Akhirnya, Reno berhasil membujuk Fathiya kembali ke Jakarta setelah dua minggu berada di Malaysia. Tentunya dengan bantuan Maria, yang mengatakan akan menjodohkan Reno dengan anak perempuan temannya. Mereka sudah mengatur jadwal dan akan melakukan sebuah kencan setelah Fathiya kembali ke Jakarta.
Jadi, di sinilah Fathiya sekarang. Berada di rumah putranya dengan seorang suster yang akan membantu dengan segala sesuatunya.
“Bawa mama ke rumah Rindu pagi esok,” pinta Fathiya setelah selesai makan malam. “Mama nak jumpa Dewi.”
Reno mengangguk. Mereka tengah bersantai di ruang keluarga dan sedang membicarakan beberapa hal. “Biar aku telpon Dewa bentar lagi.”
“Untuk ape?”
“Cuma mau ngecek, besok Rindu ada di rumahnya sendiri atau di rumah tante Maria.”
“Kesian Rindu,” ucap Fathiya geleng-geleng. “Semoga dia dapat bersabar dengan mertua macam tante kau, tu.”
Reno terkekeh karena sudah paham dengan sifat Maria yang sangat cerewet itu. Rindu saja tidak bisa berkata tidak dan mengelak, ketika Maria yang memberi nama pada putri pertamanya. Rindu pasrah dan tidak bisa membantah.
“Semua orang kalau di depan tante Maria pasti jadi sabar, Ma,” ucap Reno. “Mereka cuma bisa diam dan nggak berani ngapa-ngapain.”
“Iyelah tu.” Fathiya ikut tertawa. “Eh tapi, mama nak juga jumpe Tirta. Apa kabar budak tu ye? Mesti besar, kan?”
“Ma ... anak, bayi.” Reno sedikit meluruskan. “Kita sudah di Jakarta, jadi, tak, kan, Mama tak ingat bahasa sendiri, kan, kan?”
"Tak lupa, cuma perlu membiasakan diri."
Reno mengangguk kecil dan tersenyum. “Aku telpon Dewa dulu, mama istirahatlah.”
“Kejap lagi, I need something to do.”
Reno menatap sang mama yang beranjak pergi ke dapur, sambil memanggil asisten rumah tangga. Karena itulah, Reno meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di sampingnya lalu menelepon Dewa.
“Wa, mamaku mau ketemu Dewi,” ujar Reno tanpa basa basi ketika sepupunya baru menerima panggilannya. “Rindu besok di rumahmu, atau di rumah mamamu?”
“Ada di rumah,” jawab Dewa. “Datanglah. Besok juga ada ibunya Rindu ke sini bawa Tirta. Tante Fathiya pasti juga mau ketemu Tirta, kan?”
Reno mengumpat saat mendengar Dewa terkekeh untuk meledeknya di seberang sana. Sepupunya itu pasti sudah mendengar dari Maria, jika Fathiya sebenarnya menyukai Lita. Namun, karena Reno tidak ingin membahas hal tersebut, maka ia segera mengakhiri panggilannya.
“Oke, Wa, see you besok!”
~~~~~~~~~~~~~~
“Kamu langsung pulang aja, Will,” titah Reno ketika mobilnya berhenti tepat di depan teras rumah Dewa. “Nanti biar sopirnya Dewa yang antar aku pulang.”
“Siap, Ndan!”
Tepat setelah Reno keluar dan menutup pintu mobil, Willy berlalu. Menyisakan Reno yang menatap malas pada Dewa yang berdiri di depan garasi bersama Riko.
“Tante Fathiya mau tidur di sini,” ujar Dewa. “Susternya sudah datang dan bawa obatnya sekalian. Jadi kamu pulang aja.”
“Kenapa nggak ada yang bilang sama aku?” Reno menghampiri Dewa yang sepertinya sedang mengecek mesin mobil.
“Malas.”
“Mobil baru lagi, Wa?” tanya Reno mengelilingi mobil klasik yang baru dilihatnya dengan perlahan
“Sudah seminggu.”
“Rindu nggak marah?”
“Mana mungkin bisa marah, Pak,” celetuk Riko lalu terkekeh. “Sogokannya banyak.”
“Dasar ISTI,” ledek Reno lalu bertolak pinggang di samping Dewa. Baru saja mulutnya hendak berceletuk, suara deritan pintu pagar yang kembali bergeser membuat semua orang berbalik. “Lita?” bisik Reno pada Dewa. “Ngapain dia ke sini?”
“Anaknya masih di dalam sama bu Tiara,” balas Dewa tidak kalah pelan, lalu kembali melihat mesin yang barunya.
“Kenapa nggak bilang dari tadi?” tanya Reno lalu berdecak kecil
“Nggak penting,” balas Dewa. “Kenapa ju—”
“Malam pak Dewa,” sapa Lita berhenti sebentar di sisi carport. “Pak Reno, bang Riko.”
“Malam,” balas Dewa dan Riko bersamaan, tetapi tidak dengan Reno.
“Langsung masuk aja, Ta,” titah Dewa melirik sekilas pada Lita, lalu kembali fokus pada mobilnya. “Ibu sama Rindu di belakang.”
“Makasih.” Lita mengangguk canggung lalu bergegas pergi karena tidak nyaman dengan tatapan Reno.
Sebenarnya, apa yang tengah dipikirkan pria itu, sampai-sampai melihat Lita dengan tatapan kesal. Sependek pengetahuan Lita, kinerjanya di perusahaan juga baik-baik saja. Ditambah, Lita juga tidak pernah bertemu muka dengan Reno setelah hari itu. Jadi, tidak ada alasan bagi pria itu untuk menatapnya demikian, karena Lita tidak memiliki kesalahan apa pun.
“Eh, Ta!” panggil Reno tiba-tiba dan hal tersebut membuat fokus Dewa dan Riko tertuju ke arahnya.
Lita yang baru menaikkan satu kakinya di tangga teras, kemudian berbalik. Ada apa lagi sekarang?
“Pak Reno manggil saya?”
“Ya.” Reno mengangguk, karena mulutnya sudah tidak tahan untuk meluapkan rasa kesal yang bersemayam di dada. “Jangan karena mamaku baik sama kamu juga Tirta, kamu jadi besar kepala. Tahu diri dan jangan ngelunjak.”
Lita menarik napas panjang. Sejak melihat pria yang tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya kemarin siang, emosi Lita kembali bergolak. Perasaannya campur aduk dan sudah berusaha menenangkan diri sejak kemarin. Namun, ucapan Reno barusan benar-benar memancing emosi yang sudah berusaha ia pendam.
“Ngelunjak bagaimana maksudnya?” Lita menghampiri Reno sambil menyingsingkan lengan kemejanya satu per satu.
“Ngelunjak ...’ Reno mengumpat saat tubuhnya didorong dari belakang oleh Dewa. Namun, Reno dengan cepat menahan langkahnya agar tidak bertabrakan dengan Lita.
“Iya!” Lita yang kesal, dengan berani mengangkat wajah menantang Reno. Menurut Lita, ini adalah masalah keluarga dan bukan masalah perusahaan. Untuk itulah, Lita tidak lagi segan menghadapi pria itu. “Ngelunjak yang bagaimana maksudnya?”
“Jangan pernah akting, minta dikasihani dan minta ini itu sama mamaku.” Reno sampai tidak bisa berpikir karena terkejut Lita bisa menjawabnya seperti sekarang.
Lita tersenyum miring ketika berhenti di hadapan Reno. Ia tidak menyalahkan pria itu, karena sifat Lita dahulu kala benar-benar buruk. Jadi, wajar bila Reno memiliki pemikiran seperti itu.
“Nggak akan,” Lita menjawab tegas sekaligus kesal dengan sikap Reno. Namun, nyalinya mendadak ciut ketika menatap Dewa yang berada di belakang pria itu. Karena itulah, ucapan yang baru keluar dari mulut Lita tidak selantang tadi.
“Oke! Aku pegang omonganmu,” ucap Reno dengan jemawa. “Sekarang—”
“Mulai besok, saya nggak ngebolehin ibu bawa Tirta main ke sini.” Lita hanya ingin cari aman dan tidak mau masalahnya menjadi panjang. “Atau, lebih tepatnya saya nggak akan ngebolehin ibu saya atau Tirta ketemu dengan tante Fathiya. Jadi, mulai sekarang pak Reno nggak usah khawatir dan berburuk sangka, karena saya jamin semuanya aman terkendali sesuai permintaan Bapak.”
“Huuu ...” Ledekan tersebut kompak terlontar dari mulut Dewa dan Riko. Kemudian, disusul dengan tawa karena Reno telah kalah telak di depan Lita. Wanita itu baru saja pergi dan tenggelam di balik pintu rumah Dewa dengan hentakan kaki yang kasar.“Pak Reno nggak cocok jadi pemeran antagonis,” celetuk Riko melepas pengait besi yang menyangga kap mobil, lalu menutup mesinya. “Jadi, kalem aja, Pak. Nggak usah digalak-galakin.”“Dia lagi stres, Rik,” sambar Dewa lalu duduk pada sudut mobilnya. Ia masih saja terkekeh, karena mengingat Reno yang terdiam di hadapan Lita. “Sudah diburu-buru nikah sama mamanya. Kita tunggu aja undangannya sebentar lagi.”“Undangan kepala lo, Wa.” Reno ikut menjatuhkan bokongnya di samping Dewa. “Minggu depan, mamamu sudah buat jadwal makan malam sama anak temannya.”“Berarti pak Dewa betul,” ujar Riko sedikit bergeser lalu duduk pada pembatas carport. “Kita tinggal tunggu undangan bentar lagi.”Reno mendengkus kasar saat melihat Riko. “Lo pikir, nikah segampang
Apes bagi Reno karena masuk rumah dalam situasi yang sangat tidak tepat. Bahkan, bisa dibilang sangat tidak menguntungkan karena sang mama langsung menodongnya untuk mengantarkan Tiara. Mamanya cerdik, karena menggunakan nama Tiara sehingga Reno tidak bisa menolak. Terlebih lagi, wanita tua itu adalah ibu kandung Rindu sekaligus mertua Dewa.Jadi, Fathiya sudah menjebak putranya sendiri dan tepat sasaran.Kendati Tiara dan Lita sudah menolak sedemikian rupa, tetapi titah Fathiya tidak bisa terelakkan juga. Reno akhirnya mengantarkan kedua wanita itu dan menyimpan kekesalannya dalam-dalam.“Maaf, ya, Pak Reno,” ucap Tiara sungguh tidak enak hati. Terlebih, status Reno saat ini adalah atasan Lita di kantor. Karena itulah, Tiara tetap bersikap hormat dan merasa segan pada pria itu. “Padahal Lita sudah pesan taksi online.”Reno tersenyum saat menoleh sekilas pada Tiara yang duduk di sebelahnya. Sementara Lita, duduk di belakang sembari memangku Tirta yang tampaknya baru terbangun.“Nggak
Pagi itu, Tiara sampai tidak bisa berkata-kata ketika mendengar Lita bercerita perihal Reno. Sebagai seorang ibu, jelas hatinya terasa pilu ketika tahu Lita ternyata dipandang sebelah mata. Jika berada di posisi Reno, mungkin Tiara bisa memaklumi bila pria itu memiliki pikiran buruk pada Lita karena pernah hamil di luar nikah dan melahirkan tanpa seorang suami. Namun, Tiara merasa Reno tidak perlu sampai berkata demikian pada Lita.Entahlah.Tiara jadi serba salah karena pria itu adalah ipar Rindu. Kendati hanya ipar, tetapi jauh di lubuk hati Tiara yang terdalam, ia memiliki kekhawatiran jika semua ini akan menjadi konflik yang mengganggu rumah tangga Rindu.Di satu sisi, Tiara tidak bisa membiarkan Lita diperlakukan seperti demikian oleh Reno. Namun, di sisi lain ada keharmonisan rumah tangga Rindu yang harus Tiara jaga benar-benar.“Ta ... gimana kalau sambil jalan, kamu cari kerja di tempat lain?” Untuk sementara, hanya saran tersebut yang bisa Lita berikan pada Lita.“Cari kerja
Dirumahkan.Lita berdecih saat mengingat ucapan Reno mengenai pemecatannya. Tidak hanya pemecatan, tetapi tentang semua perkataan Reno yang tidak mengenakkan hati tentang dirinya.Lita tahu, sifat dan sikapnya dahulu kala selalu berada di luar kendali. Salah satu bukti dan akibatnya ialah, Lita hamil di luar nikah. Melahirkan seorang bayi tidak berdosa, tanpa seorang ayah.Akan tetapi, Lita sudah berubah. Benar-benar berubah dan ingin memperbaiki diri demi sosok tidak berdosa yang mungkin akan menanggung rasa sakit di masa depan. Semua ini Lita lakukan hanya untuk Tirta seorang.“Lembur lagi, Ta?” tanya Tiara yang berbaring di karpet bersama cucunya di depan televisi.“Iya, Bu.” Lita menghampiri Tiara sembari melirik sekilas pada Radit yang duduk bersila di kursi rotan di belakang karpet.Pria hanya melirik sekilas, tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tatapan Radit masih penuh dengan amarah, serta kekesalan yang entah kapan akan mereda.“Mandi dulu, terus makan,” titah Tiara k
“Nggak masuk akal.” Rindu memicing, menatap curiga pada Lita.Sempat tinggal satu rumah dengan wanita itu dan kerap mendapat perlakuan tidak baik, wajar rasanya jika Rindu memiliki keraguan pada Lita. Karena itulah, Rindu menarik Lita ke taman kecil yang ada di samping rumah, agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.Sementara Tiara dan Fathiya, sedang berada di dalam dengan kedua bayi yang sama-sama sudah terbangun dari tidurnya. Sudah ada seorang baby sitter yang menemani kedua wanita tua itu, sehingga tidak terlalu merepotkan.“Jangan coba-coba bohongin aku, Ta,” sambung Rindu dengan suara pelan, tetapi tegas. Sebelumnya, Tiara sudah bicara dengan Rindu karena wanita itu sejak pagi sudah berada di rumahnya. Tiara menceritakan mengenai keinginan Lita pada Rindu dan ibunya itu pun juga merasa bingung dengan keputusan Lita. “Karena buatku ini nggak masuk akal. Sudah enak-enak kerja di A-Lee, malah mau ngerawat ibunya orang. Apa yang lagi kamu rencanain, Ta?”Lita menatap
“Besar juga nyalimu berani kerja di sini?”Pagi itu, Reno dengan sengaja menunggu Lita di depan pintu pagar. Mungkin terlihat bodoh, tetapi ada yang harus Reno bicarakan lebih dulu dengan wanita licik yang kali ini diantar oleh adik laki-lakinya. Jelas Reno tahu semua hal tentang Lita, karena wanita itu adalah keluarga Rindu. Tidak ada yang baik dari Lita, karena itulah Reno harus selalu waspada dan tidak bisa tinggal diam ketika wanita itu akan bekerja di rumahnya.Sayangnya, sang mama justru lebih memercayai Lita daripada putranya sendiri. Hanya karena pernah bernasib sama, Fathiya jadi merasa iba sekaligus salut pada Lita yang tidak menggugurkan kandungannya.“Lo mau ngajak ribut pagi-pagi?”Reno mengerjap. Mulutnya terbuka dan membeku sesaat, untuk memproses ucapan Lita yang terdengar tidak sopan. Intonasinya memang terdengar santai, tetapi bentuk kalimat yang dilontarkan Lita tidak seharusnya dikatakan kepada Reno.“Lo lihat gue lagi gendong bayi, kan?” lanjut Lita tidak meninggi
“Jadi dating malam ni?” tanya Fathiya sambil memangku Tirta yang menonton siaran Cocomelon.“Jadi.” Reno menatap ke sekitar sambil menghampiri sang mama, tetapi ia tidak melihat Lita ada di ruangan keluarga. “Ke mana Lita?”“Buat sarapan kat dapur.”“Buat sarapan Mama di dapur,” ralat Reno sambil duduk di samping Fathiya, lalu mencubit gemas paha bayi yang montok itu. “Kenapa jadi Mama yang jaga Tirta? Mama nggak ngerasa dimanfaatin sama Lita? Harusnya, dia yang ngerawat Mama, tapi kenapa jadi begini?”“Tak, kan, kau tak ingat.” Sambil menepuk-nepuk kedua tangan Tirta sesuai irama lagu di televisi, Fathiya melirik Reno. “Tirta ni ubat stres Mama.”“Mama ... nggak punya pikiran mau dekatin aku sama Lita, kan?” Reno rasa, ia harus mempertanyakan langsung hal tersebut pada Fathiya. Semua harus jelas, agar Reno tidak uring-uringan melihat Lita yang selalu menempel pada sang mama.Fathiya melepas tawa begitu saja. "Mama tak pernah ada fikir macam tu."“Mama serius?” Reno menegakkan tubuh.
“Pagi, Mas Willy,” sapa Lita ramah sambil menghampiri pria yang baru keluar dari mobil. “Tumben pagi banget?”“Pagi, Ta,” balas Willy sudah tidak canggung lagi pada Lita. “Ini, mau keluar kota sama pak Reno.” Willy menutup pintu sembari melihat wajah menggemaskan Tirta yang menatapnya. “Baru datang?” tanyanya basa-basi sambil mendekat, lalu mencubit gemas pipi gembul bayi tampan itu.“Iya, biasa juga jam segini.”Hati Lita masih saja tidak karuan karena semua kenyataan yang berada di sekitarnya. Meskipun fisiknya sudah beristirahat selama sehari ketika libur, tetapi hati dan pikirannya tetap tidak bisa tenang.Tidak ingin Willy juga berpikiran buruk tentangnya, maka Lita berinisiatif menyampaikan isi hatinya lebih dulu.“Mas saya mau ngomong sebentar nggak papa, ya?” pinta Lita berusaha bersikap sopan dan merubah image-nya di masa lalu. Mungkin tidak akan mudah, tetapi paling tidak Lita sudah berusaha semaksimal mungkin.“Ngomong aja.” Willy mundur satu langkah dan memperhatikan Lita