“Tumben hari ini Tirta rewel, Neng?” tanya Isah, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Reno.Lita meringis serba salah. Sambil melahap makan siangnya, Lita sibuk menggendong Tirta yang sejak pagi tidak mau lepas dari dirinya. Lita sampai merasa sungkan pada Fathiya, karena sempat mengabaikan tugasnya menyiapkan sarapan.“Nggak tahu, Bu,” ucap Lita mempercepat kunyahannya. “Aku jadi nggak enak sama bu Fathiya. Tapi aku sudah minta ibuku datang buat jemput Tirta.”“Coba ibu lihat,” kata Isah setelah selesai mengaduk bubur di kompor. Ia menghampiri Lita yang sejak tadi tidak berhenti mondar mandir untuk menenangkan putranya. Isah memegang dahi Tirta lalu menggeleng kecil. “Anget ini, Neng. Mungkin masuk angin. Tiap hari diajak jalan terus. Pergi pagi, pulang sampe rumah sudah malam.”“Tadi nggak anget gini, Bu.” Lita memegang tubuh Tirta dan merasakan suhu tubuh putranya. Berusaha terlihat tidak panik, meskipun hatinya sudah khawatir tidak karuan.Isah ikut prihatin karena juga pern
“Litaaa! Anakmu nangis!”Lita menarik napas panjang. Tidak jadi menyuap sarapan. Sesaat, ia memejamkan mata, kemudian membuang napas perlahan. Sejak skandal itu, sikap sang bapak kepadanya berubah drastis. Radit tidak lagi memberi perhatian dan kasih sayang seperti dulu. Lita tahu, ia telah membuat malu keluarga dengan hamil di luar nikah. Namun, perubahan sikap Raditlah yang membuat Lita semakin serba salah dalam bersikap.“Tahu begini, ngapain Bapak sekolahin kamu tinggi-tinggi, kalau jatohnya cuma hamil di luar nikah!” Radit masih saja melanjutkan ocehannya. “Rindu yang cuma lulusan SMA bisa nikah sama orang kaya! Suaminya anggota dewan, mertuanya punya perusahaan! Kamu apa?”Lita kembali menarik napas panjang sembari meninggalkan meja makan dengan langkah tergesa. Ia bergegas ke kamar, membuka pintu dengan hati yang gelisah dan mendapati Tirta, bayi laki-laki hasil hubungan terlarangnya terbangun.Lita segera masuk kamar dan menutup pintu. Duduk di tepi ranjang, lalu membawa bayi
Tutup mata, tutup telinga.Kalimat itulah yang Lita tanamkan ketika nanti bekerja di A-Lee Kontruksi, perusahaan milik mertua saudara tirinya, Rindu. Lita harus fokus pada masa depan dan meninggalkan semua masa lalu kelamnya di belakang. Terus berjalan maju dan menjadikan semua hal yang dialami di hidupnya menjadi pelajaran berharga.Lita yang dulu, bukanlah Lita yang sekarang.Semua sudah berubah. Ada buah hati yang harus dibesarkan dan dididik dengan penuh tanggung jawab, agar tidak mengulangi kesalahan seperti orang tuanya.Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah lamunannya. Saat masih berdiri di pelataran perusahaan, Lita melihat layar ponselnya menampilkan nomor tidak dikenal. Tadinya, Lita enggan menerima panggilan dari nomor yang tidak disimpannya. Namun, saat melihat 10 digit nomor cantik yang tertera di layar, maka Lita memutuskan untuk menerimanya. Ia berasumsi, tidak ada orang yang memakai nomor cantik seperti itu untuk menipu atau sekadar iseng.“Halo?” sapanya dengan sedik
“Kosongkan semua jadwalku di luar kantor jumat ini,” titah Reno pada asisten pribadi yang berjalan di sampingnya. Mereka memasuki lobi perusahaan, sembari membicarakan semua agenda kantor hari itu. “Aku mau istirahat, di kantor aja.”“Siap, Ndan.” Pria yang bernama Willy itu mengangguk santai, sambil menulis titah Reno pada tablet di genggaman.“Aku juga minta—”Brukk!Langkah Reno terhenti ketika seorang wanita tiba-tiba menabraknya.Lita terbelalak dan menahan napas, saat melihat pria yang baru meneleponnya ada di hadapan. Yang lebih parah, Lita baru saja menabrak karena keteledorannya. “Pa-Pak Reno! Maaf!”“Kaaamu.” Reno mendelik saat mendengar Lita menyerukan namanya cukup keras. Namun, ia mencoba menenangkan diri dengan cepat. “Kamu karyawan baru?” tanyanya dengan nada lebih terkendali untuk menjaga wibawanya sebagai seorang direktur. Untung saja Lita memakai pakaian putih hitam layaknya karyawan magang, sehingga Reno bisa berakting maklum dan melemparkan pertanyaan seperti barus
Setelah keluar kamar mandi, Lita buru-buru menjemur handuknya lalu pergi ke kamar. Melewati Radit di meja makan dan enggan menegur pria itu karena tidak akan ada gunanya. Radit hanya bisa berkLita saja sampai heran, ke mana perginya Radit yang dulu?Ke mana gerangan sosok bapak yang selalu mengasihinya dan memberi apa pun yang Lita minta. Ya, meskipun terkadang Lita harus sabar menunggu, tetapi Radit pasti akan mengabulkan permintaannya.“Ibu makan dulu,” ujar Lita ketika memasuki kamar. “Istirahat. Biar Tirta sama aku.”“Kamulah yang makan dulu,” balas Tiara masih menepuk-nepuk bókong Tirta yang tidur dalam gendongan jariknya. “Mumpung Tirta tidur.”“Masih ada bapak.” Lita menutup pintu dan memelankan suaranya. “Nanti aja, Bu. Lagian aku sudah makan gorengan di kantor sebelum pulang.”“Kalau lagi ngasih ASI, jangan makan sembarangan.” Tiara membuka gendongannya dengan perlahan, lalu menurunkan Tirta di tempat tidur. “Makan makanan yang bergizi.”Lita mengangguk. Belajar tidak memban
“Tante itu heran, apa yang dilihat mamamu dari Lita?” Maria langsung membeo ketika ia dan Reno keluar dari kamar inap rumah sakit. Ia akan pergi ke hotel dekat rumah sakit dan menginap di sana. Sementara Reno, hanya akan mengantarkannya sampai bawah dan kembali menemani Fathiya. “Cantik juga nggak, akhlak mines, hamil di luar nikah sama suami orang, terus ... dilihat dari sudut mana aja, Lita itu nggak ada enak-enaknya. Janji sama Tante, jangan pernah dekat-dekat sama saudara tirinya Rindu. Kamu juga tahu, kan, bapaknya itu seperti apa?”“Iya, Tan.” Reno tidak bisa membantah, karena ia setuju dengan semua ucapan Maria. “Aku juga nggak pernah tertarik sama Lita.”“Bagus!” Ketika keduanya memasuki lift, Maria mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat daftar nama teman-temannya yang ada di kontaknya. Siapa tahu saja, dengan begini ia mengingat salah satu temannya yang memiliki anak perempuan yang belum menikah. “Nanti, kalau Tante balik ke Jakarta, Tante kenalin sama anak teman-teman T
Akhirnya, Reno berhasil membujuk Fathiya kembali ke Jakarta setelah dua minggu berada di Malaysia. Tentunya dengan bantuan Maria, yang mengatakan akan menjodohkan Reno dengan anak perempuan temannya. Mereka sudah mengatur jadwal dan akan melakukan sebuah kencan setelah Fathiya kembali ke Jakarta.Jadi, di sinilah Fathiya sekarang. Berada di rumah putranya dengan seorang suster yang akan membantu dengan segala sesuatunya.“Bawa mama ke rumah Rindu pagi esok,” pinta Fathiya setelah selesai makan malam. “Mama nak jumpa Dewi.”Reno mengangguk. Mereka tengah bersantai di ruang keluarga dan sedang membicarakan beberapa hal. “Biar aku telpon Dewa bentar lagi.”“Untuk ape?”“Cuma mau ngecek, besok Rindu ada di rumahnya sendiri atau di rumah tante Maria.”“Kesian Rindu,” ucap Fathiya geleng-geleng. “Semoga dia dapat bersabar dengan mertua macam tante kau, tu.”Reno terkekeh karena sudah paham dengan sifat Maria yang sangat cerewet itu. Rindu saja tidak bisa berkata tidak dan mengelak, ketika M
“Huuu ...” Ledekan tersebut kompak terlontar dari mulut Dewa dan Riko. Kemudian, disusul dengan tawa karena Reno telah kalah telak di depan Lita. Wanita itu baru saja pergi dan tenggelam di balik pintu rumah Dewa dengan hentakan kaki yang kasar.“Pak Reno nggak cocok jadi pemeran antagonis,” celetuk Riko melepas pengait besi yang menyangga kap mobil, lalu menutup mesinya. “Jadi, kalem aja, Pak. Nggak usah digalak-galakin.”“Dia lagi stres, Rik,” sambar Dewa lalu duduk pada sudut mobilnya. Ia masih saja terkekeh, karena mengingat Reno yang terdiam di hadapan Lita. “Sudah diburu-buru nikah sama mamanya. Kita tunggu aja undangannya sebentar lagi.”“Undangan kepala lo, Wa.” Reno ikut menjatuhkan bokongnya di samping Dewa. “Minggu depan, mamamu sudah buat jadwal makan malam sama anak temannya.”“Berarti pak Dewa betul,” ujar Riko sedikit bergeser lalu duduk pada pembatas carport. “Kita tinggal tunggu undangan bentar lagi.”Reno mendengkus kasar saat melihat Riko. “Lo pikir, nikah segampang