Setelah keluar kamar mandi, Lita buru-buru menjemur handuknya lalu pergi ke kamar. Melewati Radit di meja makan dan enggan menegur pria itu karena tidak akan ada gunanya. Radit hanya bisa berk
Lita saja sampai heran, ke mana perginya Radit yang dulu?
Ke mana gerangan sosok bapak yang selalu mengasihinya dan memberi apa pun yang Lita minta. Ya, meskipun terkadang Lita harus sabar menunggu, tetapi Radit pasti akan mengabulkan permintaannya.
“Ibu makan dulu,” ujar Lita ketika memasuki kamar. “Istirahat. Biar Tirta sama aku.”
“Kamulah yang makan dulu,” balas Tiara masih menepuk-nepuk bókong Tirta yang tidur dalam gendongan jariknya. “Mumpung Tirta tidur.”
“Masih ada bapak.” Lita menutup pintu dan memelankan suaranya. “Nanti aja, Bu. Lagian aku sudah makan gorengan di kantor sebelum pulang.”
“Kalau lagi ngasih ASI, jangan makan sembarangan.” Tiara membuka gendongannya dengan perlahan, lalu menurunkan Tirta di tempat tidur. “Makan makanan yang bergizi.”
Lita mengangguk. Belajar tidak membantah atau melempar protes atas ucapan Tiara. Karena bagaimanapun juga, hanya Tiaralah yang selalu berada di sisinya ketika Lita dalam keadaan terpuruk. Bahkan, saat Lita melakukan percobaan búnuh diri ketika stres memikirkan kehamilannya, hanya Tiara yang selalu memberi semangat dan wejangan tanpa mencela.
“Biar Ibu yang ambilin makan sebentar,” sambung Tiara segera pergi setelah menyelimuti Tirta. Lebih baik Lita makan di kamar, daripada harus menunggu Radit yang mood-nya masih tidak mengenakkan hati.
Setelah mengambilkan sepiring nasi beserta lauknya, Tiara segera kembali ke kamar Lita tanpa bicara dengan sang suami.
“Gimana hari pertama kerja?” tanya Tiara sambil menutup pintu kamar, lalu memberikan piring yang dibawanya pada Lita. “Baik-baik aja, kan?”
“Baik.” Lita kemudian duduk bersila pada karpet yang terhampar di samping tempat tidur. “Tapi, yaaa, gitu. Ada juga yang resek.”
“Nggak usah diambil hati,” pesan Tiara yang baru duduk di tepi tempat tidur lalu mengusap pelan kepala cucunya. “Sudah dengar belum, pak Reno sama bu Maria tadi siang ke Malaysia. Bu Fathiya pingsan tadi pagi, terus langsung dibawa ke rumah sakit.”
“Ooo.” Lita tidak bisa berkomentar banyak. Hanya bisa prihatin atas penyakit yang diderita oleh satu-satunya orang tua Reno. “Pak Abraham nggak ikut?” Lita bertanya mengenai papa mertua Rindu yang tidak disebut oleh ibunya.
“Pak Abraham besok ada pertemuan kalau nggak salah,” jawab Tiara. “Jadi nggak bisa nemani bu Maria.”
“Harusnya tante Fathiya disuruh pindah aja ke Jakarta, daripada di sana sendirian.”
“Harusnya.” Tiara mengendik dan tidak mengerti dengan permasalah yang ada di keluarga besannya. Ia juga tidak berniat ikut campur, agar tidak menyusahkan Rindu di masa depan.
“Oia, Bu.” Lita mengalihkan obrolannya ketika mengingat sesuatu. “Kalau ... nanti terima gaji pertama, aku rencana mau cari orang buat ngasuh Tirta biar nggak ngerepotin Ibu.”
“Ibu nggak ngerasa repot.” Tiara geleng-geleng. Menunjukkan penolakannya atas perkataan Lita. Tiara memang tidak mengetahui berapa nominal gaji yang akan diterima Lita. Namun, ia tidak setuju jika uang tersebut akan digunakan untuk menyewa pengasuh. “Mending uangnya kamu tabung, karena biaya besarin anak itu nggak sedikit. Dan belum tentu pengasuh yang kerja bisa langsung cocok. Nggak, nggak usah. Ibu juga di rumah nggak ngapa-ngapain kalau kamu sama bapak kerja. Jadi, biar Tirta sama Ibu.”
Lita menunduk menyantap makanannya. Kalau dulu, mungkin ia tidak akan peduli dengan perkataan Tiara. Namun, sekarang semuanya benar-benar terasa menyayat hati, karena wanita itu ternyata sangat tulus menyayanginya.
“Aku nggak enak sama Rindu.”
“Nggak usah mikirin Rindu,” ucap Tiara sembari beranjak dari tempat tidur. “Dia sudah bahagia. Tinggal kamu yang harus menata hidup dan besarin Tirta dengan baik.”
“Iya, Bu.” Lita mengangguk dan masih menunduk agar Tiara tidak melihat kedua matanya yang sedang berkaca-kaca. “Makasih.”
~~~~~~~~~~~~~~
“Aku nggak mau tahu, pokoknya Mama harus pindah ke Jakarta.” Reno berdiri bersedekap, diujung ranjang pasien yang ditiduri sang mama. “Aku nggak bisa terus-terusan pulang pergi Jakarta-KL, apalagi kerjaan sudah nggak sesantai dulu. Aku sekarang megang A-Lee, Ma.”
“Maria.” Fathiya menatap adik iparnya yang baru keluar dari kamar mandi. “Tolong halau budak ni dari bilik,” tunjuknya pada putranya sendiri.
Maria geleng-geleng sambil melewati Reno. “Denger sendiri, Ren. Kamu disuruh kawin sama mamamu. Bawa perempuan ke sini, nikah, terus mamamu pasti balik ke Jakarta.”
Reno dan Fathiya kompak melihat Maria yang menghempas tubuhnya di sofa. Lain yang diucapkan Fathiya, lain pula yang dijelaskan oleh Maria.
“Hei, aku tak cakap macam tu,” elak Fathiya.
Bola mata Maria bergulir malas. “Sama anak-anak itu nggak usah basa-basi.” Telunjuknya mengarah pada Fathiya sebentar. “Aku tahu kamu juga pengen gendong cucu seperti aku, kaan? Oia, mau aku ceritain tentang cucuku? Dewi sudah bisa tengkurap! Cantiiik banget seperti omanya. Apalagi kalau dipakein bando sama baju princes. Aduh du duuuh ... gemes!”
Fathiya berdecak mendengar adik iparnya yang cerewet. Semoga saja, Rindu bisa bertahan dengan ocehan mama mertuanya yang bisa membuat sakit kepala itu. Namun, setelah dipikirkan lagi, ucapan Maria memang benar. Fathiya juga ingin menggendong cucu dan menghabiskan masa tuanya dengan bahagia.
“Tapi, tante kau tu betul, Ren!” Meskipun masih terasa lemah, tetapi Fathiya tidak akan lagi berbasa basi dengan putranya. “Mama nak kau kahwin segera.”
“Aku nggak punya calon, jadi sabar dulu.” Reno mulai sakit kepala.
“Emm, macam mana kalau sama Lita,” goda Fathiya hanya ingin menjahili putranya, tanpa ada niatan serius.
“No!” Maria yang sudah bersantai merebahkan diri di sofa, lantas bangkit. “Aku nggak setuju kalau Reno sama Lita. Nanti biar aku carikan ... masih banyak perempuan yang lebih baik dari Lita. Jadi, aku nggak setuju.”
“Yang mamanya Reno ni, awak, kah, aku?” sahut Fathiya sudah paham dengan sifat iparnya yang suka mengatur.
“Kamu mamanya, tapi aku tante yang selama ini lebih banyak ngurus Reno,” sahut Maria dengan entengnya. “Jadi, sekali nggak, tetap, nggak!”
~~~~~~~~~~~
Jadi ingat waktu mama Maria ribut sama Dewa ~~~ 😂😂😂
“Tante itu heran, apa yang dilihat mamamu dari Lita?” Maria langsung membeo ketika ia dan Reno keluar dari kamar inap rumah sakit. Ia akan pergi ke hotel dekat rumah sakit dan menginap di sana. Sementara Reno, hanya akan mengantarkannya sampai bawah dan kembali menemani Fathiya. “Cantik juga nggak, akhlak mines, hamil di luar nikah sama suami orang, terus ... dilihat dari sudut mana aja, Lita itu nggak ada enak-enaknya. Janji sama Tante, jangan pernah dekat-dekat sama saudara tirinya Rindu. Kamu juga tahu, kan, bapaknya itu seperti apa?”“Iya, Tan.” Reno tidak bisa membantah, karena ia setuju dengan semua ucapan Maria. “Aku juga nggak pernah tertarik sama Lita.”“Bagus!” Ketika keduanya memasuki lift, Maria mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat daftar nama teman-temannya yang ada di kontaknya. Siapa tahu saja, dengan begini ia mengingat salah satu temannya yang memiliki anak perempuan yang belum menikah. “Nanti, kalau Tante balik ke Jakarta, Tante kenalin sama anak teman-teman T
Akhirnya, Reno berhasil membujuk Fathiya kembali ke Jakarta setelah dua minggu berada di Malaysia. Tentunya dengan bantuan Maria, yang mengatakan akan menjodohkan Reno dengan anak perempuan temannya. Mereka sudah mengatur jadwal dan akan melakukan sebuah kencan setelah Fathiya kembali ke Jakarta.Jadi, di sinilah Fathiya sekarang. Berada di rumah putranya dengan seorang suster yang akan membantu dengan segala sesuatunya.“Bawa mama ke rumah Rindu pagi esok,” pinta Fathiya setelah selesai makan malam. “Mama nak jumpa Dewi.”Reno mengangguk. Mereka tengah bersantai di ruang keluarga dan sedang membicarakan beberapa hal. “Biar aku telpon Dewa bentar lagi.”“Untuk ape?”“Cuma mau ngecek, besok Rindu ada di rumahnya sendiri atau di rumah tante Maria.”“Kesian Rindu,” ucap Fathiya geleng-geleng. “Semoga dia dapat bersabar dengan mertua macam tante kau, tu.”Reno terkekeh karena sudah paham dengan sifat Maria yang sangat cerewet itu. Rindu saja tidak bisa berkata tidak dan mengelak, ketika M
“Huuu ...” Ledekan tersebut kompak terlontar dari mulut Dewa dan Riko. Kemudian, disusul dengan tawa karena Reno telah kalah telak di depan Lita. Wanita itu baru saja pergi dan tenggelam di balik pintu rumah Dewa dengan hentakan kaki yang kasar.“Pak Reno nggak cocok jadi pemeran antagonis,” celetuk Riko melepas pengait besi yang menyangga kap mobil, lalu menutup mesinya. “Jadi, kalem aja, Pak. Nggak usah digalak-galakin.”“Dia lagi stres, Rik,” sambar Dewa lalu duduk pada sudut mobilnya. Ia masih saja terkekeh, karena mengingat Reno yang terdiam di hadapan Lita. “Sudah diburu-buru nikah sama mamanya. Kita tunggu aja undangannya sebentar lagi.”“Undangan kepala lo, Wa.” Reno ikut menjatuhkan bokongnya di samping Dewa. “Minggu depan, mamamu sudah buat jadwal makan malam sama anak temannya.”“Berarti pak Dewa betul,” ujar Riko sedikit bergeser lalu duduk pada pembatas carport. “Kita tinggal tunggu undangan bentar lagi.”Reno mendengkus kasar saat melihat Riko. “Lo pikir, nikah segampang
Apes bagi Reno karena masuk rumah dalam situasi yang sangat tidak tepat. Bahkan, bisa dibilang sangat tidak menguntungkan karena sang mama langsung menodongnya untuk mengantarkan Tiara. Mamanya cerdik, karena menggunakan nama Tiara sehingga Reno tidak bisa menolak. Terlebih lagi, wanita tua itu adalah ibu kandung Rindu sekaligus mertua Dewa.Jadi, Fathiya sudah menjebak putranya sendiri dan tepat sasaran.Kendati Tiara dan Lita sudah menolak sedemikian rupa, tetapi titah Fathiya tidak bisa terelakkan juga. Reno akhirnya mengantarkan kedua wanita itu dan menyimpan kekesalannya dalam-dalam.“Maaf, ya, Pak Reno,” ucap Tiara sungguh tidak enak hati. Terlebih, status Reno saat ini adalah atasan Lita di kantor. Karena itulah, Tiara tetap bersikap hormat dan merasa segan pada pria itu. “Padahal Lita sudah pesan taksi online.”Reno tersenyum saat menoleh sekilas pada Tiara yang duduk di sebelahnya. Sementara Lita, duduk di belakang sembari memangku Tirta yang tampaknya baru terbangun.“Nggak
Pagi itu, Tiara sampai tidak bisa berkata-kata ketika mendengar Lita bercerita perihal Reno. Sebagai seorang ibu, jelas hatinya terasa pilu ketika tahu Lita ternyata dipandang sebelah mata. Jika berada di posisi Reno, mungkin Tiara bisa memaklumi bila pria itu memiliki pikiran buruk pada Lita karena pernah hamil di luar nikah dan melahirkan tanpa seorang suami. Namun, Tiara merasa Reno tidak perlu sampai berkata demikian pada Lita.Entahlah.Tiara jadi serba salah karena pria itu adalah ipar Rindu. Kendati hanya ipar, tetapi jauh di lubuk hati Tiara yang terdalam, ia memiliki kekhawatiran jika semua ini akan menjadi konflik yang mengganggu rumah tangga Rindu.Di satu sisi, Tiara tidak bisa membiarkan Lita diperlakukan seperti demikian oleh Reno. Namun, di sisi lain ada keharmonisan rumah tangga Rindu yang harus Tiara jaga benar-benar.“Ta ... gimana kalau sambil jalan, kamu cari kerja di tempat lain?” Untuk sementara, hanya saran tersebut yang bisa Lita berikan pada Lita.“Cari kerja
Dirumahkan.Lita berdecih saat mengingat ucapan Reno mengenai pemecatannya. Tidak hanya pemecatan, tetapi tentang semua perkataan Reno yang tidak mengenakkan hati tentang dirinya.Lita tahu, sifat dan sikapnya dahulu kala selalu berada di luar kendali. Salah satu bukti dan akibatnya ialah, Lita hamil di luar nikah. Melahirkan seorang bayi tidak berdosa, tanpa seorang ayah.Akan tetapi, Lita sudah berubah. Benar-benar berubah dan ingin memperbaiki diri demi sosok tidak berdosa yang mungkin akan menanggung rasa sakit di masa depan. Semua ini Lita lakukan hanya untuk Tirta seorang.“Lembur lagi, Ta?” tanya Tiara yang berbaring di karpet bersama cucunya di depan televisi.“Iya, Bu.” Lita menghampiri Tiara sembari melirik sekilas pada Radit yang duduk bersila di kursi rotan di belakang karpet.Pria hanya melirik sekilas, tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tatapan Radit masih penuh dengan amarah, serta kekesalan yang entah kapan akan mereda.“Mandi dulu, terus makan,” titah Tiara k
“Nggak masuk akal.” Rindu memicing, menatap curiga pada Lita.Sempat tinggal satu rumah dengan wanita itu dan kerap mendapat perlakuan tidak baik, wajar rasanya jika Rindu memiliki keraguan pada Lita. Karena itulah, Rindu menarik Lita ke taman kecil yang ada di samping rumah, agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.Sementara Tiara dan Fathiya, sedang berada di dalam dengan kedua bayi yang sama-sama sudah terbangun dari tidurnya. Sudah ada seorang baby sitter yang menemani kedua wanita tua itu, sehingga tidak terlalu merepotkan.“Jangan coba-coba bohongin aku, Ta,” sambung Rindu dengan suara pelan, tetapi tegas. Sebelumnya, Tiara sudah bicara dengan Rindu karena wanita itu sejak pagi sudah berada di rumahnya. Tiara menceritakan mengenai keinginan Lita pada Rindu dan ibunya itu pun juga merasa bingung dengan keputusan Lita. “Karena buatku ini nggak masuk akal. Sudah enak-enak kerja di A-Lee, malah mau ngerawat ibunya orang. Apa yang lagi kamu rencanain, Ta?”Lita menatap
“Besar juga nyalimu berani kerja di sini?”Pagi itu, Reno dengan sengaja menunggu Lita di depan pintu pagar. Mungkin terlihat bodoh, tetapi ada yang harus Reno bicarakan lebih dulu dengan wanita licik yang kali ini diantar oleh adik laki-lakinya. Jelas Reno tahu semua hal tentang Lita, karena wanita itu adalah keluarga Rindu. Tidak ada yang baik dari Lita, karena itulah Reno harus selalu waspada dan tidak bisa tinggal diam ketika wanita itu akan bekerja di rumahnya.Sayangnya, sang mama justru lebih memercayai Lita daripada putranya sendiri. Hanya karena pernah bernasib sama, Fathiya jadi merasa iba sekaligus salut pada Lita yang tidak menggugurkan kandungannya.“Lo mau ngajak ribut pagi-pagi?”Reno mengerjap. Mulutnya terbuka dan membeku sesaat, untuk memproses ucapan Lita yang terdengar tidak sopan. Intonasinya memang terdengar santai, tetapi bentuk kalimat yang dilontarkan Lita tidak seharusnya dikatakan kepada Reno.“Lo lihat gue lagi gendong bayi, kan?” lanjut Lita tidak meninggi