“Kosongkan semua jadwalku di luar kantor jumat ini,” titah Reno pada asisten pribadi yang berjalan di sampingnya. Mereka memasuki lobi perusahaan, sembari membicarakan semua agenda kantor hari itu. “Aku mau istirahat, di kantor aja.”
“Siap, Ndan.” Pria yang bernama Willy itu mengangguk santai, sambil menulis titah Reno pada tablet di genggaman.
“Aku juga minta—”
Brukk!
Langkah Reno terhenti ketika seorang wanita tiba-tiba menabraknya.
Lita terbelalak dan menahan napas, saat melihat pria yang baru meneleponnya ada di hadapan. Yang lebih parah, Lita baru saja menabrak karena keteledorannya. “Pa-Pak Reno! Maaf!”
“Kaaamu.” Reno mendelik saat mendengar Lita menyerukan namanya cukup keras. Namun, ia mencoba menenangkan diri dengan cepat. “Kamu karyawan baru?” tanyanya dengan nada lebih terkendali untuk menjaga wibawanya sebagai seorang direktur. Untung saja Lita memakai pakaian putih hitam layaknya karyawan magang, sehingga Reno bisa berakting maklum dan melemparkan pertanyaan seperti barusan.
“I-ya, Pak.” Lita melipat bibirnya sejenak, ketika melihat perubahan sikap Reno yang tiba-tiba. Padahal, Lita yakin wajah Reno mendadak berang ketika menabraknya. Namun, pria itu segera mengubah ekspresinya seketika.
Reno mengangguk kecil. “Lebih hati-hati lagi dan nggak perlu lari di lobi.”
“Baik, Pak. Terima kasih.” Lita segera bergeser, agar pria itu bisa kembali meneruskan langkah.
Hari ini, kesabarannya benar-benar diuji. Dari Radit yang hanya bisa mengomel dan tidak pernah mendukungnya, sampai Reno yang bersikap tidak jelas sama sekali.
Coba saja Reno berhadapan dengan sosok Lita yang dulu, pria itu pasti sudah terkena amukan karena telah menabraknya.
Sementara Reno, segera mengeluarkan ponsel dari saku jasnya ketika sudah menjauh dari Lita. Ia menghubungi sepupunya, karena ingin mengajukan protes.
“Wa!” seru Reno ketika Dewa mengangkat panggilannya. “Aku mau pindahkan iparmu ke Antariksa.”
“Ooo, tidak bisa,” jawab Dewa dengan nada meledek. “Bukan nggak bisa sebenarnya, Ren. Tapi ... aku malas kalau harus dengar omelan mamamu. Beliau yang minta Lita kerja di A-Lee biar bisa dekat sama kamu.”
Reno mengumpat ketika mendengar tawa puas Dewa di ujung sana. Ia bukannya tidak tahu jika sang mamalah dalang dari semua ini. Rindu mungkin hanya meminta Lita dipekerjakan di salah satu perusahaan yang bernaung di Lee Grup. Namun, mamanyalah yang meminta pada Dewa agar Lita berada satu kantor dengan Reno.
“Aku nggak tertarik sama dia,” sanggah Reno melirik sebentar pada Willy yang mendadak bengong melihatnya. Mereka memasuki lift bersama dan Willy meminta karyawan lain yang menunggu, agar tidak ikut serta.
“Ya sudah, cuek aja,” saran Dewa santai seperti biasa. “Lagian, kalian nggak akan ketemu setiap hari. Kamu di lantai atas dan Lita di ... dia admin invoice gudang. Jadi, kalian nggak akan ketemu.”
Reno menghela dan menyadari semua ucapan Dewa adalah benar. Pertemuan singkat tadi, mungkin hanya kebetulan semata. Ke depannya, Reno tidak akan bertemu atau berinteraksi dengan wanita yang dulu selalu merecoki kehidupan Rindu.
“Oke kal—”
“Buruan cari perempuan, Ren. Nikah! Biar mamamu nggak uring-uringan,” sela Dewa. “Aku yakin, kalau kamu nikah mamamu pasti mau diajak pindah ke Jakarta.”
“Cari perempuan itu gampang, Wa,” sahut Reno tanpa beban. “Tapi cari istri itu yang susah.”
“Hei! Mau aku tanyakan Rindu, Hening, atau Kiara? Siapa tahu mereka punya teman yang—”
“Bréngsek! Lo kira gue nggak laku?” Reno reflek memaki dan melupakan jika dirinya masih berada di lingkup perusahaan. Terlebih ketika mendengar tawa Dewa di seberang sana.
“Aku, sih, nyante,” ucap Dewa setelah berhenti tertawa. “Tapi mamamu yang nggak bisa, karena sudah pengen cucu seperti Dewi sama Tirta.”
Dewa kembali tertawa, sehingga Reno lagi-lagi mengumpatnya sebelum keluar dari lift. Namun, Reno tidak menampik akan kebenaran ucapan Dewa. Alasan mamanya mendekatkan Lita dengan Reno adalah, karena sudah jatuh hati pada bayi wanita itu.
“Ren, pikirkan juga kesehatan mamamu,” pesan Dewa mendadak bijak.
“Memangnya selama ini gue nggak mikirin?” Reno mendengkus. Berjalan cepat menuju ruangannya, agar bisa bicara bebas dengan Dewa. “Lo pikir, selama ini gue bolak balik KL ngapain? Study banding ngabisin duit rakyat, kayak lo?”
Dewa mendengkus. “Nggak usah ikut-ikutan nyindir seperti Rindu.”
“Pileg selanjutnya nggak usah nyalonlah, Wa,” ujar Reno penuh penekanan sembari memasuki ruang kerjanya, lalu berjalan santai menuju kursi kebesarannya. “Kita sudah punya banyak link di pemerintahan, jadi, baliklah lagi ke perusahaan karena gue mau hidup santai seperti dulu.”
“Nggak janji.” Dewa terkekeh. “Sudah dulu, Ren. Aku mau siap-siap RDP* jam sembilan. See you, Man!”
“Yok!”
Belum sempat Reno meletakkan ponselnya di meja kerja, ia kembali mendapat panggilan baru dari sang mama yang berada di Kuala Lumpur.
“Halo, Ma—”
“Pak Reno, ibu pingsan!”
Tubuh Reno membeku. Untuk beberapa saat, Reno hanya terdiam memproses semuanya. Suara di seberang telepon terdengar panik, membuat pikirannya kosong sesaat. Setelah beberapa detik, Reno pun tersadar dan segera bertindak.
“Willy!” teriak Reno sembari berlari ke luar ruangan. “Cari tiket ke KL! Sekarang!"
~~~~~~~
*RDP: Rapat Dengar Pendapat
Setelah keluar kamar mandi, Lita buru-buru menjemur handuknya lalu pergi ke kamar. Melewati Radit di meja makan dan enggan menegur pria itu karena tidak akan ada gunanya. Radit hanya bisa berkLita saja sampai heran, ke mana perginya Radit yang dulu?Ke mana gerangan sosok bapak yang selalu mengasihinya dan memberi apa pun yang Lita minta. Ya, meskipun terkadang Lita harus sabar menunggu, tetapi Radit pasti akan mengabulkan permintaannya.“Ibu makan dulu,” ujar Lita ketika memasuki kamar. “Istirahat. Biar Tirta sama aku.”“Kamulah yang makan dulu,” balas Tiara masih menepuk-nepuk bókong Tirta yang tidur dalam gendongan jariknya. “Mumpung Tirta tidur.”“Masih ada bapak.” Lita menutup pintu dan memelankan suaranya. “Nanti aja, Bu. Lagian aku sudah makan gorengan di kantor sebelum pulang.”“Kalau lagi ngasih ASI, jangan makan sembarangan.” Tiara membuka gendongannya dengan perlahan, lalu menurunkan Tirta di tempat tidur. “Makan makanan yang bergizi.”Lita mengangguk. Belajar tidak memban
“Tante itu heran, apa yang dilihat mamamu dari Lita?” Maria langsung membeo ketika ia dan Reno keluar dari kamar inap rumah sakit. Ia akan pergi ke hotel dekat rumah sakit dan menginap di sana. Sementara Reno, hanya akan mengantarkannya sampai bawah dan kembali menemani Fathiya. “Cantik juga nggak, akhlak mines, hamil di luar nikah sama suami orang, terus ... dilihat dari sudut mana aja, Lita itu nggak ada enak-enaknya. Janji sama Tante, jangan pernah dekat-dekat sama saudara tirinya Rindu. Kamu juga tahu, kan, bapaknya itu seperti apa?”“Iya, Tan.” Reno tidak bisa membantah, karena ia setuju dengan semua ucapan Maria. “Aku juga nggak pernah tertarik sama Lita.”“Bagus!” Ketika keduanya memasuki lift, Maria mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat daftar nama teman-temannya yang ada di kontaknya. Siapa tahu saja, dengan begini ia mengingat salah satu temannya yang memiliki anak perempuan yang belum menikah. “Nanti, kalau Tante balik ke Jakarta, Tante kenalin sama anak teman-teman T
Akhirnya, Reno berhasil membujuk Fathiya kembali ke Jakarta setelah dua minggu berada di Malaysia. Tentunya dengan bantuan Maria, yang mengatakan akan menjodohkan Reno dengan anak perempuan temannya. Mereka sudah mengatur jadwal dan akan melakukan sebuah kencan setelah Fathiya kembali ke Jakarta.Jadi, di sinilah Fathiya sekarang. Berada di rumah putranya dengan seorang suster yang akan membantu dengan segala sesuatunya.“Bawa mama ke rumah Rindu pagi esok,” pinta Fathiya setelah selesai makan malam. “Mama nak jumpa Dewi.”Reno mengangguk. Mereka tengah bersantai di ruang keluarga dan sedang membicarakan beberapa hal. “Biar aku telpon Dewa bentar lagi.”“Untuk ape?”“Cuma mau ngecek, besok Rindu ada di rumahnya sendiri atau di rumah tante Maria.”“Kesian Rindu,” ucap Fathiya geleng-geleng. “Semoga dia dapat bersabar dengan mertua macam tante kau, tu.”Reno terkekeh karena sudah paham dengan sifat Maria yang sangat cerewet itu. Rindu saja tidak bisa berkata tidak dan mengelak, ketika M
“Huuu ...” Ledekan tersebut kompak terlontar dari mulut Dewa dan Riko. Kemudian, disusul dengan tawa karena Reno telah kalah telak di depan Lita. Wanita itu baru saja pergi dan tenggelam di balik pintu rumah Dewa dengan hentakan kaki yang kasar.“Pak Reno nggak cocok jadi pemeran antagonis,” celetuk Riko melepas pengait besi yang menyangga kap mobil, lalu menutup mesinya. “Jadi, kalem aja, Pak. Nggak usah digalak-galakin.”“Dia lagi stres, Rik,” sambar Dewa lalu duduk pada sudut mobilnya. Ia masih saja terkekeh, karena mengingat Reno yang terdiam di hadapan Lita. “Sudah diburu-buru nikah sama mamanya. Kita tunggu aja undangannya sebentar lagi.”“Undangan kepala lo, Wa.” Reno ikut menjatuhkan bokongnya di samping Dewa. “Minggu depan, mamamu sudah buat jadwal makan malam sama anak temannya.”“Berarti pak Dewa betul,” ujar Riko sedikit bergeser lalu duduk pada pembatas carport. “Kita tinggal tunggu undangan bentar lagi.”Reno mendengkus kasar saat melihat Riko. “Lo pikir, nikah segampang
Apes bagi Reno karena masuk rumah dalam situasi yang sangat tidak tepat. Bahkan, bisa dibilang sangat tidak menguntungkan karena sang mama langsung menodongnya untuk mengantarkan Tiara. Mamanya cerdik, karena menggunakan nama Tiara sehingga Reno tidak bisa menolak. Terlebih lagi, wanita tua itu adalah ibu kandung Rindu sekaligus mertua Dewa.Jadi, Fathiya sudah menjebak putranya sendiri dan tepat sasaran.Kendati Tiara dan Lita sudah menolak sedemikian rupa, tetapi titah Fathiya tidak bisa terelakkan juga. Reno akhirnya mengantarkan kedua wanita itu dan menyimpan kekesalannya dalam-dalam.“Maaf, ya, Pak Reno,” ucap Tiara sungguh tidak enak hati. Terlebih, status Reno saat ini adalah atasan Lita di kantor. Karena itulah, Tiara tetap bersikap hormat dan merasa segan pada pria itu. “Padahal Lita sudah pesan taksi online.”Reno tersenyum saat menoleh sekilas pada Tiara yang duduk di sebelahnya. Sementara Lita, duduk di belakang sembari memangku Tirta yang tampaknya baru terbangun.“Nggak
Pagi itu, Tiara sampai tidak bisa berkata-kata ketika mendengar Lita bercerita perihal Reno. Sebagai seorang ibu, jelas hatinya terasa pilu ketika tahu Lita ternyata dipandang sebelah mata. Jika berada di posisi Reno, mungkin Tiara bisa memaklumi bila pria itu memiliki pikiran buruk pada Lita karena pernah hamil di luar nikah dan melahirkan tanpa seorang suami. Namun, Tiara merasa Reno tidak perlu sampai berkata demikian pada Lita.Entahlah.Tiara jadi serba salah karena pria itu adalah ipar Rindu. Kendati hanya ipar, tetapi jauh di lubuk hati Tiara yang terdalam, ia memiliki kekhawatiran jika semua ini akan menjadi konflik yang mengganggu rumah tangga Rindu.Di satu sisi, Tiara tidak bisa membiarkan Lita diperlakukan seperti demikian oleh Reno. Namun, di sisi lain ada keharmonisan rumah tangga Rindu yang harus Tiara jaga benar-benar.“Ta ... gimana kalau sambil jalan, kamu cari kerja di tempat lain?” Untuk sementara, hanya saran tersebut yang bisa Lita berikan pada Lita.“Cari kerja
Dirumahkan.Lita berdecih saat mengingat ucapan Reno mengenai pemecatannya. Tidak hanya pemecatan, tetapi tentang semua perkataan Reno yang tidak mengenakkan hati tentang dirinya.Lita tahu, sifat dan sikapnya dahulu kala selalu berada di luar kendali. Salah satu bukti dan akibatnya ialah, Lita hamil di luar nikah. Melahirkan seorang bayi tidak berdosa, tanpa seorang ayah.Akan tetapi, Lita sudah berubah. Benar-benar berubah dan ingin memperbaiki diri demi sosok tidak berdosa yang mungkin akan menanggung rasa sakit di masa depan. Semua ini Lita lakukan hanya untuk Tirta seorang.“Lembur lagi, Ta?” tanya Tiara yang berbaring di karpet bersama cucunya di depan televisi.“Iya, Bu.” Lita menghampiri Tiara sembari melirik sekilas pada Radit yang duduk bersila di kursi rotan di belakang karpet.Pria hanya melirik sekilas, tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tatapan Radit masih penuh dengan amarah, serta kekesalan yang entah kapan akan mereda.“Mandi dulu, terus makan,” titah Tiara k
“Nggak masuk akal.” Rindu memicing, menatap curiga pada Lita.Sempat tinggal satu rumah dengan wanita itu dan kerap mendapat perlakuan tidak baik, wajar rasanya jika Rindu memiliki keraguan pada Lita. Karena itulah, Rindu menarik Lita ke taman kecil yang ada di samping rumah, agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.Sementara Tiara dan Fathiya, sedang berada di dalam dengan kedua bayi yang sama-sama sudah terbangun dari tidurnya. Sudah ada seorang baby sitter yang menemani kedua wanita tua itu, sehingga tidak terlalu merepotkan.“Jangan coba-coba bohongin aku, Ta,” sambung Rindu dengan suara pelan, tetapi tegas. Sebelumnya, Tiara sudah bicara dengan Rindu karena wanita itu sejak pagi sudah berada di rumahnya. Tiara menceritakan mengenai keinginan Lita pada Rindu dan ibunya itu pun juga merasa bingung dengan keputusan Lita. “Karena buatku ini nggak masuk akal. Sudah enak-enak kerja di A-Lee, malah mau ngerawat ibunya orang. Apa yang lagi kamu rencanain, Ta?”Lita menatap