Home / Romansa / Buka Hatimu, Untukku! / Debaran yang Pernah Ada

Share

Debaran yang Pernah Ada

“Rupanya kalian sudah saling kenal. Baguslah kalau seperti itu. Sepertinya perjodohan ini akan menjadi lebih mudah,” ujar Arachis dengan perasaan senang.

“Iya. Syukurlah kalau seperti itu.” Seorang pria yang sepertinya ayah Sema menyambut senang perkataan Arachis.

Ke empat orang itu saling ngobrol dengan gembira. Bertukar kabar dan membanggakan anaknya masing-masing. Sedangkan kedua insan itu hanya terdiam membisu tanpa mengatakan apapun. Caena membuang wajahnya, hatinya takut sekaligus senang bertemu kembali dengan Sema. Pria yang sebenarnya pernah ada di hati Caena, namun karena dirinya tidak siap maka lagi-lagi itu menjadi penghalangnya untuk maju dan bersikap dingin kepada pria itu.

Sedangkan Sema sendiri, Sema terus menatap Caena, sungguh Sema rindu dengan wanita di hadapannya ini. Dua tahun berpisah membuat Sema tidak mampu untuk menahan dirinya lagi, apalagi sekarang ia tahu bahwa Caena adalah wanita yang akan di jodohkan dengannya.

“Kenapa harus kamu, Sem!” batin Caena di tengah kehebohan yang terjadi.

“Aku tidak ingin menyakiti mu dengan diriku. Diriku yang hina dan nista, tidak pantas bersanding dengan pria baik seperti mu. Aku serasa begitu jauh dari setiap hal yang kamu harapkan kelak. Bagaimana aku akan menjelaskan semua hal tentang ku dan masa lalu ku yang bisa saja tidak akan kamu terima.”

Seketika Caena meneteskan air mata. Di tengah keramaian ia merasa sepi. Sendiri memikirkan semua hal yang terjadi, ketakutan, kehampaan, duka dan lara semua melingkupi hatinya. Tanpa Caena sadari, Sema melihat air mata itu. Hati Sema ikut tersayat melihat wanita yang ia rindukan menangis karena kehadirannya.

“Mungkinkah tidak ada sama sekali diriku dalam hatimu, Caena. Apa begitu sulit untukmu tersenyum ketika aku datang? Setidaknya, sambutlah aku dengan senyuman sebagai teman kampusmu dulu. Itu saja sudah cukup untukku.” Sema membatin.

“Eh, Ngomong-ngomong sekarang Caena kerja dimana, Sayang?”tanya Cilindrica, mama Sema.

“Saya kerja di perusahaan peternakan yang ada di kota ini tante,” jawab Caena sopan, setelah ia menghapus air matanya tanpa di ketahui oleh siapapun kecuali Sema yang memperhatikannya sejak tadi.

“Wah, hebat banget kamu. Kamu bisa masuk di perusahaan yang sesuai dengan jurusan kamu yah. Beda sama Sema, dia malah bekerja di perusahaan Papa nya.” Ucapan Cilindrica membuat Sema bersuara.

“Kan sama-sama kerja Mah. Yang enggak bagus itu, kalau aku pengangguran,” tutur Sema dingin. Itulah Sema, pria itu sangat dingin jika berhadapan dengan banyak orang. Dan hanya kepada satu wanita ia akan bersikap hangat, hanya pada Caena.

“Iya iya. Kamu enggak usah dingin gitu juga kali Sem,” sindir Cilindrica sedikit kesal dengan sikap anaknya ini. Menurut Cilindrica, Sema tidak tahu tempat. Harusnya ia jangan bersikap dingin seperti itu di hadapan calon istri dan mertuanya. Untung Arachis dan Calopogonium, ayah Sema sudah izin pergi ke ruangan kantor rumah Arachis, kalau tidak, mungkin Sema sudah mendapatkan tatapan tajam dari papanya yang bisa jadi lebih parah dari yang ia dapatkan dari sang mama. 

Sema hanya diam saja mendapat sindiran dari Mama nya. Sedang Setaria hanya tertawa melihat tingkah ibu dan anak itu.

“Jeng, kita ke dapur yuk. Pergi cek apa makanannya udah siap apa belum,” ajak Setaria pada Cilindrica. Keduanya seperti sedang memiliki maksud agar kedua orang itu bisa mengobrol dengan hangat. Tapi sebelum Setaria dan Cilindrica bangun dan melangkah pergi. Caena terlebih dahulu bangun dari duduknya.

“Mah, aku izin ke kamar dulu yah. Mau mandi dan ganti baju.” Sejak tadi Caena sedikit risih dengan badannya yang sudah agak lengket karena sepulang kerja belum sempat membersihkan diri dan mengganti pakaian di sebabkan Setaria dan Arachis menghalanginya sementara untuk berkenalan dengan keluarga Sema.

“Iya Sayang, baiklah.” Ketiganya pun sama-sama beranjak dari ruang tamu tersebut meninggalkan Sema sendirian.

Sema yang duduk sendiri mulai merasakan bosan, ia pun mencoba jalan dan melihat-lihat isi rumah Caena. Foto-foto Caena terpajang dengan rapi di ruang tamu tersebut. Berdasarkan foto-foto tersebut, Sema menyimpulkan bahwa Caena memiliki saudara laki-laki. Dan sepertinya, saudara laki-lakinya sudah menikah, terlihat saudara Caena sedang menggendong seorang bayi laki-laki dengan seorang perempuan.

“Cantik, seperti biasa,” gumam Sema mengagumi foto Caena ketika memakai baju putih abu-abu dan di sampingnya ada foto Caena yang terlihat modis menggunakan pakaian kerjanya. Sema berdiri sembari melamun memegangi salah satu bingkai foto Caena.

“Caena belum turun, Sem?” tanya Setaria membuyarkan lamunan Sema.

“Belum tante, mungkin masih belum selesai, “ ujar Sema tersenyum kikuk lalu dengan cepat menyimpan kembali bingkai foto yang di pegangnya. Sedang Setaria tersenyum penuh makna.

“Apa kamu bisa naik ke atas dan memanggil Caena?” tawar Setaria dengan wajah yang berpura-pura polos. Namun hatinya begitu di penuhi dengan tipu muslihat.

“Apa Caena tidak akan marah Tante?” ucap Sema ragu. Ia takut wanita itu akan tambah kesal pada Sema dan lebih parahnya akan membatalkan perjodohan mereka. Sema tidak mau itu terjadi, apalagi ia sudah menyimpan perasaan dalam waktu yang cukup lama terhadap Caena.

“Tidak akan, percayalah. Lagipula, kalau Caena marah, kamu bilang saja bahwa tante yang nyuruh kamu memanggilnya. Kalau gitu, tante tunggu di ruang makan yah,” ujar Setaria lalu beranjak pergi dari hadapan Sema.

“Baiklah tante.” Sema pun melangkah dengan sangat hati-hati, menaiki tangga menuju kamar Caena. Hatinya di penuhi dengan perasaan yang berdebar. Debaran yang dulunya pernah ada hanya untuk Caena seorang.

Tok tok tok

Sema mengetuk pintu kamar Caena tanpa Membuka suara sedikitpun. Ia ingin mendengar suara Caena lebih lama, itulah sebabnya ia diam.

“Siapa?” teriak Caena dari dalam kamar. Dan Sema hanya terdiam dengan wajahnya yang di penuhi dengan senyuman.

Cklek

Suara pintu yang mulai terbuka, seketika membuat hati Sema bingung dan wajahnya pucat.

“Mam~ yah.” Caena kaget setengah mati. Ia mengira bahwa yang mengetuk pintunya adalah Setaria, namun rupanya Sema. Melihat wajah Sema ada di hadapannya, Caena pun segera menutup pintu dengan cepat.

Brak.

Deg.

Sema kaget seketika dengan sikap Caena yang langsung menutup pintu kamarnya karena kedatangan dirinya. Apa segitunya Caena tidak ingin melihat Sema? Atau apa mungkin ada alasan lain? Tapi Sema tidak ingin diam saja, ia harus mencari tahu sebabnya. 

“Caena, buka pintunya, aku mohon," ujar Sema berharap. Sementara tidak ada jawaban. Caena sedang memantapkan hatinya, ia tidak boleh goyah dengan lelaki manapun, termasuk Sema. Meskipun hati kecil Caena memintanya untuk menerima pria itu. 

“Ada apa?” tanya Caena dengan dingin. 

“Tante Setaria menyuruhku memanggil mu turun untuk makan bersama. Bisakah kamu turun bersamaku? Setidaknya untuk menjaga perasaan orang tua kita,” jelas Sema

“Huff” Caena menarik napasnya dengan lemah. Ia tidak ingin menyakiti siapapun apalagi orang tuanya. Dan Sema sudah memakai alasan yang tepat untuk membuat Caena keluar dari kamarnya 

Cklek. 

Pluk. 

Sesaat ketika Caena membuka pintu kamarnya. Sema langsung memeluk Caena. Sedari tadi ia menahan perasaannya agar tidak memeluk wanita di hadapannya ini. Sema menumpahkan semua kerinduannya melalui tubuhnya yang bersentuhan langsung dengan Caena. Serasa ada yang menggelitiknya di sana. Pelukannya untuk yang pertama kalinya sejak ia bertemu Caena beberapa tahun silam. Caena hanya terdiam di pelukan Sema, tanpa berusaha melepaskan ataupun membalas balik perasaan Sema. 

“Apa kamu begitu membenciku Caena?”

Deg. 

Tubuh Caena seketika menegang dengan pertanyaan absurd dari Sema. Mana mungkin Caena membenci pria di hadapannya ini? Di sebabkan cintalah yang membuatnya berusaha untuk menjauh dan bersikap dingin pada pria di pelukannya ini. 

... To Be Continued ... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status