"Ada apa sebenarnya dengan mu Leucaena Leucocephala ? Kenapa kamu tidak mau menerima lamaran dari pria baik seperti Calliandra callothyrsus! Pria seperti apalagi yang kamu inginkan!" ujar Arachis Pintoi ayah dari Caena.
Sejujurnya, sebagai orang tua Arachis sangat lelah dengan sikap dingin anaknya terhadap pria manapun. Padahal, Caena adalah wanita yang terlihat sangat ceria dan terbuka pada siapapun dan dalam hal apapun, namun ketika membicarakan tentang pernikahan, Caena seperti mati rasa dan tidak ingin membahasnya.
"Maafkan Caena Papa. Caena hanya belum siap untuk menikah." Jawaban yang sama seperti beberapa minggu yang lalu. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali Caena di lamar oleh banyak pria. Para pria yang melamarnya bukanlah berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Melainkan dari keluarga terhormat, orang kaya dan pebisnis-pebisnis sukses. Namun, tidak ada satupun yang dapat meyakinkan hatinya untuk menerima salah satu dari mereka."Apa yang membuat mu tidak siap, Nak?" tanya ibunya, Setaria Spachelata."Aku tidak percaya diri Mah. Aku~" Sebelum Caena melanjutkan apa yang ingin ia katakan. Arachis memotong ucapan Caena."Apa yang membuat mu tidak percaya diri Caena? Kamu adalah gadis yang paling cantik di kota ini. Gadis baik-baik dan tidak pernah berbuat macam-macam. Kamu bukan gadis nakal seperti gadis lain di luaran sana. Ayah dan ibu pun tidak pernah kecewa padamu," tutur Arachis mengangkat moril anaknya. Arachis tidak mengatakan omong kosong. Kenyataannya memang seperti itu. Caena terkenal sebagai gadis cantik, baik, perhatian, lembut dan penuh kasih. Ia tidak pernah memperlihatkan raport buruk selama hidupnya."Seandainya engkau tahu Pah, Mah. Aku bukanlah wanita seperti yang kalian ucapkan. Kalau saja kalian tahu semua hal tentang ku, pasti kalian akan sangat kecewa denganku," batin Caena sembari meneteskan air mata. Sungguh, ia tidak mampu lagi menahan air matanya. Hatinya sungguh remuk saat ini. Dengan alasan apalagi ia akan menolak pernikahan sedangkan umurnya semakin bertambah seiring berjalannya waktu."Maafkan Caena Pah, maafkan Caena Mah." Setelah mengucapkan kata maaf, Caena beranjak pergi dari ruang tamu tersebut lalu menuju kamarnya. Kamar yang menjadi saksi bisu atas segala perbuatan dan misteri kelam yang telah ia simpan selama ini. Tidak ada yang pernah tahu tentang apa yang terjadi di dalam kamar bersegi empat itu.
***Esok harinya, seperti biasa Caena berangkat ke kantor menggunakan mobil kesayangannya. Caena bekerja di salah satu perusahaan peternakan yang ada di kotanya, ia menjabat sebagai manajer di sana.
"Selamat pagi bu Caena," sapa asistennya dengan ramah."Selamat pagi, Cidia. Apa kamu sudah menyelesaikan laporan yang saya minta kemarin?" tanya Caena dengan sopan dan lembut. "Sudah bu. Laporan tentang pengawasan bibit ternak yang ibu Caena minta kemarin sudah saya siapkan di atas meja ibu," jawab Cidia sembari menunduk. Ia sangat menghargai manajer di hadapannya ini. Wanita yang selalu baik dan ramah, belum lagi kecantikannya yang mengalahkan artis. "Baguslah." Caena melangkahkan kakinya dengan anggun. Namun sebelum Caena memegang gagang pintu ruangannya untuk masuk, ia pun membalikkan tubuhnya."Oh iya, Cidia. Tolong lain kali jangan menunduk di hadapan saya. Kamu harus bersikap biasa saja dan berdiri dengan tegak. Saya bukan orang yang pantas mendapatkan hormat mu," ucap Caena rendah hati sembari mengeluarkan senyum manisnya. Senyuman yang membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh hati.Caena selalu merasa bahwa dirinya bukanlah wanita baik-baik yang pantas di perlakukan dengan hormat. Status manajer yang melekat pada jabatannya saat ini pun, bukanlah hal yang patut ia banggakan. Bagi Caena, semua manusia itu memiliki status yang sama.
"Ah, baik bu Caena," ujar Cidia sembari membalas senyuman Caena. Cidia tidak ingin berdebat panjang dengan Caena. Sebab, selama ini Cidia selalu berusaha mengatakan kenyataan bahwa Caena memang pantas di perlakukan demikian namun Caena selalu punya cara untuk menyangkal hal itu. Jadi kali ini, Cidia hanya ingin diam saja dan mematuhi apa yang di inginkan oleh manajernya tersebut.
"Kalau saja aku laki-laki. Pasti sejak dulu aku sudah melamarnya," gumam Cidia setelah beberapa saat Caena memasuki ruangannya.Di dalam ruangan yang sangat sejuk dan nyaman tersebut, Caena berusaha membaca baik-baik semua laporan yang telah tersedia di atas mejanya. Tidak lupa, sesekali Caena menyesap teh yang menemaninya pagi ini. Sungguh, nikmat yang tidak bisa di ungkapkan. Tapi tiba-tiba kenikmatan itu seketika buyar tatkala sebuah panggilan masuk dari Arachis Pintoi, ayahnya."Halo Papa, ada apa telpon Caena pagi-pagi? Padahal belum dua jam loh kita berpisah di rumah. Apakah Papa sudah merindukan Caena?" ujar Caena dengan bahagia. Mengajak Arachis untuk bermain-main merupakan hal yang paling Caena sukai. Setidaknya, hal itu membuat Caena lupa akan masalah hidupnya."Halo Sayang. Benar sekali tuan putri. Papa sudah sangat merindukan anak Papa yang manja ini." Arachis pun berusaha untuk membalas gurauan Caena."Hahahah. Papa bisa saja," ujar Caena malu."Oh iya. Ada apa Papa menelpon?" lanjut Caena mulai serius."Caena, berhubung kamu tidak ingin menerima lamaran yang datang dari siapapun. Apakah kamu akan menerima pernikahan jika Papa dan Mama menjodohkanmu dengan anak dari teman baik Papa?" tanya Arachis yang terdengar sekali bahwa ia berharap akan mendapatkan jawaban iya dari anaknya.Sejenak Caena terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Bukan masalah pada prianya, tapi masalah itu ada padanya. Hati Caena di penuhi ketakutan ketika pembicaraan pernikahan dilangsungkan. Ada banyak hal yang Caena takutkan. Namun kali ini, ia harus mencoba bangkit. Caena berharap agar pria yang di maksud ayahnya adalah pria yang bisa menerima dirinya."Terserah Papa dan Mama. Tapi Pah, apakah aku bisa bertemu dulu dengan anak teman Papa? Ada hal yang ingin aku bic~""Baiklah. Papa akan mengatur pertemuanmu dengan anak teman Papa itu. Kalau begitu, silakan lanjutkan pekerjaan mu anak kesayangan Papa. Dadah," ucap Arachis memotong ucapan Caena lalu memutuskan sambungan telponnya dengan Caena."Iya Pah, Dadah."Tut Tut Tut"Hufffff." Caena menarik napas kasar. Hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. Siapa pria yang akan menerima wanita sehina dirinya? Adakah laki-laki yang akan benar-benar tulus menerima apa adanya dirinya? Selama ini, Caena tidak pernah menemukan pria seperti itu. Mungkin itulah yang membuatnya putus asa dengan cinta. Kata cinta selalu saja menjebaknya hingga pada akhirnya membuat Caena menyerah dan takut untuk membuka hatinya.***
“Kamu sudah pulang, Sayang?” sambut Setaria memeluk Caena dengan hangat.
“Mereka siapa Mah?” tanya Caena bingung dengan adanya sepasang wanita dan pria di rumahnya yang belum pernah Caena lihat sebelumnya. Caena langsung melepas pelukannya dari sang Mama.“Itu~” ucapan Setaria terpotong ketika seorang pria hadir di tengah-tengah kedua pasangan tersebut. Dan sungguh, Caena terkejut melihat pria yang sungguh tidak asing baginya.
“Kamu~” Caena menunjuk pria itu bingung namun sembari berpikir. “Leucaena,” gumam pria itu dan membuang wajahnya malu. Seperti seseorang yang sudah lama memendam rasa dan sekarang berhadapan dengan pihak yang ia sukai. Caena berpikir keras, dimana ia pernah melihat pria di hadapannya ini. Seketika ada percikan rindu di hati Caena. Ah, rupanya dia pria itu.“Centrosema Pubescens.”...To Be Continued...
“Rupanya kalian sudah saling kenal. Baguslah kalau seperti itu. Sepertinya perjodohan ini akan menjadi lebih mudah,” ujar Arachis dengan perasaan senang.“Iya. Syukurlah kalau seperti itu.” Seorang pria yang sepertinya ayah Sema menyambut senang perkataan Arachis.Ke empat orang itu saling ngobrol dengan gembira. Bertukar kabar dan membanggakan anaknya masing-masing. Sedangkan kedua insan itu hanya terdiam membisu tanpa mengatakan apapun. Caena membuang wajahnya, hatinya takut sekaligus senang bertemu kembali dengan Sema. Pria yang sebenarnya pernah ada di hati Caena, namun karena dirinya tidak siap maka lagi-lagi itu menjadi penghalangnya untuk maju dan bersikap dingin kepada pria itu.Sedangkan Sema sendiri, Sema terus menatap Caena, sungguh Sema rindu dengan wanita di hadapannya ini. Dua tahun berpisah membuat Sema tidak mampu untuk menahan dirinya lagi, apalagi sekarang ia tahu bahwa Caena adalah wanita yang akan di jodohkan dengannya
ZrasshhCaena melepas pelukannya dari Sema, dengan wajah memerah karena malu. Sudah terlalu lama keduanya berpelukan. Dan pertanyaan Sema tentang apakah Caena membencinya membuat Caena langsung melepas pelukan itu. Caena tidak ingin Sema mengetahui perasaannya terlalu dini. Apalagi, Caena sudah berusaha menutupi perasaan itu sejak lama.“Ayo turun, mereka pasti sudah menunggu kita,” ajak Caena dengan suara yang datar. Berjalan membelakangi Sema yang berdiri dengan perasaan yang campur aduk, antara bahagia, senang dan juga sedih. Sema masih berharap pelukan itu tidak segera di lepaskan oleh Caena. Tapi ini juga salahnya, kenapa juga ia harus bertanya hal yang aneh pada Caena.Huff, baiklah. Sema pun melangkah mengikuti Caena yang berjalan di depannya. Suasana begitu canggung tanpa seorang pun di antara mereka yang berusaha mencairkannya. Sampai mereka tiba di ruang makan.“Hei, calon pengantin. Kenapa lama sekali di atas?” god
“Kalau kamu belum yakin. Maka tolong beri aku kesempatan untuk mengenal mu lebih jauh lagi Caena. Jangan tutupi hatimu terhadap datangnya cinta. Aku tidak mau kamu tersiksa dan kesusahan.”Caena melepas pelukannya dari Sema, wajah Caena memerah karena malu. Caena langsung membuang wajahnya dan bangkit dari duduknya lalu berdiri menghadap ke arah luar jendela.“Kamu terlalu baik untuk orang sepertiku, Sem. Masih banyak wanita baik-baik yang menginginkanmu di luar sana. Biarkan aku dengan kesendirian ku.” Caena tetap kekeuh dengan keputusannya untuk mendorong Sema pergi.“Jika menurutmu aku terlalu baik, maka aku akan menjadi orang jahat untuk bisa bersamamu,” tekad Sema tidak pernah padam. Caena tertawa mendengar pernyataan Sema.“Hahahah. Kamu tidak akan pernah bisa menjadi orang jahat Sem. Aku tahu kamu,” ucap Caena yang langsung membuka peluang untuk Sema.“Berarti kamu mengaku kan, kalau sela
“Caena, kamu mau pesan menu apa?”Saat ini, Caena dan Sema telah berada di salah satu kafe yang ada di bawah samping kantor Caena. Setelah perbincangan yang sangat manis tadi, Caena memutuskan untuk mulai membuka hatinya. Jikapun suatu saat Sema ingin mundur, setidaknya Caena telah berusaha untuk menghindar terlebih dahulu agar ia memiliki alasan bahwa bukan diri Caena yang mengejar-ngejar Sema.“Ada nasi goreng mawut, enggak?” tanya Caena. Nasi goreng mawut spesial yang menjadi andalan Caena. Ia sangat suka menu ini. Tidak terhitung sudah berapa kali dalam seminggu ia terus memesan menu yang sama. Dan Sema pun ingat tentang kebiasaan Caena yang selalu memesan menu itu setiap Caena di kampus dulu. Namun kini Sema ragu, mungkin saja selera Caena telah berubah namun nyatanya tidak.“Kamu enggak berubah yah!” tutur Sema sembari tersenyum manis. Pria di hadapan Caena ini tampan sekali.“Berubah kok,&
“Aku tidak tahu, kamu memiliki hubungan apa dengan Caena di masa lalu. Tapi di masa ini dan di masa depan nanti. Caena adalah milik ku. Bagaimana pun masa lalunya,” desis Sema sarkastik namun tetap berusaha bersikap tenang.Setelah mengucapkan apa yang ingin ia katakan, Sema pun melangkah pergi ke dalam mobilnya dan membawa Caena pergi dari tempat tersebut.“Brengsek!!!”Chromolaena teriak sembari marah-marah. Meja-meja dan juga kursi yang ada di kafe tersebut tidak lepas dari amukannya. Baru kali ini Chromolaena merasa di tantang oleh pria yang dekat dengan Caena.Selama ini, setiap pria yang berusaha untuk datang mendekat pada Caena pasti akan selalu terkena masalah. Dan pria-pria lemah itu akan dengan liciknya mundur begitu saja. Hingga pada akhirnya, yang terkena sasaran pembatalan lamaran adalah Caena.Caena selalu menutupi semua itu dengan usahanya merendahkan dirinya sendiri. Semua itu Caena lakukan
Kriiiing. “Halo Sayang, kok kamu tumben telpon Papah pada saat masih jam kantor seperti ini?” sapa Arachis sembari bertanya pada istrinya, Setaria. “Pah, kamu sudah di hubungi oleh Caena apa belum?” tanya Setaria dengan suara yang terdengar khawatir dan gelisah. “Belum Mah. Memangnya Caena kenapa?” Arachis mulai ikutan khawatir. “Tadi Cidia telpon Mama, Pah. Katanya, ada seorang pria yang datang marah-marah ke kafe samping kantornya Caena. Dan di sana, terlihat pria itu sedang bertengkar dengan Caena dan juga Sema. Cidia bilang, Caena terlihat sangat ketakutan. Dan sekarang, handphone Caena tidak Aktif, Pah. Duh Pah, Mama khawatir banget sama anak kita, Caena. Mama takut Caena kenapa-napa Pah, hiks,” cerita Setaria sembari meneteskan air mata karena khawatir kepada anak tercinta. “Siapa laki-laki yang di maksud itu? Apa mungkin... “ batin Arachis, tapi terpotong dengan suara khawatir Setaria di seberang telpon. “Pah, jadi gimana