“Jadi dating malam ni?” tanya Fathiya sambil memangku Tirta yang menonton siaran Cocomelon.“Jadi.” Reno menatap ke sekitar sambil menghampiri sang mama, tetapi ia tidak melihat Lita ada di ruangan keluarga. “Ke mana Lita?”“Buat sarapan kat dapur.”“Buat sarapan Mama di dapur,” ralat Reno sambil duduk di samping Fathiya, lalu mencubit gemas paha bayi yang montok itu. “Kenapa jadi Mama yang jaga Tirta? Mama nggak ngerasa dimanfaatin sama Lita? Harusnya, dia yang ngerawat Mama, tapi kenapa jadi begini?”“Tak, kan, kau tak ingat.” Sambil menepuk-nepuk kedua tangan Tirta sesuai irama lagu di televisi, Fathiya melirik Reno. “Tirta ni ubat stres Mama.”“Mama ... nggak punya pikiran mau dekatin aku sama Lita, kan?” Reno rasa, ia harus mempertanyakan langsung hal tersebut pada Fathiya. Semua harus jelas, agar Reno tidak uring-uringan melihat Lita yang selalu menempel pada sang mama.Fathiya melepas tawa begitu saja. "Mama tak pernah ada fikir macam tu."“Mama serius?” Reno menegakkan tubuh.
“Pagi, Mas Willy,” sapa Lita ramah sambil menghampiri pria yang baru keluar dari mobil. “Tumben pagi banget?”“Pagi, Ta,” balas Willy sudah tidak canggung lagi pada Lita. “Ini, mau keluar kota sama pak Reno.” Willy menutup pintu sembari melihat wajah menggemaskan Tirta yang menatapnya. “Baru datang?” tanyanya basa-basi sambil mendekat, lalu mencubit gemas pipi gembul bayi tampan itu.“Iya, biasa juga jam segini.”Hati Lita masih saja tidak karuan karena semua kenyataan yang berada di sekitarnya. Meskipun fisiknya sudah beristirahat selama sehari ketika libur, tetapi hati dan pikirannya tetap tidak bisa tenang.Tidak ingin Willy juga berpikiran buruk tentangnya, maka Lita berinisiatif menyampaikan isi hatinya lebih dulu.“Mas saya mau ngomong sebentar nggak papa, ya?” pinta Lita berusaha bersikap sopan dan merubah image-nya di masa lalu. Mungkin tidak akan mudah, tetapi paling tidak Lita sudah berusaha semaksimal mungkin.“Ngomong aja.” Willy mundur satu langkah dan memperhatikan Lita
“Tumben hari ini Tirta rewel, Neng?” tanya Isah, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Reno.Lita meringis serba salah. Sambil melahap makan siangnya, Lita sibuk menggendong Tirta yang sejak pagi tidak mau lepas dari dirinya. Lita sampai merasa sungkan pada Fathiya, karena sempat mengabaikan tugasnya menyiapkan sarapan.“Nggak tahu, Bu,” ucap Lita mempercepat kunyahannya. “Aku jadi nggak enak sama bu Fathiya. Tapi aku sudah minta ibuku datang buat jemput Tirta.”“Coba ibu lihat,” kata Isah setelah selesai mengaduk bubur di kompor. Ia menghampiri Lita yang sejak tadi tidak berhenti mondar mandir untuk menenangkan putranya. Isah memegang dahi Tirta lalu menggeleng kecil. “Anget ini, Neng. Mungkin masuk angin. Tiap hari diajak jalan terus. Pergi pagi, pulang sampe rumah sudah malam.”“Tadi nggak anget gini, Bu.” Lita memegang tubuh Tirta dan merasakan suhu tubuh putranya. Berusaha terlihat tidak panik, meskipun hatinya sudah khawatir tidak karuan.Isah ikut prihatin karena juga pern
“Litaaa! Anakmu nangis!”Lita menarik napas panjang. Tidak jadi menyuap sarapan. Sesaat, ia memejamkan mata, kemudian membuang napas perlahan. Sejak skandal itu, sikap sang bapak kepadanya berubah drastis. Radit tidak lagi memberi perhatian dan kasih sayang seperti dulu. Lita tahu, ia telah membuat malu keluarga dengan hamil di luar nikah. Namun, perubahan sikap Raditlah yang membuat Lita semakin serba salah dalam bersikap.“Tahu begini, ngapain Bapak sekolahin kamu tinggi-tinggi, kalau jatohnya cuma hamil di luar nikah!” Radit masih saja melanjutkan ocehannya. “Rindu yang cuma lulusan SMA bisa nikah sama orang kaya! Suaminya anggota dewan, mertuanya punya perusahaan! Kamu apa?”Lita kembali menarik napas panjang sembari meninggalkan meja makan dengan langkah tergesa. Ia bergegas ke kamar, membuka pintu dengan hati yang gelisah dan mendapati Tirta, bayi laki-laki hasil hubungan terlarangnya terbangun.Lita segera masuk kamar dan menutup pintu. Duduk di tepi ranjang, lalu membawa bayi
Tutup mata, tutup telinga.Kalimat itulah yang Lita tanamkan ketika nanti bekerja di A-Lee Kontruksi, perusahaan milik mertua saudara tirinya, Rindu. Lita harus fokus pada masa depan dan meninggalkan semua masa lalu kelamnya di belakang. Terus berjalan maju dan menjadikan semua hal yang dialami di hidupnya menjadi pelajaran berharga.Lita yang dulu, bukanlah Lita yang sekarang.Semua sudah berubah. Ada buah hati yang harus dibesarkan dan dididik dengan penuh tanggung jawab, agar tidak mengulangi kesalahan seperti orang tuanya.Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah lamunannya. Saat masih berdiri di pelataran perusahaan, Lita melihat layar ponselnya menampilkan nomor tidak dikenal. Tadinya, Lita enggan menerima panggilan dari nomor yang tidak disimpannya. Namun, saat melihat 10 digit nomor cantik yang tertera di layar, maka Lita memutuskan untuk menerimanya. Ia berasumsi, tidak ada orang yang memakai nomor cantik seperti itu untuk menipu atau sekadar iseng.“Halo?” sapanya dengan sedik
“Kosongkan semua jadwalku di luar kantor jumat ini,” titah Reno pada asisten pribadi yang berjalan di sampingnya. Mereka memasuki lobi perusahaan, sembari membicarakan semua agenda kantor hari itu. “Aku mau istirahat, di kantor aja.”“Siap, Ndan.” Pria yang bernama Willy itu mengangguk santai, sambil menulis titah Reno pada tablet di genggaman.“Aku juga minta—”Brukk!Langkah Reno terhenti ketika seorang wanita tiba-tiba menabraknya.Lita terbelalak dan menahan napas, saat melihat pria yang baru meneleponnya ada di hadapan. Yang lebih parah, Lita baru saja menabrak karena keteledorannya. “Pa-Pak Reno! Maaf!”“Kaaamu.” Reno mendelik saat mendengar Lita menyerukan namanya cukup keras. Namun, ia mencoba menenangkan diri dengan cepat. “Kamu karyawan baru?” tanyanya dengan nada lebih terkendali untuk menjaga wibawanya sebagai seorang direktur. Untung saja Lita memakai pakaian putih hitam layaknya karyawan magang, sehingga Reno bisa berakting maklum dan melemparkan pertanyaan seperti barus
Setelah keluar kamar mandi, Lita buru-buru menjemur handuknya lalu pergi ke kamar. Melewati Radit di meja makan dan enggan menegur pria itu karena tidak akan ada gunanya. Radit hanya bisa berkLita saja sampai heran, ke mana perginya Radit yang dulu?Ke mana gerangan sosok bapak yang selalu mengasihinya dan memberi apa pun yang Lita minta. Ya, meskipun terkadang Lita harus sabar menunggu, tetapi Radit pasti akan mengabulkan permintaannya.“Ibu makan dulu,” ujar Lita ketika memasuki kamar. “Istirahat. Biar Tirta sama aku.”“Kamulah yang makan dulu,” balas Tiara masih menepuk-nepuk bókong Tirta yang tidur dalam gendongan jariknya. “Mumpung Tirta tidur.”“Masih ada bapak.” Lita menutup pintu dan memelankan suaranya. “Nanti aja, Bu. Lagian aku sudah makan gorengan di kantor sebelum pulang.”“Kalau lagi ngasih ASI, jangan makan sembarangan.” Tiara membuka gendongannya dengan perlahan, lalu menurunkan Tirta di tempat tidur. “Makan makanan yang bergizi.”Lita mengangguk. Belajar tidak memban
“Tante itu heran, apa yang dilihat mamamu dari Lita?” Maria langsung membeo ketika ia dan Reno keluar dari kamar inap rumah sakit. Ia akan pergi ke hotel dekat rumah sakit dan menginap di sana. Sementara Reno, hanya akan mengantarkannya sampai bawah dan kembali menemani Fathiya. “Cantik juga nggak, akhlak mines, hamil di luar nikah sama suami orang, terus ... dilihat dari sudut mana aja, Lita itu nggak ada enak-enaknya. Janji sama Tante, jangan pernah dekat-dekat sama saudara tirinya Rindu. Kamu juga tahu, kan, bapaknya itu seperti apa?”“Iya, Tan.” Reno tidak bisa membantah, karena ia setuju dengan semua ucapan Maria. “Aku juga nggak pernah tertarik sama Lita.”“Bagus!” Ketika keduanya memasuki lift, Maria mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat daftar nama teman-temannya yang ada di kontaknya. Siapa tahu saja, dengan begini ia mengingat salah satu temannya yang memiliki anak perempuan yang belum menikah. “Nanti, kalau Tante balik ke Jakarta, Tante kenalin sama anak teman-teman T