Share

BC ~ 7

“Huuu ...” Ledekan tersebut kompak terlontar dari mulut Dewa dan Riko. Kemudian, disusul dengan tawa karena Reno telah kalah telak di depan Lita. Wanita itu baru saja pergi dan tenggelam di balik pintu rumah Dewa dengan hentakan kaki yang kasar.

“Pak Reno nggak cocok jadi pemeran antagonis,” celetuk Riko melepas pengait besi yang menyangga kap mobil, lalu menutup mesinya. “Jadi, kalem aja, Pak. Nggak usah digalak-galakin.”

“Dia lagi stres, Rik,” sambar Dewa lalu duduk pada sudut mobilnya. Ia masih saja terkekeh, karena mengingat Reno yang terdiam di hadapan Lita. “Sudah diburu-buru nikah sama mamanya. Kita tunggu aja undangannya sebentar lagi.”

“Undangan kepala lo, Wa.” Reno ikut menjatuhkan bokongnya di samping Dewa. “Minggu depan, mamamu sudah buat jadwal makan malam sama anak temannya.”

“Berarti pak Dewa betul,” ujar Riko sedikit bergeser lalu duduk pada pembatas carport. “Kita tinggal tunggu undangan bentar lagi.”

Reno mendengkus kasar saat melihat Riko. “Lo pikir, nikah segampang itu?”

“Gampang,” timpal Dewa enteng. “Tinggal duduk di depan penghulu, terus ijab kabul. Sah! Terus mamamu tinggal duduk diam nunggu cucu.”

“Padahal kalau sama Lita, bu Fathiya bisa langsung dapat cu—”

“Lo aja yang nikah sama Lita!” potong Reno dengan hati yang semakin panas. Apalagi ketika kedua pria yang sedang bersamanya kembali tertawa meledeknya.

“Kalau saya, mau-mau aja punya istri dua, Pak,” sahut Riko di antara kekehannya. “Tapi, nggaklah. Nanti disunat dua kali sama yang di rumah. Tamat riwayat.”

Lagi-lagi Reno mendengkus. “Preman takut istri.”

“Whooo ...” Riko bangkit sembari tertawa. Sepertinya Reno lupa, kalau preman yang sebenarnya kini tengah duduk di sebelahnya. Preman berdasi, yang selalu mendapatkan semua hal tanpa harus mengotori tangannya sendiri. “Pak Dewa, saya nggak ikut-ikut. Mau pulang dulu.”

“Yo!” Dewa melambai sekilas pada Riko yang sudah berjalan menghampiri motor sport-nya. “Untung berretaku ada di dalam,” gumam Dewa menyebutkan salah satu jenis senjata yang dimilikinya.

Reno mendelik seraya bangkit menatap Dewa. Ia tidak memusingkan ucapan sepupunya, karena mereka akan selalu menganggap hal itu sebagai angin lalu.

“Kamu nyimpan berreta di rumah? Nggak ketahuan Rindu?” cecar Reno.

Dewa berdecak lalu beranjak pergi meninggalkan Reno. “Kalau Rindu tahu, artinya kamu yang bocorin. Awas aja!”

~~~~~~~~~~~~~

“Malam ...” Lita mengira, Tiara dan yang lainnya berada di belakang seperti kata Dewa. Namun, semua orang ternyata sedang bersantai di ruang keluarga.

Lita terpaksa menyematkan senyum karena melihat Fathiya. Padahal, hatinya tengah kesal sepenuh hati pada Reno. Mungkin, emosi Lita tidak akan bergejolak seperti sekarang, jika kemarin ia tidak bertemu dengan pria yang telah mencampakkannya. Akan tetapi, Lita tidak bisa menghindari takdir dan hal tersebut telah membuka sebuah luka yang sudah berusaha ia tutup mati-matian.

“Lembur, Ta?” tanya Rindu yang duduk melantai di samping Fathiya.

“Iya.” Lita mengangguk. Menghampiri Tiara dan mencium tangan wanita itu lebih dulu. Dulu, Lita mana pernah melakukan hal tersebut pada Tiara. Ia pulang pergi sesuka hati dan hanya menyampaikan maksudnya melalui lisan. Bahkan, terkadang Lita hanya berteriak dari pintu lalu berlari keluar dari rumah. “Biasa akhir bulan.”

Setelah selesai menyalami ibunya, Lita menghampiri Fathiya dan melakukan hal yang sama. Wanita itu tengah menggendong Dewi, sementara Tirta sudah tertidur pulas pada sebuah ayunan elektrik di samping Rindu. “Apa kabar, Tan? Sehat aja, kan?”

“Sihatlah,” jawab Fathiya sambil mengusap-usap kening Dewi yang tidak kunjung tidur sejak tadi. “Tante tengok, awak makin langsing, je. Diet, ke?”

“Keseringan begadang, Tan,” ujar Lita sambil menjauh untuk menghampir putranya. Tanpa ingin menunggu lama, Lita mengangkat Tirta dengan perlahan lalu menggendongnya. “Lumayan sudah turun enam kilo.” Seraya berdiri dan masih tersenyum, Lita menatap ibunya. “Ayo pulang, Bu. Besok aku berangkat pagi-pagi banget. Masih banyak kerjaan soalnya.”

“Tak makan malam dulu, ke?” Fathiya menampilkan wajah kecewa.

“Sudah, di kantor, Tan,” ujar Lita memberi alasan. Semakin cepat ia pergi dari rumah Rindu, semakin cepat pula Lita menata emosinya. “Barang-barangnya Tirta sudah di tas semua, Bu?”

“Sudah,” jawab Tiara sembari bangkit dan menyambar kain jarik yang tergeletak di samping Rindu. Melihat wajah lelah Lita, Tiara tidak akan mencegah kepulangan mereka ke rumah. Putri sambungnya itu pasti ingin segera mandi dan beristirahat agar bisa kembali bekerja dengan stamina yang baik. “Sini, Tirta biar sama Ibu.”

“Tolong gendong sebentar,” pinta Lita sembari menyerahkan Tirta dengan perlahan. “Aku mau pesan taksi.”

“Ngapain pesan taksi, Ta,” ujar Rindu segera bangkit, lalu mengambil alih putrinya dari gendongan Fathiya karena wanita itu sepertinya juga ingin berdiri. “Biar sopirku yang antar.”

“Nggak usah, Rin,” tolak Lita sudah mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi transportasi online. “Aku naik taksi aja, ya. Nggak enak ngerepotin kamu terus.”

“Betul yang Rindu cakap, tu,” sambar Fathiya seraya menghampiri Tiara, agar bisa melihat Tirta sebelum bayi tampan itu kembali pulang. “Tak payah order teksi.”

“Nggak papa, Tan.” Lita mengayunkan ponselnya sekilas dan menggeleng pada Rindu. “Ini sudah dapat.”

“Cancel, je!” seru Fathiya ketika melihat Reno dan Dewa baru memasuki ruang keluarga. “Biar Reno yang bawa awak pulang.” Telunjuk Fathiya mengarah cepat pada putranya yang tampak bingung. “Ren, tolong hantar Bu Tiara balek. Selepas tu, awak pegi balik rumah, sebab Mama nak tidur sini.”

“Apa ...

 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
apesmu Ren... hehehe
goodnovel comment avatar
Reni
Masuknya tadi aturannya ntaran aja Ren, kena kan sm mama, wkwkwk..
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
cucian deh reno......wkwkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status