“Rupanya kalian sudah saling kenal. Baguslah kalau seperti itu. Sepertinya perjodohan ini akan menjadi lebih mudah,” ujar Arachis dengan perasaan senang.
“Iya. Syukurlah kalau seperti itu.” Seorang pria yang sepertinya ayah Sema menyambut senang perkataan Arachis.
Ke empat orang itu saling ngobrol dengan gembira. Bertukar kabar dan membanggakan anaknya masing-masing. Sedangkan kedua insan itu hanya terdiam membisu tanpa mengatakan apapun. Caena membuang wajahnya, hatinya takut sekaligus senang bertemu kembali dengan Sema. Pria yang sebenarnya pernah ada di hati Caena, namun karena dirinya tidak siap maka lagi-lagi itu menjadi penghalangnya untuk maju dan bersikap dingin kepada pria itu.
Sedangkan Sema sendiri, Sema terus menatap Caena, sungguh Sema rindu dengan wanita di hadapannya ini. Dua tahun berpisah membuat Sema tidak mampu untuk menahan dirinya lagi, apalagi sekarang ia tahu bahwa Caena adalah wanita yang akan di jodohkan dengannya.
“Kenapa harus kamu, Sem!” batin Caena di tengah kehebohan yang terjadi.
“Aku tidak ingin menyakiti mu dengan diriku. Diriku yang hina dan nista, tidak pantas bersanding dengan pria baik seperti mu. Aku serasa begitu jauh dari setiap hal yang kamu harapkan kelak. Bagaimana aku akan menjelaskan semua hal tentang ku dan masa lalu ku yang bisa saja tidak akan kamu terima.”
Seketika Caena meneteskan air mata. Di tengah keramaian ia merasa sepi. Sendiri memikirkan semua hal yang terjadi, ketakutan, kehampaan, duka dan lara semua melingkupi hatinya. Tanpa Caena sadari, Sema melihat air mata itu. Hati Sema ikut tersayat melihat wanita yang ia rindukan menangis karena kehadirannya.
“Mungkinkah tidak ada sama sekali diriku dalam hatimu, Caena. Apa begitu sulit untukmu tersenyum ketika aku datang? Setidaknya, sambutlah aku dengan senyuman sebagai teman kampusmu dulu. Itu saja sudah cukup untukku.” Sema membatin.
“Eh, Ngomong-ngomong sekarang Caena kerja dimana, Sayang?”tanya Cilindrica, mama Sema.
“Saya kerja di perusahaan peternakan yang ada di kota ini tante,” jawab Caena sopan, setelah ia menghapus air matanya tanpa di ketahui oleh siapapun kecuali Sema yang memperhatikannya sejak tadi.
“Wah, hebat banget kamu. Kamu bisa masuk di perusahaan yang sesuai dengan jurusan kamu yah. Beda sama Sema, dia malah bekerja di perusahaan Papa nya.” Ucapan Cilindrica membuat Sema bersuara.
“Kan sama-sama kerja Mah. Yang enggak bagus itu, kalau aku pengangguran,” tutur Sema dingin. Itulah Sema, pria itu sangat dingin jika berhadapan dengan banyak orang. Dan hanya kepada satu wanita ia akan bersikap hangat, hanya pada Caena.
“Iya iya. Kamu enggak usah dingin gitu juga kali Sem,” sindir Cilindrica sedikit kesal dengan sikap anaknya ini. Menurut Cilindrica, Sema tidak tahu tempat. Harusnya ia jangan bersikap dingin seperti itu di hadapan calon istri dan mertuanya. Untung Arachis dan Calopogonium, ayah Sema sudah izin pergi ke ruangan kantor rumah Arachis, kalau tidak, mungkin Sema sudah mendapatkan tatapan tajam dari papanya yang bisa jadi lebih parah dari yang ia dapatkan dari sang mama.
Sema hanya diam saja mendapat sindiran dari Mama nya. Sedang Setaria hanya tertawa melihat tingkah ibu dan anak itu.
“Jeng, kita ke dapur yuk. Pergi cek apa makanannya udah siap apa belum,” ajak Setaria pada Cilindrica. Keduanya seperti sedang memiliki maksud agar kedua orang itu bisa mengobrol dengan hangat. Tapi sebelum Setaria dan Cilindrica bangun dan melangkah pergi. Caena terlebih dahulu bangun dari duduknya.
“Mah, aku izin ke kamar dulu yah. Mau mandi dan ganti baju.” Sejak tadi Caena sedikit risih dengan badannya yang sudah agak lengket karena sepulang kerja belum sempat membersihkan diri dan mengganti pakaian di sebabkan Setaria dan Arachis menghalanginya sementara untuk berkenalan dengan keluarga Sema.
“Iya Sayang, baiklah.” Ketiganya pun sama-sama beranjak dari ruang tamu tersebut meninggalkan Sema sendirian.
Sema yang duduk sendiri mulai merasakan bosan, ia pun mencoba jalan dan melihat-lihat isi rumah Caena. Foto-foto Caena terpajang dengan rapi di ruang tamu tersebut. Berdasarkan foto-foto tersebut, Sema menyimpulkan bahwa Caena memiliki saudara laki-laki. Dan sepertinya, saudara laki-lakinya sudah menikah, terlihat saudara Caena sedang menggendong seorang bayi laki-laki dengan seorang perempuan.
“Cantik, seperti biasa,” gumam Sema mengagumi foto Caena ketika memakai baju putih abu-abu dan di sampingnya ada foto Caena yang terlihat modis menggunakan pakaian kerjanya. Sema berdiri sembari melamun memegangi salah satu bingkai foto Caena.
“Caena belum turun, Sem?” tanya Setaria membuyarkan lamunan Sema.
“Belum tante, mungkin masih belum selesai, “ ujar Sema tersenyum kikuk lalu dengan cepat menyimpan kembali bingkai foto yang di pegangnya. Sedang Setaria tersenyum penuh makna.
“Apa kamu bisa naik ke atas dan memanggil Caena?” tawar Setaria dengan wajah yang berpura-pura polos. Namun hatinya begitu di penuhi dengan tipu muslihat.
“Apa Caena tidak akan marah Tante?” ucap Sema ragu. Ia takut wanita itu akan tambah kesal pada Sema dan lebih parahnya akan membatalkan perjodohan mereka. Sema tidak mau itu terjadi, apalagi ia sudah menyimpan perasaan dalam waktu yang cukup lama terhadap Caena.
“Tidak akan, percayalah. Lagipula, kalau Caena marah, kamu bilang saja bahwa tante yang nyuruh kamu memanggilnya. Kalau gitu, tante tunggu di ruang makan yah,” ujar Setaria lalu beranjak pergi dari hadapan Sema.
“Baiklah tante.” Sema pun melangkah dengan sangat hati-hati, menaiki tangga menuju kamar Caena. Hatinya di penuhi dengan perasaan yang berdebar. Debaran yang dulunya pernah ada hanya untuk Caena seorang.
Tok tok tok
Sema mengetuk pintu kamar Caena tanpa Membuka suara sedikitpun. Ia ingin mendengar suara Caena lebih lama, itulah sebabnya ia diam.
“Siapa?” teriak Caena dari dalam kamar. Dan Sema hanya terdiam dengan wajahnya yang di penuhi dengan senyuman.
Cklek
Suara pintu yang mulai terbuka, seketika membuat hati Sema bingung dan wajahnya pucat.
“Mam~ yah.” Caena kaget setengah mati. Ia mengira bahwa yang mengetuk pintunya adalah Setaria, namun rupanya Sema. Melihat wajah Sema ada di hadapannya, Caena pun segera menutup pintu dengan cepat.
Brak.
Deg.
Sema kaget seketika dengan sikap Caena yang langsung menutup pintu kamarnya karena kedatangan dirinya. Apa segitunya Caena tidak ingin melihat Sema? Atau apa mungkin ada alasan lain? Tapi Sema tidak ingin diam saja, ia harus mencari tahu sebabnya.
“Caena, buka pintunya, aku mohon," ujar Sema berharap. Sementara tidak ada jawaban. Caena sedang memantapkan hatinya, ia tidak boleh goyah dengan lelaki manapun, termasuk Sema. Meskipun hati kecil Caena memintanya untuk menerima pria itu.
“Ada apa?” tanya Caena dengan dingin.
“Tante Setaria menyuruhku memanggil mu turun untuk makan bersama. Bisakah kamu turun bersamaku? Setidaknya untuk menjaga perasaan orang tua kita,” jelas Sema
“Huff” Caena menarik napasnya dengan lemah. Ia tidak ingin menyakiti siapapun apalagi orang tuanya. Dan Sema sudah memakai alasan yang tepat untuk membuat Caena keluar dari kamarnya
Cklek.
Pluk.
Sesaat ketika Caena membuka pintu kamarnya. Sema langsung memeluk Caena. Sedari tadi ia menahan perasaannya agar tidak memeluk wanita di hadapannya ini. Sema menumpahkan semua kerinduannya melalui tubuhnya yang bersentuhan langsung dengan Caena. Serasa ada yang menggelitiknya di sana. Pelukannya untuk yang pertama kalinya sejak ia bertemu Caena beberapa tahun silam. Caena hanya terdiam di pelukan Sema, tanpa berusaha melepaskan ataupun membalas balik perasaan Sema.
“Apa kamu begitu membenciku Caena?”
Deg.
Tubuh Caena seketika menegang dengan pertanyaan absurd dari Sema. Mana mungkin Caena membenci pria di hadapannya ini? Di sebabkan cintalah yang membuatnya berusaha untuk menjauh dan bersikap dingin pada pria di pelukannya ini.
... To Be Continued ...
ZrasshhCaena melepas pelukannya dari Sema, dengan wajah memerah karena malu. Sudah terlalu lama keduanya berpelukan. Dan pertanyaan Sema tentang apakah Caena membencinya membuat Caena langsung melepas pelukan itu. Caena tidak ingin Sema mengetahui perasaannya terlalu dini. Apalagi, Caena sudah berusaha menutupi perasaan itu sejak lama.“Ayo turun, mereka pasti sudah menunggu kita,” ajak Caena dengan suara yang datar. Berjalan membelakangi Sema yang berdiri dengan perasaan yang campur aduk, antara bahagia, senang dan juga sedih. Sema masih berharap pelukan itu tidak segera di lepaskan oleh Caena. Tapi ini juga salahnya, kenapa juga ia harus bertanya hal yang aneh pada Caena.Huff, baiklah. Sema pun melangkah mengikuti Caena yang berjalan di depannya. Suasana begitu canggung tanpa seorang pun di antara mereka yang berusaha mencairkannya. Sampai mereka tiba di ruang makan.“Hei, calon pengantin. Kenapa lama sekali di atas?” god
“Kalau kamu belum yakin. Maka tolong beri aku kesempatan untuk mengenal mu lebih jauh lagi Caena. Jangan tutupi hatimu terhadap datangnya cinta. Aku tidak mau kamu tersiksa dan kesusahan.”Caena melepas pelukannya dari Sema, wajah Caena memerah karena malu. Caena langsung membuang wajahnya dan bangkit dari duduknya lalu berdiri menghadap ke arah luar jendela.“Kamu terlalu baik untuk orang sepertiku, Sem. Masih banyak wanita baik-baik yang menginginkanmu di luar sana. Biarkan aku dengan kesendirian ku.” Caena tetap kekeuh dengan keputusannya untuk mendorong Sema pergi.“Jika menurutmu aku terlalu baik, maka aku akan menjadi orang jahat untuk bisa bersamamu,” tekad Sema tidak pernah padam. Caena tertawa mendengar pernyataan Sema.“Hahahah. Kamu tidak akan pernah bisa menjadi orang jahat Sem. Aku tahu kamu,” ucap Caena yang langsung membuka peluang untuk Sema.“Berarti kamu mengaku kan, kalau sela
“Caena, kamu mau pesan menu apa?”Saat ini, Caena dan Sema telah berada di salah satu kafe yang ada di bawah samping kantor Caena. Setelah perbincangan yang sangat manis tadi, Caena memutuskan untuk mulai membuka hatinya. Jikapun suatu saat Sema ingin mundur, setidaknya Caena telah berusaha untuk menghindar terlebih dahulu agar ia memiliki alasan bahwa bukan diri Caena yang mengejar-ngejar Sema.“Ada nasi goreng mawut, enggak?” tanya Caena. Nasi goreng mawut spesial yang menjadi andalan Caena. Ia sangat suka menu ini. Tidak terhitung sudah berapa kali dalam seminggu ia terus memesan menu yang sama. Dan Sema pun ingat tentang kebiasaan Caena yang selalu memesan menu itu setiap Caena di kampus dulu. Namun kini Sema ragu, mungkin saja selera Caena telah berubah namun nyatanya tidak.“Kamu enggak berubah yah!” tutur Sema sembari tersenyum manis. Pria di hadapan Caena ini tampan sekali.“Berubah kok,&
“Aku tidak tahu, kamu memiliki hubungan apa dengan Caena di masa lalu. Tapi di masa ini dan di masa depan nanti. Caena adalah milik ku. Bagaimana pun masa lalunya,” desis Sema sarkastik namun tetap berusaha bersikap tenang.Setelah mengucapkan apa yang ingin ia katakan, Sema pun melangkah pergi ke dalam mobilnya dan membawa Caena pergi dari tempat tersebut.“Brengsek!!!”Chromolaena teriak sembari marah-marah. Meja-meja dan juga kursi yang ada di kafe tersebut tidak lepas dari amukannya. Baru kali ini Chromolaena merasa di tantang oleh pria yang dekat dengan Caena.Selama ini, setiap pria yang berusaha untuk datang mendekat pada Caena pasti akan selalu terkena masalah. Dan pria-pria lemah itu akan dengan liciknya mundur begitu saja. Hingga pada akhirnya, yang terkena sasaran pembatalan lamaran adalah Caena.Caena selalu menutupi semua itu dengan usahanya merendahkan dirinya sendiri. Semua itu Caena lakukan
Kriiiing. “Halo Sayang, kok kamu tumben telpon Papah pada saat masih jam kantor seperti ini?” sapa Arachis sembari bertanya pada istrinya, Setaria. “Pah, kamu sudah di hubungi oleh Caena apa belum?” tanya Setaria dengan suara yang terdengar khawatir dan gelisah. “Belum Mah. Memangnya Caena kenapa?” Arachis mulai ikutan khawatir. “Tadi Cidia telpon Mama, Pah. Katanya, ada seorang pria yang datang marah-marah ke kafe samping kantornya Caena. Dan di sana, terlihat pria itu sedang bertengkar dengan Caena dan juga Sema. Cidia bilang, Caena terlihat sangat ketakutan. Dan sekarang, handphone Caena tidak Aktif, Pah. Duh Pah, Mama khawatir banget sama anak kita, Caena. Mama takut Caena kenapa-napa Pah, hiks,” cerita Setaria sembari meneteskan air mata karena khawatir kepada anak tercinta. “Siapa laki-laki yang di maksud itu? Apa mungkin... “ batin Arachis, tapi terpotong dengan suara khawatir Setaria di seberang telpon. “Pah, jadi gimana
"Ada apa sebenarnya dengan mu Leucaena Leucocephala ? Kenapa kamu tidak mau menerima lamaran dari pria baik seperti Calliandra callothyrsus! Pria seperti apalagi yang kamu inginkan!" ujar Arachis Pintoi ayah dari Caena.Sejujurnya, sebagai orang tua Arachis sangat lelah dengan sikap dingin anaknya terhadap pria manapun. Padahal, Caena adalah wanita yang terlihat sangat ceria dan terbuka pada siapapun dan dalam hal apapun, namun ketika membicarakan tentang pernikahan, Caena seperti mati rasa dan tidak ingin membahasnya."Maafkan Caena Papa. Caena hanya belum siap untuk menikah." Jawaban yang sama seperti beberapa minggu yang lalu. Bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali Caena di lamar oleh banyak pria. Para pria yang melamarnya bukanlah berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Melainkan dari keluarga terhormat, orang kaya dan pebisnis-pebisnis sukses. Namun, tidak ada satupun yang dapat meyakinkan hatinya untuk menerima salah satu dari mereka.