di kota ini. Terlebih lagi apartemen itu adalah hasil karya perusahannya dan menjadi tender pertama yang berhasil David raih 8 tahun lalu.David tak menyangka Sandra akan tinggal di sana dengan latar belakang Sandra. Terakhir ia berhubungan dengannya, Sandra adalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pendistribusian makanan siap saji. Jika itu masih menjadi pekerjaannya saat ini, sudah pasti gajinya tak cukup untuk membeli bahkan menyewa sekalipun.David tersenyum sinis.David : Oke. Aku kabari klo udh sampe sana.Sandra : Oke Vid. Sampai ketemu besok.======Siang yang terik di hari Sabtu. Semoga menjadi pertanda baik bagi David untuk memulai kencannya. Begitulah doa David di benaknya. Sejujurnya, David merasa tidak bergairah untuk menemui Sandra lagi. Apartemen mewah itu benar-benar terbayang-bayang semalaman oleh David.Ah sudahlah! Mungkin aja dia udah dapet promosi dari kantornya dan naik jabatan. Positif thinking aja lah, Vid.David terus mengucapkan kalimat-kalimat bermakna positif dalam pikirannya. Ia tak ingin merusak hari ini. Hari di mana menjadi penentu masa depannya."Halo, San. Aku udah di basement nih." David langsung menghubungi Sandra begitu tiba di tempat parkir."Nggak ke atas dulu, Vid?" tanya Sandra."Nggak usah. Kita langsung aja, soalnya restorannya jauh dari sini." jawab David tegas.Tak perlu menunggu lama, Sandra pun keluar dari lift apartemen. Rambutnya kini sebahu, persis seperti foto yang ia upload terakhir kali di akun media sosialnya. Ia mengenakan kemeja merah muda polos dan celana jins biru pekat. Ada motif robek-robek di celananya. Sepatunya heels membuat kakinya nampak semakin jenjang. Kacamata mewah merk ternama ia taruh di atas kepala seperti bando. Tasnya pun bermerk.David diam-diam mengamati dandanan Sandra yang casual namun terlihat mewah dari dalam mobil. David keluar dari mobilnya dan melambaikan tangan ke arah Sandra."Hai, Vid!" sapa Sandra langsung menyosor untuk cipika-cipiki."Hai, San. Makin cantik aja." balas David sekenanya."Thank you, Vid."David membalasnya dengan senyuman dan membimbing Sandra menuju pintu mobil di satunya. David membukakan pintu mobil untuk Sandra."Kamu sekarang sibuk banget ya. Aku denger sekarang kamu ngewakilin papa kamu ya?" tanya Sandra membuka bahan pembicaraan. David pun tidak heran jika Sandra mengetahui jabatan David sekarang. Pasti ia pun juga mencari informasi terkini tentang David. Meskipun jarang aktif di media sosial, tapi namanya sudah banyak tercatat di artikel-artikel internet. Terlebih susunan organisasi perusahaannya juga selalu di update web resmi perusahaan."Yah, begitulah." jawab David singkat."Udah berapa lama?""Udah sekitar 3 tahun belakangan ini.""Sejak kita putus?" tanya Sandra dengan mata membulat."Nggak lama dari itu. Yah, beberapa bulan kemudian." jawab David mencoba mengingat-ingat. Ia melihat mimik wajah kecewa Sandra dari sudut matanya. Seolah berkata, Andai kita nggak putus.David memang suka gonta ganti pasangan. Namun ia tak pernah asal dalam memilih. Ia selalu memilih gadis-gadis yang tidak terlalu bucin terhadap dirinya. Itulah mengapa wanita yang David temui selalu mengincar hartanya saja. Jadi ketika David bosan atau sudah lelah dengan sifat matrealistis wanita itu, Ia akan mencari yang lain tanpa perlu menunggu putus secara sah. Lain halnya dengan Sandra, meskipun David tahu dan sadar Sandra juga menyukai hartanya, alasan mereka putus adalah karena David sudah tidak perhatian dan lebih sibuk memilih pekerjaannya. Padahal tanpa Sandra sadari, dibalik kesibukannya itu ada perjuangan berat yang harus dilalui David hingga posisi saat ini."Kamu masih kerja di perusahaan itu?" tanya David."Udah enggak sih. Aku udh pindah 2 tahun lalu." jawab Sandra dengan menyebutkan sebuah nama perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor. Bidang yang sama saat ini digeluti oleh David."Kenapa nggak ngelamar di perusahaanku aja?""Udah.""Terus?""Nggak lolos.""Kenapa nggak telepon aku minta dilolosin?" tanya David berusaha bercanda tapi terdengar seperti merendahkan."Vid, Vid. Kita aja putus gara-gara kamu sibuk. Masa aku telepon cuma mau minta tolong terima sebagai bawahanmu. Mau taruh di mana muka aku?" jelas Sandra dengan nada getir."Iya iya, oke sorry kalau gitu." ucap David cengengesan sambil mengusap punggung tangan Sandra yang terletak di atas pahanya."Kamu ya, masih aja ngerendahin aku!" seru Sandra dengan wajah manyun."Iya iya, aku minta maaf." bujuk David agar Sandra berhenti ngambek.Kencan hari pertama telah sukses dilalui David dan Sandra. Perasaan tak nyaman yang awalnya dirasakan oleh David pun sirna. Pekerjaan Sandra saat ini adalah seorang manajer keuangan di perusahaan barunya. Jadi wajar jika hunian dan penampilan Sandra kini tampak mewah dan glamor.David pun secara intens membalas setiap pesan yang dikirim oleh Sandra. David dengan senang hati menanggapi setiap pesan dari Sandra selama itu tidak menganggu pekerjaan mereka masing-masing. Mereka pun merencanakan pertemuan kedua mereka di minggu depan.Suatu pagi di ruang kantor yang dipimpin oleh David, terjadi sebuah kegaduhan kecil yang disebabkan oleh dua orang wanita. Seperti biasa, Bita mendapat berita mengejutkan dan ia pun segera memberitahukan kepada Sari, sobat bergosipnya. Sari mendengarkan dengan seksama cerita yang diungkapkan oleh Bita."Lo serius, Ta?" tanya Sari sambil menutup mulutnya."Gue sih serius kalau soal rumor itu, tapi yang benernya kayak gimana ya gue belum mastiin lagi." sahut Bi
David mendengar pintu ruangan kantornya di ketuk. Ia pun mempersilakan masuk orang yang mengetuk pintu tersebut. Ternyata Gilang, David pun bernapas lega. Selama setengah jam David harus menunggu kehadiran sahabatnya itu dengan perasaan gelisah."Iyap, Bos. Ada perintah apa nih?" tanya Gilang langsung duduk di kursi."Kemana aja sih, lo? Lama amat!" gerutu David kesal."Maapin ya, ada panggilan alam tadi." jawab Gilang cengengesan."Hah! Alesan aja, lo!""Kenapa sih, Bos? Uring-uringan? Heran deh kayak bini gue aja kalo lagi PMS." Kini giliran Gilang yang menggerutu."Bingung gue mau cerita dari mana?" kata David sambil memutar manik matanya."Cerita ya cerita aja sih, Bos.""Jadi gini-"David menceritakan kejadian tadi pagi yang disebabkan oleh Bita. Gilang pun mendengarkannya dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus menerus sepanjang cerita. Tetapi kelakuan Gilang malah membuat David kesal."Kepala lo kenapa sih? Lo kira gue lagi nge-rap apa? Manggut-manggut mulu."
Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ib
David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Wenda duduk termenung di sudut café yang terletak di dalam kantor ayahnya itu. Minuman kopi yang tergeletak di sana pun telah habis ia minum. Dahaga melandanya karena harus berpikir bagaimana mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh ayahnya. Uang lima ratus juta telah habis tidak bersisa. Melaporkan kasus ini kepada polisi juga pasti memerlukan banyak biaya dan tenaga. Sedangkan tabungan yang dihasilkan Wenda dari jerih payahnya bekerja juga belum begitu banyak. Mungkin hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari dan sedikit untuk biaya sekolah adik-adiknya, sisanya entah apakah bisa untuk melanjutkan kehidupan mereka lagi.Ayahnya telah kembali bekerja sesaat setelah majikan meneleponnya. Profesinya sebagai supir pribadi bagi pengusaha bernama Johan Pramono sudah berjalan sekitar 23 tahun lamanya. Keterpurukan dan kemiskinan yang dialami Wenda sekeluarga dahulu tak lagi dirasakan ketika ayahnya mengabdi sebagai supir yang setia. Berkat ketelatenan dan kesaba
Suatu pagi di hari Jumat yang cerah. Keluarga Pak Agus terlibat dalam perbincangan penting menurut Bu Tiwi. Pembicaraan itu membahas sebuah undangan makan malam dari majikan Pak Agus di hari sabtu malam esok. Undangan tersebut baru keluar semalam, seusai Pak Agus menyelesaikan tugasnya.“Wenda, Ibu harus pakai baju apa nih?” Bu Tiwi bertanya dengan gelisah.“Pakai aja yang biasa Ibu pakai kalau berangkat kondangan.” jawab Wenda sambil menyuapi sesendok nasi beserta lauknya.“Iya, Bu. Pakai saja kebaya yang dipakai buat nikahannya Hardi.” Pak Agus pun menyetujui pendapat Wenda.“Ayah, memang Ibu dan Ayah mau ke mana? “ tanya Dimas kebingungan melihat kakak dan orang tuanya meributkan masalah pakaian ibunya.Pak Agus baru saja ingat, ternyata beliau belum memberitahukan kepada ketiga anaknya yang lain. Ia baru memberitahukan kepada istrinya, sedangkan Wenda pasti sudah tahu perihal undangan itu dari ibunya. Undangan ini sangat spesial bagi Bu Tiwi, karena sela
Wenda tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa atas perlakuan David terhadapnya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Kehangatan yang ada di tangan kanannya mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat ia merasa sedikit kepanasan, terutama di bagian wajahnya. Wenda ingin sekali melepaskan genggaman itu, tetapi semakin Wenda berkutik, semakin erat pula David menggenggamnya. Bahkan akan menarik tangan Wenda untuk tetap berada di atas paha David. Tangannya berada di daerah yang sangat menegangkan, zona di mana membuat Wenda teringat akan sesuatu yang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Wenda memejamkan matanya dan menggeleng dengan cepat. "Kenapa Wen?" "Eh, enggak papa Mas." jawab Wenda cepat. Ia baru sadar ternyata David memperhatikan dirinya sedari tadi. "Kamu sakit? Kepalamu pusing?" "Enggak, Mas. Aku nggak kenapa-kenapa." jawab Wenda lagi dengan cepat. "Tanganmu agak anget sih." David mengelus tangan Wenda yang ada di genggamannya. Ia pun melepas genggaman itu dan mengendali
Wenda sudah bersiap untuk menuju ke rumah sakit lagi walaupun pada akhirnya nanti ia akan berhadapan dengan omelan mertua karena sikap keras kepalanya. Tangan dan kaki yang beberapa hari kemarin sakit, badan yang sekarang lelah karena kurang tidur pun, seolah tak ia rasakan sama sekali. Ia pun bersikeras untuk tetap datang setiap hari ke rumah sakit demi adik bungsunya itu. Wenda merasa, apa yang dulu menjadi tanggung jawab ibunya, kini ia harus menggantikannya. Terlebih Santi masih terlalu kecil dan tak seharusnya ia kehilangan sosok ibu diusianya saat ini. "Sorry, Wen, nunggu lama. Tadi ada telpon dari David." ucap Gilang yang kini sudah masuk ke dalam mobil sambil membawa sebuah amplop besar berwarna cokelat. Wenda sudah menunggunya dengan masuk ke dalam mobil yang sudah menyala. "Kenapa sama David, Mas?" tanya Wenda penasaran. "Ini, dia, anu, apa.. berkas dia ada yang ketinggalan." jawab Gilang sedikit terbata. Gilang agak terkejut karena Wenda bert
"Wen.. Bangun...!"Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Bu Tina menepuk perlahan lengan Wenda dan ia masih saja tertidur pulas di sofa samping ranjang Santi. "Mbak Wenda belum mau bangun ya, Tante?" tanya Santi dengan kondisi yang masih sangat lemah. Ia memiringkan tubuhnya perlahan untuk menatap Bu Tina dan Wenda. "Belum, Nak." jawab Bu Tina, "Wen, Wenda sayang.. Bangun.. ""Iya, Mas.. Bentar lagi, Wenda masih ngantuk.."Bu Tina tersenyum geli mendengar kata 'Mas' yang terucap di bibir Wenda. Pasti menantunya itu mengira dirinya adalah David, anaknya. Memang sebaiknya pengantin baru itu jangan berpisah terlalu lama. Akhinya akan jadi seperti ini 'kan? "Wenda.. Bangun..!" Bu Tina menepuk lengan Wenda lebih keras lagi. Namun ternyata hasilnya sama saja. Wenda malah sedikit menggeliat dan melipat kedua lengan ke depan tubuhnya. Seperti sedang memeluk sesuatu. "Iya, Mas.. Wenda juga kangen sama Mas... Hmmm..""W
"David itu bener-bener keterlaluan! Nggak ada rasa empatinya sama sekali. Lagi kondisi kayak gini bisa-bisanya dia berlagak jadi bos, yang tinggal perintah sana perintah sini! Emang dia pikir Santi itu barang yang bisa asal dipindah tempat apa!"Wenda terus saja menggerutu di sepanjang perjalanannya menuju ruang rawat Santi. Ia meluapkan semua rasa kekesalannya atas ucapan David tadi. Ia masih tak habis pikir dengan kelakuan David yang seenak jidat itu. "Mending dia pergi aja jauh-jauh daripada harus repot-repot dateng ke sini tengah malem, kalo cuma mau ngajak ribut. Huh!"Wenda menghela napas kesalnya sekali lagi. Ia menghentikan gerutuannya usai lift yang ia naiki sudah sampai di lantai yang ia tuju. Ia terlalu malu untuk menggerutu sendiri di sepanjang lorong ruangan, di mana perawat terkadang masih lalu-lalang untuk mengecek kondisi pasien di kamar masing-masing. Saat ini, Santi tengah menjalani terapi penambahan trombosit dari para donor s
Sejak mendapat kabar buruk mengenai kondisi adik iparnya, David langsung terbang kembali ke Jakarta malam itu juga. Hampir saja David kehabisan tiket, karena hari ini hari Minggu, jadwal penerbangan di Bali saat itu padat sekali. David pun terbang dengan jadwal penerbangan terakhir di malam itu. Sesampainya di Jakarta, David juga langsung menuju ke rumah sakit tempat Santi dirawat. Namun karena ia datang disaat hampir tengah malam dan bukan di waktu jam besuk pasien, ia pun tak diperbolehkan masuk oleh petugas security. David pun hanya bisa mengalah setelah berbagai kalimat negosiasi ditolak mentah-mentah oleh mereka. David sadar, ini memang bukan saat yang tepat untuk menjenguk Santi, tetapi ia juga merasa khawatir dengan kondisi kaki Wenda yang tengah sakit. Bu Tina memberi tahunya bahwa Wenda malam ini tidur di rumah sakit ini untuk menjaga adiknya. Itulah mengapa ia hanya ingin memastikan bahwa Wenda baik-baik saja. Itu saja! David hanya bisa duduk
Mobil hitam itu melaju dengan tangkas memasuki area parkir di sebuah rumah sakit. Gilang, sang pengemudi handal sudah sangat terlatih untuk mencari slot kosong di area parkir dengan cepat. Hal inilah yang memberi kelegaan di dalam hati Wenda. Batinnya kini tengah terkoyak karena kabar buruk sedang menimpa adik bungsunya itu. Wenda melangkah keluar mobil dengan cepat sambil menggandeng Monic. Tak lama Bu Tina dan Gilang menyusul kemudian. Dengan setengah berlari Wenda memasuki gedung rumah sakit itu dan bertanya kepada salah seorang petugas security."Siang, Pak. Mau tanya ruangan Dahlia di mana ya, Pak?" tanya Wenda menyebutkan nama ruangan berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari Monic. Meskipun informasi itu belum terlalu detail di kamar nomer berapa adiknya, Santi, tengah dirawat. "Ibu silakan jalan ke arah sini, nanti ruangannya ada di sebelah kanan Ibu." ucap pria security tersebut dengan ramah sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya.
"Habisnya nggak sembuh-sembuh. Kan kasian istriku ini.. Mau ya sayang?" David mencoba merayunya dengan panggilan itu lagi. Membuat bulu kuduk Wenda merinding. "Diih, ogah!" sahut Wenda singkat lalu reflek mematikan panggilan telepon itu dan melempar ponsel untuk menjauhi dari dirinya. Ia pun menenggelamkan wajahnya lagi ke atas bantalnya.Wenda begitu terkejut ketika Tuan Muda itu tiba-tiba meneleponnya. Tepat di saat Wenda sedang memikirkan David di dalam otaknya bersama dengan kenangan yang terjadi kemarin malam di hotel Lombok. Bagaimana David bisa tahu bahwa ia sedang memikirkannya? Bahkan David menjawab apa yang sedang ia tanyakan di dalam otaknya. Wenda hanya ingin tahu apakah David sudah sampai di Bali atau belum. Memikirkan hal ini membuat Wenda merasa malu. Ia pun memukul-mukul ranjangnya perlahan untuk pelampiasan emosinya itu. Tak lama, Wenda pun segera beranjak dan duduk di atas ranjang dengan sangat cepat. Ia seperti teringat akan
Nicho membuka pintu kamar hotel tempat di mana awalnya ia akan bermalam dengan wanita koper itu. Namun, tak jadi ia lakukan karena sudah tertangkap basah oleh kakak iparnya sendiri. Wanita itu sangat terkejut saat melihat wajah Nicho sudah lebam dan bibir berdarah. Sedangkan David hanya menyeringai kecut melihat drama yang ditampilkan oleh wanita itu. "Mas, wajahmu kenapa?" tanya Wanita Koper yang akan menyentuh wajahnya tetapi di tepis oleh Nicho. Nicho pun lanjut berjalan dengan langkah gontai dan masuk ke dalam kamar. Wanita itu bergantian menatap David yang hanya berdiri di ambang pintu. "Mbak, mau tau jawabannya nggak?" cibir David sambil bersandar di tembok. "Mas tau siapa yang mukul suami saya?" tanya Wanita Koper penasaran. "Saya yang mukul." jawab David enteng saja tanpa beban apalagi merasa bersalah. "Loh, Mas ini siapa ya kok berani-beraninya mukul suami saya? Ada masalah apa sama suami saya, ha?" Wanita itu naik pitam dan memelototi David."Ck! Ini suaminya siapa, tapi
Pesawat David landing tepat pukul 11 malam Waktu Indonesia Tengah. Rasa lelah sudah menghantui tubuhnya hingga tanpa sadar ia salah mengambil koper saat bagasi pesawat mulai dibuka. Warna koper itu sama-sama hitam dan besarnya juga tak jauh berbeda. Namun perbedaan itu terletak pada motifnya. "Maaf, Mas. Itu koper saya." ucap seorang wanita tinggi semampai dan berambut panjang dengan model highlight. Jika wanita itu tak memperingatkan David sudah bisa dipastikan koper itu akan terbawa sampai ke hotel. "Oh iyakah?" David pun mengecek koper itu sekilas dan benar saja seperti apa yang diucap wanita cantik itu. "Maaf, Mbak, kopernya mirip. Ini saya kembalikan." David memberikan koper itu dengan perasaan malu dan canggung. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pun berlalu pergi. Sedangkan David masih menunggu kedatangan koper miliknya. David menaiki taksi yang sudah tersedia di bandara. Untuk kali ini tidak ada supir pribadi utusan dari perus