Share

BC ~ 4

Setelah keluar kamar mandi, Lita buru-buru menjemur handuknya lalu pergi ke kamar. Melewati Radit di meja makan dan enggan menegur pria itu karena tidak akan ada gunanya. Radit hanya bisa berk

Lita saja sampai heran, ke mana perginya Radit yang dulu?

Ke mana gerangan sosok bapak yang selalu mengasihinya dan memberi apa pun yang Lita minta. Ya, meskipun terkadang Lita harus sabar menunggu, tetapi Radit pasti akan mengabulkan permintaannya.

“Ibu makan dulu,” ujar Lita ketika memasuki kamar. “Istirahat. Biar Tirta sama aku.”

“Kamulah yang makan dulu,” balas Tiara masih menepuk-nepuk bókong Tirta yang tidur dalam gendongan jariknya. “Mumpung Tirta tidur.”

“Masih ada bapak.” Lita menutup pintu dan memelankan suaranya. “Nanti aja, Bu. Lagian aku sudah makan gorengan di kantor sebelum pulang.”

“Kalau lagi ngasih ASI, jangan makan sembarangan.” Tiara membuka gendongannya dengan perlahan, lalu menurunkan Tirta di tempat tidur. “Makan makanan yang bergizi.”

Lita mengangguk. Belajar tidak membantah atau melempar protes atas ucapan Tiara. Karena bagaimanapun juga, hanya Tiaralah yang selalu berada di sisinya ketika Lita dalam keadaan terpuruk. Bahkan, saat Lita melakukan percobaan búnuh diri ketika stres memikirkan kehamilannya, hanya Tiara yang selalu memberi semangat dan wejangan tanpa mencela.

“Biar Ibu yang ambilin makan sebentar,” sambung Tiara segera pergi setelah menyelimuti Tirta. Lebih baik Lita makan di kamar, daripada harus menunggu Radit yang mood-nya masih tidak mengenakkan hati.

Setelah mengambilkan sepiring nasi beserta lauknya, Tiara segera kembali ke kamar Lita tanpa bicara dengan sang suami.

“Gimana hari pertama kerja?” tanya Tiara sambil menutup pintu kamar, lalu memberikan piring yang dibawanya pada Lita. “Baik-baik aja, kan?”

“Baik.” Lita kemudian duduk bersila pada karpet yang terhampar di samping tempat tidur. “Tapi, yaaa, gitu. Ada juga yang resek.”

“Nggak usah diambil hati,” pesan Tiara yang baru duduk di tepi tempat tidur lalu mengusap pelan kepala cucunya. “Sudah dengar belum, pak Reno sama bu Maria tadi siang ke Malaysia. Bu Fathiya pingsan tadi pagi, terus langsung dibawa ke rumah sakit.”

“Ooo.” Lita tidak bisa berkomentar banyak. Hanya bisa prihatin atas penyakit yang diderita oleh satu-satunya orang tua Reno. “Pak Abraham nggak ikut?” Lita bertanya mengenai papa mertua Rindu yang tidak disebut oleh ibunya.

“Pak Abraham besok ada pertemuan kalau nggak salah,” jawab Tiara. “Jadi nggak bisa nemani bu Maria.”

“Harusnya tante Fathiya disuruh pindah aja ke Jakarta, daripada di sana sendirian.”

“Harusnya.” Tiara mengendik dan tidak mengerti dengan permasalah yang ada di keluarga besannya. Ia juga tidak berniat ikut campur, agar tidak menyusahkan Rindu di masa depan.

“Oia, Bu.” Lita mengalihkan obrolannya ketika mengingat sesuatu. “Kalau ... nanti terima gaji pertama, aku rencana mau cari orang buat ngasuh Tirta biar nggak ngerepotin Ibu.”

“Ibu nggak ngerasa repot.” Tiara geleng-geleng. Menunjukkan penolakannya atas perkataan Lita. Tiara memang tidak mengetahui berapa nominal gaji yang akan diterima Lita. Namun, ia tidak setuju jika uang tersebut akan digunakan untuk menyewa pengasuh. “Mending uangnya kamu tabung, karena biaya besarin anak itu nggak sedikit. Dan belum tentu pengasuh yang kerja bisa langsung cocok. Nggak, nggak usah. Ibu juga di rumah nggak ngapa-ngapain kalau kamu sama bapak kerja. Jadi, biar Tirta sama Ibu.”

Lita menunduk menyantap makanannya. Kalau dulu, mungkin ia tidak akan peduli dengan perkataan Tiara. Namun, sekarang semuanya benar-benar terasa menyayat hati, karena wanita itu ternyata sangat tulus menyayanginya.

“Aku nggak enak sama Rindu.”

“Nggak usah mikirin Rindu,” ucap Tiara sembari beranjak dari tempat tidur. “Dia sudah bahagia. Tinggal kamu yang harus menata hidup dan besarin Tirta dengan baik.”

“Iya, Bu.” Lita mengangguk dan masih menunduk agar Tiara tidak melihat kedua matanya yang sedang berkaca-kaca. “Makasih.”

~~~~~~~~~~~~~~

“Aku nggak mau tahu, pokoknya Mama harus pindah ke Jakarta.” Reno berdiri bersedekap, diujung ranjang pasien yang ditiduri sang mama. “Aku nggak bisa terus-terusan pulang pergi Jakarta-KL, apalagi kerjaan sudah nggak sesantai dulu. Aku sekarang megang A-Lee, Ma.”

“Maria.” Fathiya menatap adik iparnya yang baru keluar dari kamar mandi. “Tolong halau budak ni dari bilik,” tunjuknya pada putranya sendiri.

Maria geleng-geleng sambil melewati Reno. “Denger sendiri, Ren. Kamu disuruh kawin sama mamamu. Bawa perempuan ke sini, nikah, terus mamamu pasti balik ke Jakarta.”

Reno dan Fathiya kompak melihat Maria yang menghempas tubuhnya di sofa. Lain yang diucapkan Fathiya, lain pula yang dijelaskan oleh Maria.

“Hei, aku tak cakap macam tu,” elak Fathiya.  

Bola mata Maria bergulir malas. “Sama anak-anak itu nggak usah basa-basi.” Telunjuknya mengarah pada Fathiya sebentar. “Aku tahu kamu juga pengen gendong cucu seperti aku, kaan? Oia, mau aku ceritain tentang cucuku? Dewi sudah bisa tengkurap! Cantiiik banget seperti omanya. Apalagi kalau dipakein bando sama baju princes. Aduh du duuuh ... gemes!”

Fathiya berdecak mendengar adik iparnya yang cerewet. Semoga saja, Rindu bisa bertahan dengan ocehan mama mertuanya yang bisa membuat sakit kepala itu. Namun, setelah dipikirkan lagi, ucapan Maria memang benar. Fathiya juga ingin menggendong cucu dan menghabiskan masa tuanya dengan bahagia.

“Tapi, tante kau tu betul, Ren!” Meskipun masih terasa lemah, tetapi Fathiya tidak akan lagi berbasa basi dengan putranya. “Mama nak kau kahwin segera.”

“Aku nggak punya calon, jadi sabar dulu.” Reno mulai sakit kepala.

“Emm, macam mana kalau sama Lita,” goda Fathiya hanya ingin menjahili putranya, tanpa ada niatan serius.

“No!” Maria yang sudah bersantai merebahkan diri di sofa, lantas bangkit. “Aku nggak setuju kalau Reno sama Lita. Nanti biar aku carikan ... masih banyak perempuan yang lebih baik dari Lita. Jadi, aku nggak setuju.”

“Yang mamanya Reno ni, awak, kah, aku?” sahut Fathiya sudah paham dengan sifat iparnya yang suka mengatur. 

“Kamu mamanya, tapi aku tante yang selama ini lebih banyak ngurus Reno,” sahut Maria dengan entengnya. “Jadi, sekali nggak, tetap, nggak!”

~~~~~~~~~~~

Jadi ingat waktu mama Maria ribut sama Dewa ~~~ 😂😂😂

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
heleeeh dulu juga Maria nolak Rindi.. sekarang aja udah terima cucu..
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
cuma dewa yg bisa ngelawan maria, rindu aje sampe gagap klo ngomong sama mertuanye
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status