Bugh!
Nayra mencoba berdiri setelah tersungkur di lantai. Tak dipedulikan tubuhnya yang sudah lebam sana-sini akibat penyiksaan ibu dan saudari tirinya itu sejak kemarin.
Mereka memang murka pada Nayra karena kabur dari pertemuan begitu sadar dirinya dijebak untuk menikahi pria tua mesum yang anaknya saja lebih tua darinya.
Sayangnya, Nayra tertangkap oleh keduanya….
“Kenapa kalian kejam sekali padaku?” lirih Nayra akhirnya, menahan pedih.
Siapapun yang memiliki hati nurani akan kasihan padanya. Namun, ibu tirinya justru tertawa.
Bahkan, saudari tirinya tiba-tiba mencengkram kuat dagu Nayra. Menatapnya tepat di kedua matanya. “Kejam? Kami justru berbaik hati padamu. Juragan itu sangat kaya dan bisa memberikanmu hidup penuh kemewahan!”
“Benar, Kau seharusnya berterima kasih karena aku memilihkan jodoh yang tepat!” timpal Ibu tirinya dengan ketus, “awas saja jika kau berani kabur seperti sebelumnya.”
“Tapi aku masih mau kuliah, Ma!” ujar Nayra di sisa rasa frustasinya.
Dia tahu benar rencana keduanya yang ingin memperalatnya untuk mengeruk harta pria tua itu.
Dan jika ketahuan, Nayra-lah yang akan dihabisi, sementara mereka menikmatinya.
Tega sekali mereka mengorbankannya….
Namun, tawa sang saudari tiri menyadarkan Nayra dari lamunan. “Untuk apa juga kuliah? Hidup kaya raya itu impian semua wanita. Lagi pula percuma juga kuliah karena otakmu dungu dan bebal,” makinya, “Buang waktu dan biaya saja!”
Nayra tidak tahu saja bahwa Misca—saudari tirinya itu gagal mendapatkan mobil mewahnya kemarin karena Nayra mendadak kabur!
Maka dari itu, dia dendam dan ikut menyiksa Nayra hari ini.
“Tapi, aku—”
Bugh!
Belum sempat Nayra menyelesaikan ucapannya, sang ibu tiri yang merasa jengah–langsung menendang tubuh kecil Nayra.
Gadis yang kasihan itu lagi-lagi tersungkur.
Malangnya, kepalanya terantuk ujung meja, hingga pandangannya menggelap.
Dan begitu terbangun, dia menemukan dirinya di gudang rumah dengan keadaan terikat?
Ponsel dan dompetnya juga tidak ada lagi di sakunya.
“Maaf, Mbak Nayra.”
Suara pria setengah baya yang familiar itu membuat Nayra sontak menoleh.
Ditemukannya Pak Parmin, pembantu yang sudah lama bekerja pada keluarganya, tengah memenatap Nayra iba.
“Pak Parmin, tolong saya!” Nayra meminta belas kasihan pada orang yang sudah lama mengabdi di keluarganya itu.
“Maaf, Mbak. Saya takut dipecat Nyonya,” ucapnya yang tidak berniat melepas ikatan tangan dan kaki Nayra.
Pria itu pun menjauh pergi dan menuju pintu keluar.
Melihat itu, pertahanan Nayra runtuh. Harapannya pupus sudah.
Bahkan, tangis yang selama ini ditahannya, luruh juga. “Bunda….” lirihnya, pedih karena sadar dia benar-benar sendirian.
Belum lagi, semua mimpinya harus dia kubur demi menuruti keinginan ibu dan saudari tirinya.
Hanya saja kala Nayra sudah pasrah, tiba-tiba saja Pak Parmin kembali.
Pria itu bahkan melepaskan ikatan Nayra sembari berkata, “Mbak Nayra pergi lewat belakang saja. Biar saya mengalihkan perhatian Nyonya Sintia.”
Deg!
“Bapak serius?”
“Iya, Mbak. Tapi ingat, jangan sampai ketangkap. Karena kalau sampai ketangkap anak buah Nyonya Sintia, Mbak akan mendapat siksaan lebih kejam dari nenek sihir itu.”
“Terima kasih, Pak!” Nayra mengangguk dan membiarkan air mata deras membasahi wajahnya, karena pembantunya itu masih punya hati menolongnya di bawah tekanan ibu tirinya.
Ia pasti akan membalas kebaikannya nanti!
Tak ingin membuang waktu, Nayra pun segera keluar dari tempat itu dan berlari sekuat yang ia bisa.
Kakinya terus berlari sepanjang jalan meski tidak tahu harus ke mana.
Tubuhnya lelah dan begitu sakit, tetapi ia tak berhenti sama sekali.
Terlebih, ia merasa ada yang sedang mengejarnya….
Kebetulan sekali, sebuah bagasi mobil di depannya tampak terbuka.
Ada beberapa kantong belanja di sana. Namun, Nayra tak peduli.
Segera saja, dia masuk dan menutupnya dari dalam—berharap dirinya bisa kabur dengan menumpang mobil tersebut.
Hanya saja, mata Nayra tiba-tiba memberat.
Kepalanya begitu pusing dan tubuhnya terasa menggigil.
Tenaganya seolah menghilang dari tubuh.
Gadis itu benar-benar lemas tidak berdaya....
.
.
.
Next~
“Siapa ini?!”Ketika hendak mengambil barang belanjaannya untuk dibawa ke rumah, Devran begitu terkejut ada seorang perempuan yang meringkuk di bagasi mobilnya.Bagaimana bisa ada di sana?Seketika, ahli waris keluarga Alana itu teringat bahwa dia sempat meninggalkan bagasinya terbuka saat memasukkan barang karena ayahnya menelpon.“Sial…” lirihnya tanpa sadar.Bisa-bisa, Devran disangka menculik atau berbuat buruk pada perempuan ini. Atau yang lebih parah, perempuan ini justru komplotan penipu?Tak ingin membuang waktu, Devan lantas mengguncang tubuh perempuan itu.Sayangnya ketiadaan reaksi justru membuat Devran menjadi panik.Segera, ia menoleh ke kanan dan ke kiri.Setahun di tempat ini, Devran tahu seperti apa karakter tetangganya.Meski perumahan ini terbilang modern–-setidaknya untuk ukuran kota kecil ini—mereka bukanlah orang yang berpemikiran terbuka seperti di tempat asalnya.Kemarin saja, saat bos wanita di kantor tempatnya bekerja datang dengan pakaian serba ketat ke rum
“Diam, lu. Orang baru sudah mau bikin cemar lingkungan kita!” bentaknya balik pada Devran“Sabar, sabar!” Pria yang tampak alim itu melerai ketegangan.“Ustaz Muh, masa tidak tahu tetangga samping rumahnya berbuat mesum? Jatuh lho kredibilitasnya sebagai ustaz di lingkungan ini!” teriak seorang ibu-ibu pada pria itu.“Ustaz, saya tidak...” Devran mencoba menyangkal namun tidak tahu harus berkata apa melihat mata-mata yang sudah ingin mengulitinya itu.Devran langsung menghampiri pria yang tinggal tepat di samping rumahnya itu. Yang setiap hari paling sering ditegur sapanya. Dia berharap bisa membantunya.“Nak Devran, kok bisa sampai begini?” tanya Ustaz Muh mencoba mencari keterangan.Namun melihat seorang gadis yang beringsut ketakutan, dia pun jadi ikut terpedaya ucapan warga.“Lihat wanitanya, Ustaz. Sampai lemes begitu. Pasti sudah diapa-apain sama anak Jakarta ini!” Seorang ibu-ibu kembali melontarkan ujaran.“Arak saja, ustaz. Kita adili sekalian biar tidak jadi contoh anak-anak
“Maaf, Mas. Tapi aku tadi dikejar-kejar orang jahat.” Nayra memelas pada Devran. “Ibu tiriku mau menjodohkanku dengan pria tua. Tapi, aku masih mau kuliah! Tolong aku, Mas.”Devran menghela napas. “Sudah kubilang berhentilah menangis! Mereka malah salah paham padaku nanti!”Gadis ini hanya akan menambah perkara untuknya kalau tidak berhenti menangis.“Aku mau kok jadi pembantu atau apalah itu, Mas. Tapi aku boleh ya tinggal di sini?”“Kau gila! Orang-orang di luar memintamu menikah denganku hanya karena kau berteriak-teriak tadi. Sekarang bagaimana bisa aku membiarkanmu tinggal di sini kalau kita tidak ada hubugan apa-apa?!” Devran kesal. Ucapan Nayra membuatnya kembali terpancing emosi.“Tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi, Mas? Aku tidak tahu harus pergi kemana lagi?” isak gadis itu sambil bersimpuh di lantai.Devran tersentak, tapi dia tidak ingin terperdaya.Bisa saja gadis ini penipu atau hanya bermanipulasi saja dengan keadaan.Terlebih, dia belum keluar dari masalah ini.Seda
“Sementara, kau pilihlah kaus atau kemejaku di lemari yang pas denganmu,” tukas Devran tak banyak berpikir.“Terima kasih, Mas!” ucap Nayra mengulas senyum padanya.Kebetulan tatapan mereka beradu membuat Devran membeku.Senyum gadis itu manis juga. Batin Devran yang keluar.Menatap daun pintu yang tertutup itu dia menghela napas. Tidak mau banyak memikirkan bagaimana selanjutnya.Lebih baik lanjut selesaikan proyek yang banyak human errornya ini. Dia tidak berniat berlama-lama di kota ini.Kesal sekali, bisa-bisanya papanya malah menghukumnya dengan membuatnya bekerja di kota kecil ini.Hanya saja, Devran kali ini jadi bingung. Harus tidur di mana? Bukankah kamar sebelah masih berantakan karena banyak peralatan pekerjaannya?Jadi, Devran akhirnya tidur di sofa depan televisi. Tanpa bantal dan selimut di malam yang dingin.Merasa tidak nyaman, dia jadi repot sendiri. Berganti posisi tidur ke kanan balik lagi ke kiri. Namun tidak juga bisa tidur. Dia lupa kalau tidak bisa tidur tanpa b
“AAA!”Teriakan Nayra membuat Devran yang siaga dengan gagang payung itu terkejut balik.“Astaga! Kenapa sih kau suka sekali teriak-teriak?”Devran reflek membuang payungnya dan segera membekap mulut Naira agar tidak lagi membuat kegaduhan di lingkungan ini karena teriakannya itu.Dia baru ingat, kalau semalam sudah menikahi seorang wanita yang kini hampir digebuknya karena mengira maling.“Mas mau gebukin aku?” Nayra masih tampak ketakutan melihat Devran hampir memukulkan payung itu kepadanya.“Iyalah,” ucapnya yang membuat Nayra bertambah sedih.Melihat raut wajah takut dan tubuh yang meringsut itu Devran buru-buru menambahi, “Aku lupa kalau semalam menikahimu. Sering ada maling di sini, jadi kukira kau maling.”“Oh, enggak kok, Mas. Aku tidak mungkin...”“Hey, aku sedang tidak menuduhmu. Aku bilang kukira saja, lho!” Devran menandaskan agar Nayra tidak penuh cemas.“B-baik, Mas,” ujar Nayra mulai merasa tenang. Panik saja kalau di tempat yang dirasanya aman ini Nayra juga akan meng
Usianya masih sangat muda. Dia bilang baru lulus SMA dan masih ingin melanjutkan kuliah. Ingin jadi dokter katanya. Karenanya dia memilih melarikan diri dari rumah agar tidak dipaksa menikah dengan pria tua.Setidaknya itu yang diketahui Devran tentang Nayra.Padahal, justru sekarang ini mereka sedang terjebak pernikahan dadakan. Pernikahan yang hanya sebuah kepentingan saja.Devran juga tidak berniat berlama-lama dengan hubungan ini. Setelah membereskan beberapa hal, Devran sudah berpikir akan membantu Nayra masuk ke perguruan tinggi. Mendengar kisah hidupnya sekilas kemarin, Devran sudah merasa kasihan padanya.“Mas, ada makanan di meja dapur. Sudah siap, kok. Mas ambil sendiri, ya?” suara itu terdengar namun Devran tidak melihat Nayra. Gadis itu benar-benar bersembunyi.“Aku tidak bisa makan sembarangan, lho. Awas saja kalau masakanmu rasa sampah seperti masakan kota ini!” tukas Devran.Kejam memang mulutnya, tidak berterima kasih sudah dibuatkan makanan malah belum-belum mencecar
“Ya sudah deh, aku berangkat saja!” Devran tidak suka mengulur waktu.Nayra tidak terima. Bagaimana nanti kalau pria itu tidak jadi membelikannya?Ingat kata-kata Devran semalam yang tidak suka basa-basi, pada akhirnya membuatnya menyingkirkan rasa malu itu. “Bra atau kutang sama kok, Mas?" ujarnya.“Tapi, nanti bilang bra saja kedengarnya lebih enak. Jangan lupa celana dalamnya juga.” Nayra baru menyahut. Daripada malah tidak dibelikan...“Oke!” tukasnya baru membuka pintu dan keluar.Saat sudah di mobil, Devran merasa ada yang salah. Dia baru menyadari kebodohannya dan mengumpati diri sendiri.Bukankah dia bisa searching di internet tanpa harus mempermalukan diri bertanya pada Nayra tentang nama benda itu?Bodohnya dirinya ini.... Malu dengan julukan play boy yang pernah tersemat padanya saat masih remaja dulu. Bahkan nama benda itupun dia lupa?“Hadeeh!” Devran menyugar rambut kepalanya. Pasti ada yangg tidak beres ini dengan kepalanya?Sepagi ini sudah ribet perkara bra dan ce
“Ada apa dengan kakimu?”Tatapan Devran tertuju pada kaki Nayra karena sepertinya sedang bermasalah.“Tersandung, Mas. Tadi panik dan mau bersembunyi,” jelas Nayra.“Ceroboh sekali kamu!”Nayra hanya mendengus lemah namun tak terlalu mempermasalahkan ucapan pria itu. Perasaannya tenang melihat Devran sudah di rumah. Jadi tidak mengapa juga kalau pria ini jutek padanya. “Duduklah, aku akan memeriksanya.” Devran menunjuk sofa tak jauh dari Nayra. Gadis itu menurut.Devran duduk berlutut di lantai untuk memeriksa kakinya, dan Nayra mencuri lirik pria yang kini sedang memegangi kakinya itu. Menerbitkan rasa syukur dalam hatinya, bahwa tuhan masih melindunginya dengan membiarkannya masuk ke dalam mobil pria ini.Meski terlihat jutek dan cuek, sebenarnya Nayra bisa merasakan Devran pria yang baik.Ketika pilihan memaksa dirinya berterus terang tentang yang sebenarnya terjadi, bisa saja dilakukan Devran padanya, nyatanya Devran bersedia juga menikahinya.Meskipun Nayra juga tahu, Devran
Nayra baru sadar kalau ponsel Devran tertinggal saat mendengar suara deringan dari benda itu.Mungkin masih di luar karena belum terlalu lama keluarnya. Jadi, Nayra mengambil benda itu dan melangkah dengan cepat untuk menyusul Devran.Namun sepertinya Devran sudah tidak ada.Sementara ponsel itu belum juga berhenti berdering.Siapa Arini? Apa teman kantornya?Nayra tidak mau tahu. Dia mau melanjutkan memasak lagi. Namun suara deringan ponsel itu masih juga terdengar. Sungguh sangat mengusiknya.“Aku angkat saja, deh. Nanti tinggal bilang sama Mas Devran.”Lalu ketika diangkatnya, Nayra mendengar suara lembut dari seberang sana.Deg! “Hallo, Dev. Maaf pagi-pagi udah nelpon. Tidak perlu sarapan di rumah, ya. Berangkat ke kantornya pagi-pagi kita bahas proyek kamu yang hampir selesai.”Oh. Urusan kantor. Nayra tanpa sadar menghela lega.“Maaf, Mas Devrannya sedang jogging. Nanti akan saya sampaikan.” Nayra menjawabnya.“Eh, bentar. Ini siapa?” suara dari seberang tampak heran.Sayang
Tengah malam Nayra keluar kamar karena merasa haus. Air minum dalam botolnya sudah habis dan dia lupa belum mengisinya.Saat membuka pintu tidak tahunya Devran masih berjibaku dengan pekerjaannya di ruang tengah.Melihat Nayra keluar dengan hanya memakai daster tali sedangkan tidak memakai apapun lagi di dalamnya. Mata pria itu nyalang.“Mau apa?” tanyanya pada gadis itu. Pasti tidak sadar tidak memakai kimononya saat keluar.“Mau ambil minum, Mas.” ujarnya lempeng dan berjalan ke arah galon untuk mengisi botolnya.Devran memperhatikan gerak-gerik gadis itu, lalu menghela napas.Bahu dan punggungnya terekspos saat rambut panjang yang tergerai itu melorot ke samping ketika Nayra membungkuk mengisi air.Belum lagi posisi yang seperti itu benar-benar secara tidak langsung menerbitkan pikiran yang tidak-tidak saja di kepala pria jablai ini.Gadis ini benar-benar mengujinya. Padahal dia sendiri yang tidak mau dimacam-macamin Devran.“Ambilkan juga aku segelas minuman.” Devran akhirnya tid
“Yang ini lebih gemoy dan empuk. Rasanya lebih enak.”Nayra menyodorkan bakpao pada Devran saat mereka memutuskan berjalan-jalan sebentar di sekitar vila.“Enggak ada bedanya, sama saja!” Devran melahap makanan itu ke dalam mulutnya.“Itu karena mas kurang menikmati esensi rasa sebuah makanan. Padahal, dari harganya saja sudah beda. Bahan pembuatnya pun beda. Tidak mungkin kalau rasanya sama.” Nayra mencebik melirik pria yang melahap makanan itu. Sama makanan juga dia jutek abis.“Tidak perlu diperdebatkan. Lidahku dan lidahmu beda. Jadi jangan memakasakan pendapat dari sudut pandangmu.” “Ya, deh. Terserah!” Nayra memutar bola matanya, tak mau mempersoalkan lagi. Perkara bakpao doang kenapa bahasnya jadi dalam begitu.Mungkin karena sembari menggerutu dalam hati, saat makan Nayra sampai seret di tenggorokan hingga membuatnya cegukan.Devran langsung bangkit dan membelikan air mineral untuknya. Membukakan tutup botol itu dan membantunya minum.Perasaan Nayra terasa hangat mendapat pe
Nayra sudah memejamkan matanya karena merasa Devran akan menciumnya. Posisi wajah mereka sudah dekat sekali. Bahkan ujung hidung mereka saling bersentuhan. tiba-tiba pria itu berkata, “Ada paku, hampir mengenai kakimu!”Mata yang tertutup itu seketika terbuka. dan wajah yang menegang itu pun memudar, terganti perasaan sebalnya. Padahal Nayra Sudah merasakan deg-degan sekali. seperti saat dicium pria ini sebelumnya.Tapi kalau ingat hal itu dia jadi sedih. Dicium di pagi harinya, lalu di siang harinya hatinya berbunga-bunga, dan di sore harinya dia di tuduh mencuri. Ini seperti perasaannya sedang diroller-coasterkan. Naik setinggi-tingginya, lalu diturunkan serendah-rendahnya.“Iya, Mas. Terima kasih!” ujarnya sembari bangkit dari pangkuan Devran.Dia memang melihat paku di lantai kayu itu mencuat dan bisa saja menyakiti kakinya. Nayra seharusnya tidak bepikir kalau Devran mau menciumnya lagi.Bisa-bisaya masih saja berharap Devran menciumnya?*** Hari berlalu begitu-begitu saja k
“Sudah beres, Mas. Aku sudah melaporkan dua wanita itu ke kantor polisi.” Musa memberikan laporan apa yang sudah dikerjakannya.“Bagus. Oh, ya, Om. Jangan dulu memberitahu mama atau papa tentang Nayra. Biar nanti aku beritahu sendiri.” Devran mengingatkan Musa.Meski mamanya yang paling bawel agar dia punya kekasih yang dikenalkan padanya, tapi Devran tahu wanita itu sangat perfeksionis. Tidak mau sembarangan memilih calon menantu.“Bukan karena alasan pernikahan yang dadakan itu, kan?” Musa bertanya. Dia sedikit sudah diberitahu Devran tahu tentang hal itu.“Maksud, Om?” Devran bertanya balik apa yang dimaksudkan Musa.Musa tertawa dan menepuk pundak anak muda itu. Sejak dia kecil, Musa sudah bekerja untuk papanya. Lebih sering mengawal anak muda ini saat dulu masih bandel-bandelnya. Jadi sedikit banyak mengetahuilah tentang karakter Devran.“Mas Devran tidak pernah seperhatian ini pada wanita lain selain sama Mbak Damay. Kalau sekarang Mas Devran kembali memberikan perhatian pada w
“Jangan melompat. Airnya deras. Kau bisa mati kalau melakukannya!” suara pria brandalan itu mengingatkan Nayra.Gadis itu sudah lelah dan putus asa. Dilihatnya arus yang deras di bawah sana. Dia tidak takut.Kakinya sudah memanjat pagar beton itu untuk bersiap terjun ke sungai. Dipejamkannya matanya erat-erat, seolah melihat bayangan bundanya melambai-lambai di ujung sana memanggilnya.“Aku datang, Bunda...” gumamnya sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke dalam sungai.Namun sebelum itu terjadi sebuah tangan menarik tubuhnya dan memeluknya erat.“Lepasin, jangan sentuh aku...” teriaknya merusal sebelum akhirnya semua terlihat gelap dan sunyi...Ketika matanya mulai terbuka, Nayra melihat langait-langit putih di atasnya.“Apa aku sudah meninggal?” gumamnya sendiri.Dia baru menoleh ke sekitar dan tempat ini benar-benar asing baginya.Tapi satu yang Nayra sadari, dia tidak sedang berada di alam lain tapi sebuah kamar yang sunyi hingga suara detakan jarum jam dinding bisa terdengar di t
“Mau apa?” Seorang petugas menahan Devran yang hendak ikut melihat korban.“Kalau tidak ada kepentingan tidak boleh mendekat!” bentak pria itu sembari menghalau beberapa orang yang masih bandel tidak mau pergi.“A-aku suaminya, Pak!” “Kau suaminya?” serempak beberapa orang yang tadi menyingkir dari kerubungan menatap Devran dengan sungguh heran.“Benar, karenanya izinkan aku melihatnya. Aku punya hak untuk melihatnya...” Dengan percaya diri Devran mengakuinya. Padahal dia juga tidak begitu yakin.Biar saja, yang penting dia bisa melihat wanita itu dan tidak mati penasaran.Melihat kesungguhannya seorang petugas memberi kode agar membiarkan Devran melihatnya. Siapa tahu memang dia adalah suami korban laka itu.Selangkah lagi mendekati tubuh yang te
Ada rasa kecewa yang menyusupi dadanya melihat kemunculan pria itu. Kenapa bukan Devran yang datang? Untuk apa juga Musa ada di sini?Jangan-jangan dia memang seorang penipu lalu sudah tertangkap Devran dan kini ingin menyeretnya ke dalam masalah yang sudah dibuatnya.“Aku bukan suaminya, tapi aku membawa saksi bahwa wanita yang dipaksa menikah ini sebenarnya sudah terikat hubungan pernikahan.”Musa tak pedulikan tatapan banyak orang. Berjalan menuju ke penghulu di depan. Menunjukan beberapa rekaman pernikahan Devran dan Nayra.“Kalau Anda tidak percaya, saya juga membawa saksi. Ini ada Ustaz Muh dan pengurus RW yang menyaksikan.” Musa menunjuk dua pria yang juga turut hadir.“Omong kosong apa ini? Usir pria itu dari sini!”Hanggoro yang mengetahui kenyataan ini pada akhirnya bangkit dan merasa tidak ter
“Kau cantik sekali, Nayra sayangku...”Hanggoro mencolek dagu Nayra dan tertawa puas karena sebentar lagi bisa juga memiliki istri muda yang cantik itu.Beberapa orang yang turut hadir menjadi saksi pernikahan bersorak-sorak melihat kelakuan sang juragan yang bagi mereka lucu itu.“Cium Juragan...” seloroh rombongannya sembari bersiul. Nayra benar-benar terlihat jengah tapi masih berusaha menahan diri. Mau marahpun dia tentu tidak berani. Lagi pula siapa di sini yang akan peduli perasaannya. Tidak ada...Hingga suara penghulu itu terdengar.“Sabar, Tuan Hanggoro. Tidak boleh asal colek dulu. Belum halal. Kita halalkan dulu, ya?” Penghulu yang sudah duduk di hadapan mereka mengingatkan pria tua yang sudah tampak mendesak itu.&ldq