“Besar juga nyalimu berani kerja di sini?”Pagi itu, Reno dengan sengaja menunggu Lita di depan pintu pagar. Mungkin terlihat bodoh, tetapi ada yang harus Reno bicarakan lebih dulu dengan wanita licik yang kali ini diantar oleh adik laki-lakinya. Jelas Reno tahu semua hal tentang Lita, karena wanita itu adalah keluarga Rindu. Tidak ada yang baik dari Lita, karena itulah Reno harus selalu waspada dan tidak bisa tinggal diam ketika wanita itu akan bekerja di rumahnya.Sayangnya, sang mama justru lebih memercayai Lita daripada putranya sendiri. Hanya karena pernah bernasib sama, Fathiya jadi merasa iba sekaligus salut pada Lita yang tidak menggugurkan kandungannya.“Lo mau ngajak ribut pagi-pagi?”Reno mengerjap. Mulutnya terbuka dan membeku sesaat, untuk memproses ucapan Lita yang terdengar tidak sopan. Intonasinya memang terdengar santai, tetapi bentuk kalimat yang dilontarkan Lita tidak seharusnya dikatakan kepada Reno.“Lo lihat gue lagi gendong bayi, kan?” lanjut Lita tidak meninggik
“Jadi dating malam ni?” tanya Fathiya sambil memangku Tirta yang menonton siaran Cocomelon.“Jadi.” Reno menatap ke sekitar sambil menghampiri sang mama, tetapi ia tidak melihat Lita ada di ruangan keluarga. “Ke mana Lita?”“Buat sarapan kat dapur.”“Buat sarapan Mama di dapur,” ralat Reno sambil duduk di samping Fathiya, lalu mencubit gemas paha bayi yang montok itu. “Kenapa jadi Mama yang jaga Tirta? Mama nggak ngerasa dimanfaatin sama Lita? Harusnya, dia yang ngerawat Mama, tapi kenapa jadi begini?”“Tak, kan, kau tak ingat.” Sambil menepuk-nepuk kedua tangan Tirta sesuai irama lagu di televisi, Fathiya melirik Reno. “Tirta ni ubat stres Mama.”“Mama ... nggak punya pikiran mau dekatin aku sama Lita, kan?” Reno rasa, ia harus mempertanyakan langsung hal tersebut pada Fathiya. Semua harus jelas, agar Reno tidak uring-uringan melihat Lita yang selalu menempel pada sang mama.Fathiya melepas tawa begitu saja. "Mama tak pernah ada fikir macam tu."“Mama serius?” Reno menegakkan tubuh.
“Pagi, Mas Willy,” sapa Lita ramah sambil menghampiri pria yang baru keluar dari mobil. “Tumben pagi banget?”“Pagi, Ta,” balas Willy sudah tidak canggung lagi pada Lita. “Ini, mau keluar kota sama pak Reno.” Willy menutup pintu sembari melihat wajah menggemaskan Tirta yang menatapnya. “Baru datang?” tanyanya basa-basi sambil mendekat, lalu mencubit gemas pipi gembul bayi tampan itu.“Iya, biasa juga jam segini.”Hati Lita masih saja tidak karuan karena semua kenyataan yang berada di sekitarnya. Meskipun fisiknya sudah beristirahat selama sehari ketika libur, tetapi hati dan pikirannya tetap tidak bisa tenang.Tidak ingin Willy juga berpikiran buruk tentangnya, maka Lita berinisiatif menyampaikan isi hatinya lebih dulu.“Mas saya mau ngomong sebentar nggak papa, ya?” pinta Lita berusaha bersikap sopan dan merubah image-nya di masa lalu. Mungkin tidak akan mudah, tetapi paling tidak Lita sudah berusaha semaksimal mungkin.“Ngomong aja.” Willy mundur satu langkah dan memperhatikan Lita
“Tumben hari ini Tirta rewel, Neng?” tanya Isah, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Reno.Lita meringis serba salah. Sambil melahap makan siangnya, Lita sibuk menggendong Tirta yang sejak pagi tidak mau lepas dari dirinya. Lita sampai merasa sungkan pada Fathiya, karena sempat mengabaikan tugasnya menyiapkan sarapan.“Nggak tahu, Bu,” ucap Lita mempercepat kunyahannya. “Aku jadi nggak enak sama bu Fathiya. Tapi aku sudah minta ibuku datang buat jemput Tirta.”“Coba ibu lihat,” kata Isah setelah selesai mengaduk bubur di kompor. Ia menghampiri Lita yang sejak tadi tidak berhenti mondar mandir untuk menenangkan putranya. Isah memegang dahi Tirta lalu menggeleng kecil. “Anget ini, Neng. Mungkin masuk angin. Tiap hari diajak jalan terus. Pergi pagi, pulang sampe rumah sudah malam.”“Tadi nggak anget gini, Bu.” Lita memegang tubuh Tirta dan merasakan suhu tubuh putranya. Berusaha terlihat tidak panik, meskipun hatinya sudah khawatir tidak karuan.Isah ikut prihatin karena juga pern
“Berhenti?” Fathiya segere mematikan walking pad-nya dan turun dari sana. Terkejut, karena Lita menghampirinya dan minta berhenti kerja secara tiba-tiba. “Tirta masih sakit, ke? Awak boleh ambil cuti dulu, kalau ...”Fathiya berhenti bicara saat Lita menggeleng.“Saya minta maaf kalau selama kerja sama di sini selalu ngerepotin Tante.” Lita akan membuktikan ucapannya pada Reno dan akan benar-benar berhenti bekerja di rumah pria itu.Fathiya menggeleng. Merangkul Lita lalu mendudukkan wanita itu di bench press. Sejak tadi, Lita belum memberitahukan alasannya berhenti berkerja.“Awak ada kerja baru, ke?” tanya Fathiya dan langsung dibalas gelengan oleh Lita.“Saya mau coba buka usaha,” ujar Lita menunduk. “Di rumah aja biar bisa sama Tirta, Tan. Jadi, maaf, ini hari terakhir saya kerja di sini. Sekali maaf, kalau selama kerja di sini saya sama Tirta selalu ngerepotin, Tante.”Lagi-lagi Fathiya menggeleng. Namun, ia juga tidak bisa menghalangi Lita karena wanita itu beralasan ingin membu
“Yang!” Rindu segera menutup pintu dan menguncinya. Menghampiri Dewa yang baru pulang kerja dan tengah terkapar di tempat tidur. Suaminya itu pasti sangat lelah, karena baru sampai di rumah sekitar pukul delapan malam. “Tante Fathiya tidur di sini lagi.”“Biarlah.” Dewa menjawab tanpa membuka mata. Tubuhnya sangat terasa lengket, tetapi rasanya malas sekali beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. “Untungnya bentar lagi kita pindah ke rumah yang lebih besar, jad—"“Aku juga nggak masalah tante Fathiya tidur di sini, tapi mama itu yang kenapa-napa.”“Mama?” Mata sipit Dewa itu akhirnya terbuka. Menatap Rindu yang sudah duduk bersila di sampingnya. Wajah cantik dan imut itu masih terlihat segar tanpa guratan lelah sama sekali. Dewa menebak, putrinya pasti seharian ada bersama Fathiya dan Rindu hanya berleha-leha menikmati waktu bebasnya.“Iya.” Rindu mengangguk. “Mereka tadi ... nggak ribut, sih. Cuma, kayak debat ... tahu sendiri, kan, mamamu itu gimana?”“Apa yang dideba
“Nanti malam nginap di sini sama ibu, Ta,” ujar Rindu saat baru duduk bersila di sebelah Lita. “Kamu, kan, lagi libur dua hari.”Tatapan Lita reflek tertuju pada Tiara yang duduk di hadapannya. Sedikit melebarkan mata, karena Rindu tidak seharusnya tahu akan hal tersebut. Pastilah Tiara yang mengatakan semua itu pada Rindu.“Kamu, juga, mau ke mall, kan?” sambung Rindu yang sejak tadi tidak memegang putrinya sama sekali. “Jadi, nanti kita sekalian jalan ke sana.”“Tirta nggak aku bawain baju buat tidur,” ucap Lita beralasan. Sebagus dan semewah apa pun rumah baru Rindu, tetapi Lita merasa lebih nyaman berada di rumah sendiri. “Terus, buat besok pagi ju—”“Nanti kita beli di mall,” sela Rindu tidak ingin ribet. “Gampanglah itu. Iya, kan, Bu?” Rindu menodong Tiara dengan senyum tipisnya. “Lagian Ibu nggak pernah nginap di rumahku. Jadi, sekali-sekali nginap sini.”Kendati Rindu bisa memaklumi sikap Tiara yang lebih condong memperhatikan Lita, tetapi sesekali ia juga ingin mendapati sang
“Duduk di depan,” titah Reno ketika melihat Lita baru akan duduk di kursi belakang. “Aku bukan sopirmu.”Lita menarik napas. Daripada ribut, lebih baik ia menuruti perintah Reno. Menutup pintu penumpang bagian belakang, lalu beralih ke depan dan duduk di samping pria itu. Lita memasang sabuk pengaman dan tidak berminat bicara sama sekali untuk membuka obrolan.Bukankah lebih baik seperti itu?“Sekarang, cuma ada kita berdua di sini.” Meskipun kesal, tetapi Reno harus tetap berhati-hati ketika mengemudikan mobilnya. Sekali lagi, ia berada dalam keadaan yang tidak tepat, sehingga tidak bisa menolak perintah Fathiya. “Jadi biasa aja. Nggak usah akting.”“Kalau gitu, nggak usah ngomong bisa nggak?” ujar Lita tanpa menoleh. Ia mengeluarkan ponsel dan lebih memilih menunduk untuk melihat isi di dalamnya.“Lo ada masalah apa, sih, sama gue, Ta?”“Nggak ada,” jawab Lita berusaha santai dan tidak terpancing emosi. “Saya cuma mau kita diam. Anggap aja saya nggak ada. Atau, Pak Reno bisa turunin
“Aban ... jangan lari di tangga!” Reno sudah melarang, tetapi bocah yang sebentar lagi berusia tiga tahun itu tidak mau mendengarnya. “Kalau jatoh kita nggak jadi ulang tahun.”“Tak jatuh pun.”Reno menarik napas mendengar jawaban Tirta yang berucap dengan logat melayu. Benar-benar mirip Fathiya jika sudah berbicara. Reno tidak heran, karena Tirta memang sering menghabiskan hari-harinya dengan Fathiya. Terlebih lagi, Fathiya benar-benar memanjakan Tirta dan selalu menuruti semua permintaan bocah tersebut. “Hati-hati turunnya,” sambar Lita yang berjalan di belakang Reno dan jauh lebih kalem ketika menghadapi sikap putranya. “Kalau jatuh yang sakit Aban, bukan Ibu tau?”“Tau ...”Reno berdecak dan berhenti di ujung tangga. “Kalau jatuh, bahaya.”Lita menepuk keras bòkong Reno sebelum berhenti di sampingnya. Ia terkekeh, karena Reno sontak melotot padanya. “Tirta sudah—”“Kalau pengen bilang,” putus Reno lalu membalas Lita dengan perlakuan yang sama, hingga Lita memekik lalu terkekeh. “K
“Mutasi?”“Kata bu Debby begitu.” Lita mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rindu. Matanya tertuju pada Dewa dan Tirta yang sedang berlatih di dojo. Ia sebenarnya datang untuk memberikan oleh-oleh dari Malaysia dan ngobrol santai dengan Rindu. Namun, ternyata Dewa malah membawa anak-anak ke dojo di belakang rumah.Lita melihat Dewa sibuk mengajari Tirta menendang kick pad yang ada di tangan pria itu. Sementara Dewi, hanya duduk bertepuk tangan dengan tawa geli ketika melihat sepupunya berhasil menendang. Tawa kecil itu selalu pecah, seolah menikmati setiap aksi Tirta yang memang terlihat menggemaskan.Sedangkan di sisi lain, Reno tampak lebih sibuk dengan kameranya. Merekam setiap momen dengan senyum bangga di wajahnya.“Pak Zaldy dimutasi ke Denpasar, tapi naik jadi wakil dirut di sana,” sambung Lita menerangkan. “Jadi ini masih sibuk bolak balik, karena sekalian ngurus pindah sekolah anaknya sama ini itunya. Pantas aja nggak pernah ngerecokin Tirta lagi.”“Emang mau direcokin dia lag
Lita berdiri di balkon hotel, memandang ke luar dengan kekaguman. Pemandangan kota yang megah dan hiruk-pikuk kehidupan malam yang berbeda, membuatnya merasa seolah sedang bermimpi.Ia menoleh ke arah Reno, yang menghampirinya lalu memeluk dari belakang. Rasanya, setiap detik liburan yang dihabiskannya, adalah sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman pertamanya naik pesawat, hingga menjelajahi tempat-tempat baru yang menakjubkan.Mereka sempat dua hari berada di kediaman Fathiya dan sisanya Reno memilih memboyong semua anggota keluarga menginap di hotel. Semua itu dilakukan agar Lita, Tiara, maupun Fandy bisa mendapatkan pengalaman baru.Pada liburan kali ini, Radit tidak bisa ikut karena jatah cutinya dari perusahaan sudah habis. Jadi, pria itu menetap di Jakarta dan tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa.“Aban sudah tidur,” bisik Reno memberitahu tepat di telinga Lita. “Kapan kita tidur?”Lita terkekeh mendengar ajakan Reno. Beberapa hari ini, pria itu memang tidak meminta ja
Meskipun tidak sebesar dan semegah resepsi pernikahan Rindu, bagi Lita, acara pernikahannya memiliki keindahan dan kesempurnaan tersendiri. Dengan dekorasi sederhana nan elegan, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang dari keluarga serta teman-teman terdekat, membuat hari itu begitu istimewa."Abang, makasih." Lita berucap pelan sambil menatap Reno, kaki-kakinya bergerak canggung saat mereka berdansa di tengah ruangan. Langkah Lita terasa kaku dan hanya berusaha mengikuti irama. Bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti ke mana langkah Reno membawanya. “Sebenarnya aku pengen nangis, tapi air matanya nggak keluar.”Reno terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya. Entah sudah berapa kali, Lita mengucapkan kata terima kasih pada Reno, karena telah mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan yang tidak terbayangkan. Padahal, semua ini jauh dari kata mewah seperti pernikahan Rindu, tetapi sikap Litalah yang membuat Reno benar-benar merasa sangat dihargai.“Sebenarnya, aku juga mau minta maaf ka
“Ke Malaysia?” Lita menatap Reno dengan mata membesar, jantungnya berdebar kencang. Bibir Lita bergetar, seiring rasa gugup dan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti. Masih mencoba mencerna ucapan Reno, karena tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksudnya, kita ... ke Malaysia? Aku sama Tirta ikut?”“Kita semua.” Reno mengangguk lalu menangkup wajah Lita. Namun, kedua tangannya langsung disingkirkan Tirta yang sedang berada di pangkuan Lita. “Ditambah ibu sama Fandy,” ucapnya kembali menangkup wajah Lita, tetapi tangannya kembali ditepis, sehingga Reno dengan sengaja kembali melakukan hal tersebut untuk menggoda Tirta.Lita terkekeh melihat tingkah putranya. “Cemburu dia.”“No no cemburu sama Ayah, tau.” Reno menggeleng saat memberi tahukan hal tersebut pada Tirta. “Nggak boleh! No no.”“Nana!” seru Tirta sambil geleng-geleng.“Iya, nana,” ulang Reno lalu menangkup gemas wajah gembil itu dengan kedua tangan, tetapi Tirta segera memberontak. Namun, sejurus itu Tirta justru
“Bahagia sangat Mama tengok kau setiap hari,” ucap Fathiya sambil melempar pelan sebuah bola pada Tirta, agar batita itu menendangnya. Saat bola itu luput dari tendangan Tirta, Fathiya pun tertawa. “Macam tak ada beban.”“Makasih, Ma.” Reno tidak lagi bisa berkata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya. Ia merangkul Fathiya dan membiarkan Tirta bermain seorang diri di taman sembari mengawasi. “Maaf, kalau aku nekat nikahin Lita, padahal Mama nggak setuju.”“Dah terjadi, dah,” ucap Fathiya sudah tidak ingin mengungkit masa lalu. “Yang penting kau bahagia, Mama pun bahagia.”“Nggak usah ditanya.” Reno tersenyum kecil. Mengingat bagaimana cara Lita menghormati dan melayaninya. Hampir tanpa cela, karena wanita itu selalu bisa menempatkan diri dan membaca situasi hati Reno. “Aku bahagia.”“Buatkan Tirta adik kalau macam tu.”Reno tertawa kecil, kendati hatinya sedikit tercubit karena permintaan Fathiya. Bukannya tidak mau, tetapi Lita belum siap jika harus hamil lagi ketika Tirta masih but
“Bikin puding pesanan orang lagi?”Tidak menemukan istrinya ketika bangun tidur, Reno lantas segera pergi ke dapur. Tidak hanya Lita, tetapi Tirta pun sudah tidak ada di kasurnya. Padahal, hari itu adalah hari libur tetapi Lita sudah tidak ada di sampingnya ketika Reno membuka mata.“Ehh, Ayah sudah bangun.” Lita memberi senyum semanis mungkin, karena mendengar nada bicara Reno yang tampaknya tidak terlalu suka dengan kegiatan yang dilakukannya.Dengan segera, Lita mengalungkan tangan pada pinggang Reno yang berdiri di sebelahnya lalu berjinjit. Memberi satu kecupan singkat di pipi dan kembali mengaduk adonan pudingnya.“Sayang, ini masih subuh.” Reno memelankan suaranya. Melihat Tirta yang asyik sendiri di kursi makannya, dengan potongan buah pisang yang sudah tidak berbentuk. “Masih gelap, tapi kamu sudah bawa Tirta ke dapur.”“Tirta bangun waktu aku selesai mandi,” ujar Lita sambil melihat Tirta yang berada di samping kitchen island. Tidak jauh dari tempat Lita berdiri, agar lebih
“Mimi ...” Tirta berjalan sempoyongan ketika melihat Fathiya duduk di ruang tengah. Sempat terjatuh, lalu kembali bangkit dan berjalan menghampiri wanita itu.Reno yang berada di belakangnya, memang sengaja membiarkan batita itu dan tidak menolong sama sekali. Semua itu dilakukan agar Tirta tidak cengeng dan tidak putus asa untuk belajar berjalan.“Tok Umilaaa ...” Fathiya bertepuk tangan menyambut Tirta agar segera menghampirinya. “Bukan mimi.”“Lydia belum datang, Ma?” tanya Lita yang baru saja memasuki ruang tengah setelah menyibukkan diri di dapur. Sementara Tirta, sejak tadi berada bersama Reno karena pria itu sendiri yang meminta. “Sudah jam segini. Mama sudah minum obat belum.”“Dah.” Fathiya menangkap tubuh Tirta yang berhenti di depannya. Namun, batita itu tidak mau diangkat dan dipangku karena lebih memilih kembali berjalan menyusuri ruang tengah. “Hari ni Lydia izin.”“Nggak ada penggantinya?” tanya Reno sambil mengambil mobil-mobilan aki yang dibelinya, lalu meletakkan di t
“Sayangnya Ibuuu.” Lita mencium gemas pipi gembil putranya hingga berkali-kali, ketika akhirnya bertemu kembali. “Kamu nggak kangen sama Ibu, heemm.”Tirta hanya bisa terkekeh, ketika Lita menjatuhkan kecupan bertubi-tubi tanpa bisa melawan.“Ayahnya,” ujar Reno yang duduk bersila di samping Lita, setelah bersalaman dengan Fathiya dan Tiara yang duduk di sofa.Lita terkekeh setelah berhenti mencium putranya. Menatap Reno, sembari mendudukkan Tirta di pangkuannya dengan posisi yang nyaman. Belum sempat ia bicara, Tirta sudah lebih dulu berceletuk ketika melihat Reno.“Aban!”Reno buru-buru meraih tangan Tirta, kemudian menepukkan tangan mungil tersebut ke dada bayi pintar itu. “Ini Aban Tirta,” kata Reno lalu melepas tangan Tirta dan mengangkatnya ke pangkuan. “Ini Ayah.”“Aban.”“Ayah,” ujar Reno kembali meralat sambil menyapit gemas bibir mungil itu. “Pelan-pelan aja,” kata Tiara ikut merasa bahagia melihat binar ceria dari sorot mata Lita. Rasanya, satu beban yang ada di pundak Tia