“Kalau kamu belum yakin. Maka tolong beri aku kesempatan untuk mengenal mu lebih jauh lagi Caena. Jangan tutupi hatimu terhadap datangnya cinta. Aku tidak mau kamu tersiksa dan kesusahan.”
Caena melepas pelukannya dari Sema, wajah Caena memerah karena malu. Caena langsung membuang wajahnya dan bangkit dari duduknya lalu berdiri menghadap ke arah luar jendela.
“Kamu terlalu baik untuk orang sepertiku, Sem. Masih banyak wanita baik-baik yang menginginkanmu di luar sana. Biarkan aku dengan kesendirian ku.” Caena tetap kekeuh dengan keputusannya untuk mendorong Sema pergi.
“Jika menurutmu aku terlalu baik, maka aku akan menjadi orang jahat untuk bisa bersamamu,” tekad Sema tidak pernah padam. Caena tertawa mendengar pernyataan Sema.
“Hahahah. Kamu tidak akan pernah bisa menjadi orang jahat Sem. Aku tahu kamu,” ucap Caena yang langsung membuka peluang untuk Sema.
“Berarti kamu mengaku kan, kalau selama kuliah kamu memperhatikanku?” tebak Sema yang seketika membuat wajah Caena kembali memerah.
“Ah sudahlah, aku tidak ingin membahas itu.” Caena lelah dan meninggalkan Sema sendirian di dalam ruangannya.
***
“Chrom, kamu sudah dapat kabar dari mantan tetangga rumahmu yang dulu?” tanya seorang pria pada Chrom yang saat ini sedang menghisap air dari pohonnya. Seketika Chrom melepaskan wanita itu pergi dari hadapannya. Karena Chrom tahu, yang di maksud temannya sebagai mantan tetangganya itu adalah Caena.
“Ada kabar apa dari Caena?” tanya Chrom sedikit penasaran
“Kemarin dia di jodohkan oleh orang tuanya. Aku juga sempat melihat wajah dari lelaki yang akan di jodohkan dengan Caena,” jelas pria itu.
“Digo, bagaimana tampang pria itu? Apa dia lebih tampan dariku?” ujar Chrom seketika narsis.
“Hmm. Kalau itu sih,,” lelaki yang di panggil Digo itu agak ragu untuk mengatakan kebenarannya.
“Kamu bilang saja, lagipula lelaki itu tidak akan datang memukulmu hanya karena kamu mengejek tampangnya,” sindir Chrom pedas.
“Tapi bukan itu masalahnya Chrom.”
“Terus? Enggak mungkin kan dia lebih tampan dariku?”
“Kenyataannya memang seperti itu. Bahkan seperti langit dan bumi,” gumam Digo tapi masih terdengar di telinga Chrom.
“APA?” Chrom kaget setengah mati. Bagaimana mungkin lelaki tampan yang melebihi ketampanannya datang melamar Caena, wanita yang pernah menjadi milik Chrom dulunya.
“Itu tidak boleh terjadi. Caena harus tetap kembali ke pelukanku,” batin Chrom dengan berapi-api. Chrom sudah bertekad untuk membuat hubungan Caena dengan pria manapun tidak akan pernah berjalan dengan lancar. Karena menurut Chrom, sejauh apapun Caena melangkah pergi pada akhirnya Caena harus kembali padanya. Hanya Caena yang bisa menjadi istri dari seorang Chromolaena Odorata.
***
Cklek
“Kamu belum pergi?” tanya Caena yang baru saja kembali dari ruangannnya dengan membawa minuman untuk Sema. Setelah Caena berada di luar dan meninggalkan Sema sendirian, hati Caena sangat resah dan merasa bersalah. Sema bukan orang yang pantas untuk ia perlakukan seperti itu. Dan apa salahnya, Caena membuka hatinya untuk Sema. Mungkin saja, Sema benar-benar bisa menerima Caena seutuhnya meskipun dengan kenyataan bahwa dalam diri Caena tidak sepenuhnya utuh, ada bagian gelap dalam dirinya yang coba Caena tutupi. Kenyataan tentang kehidupan masa lalunya yang tidak ada siapapun yang tahu, kecuali Tuhan, dirinya dan juga pria itu.
“Aku menunggu mu, Na. Kamu tega sekali meninggalkanku,” ujar Sema dengan sikap yang manja. Sejak kapan Sema memiliki sikap manja seperti itu.
“Maaf, tadi aku keluar untuk mengambil minuman untukmu,” tutur Caena sedikit berbohong, meskipun bukan itu tujuan awalnya saat keluar tadi. Caena meletakkan secangkir teh di campur susu di atas meja untuk di suguhkan kepada Sema.
“Silakan di minum,” tawar Caena. Sema pun menyesap sedikit teh yang di suguhkan oleh Caena.
“Enak. Aku ingin kamu membuatkanku ini setiap pagi,” ucap Sema yang seperti sedang memutuskan masa depannya bersama Caena.
“Bukan aku, tapi istrimu nanti,” elak Caena meskipun hatinya sudah berdebar tidak karuan.
“Kan kamu yang akan menjadi istriku,” goda Sema membuat Caena memalingkan wajahnya.
“Jangan mengatakan hal seperti itu lagi. Kamu tidak akan sanggup hidup bersama wanita sepertiku Sem.”
“Kamu yang jangan bilang seperti itu lagi Caena. Jangan rendahkan diri mu. Karena sesungguhnya kamu sangat tinggi di hadapan cintaku. Sampai membuatku begitu kesusahan untuk menggapaimu.” Sema tidak mau mengalah terus, ia harus tegas di hadapan Caena yang sikapnya berubah-rubah seperti bunglon, bunglon yang manis.
Wajah Caena memerah bak kepiting rebus mendengar pernyataan Sema yang menurut Caena sudah kelewat romantis.
Hening.
“Caena, kamu tahu! Aku sudah menunggu jawaban mu sejak lama. Bahkan sejak aku belum tahu kalau kamu akan di jodohkan denganku. Aku bertemu denganmu saat di kuliah dulu. Berkali-kali aku berusaha untuk mengejarmu, namun hasilnya selalu nihil. Aku bahkan menggunakan Nia, sahabatmu untuk menyampaikan betapa dalamnya perasaan ku. Dan Nia mengatakan padaku, bahwa sebenarnya kamu pun telah mencintaiku sejak lama. Tapi aku bingung, kenapa kamu harus pergi jika memang cinta padaku.” Sema mulai bercerita tentang perjalanannya untuk menggapai Caena. Tapi sepertinya, Caena malah lebih perhatian kepada nama Nia yang di maksud oleh Sema.
“Nia yang mana?” tanya Caena bingung. Karena Caena memiliki dua sahabat yang namanya sama.
“Sesbania Grandiflora.” Caena megangguk paham atas jawaban Sema. Pantas saja, selama ini Nia selalu bertanya padanya tentang perasaannya pada Sema.
“Rupanya kamu penguntit,” celetuk Caena membuat Sema tertawa.
“Hahahah. Maafkan aku. Aku lakukan itu semata-mata untuk mencari peluang untuk mendapatkanmu,” ujar Sema jujur.
“Hmm. Kenapa kamu begitu menginginkanku Sem? Padahal ada banyak wanita di luaran sana yang menginginkanmu,” tanya Caena penuh harap terhadap jawaban Sema. Mungkin jawaban Sema kali ini, bisa menjadi patokan untuk Caena mulai membuka hatinya yang selama ini berusaha untuk ia tutupi.
“Karena aku mencintaimu sudah sejak lama. Saat pertama kali aku bertemu denganmu ketika masa orientasi maba, aku sudah jatuh hati denganmu, Na. Walau beribu-ribu wanita manapun yang datang padaku, tapi Leucaena Leucocephala juga yang tetap aku pilih.”
Deg.
Krak
Hati Caena yang semula membeku seperti gunung es, seketika runtuh dan mulai retak.
“Mungkinkah Sema yang akan menjadi pelabuhan terakhir dari cintaku?” batin Caena ragu dengan perasaannya.
***
“Halo Arachis, bagaimana kabarmu dan keluarga?” tanya Calopogonium yang siang ini mengunjungi Arachis ke kantornya.
“Alhamdulillah, aku dan keluarga baik-baik saja. Bagaimana dengan Sema? Apakah dia sudah mencairkan es di hati anak ku Caena?” ujar Arachis kembali bertanya.
“Sedikit sukses. Tadi aku di kirimi pesan oleh Sema. Katanya, mereka sedang makan siang bersama. Karena anak kita sedang makan siang bersama, bagaimana kalau misalkan kita juga makan siang bersama?” tawar Calopogonium dengan hati yang gembira.
“Baiklah. Kita rayakan kebersamaan anak-anak kita,” sambut Arachis yang juga ikut senang mendengar berita bahagia tersebut.
“Yah, mari kita pergi.”
Keduanya pun berjalan menuju sebuah rumah makan yang letaknya sekitar setengah kilometer dari kantornya. Rumah makan ini, terkenal dengan rasanya yang enak. Dan tidak di sangka, di samping rumah makan tersebut, Arachis melihat seorang pria yang sangat di kenalnya sedang saling memagut dan menempelkan diri dengan penuh hawa napsu. Seketika Arachis ingin muntah dan segera masuk ke dalam rumah makan.
... To be continued ...
“Caena, kamu mau pesan menu apa?”Saat ini, Caena dan Sema telah berada di salah satu kafe yang ada di bawah samping kantor Caena. Setelah perbincangan yang sangat manis tadi, Caena memutuskan untuk mulai membuka hatinya. Jikapun suatu saat Sema ingin mundur, setidaknya Caena telah berusaha untuk menghindar terlebih dahulu agar ia memiliki alasan bahwa bukan diri Caena yang mengejar-ngejar Sema.“Ada nasi goreng mawut, enggak?” tanya Caena. Nasi goreng mawut spesial yang menjadi andalan Caena. Ia sangat suka menu ini. Tidak terhitung sudah berapa kali dalam seminggu ia terus memesan menu yang sama. Dan Sema pun ingat tentang kebiasaan Caena yang selalu memesan menu itu setiap Caena di kampus dulu. Namun kini Sema ragu, mungkin saja selera Caena telah berubah namun nyatanya tidak.“Kamu enggak berubah yah!” tutur Sema sembari tersenyum manis. Pria di hadapan Caena ini tampan sekali.“Berubah kok,&
“Aku tidak tahu, kamu memiliki hubungan apa dengan Caena di masa lalu. Tapi di masa ini dan di masa depan nanti. Caena adalah milik ku. Bagaimana pun masa lalunya,” desis Sema sarkastik namun tetap berusaha bersikap tenang.Setelah mengucapkan apa yang ingin ia katakan, Sema pun melangkah pergi ke dalam mobilnya dan membawa Caena pergi dari tempat tersebut.“Brengsek!!!”Chromolaena teriak sembari marah-marah. Meja-meja dan juga kursi yang ada di kafe tersebut tidak lepas dari amukannya. Baru kali ini Chromolaena merasa di tantang oleh pria yang dekat dengan Caena.Selama ini, setiap pria yang berusaha untuk datang mendekat pada Caena pasti akan selalu terkena masalah. Dan pria-pria lemah itu akan dengan liciknya mundur begitu saja. Hingga pada akhirnya, yang terkena sasaran pembatalan lamaran adalah Caena.Caena selalu menutupi semua itu dengan usahanya merendahkan dirinya sendiri. Semua itu Caena lakukan
Kriiiing. “Halo Sayang, kok kamu tumben telpon Papah pada saat masih jam kantor seperti ini?” sapa Arachis sembari bertanya pada istrinya, Setaria. “Pah, kamu sudah di hubungi oleh Caena apa belum?” tanya Setaria dengan suara yang terdengar khawatir dan gelisah. “Belum Mah. Memangnya Caena kenapa?” Arachis mulai ikutan khawatir. “Tadi Cidia telpon Mama, Pah. Katanya, ada seorang pria yang datang marah-marah ke kafe samping kantornya Caena. Dan di sana, terlihat pria itu sedang bertengkar dengan Caena dan juga Sema. Cidia bilang, Caena terlihat sangat ketakutan. Dan sekarang, handphone Caena tidak Aktif, Pah. Duh Pah, Mama khawatir banget sama anak kita, Caena. Mama takut Caena kenapa-napa Pah, hiks,” cerita Setaria sembari meneteskan air mata karena khawatir kepada anak tercinta. “Siapa laki-laki yang di maksud itu? Apa mungkin... “ batin Arachis, tapi terpotong dengan suara khawatir Setaria di seberang telpon. “Pah, jadi gimana
"Ada apa sebenarnya dengan mu Leucaena Leucocephala ? Kenapa kamu tidak mau menerima lamaran dari pria baik seperti Calliandra callothyrsus! Pria seperti apalagi yang kamu inginkan!" ujar Arachis Pintoi ayah dari Caena.Sejujurnya, sebagai orang tua Arachis sangat lelah dengan sikap dingin anaknya terhadap pria manapun. Padahal, Caena adalah wanita yang terlihat sangat ceria dan terbuka pada siapapun dan dalam hal apapun, namun ketika membicarakan tentang pernikahan, Caena seperti mati rasa dan tidak ingin membahasnya."Maafkan Caena Papa. Caena hanya belum siap untuk menikah." Jawaban yang sama seperti beberapa minggu yang lalu. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali Caena di lamar oleh banyak pria. Para pria yang melamarnya bukanlah berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Melainkan dari keluarga terhormat, orang kaya dan pebisnis-pebisnis sukses. Namun, tidak ada satupun yang dapat meyakinkan hatinya untuk menerima salah satu dari mereka.
“Rupanya kalian sudah saling kenal. Baguslah kalau seperti itu. Sepertinya perjodohan ini akan menjadi lebih mudah,” ujar Arachis dengan perasaan senang.“Iya. Syukurlah kalau seperti itu.” Seorang pria yang sepertinya ayah Sema menyambut senang perkataan Arachis.Ke empat orang itu saling ngobrol dengan gembira. Bertukar kabar dan membanggakan anaknya masing-masing. Sedangkan kedua insan itu hanya terdiam membisu tanpa mengatakan apapun. Caena membuang wajahnya, hatinya takut sekaligus senang bertemu kembali dengan Sema. Pria yang sebenarnya pernah ada di hati Caena, namun karena dirinya tidak siap maka lagi-lagi itu menjadi penghalangnya untuk maju dan bersikap dingin kepada pria itu.Sedangkan Sema sendiri, Sema terus menatap Caena, sungguh Sema rindu dengan wanita di hadapannya ini. Dua tahun berpisah membuat Sema tidak mampu untuk menahan dirinya lagi, apalagi sekarang ia tahu bahwa Caena adalah wanita yang akan di jodohkan dengannya
ZrasshhCaena melepas pelukannya dari Sema, dengan wajah memerah karena malu. Sudah terlalu lama keduanya berpelukan. Dan pertanyaan Sema tentang apakah Caena membencinya membuat Caena langsung melepas pelukan itu. Caena tidak ingin Sema mengetahui perasaannya terlalu dini. Apalagi, Caena sudah berusaha menutupi perasaan itu sejak lama.“Ayo turun, mereka pasti sudah menunggu kita,” ajak Caena dengan suara yang datar. Berjalan membelakangi Sema yang berdiri dengan perasaan yang campur aduk, antara bahagia, senang dan juga sedih. Sema masih berharap pelukan itu tidak segera di lepaskan oleh Caena. Tapi ini juga salahnya, kenapa juga ia harus bertanya hal yang aneh pada Caena.Huff, baiklah. Sema pun melangkah mengikuti Caena yang berjalan di depannya. Suasana begitu canggung tanpa seorang pun di antara mereka yang berusaha mencairkannya. Sampai mereka tiba di ruang makan.“Hei, calon pengantin. Kenapa lama sekali di atas?” god