Hari ini, hari libur.
Aku sudah ada janji dengan butik untuk fitting baju pengantin. Dimas pun katanya mengusahakan hadir dan aku berharap itu benar, bukan hoax karena aku lelah disuapi oleh janji palsunya yang suka diingkari.
Gontai. Aku menaiki tangga eskalator sambil mendekap tasku, aku memikirkan semua persiapan pernikahanku dengan Dimas. Akhir-akhir ini calonku itu agak aneh, dia jarang menghubungiku. Ada saja yang ia jadikan alasan jika aku mengajaknya bertemu padahal waktu pernikahan kami tinggal sebulan lagi.
Aku jadi ragu apakah sebenarnya Dimas mau menikah denganku atau tidak? Tapi, perkenalan kami yang terbilang cepat membuatku tak bisa menanyakan keseriusannya lebih dalam. Dimas orang yang sangat tertutup, berbeda dengan Dewa.
Agh, Dewa lagi!
Seandainya dulu, Dewa tidak mengkhianatiku mungkin aku akan menjadi Nyonya Dewa sekarang tak perlu menunggu umurku kritis seperti sekarang untuk menikah.
Setelah sampai di lantai tiga, aku arahkan kakiku menuju tempat butik Marion berada. Butik mewah Marion itu adalah langganan keluarga Dimas.
Sebenarnya aku kurang setuju tentang pembelian baju pengantin yang mahal, tapi Dimas tetap memilih memesan di butik milik Marion yang merupakan sahabat dekat Dimas.
"Bu Guruuu!"
Tiba-tiba suara anak kecil dari arah belakang menghentikan langkahku, aku sangat hapal suara itu. Tanpa kukomando darahku mendadak berdesir dan dadaku berdegup kencang.
Jika benar yang memanggilku Gio, entah kenapa perasaanku tiba-tiba tak menentu.
"Halo Nia, apa kabar?"
Benar dugaanku. Aku membalikan badan, saat suara nge-bass itu menyusul menyapaku. Melihatnya lagi, membuatku merasakan detak yang selama ini hilang.
Detak yang tak pernah aku rasakan pada orang lain, sekalipun pada Dimas calon suamiku. Dewa memang menjadikanku kacung cintanya tanpa ia sadar.
Gio menghambur memelukku.
"Bu Guru, lagi ngapain di sini?" tanyanya. Anak itu memasang wajah ceria sambil berlari dan berhenti di depanku, sehingga jarak anak itu sangat dekat dengan tubuhku berdiri.
Aku mengelus kepala Gio yang sedang memelukku erat.
"Ibu ada janji sama teman Ibu di sini Gio," jawabku sambil tersenyum ke arah Gio.
Gio mengangguk, lalu tersenyum memamerkan giginya yang putih. Terus seolah kangen, kemudian dia kembali mendekati papanya yang masih mematung dengan jarak dua meter dariku.
Anak itu terlihat bahagia sekali hari ini. Aku memandang dua lelaki di depanku dengan perasaan tak menentu. Pasti berat bagi Gio kehilangan Yuli di umur semuda itu. Namun, haruku langsung menguap kala mata Dewa terpaku menatapku.
Sorot matanya hangat dan penuh cinta seperti dulu. Seolah di antara kami tak ada kejadian buruk yang pernah terjadi, pintar sekali dia bermain hati.
"Bu Guru, hari ini Papah sama Gio mau main di kids zone Ibu mau ikut?" tanyanya sambil mengamit tangan Dewa untuk menghampiriku lebih dekat.
"Bu Guru, kayaknya nggak bisa ikut kalian, maaf ya?" ujarku dengan nada menyesal.
Gio menunduk kecewa kemudian dengan manja dia memeluk papanya. Layaknya anak kecil yang rewel, mulut Gio heboh meminta Dewa membujukku.
"Gio, Bu Guru gak bisa dia ada janji!" jelas Dewa memberikan pengertian pada putranya.
"Sebentar saja Pah, tolong bilang sama Bu Guru!" rengek Gio lagi.
Aku dan Dewa saling pandang dalam diam. Ini pertemuan kedua kami, setelah pertemuan kami yang cukup membuatku syok.
"Bu Guru, ikutlah bersama kami sebentar saja, saya janji gak lama!" pinta Dewa meyakinkan.
*****
Aku dan Dewa duduk berhadapan di salah satu cafe di dalam area kids zone. Kami sama-sama diam dalam kecanggungan, mata kami mengarah pada satu titik yang sama dan objek yang sama yaitu Gio.
Anak kecil itu terlihat gembira bermain di kolam bola gak jauh dari kami.
"Apa kabar Nia?" Dewa membuka suaranya mencairkan kebekuan antara kami.
Matanya memandangku dengan sorot mata penuh kerinduan, tapi aku membenci sorot itu.
"Baik, alhamdullilah." jawabku dingin.
"Maaf, saya memintamu ikut ke sini, hari ini Gio sedang manja, maaf ya?" katanya. Dewa terlihat merasa bersalah.
"Iya gak masalah, walaupun sebenarnya saya mau fitting baju pengantin!"
"Baju pengantin?"
"Iya."
"Dengan Dimas?"
Aku menatap Dewa terkejut, bagaimana Dewa bisa tahu? Menyadari keterkejutanku dia lalu menghela nafas panjang lalu mencondongkan tubuhnya serius.
"Jangan menikah dengan dia Nia, aku mohon!" Dewa tiba-tiba melontarkan kata-kata yang membuatku terkejut.
"Apa urusan kamu Dewa, kamu hanya Papahnya Gio kan? Dan wali muridku." sergahku mulai kesal.
Dia tidak punya hak mengatur hidupku, karena dialah yang paling membuatku hampir sekarat karena sulitnya menghapus rasa.
"Karena ... aku masih mencintaimu!" ucap Dewa berat. Mendengar Dewa mengatakannya, seakan ada hentakan dalam dada yang tiba-tiba membuatku muak.
"Sudahlah, saya tidak ada waktu membahas cinta dengan anda! Anda gak malu dengan anak anda, kalau dia tahu sikap Papahnya kaya gini?" tandasku.
"Gio yang meminta saya menjadikanmu Ibu kedua dan sejujurnya itu adalah hal yang gak bisa saya lakukan sebelumnya!"
"Anda sudah melantur Pak, saya di sini hanya sebagai wali kelas Gio, tidak lebih!"
"Nia, suatu hari kamu akan tahu alasan saya menikahi Yuli, itu semua karena--"
"Cukup! Saya tahu itu semua karena nafsumu dan bukti tanggung jawabmu, berhentilah! Saya lebih baik pergi dari sini, salam pada Gio dan hentikan salam busukmu lewat anak itu!" potongku cepat.
Aku langsung berdiri dengan bahasa tubuh yang marah. Aku melirik sekilas ke arah Gio di seberang sana yang masih seru bermain, diam-diam aku mengucapkan permintaan maaf dalam hati karena aku harus pergi tanpa pamit padanya.
"Nia!"
"Permisi!" putusku. Aku ambil tasku kemudian pergi meninggalkan Dewa dengan membawa segenap kekesalan.
****
Sudah seminggu, aku cuti dari agenda mengajarku karena aku memilih fokus untuk mempersiapkan agenda pernikahanku dengan Dimas.
Semua tanggung jawabku sebagai guru pengampu mata pelajaran juga wali kelas sudah aku alihkan pada Rima, guru invaler yang merupakan adik tingkatku sewaktu kuliah.
Dengan begitu aku terbebas dari salam-salam Dewa lewat Gio minimal sampai aku habis cuti. Tapi, aneh aku merasa ada yang janggal dengan hatiku, bukannya hatiku senang tapi malah aku merasa kosong.
Aku bimbang tanpa alasan, seakan hormon pemicu denyut bahagia selayaknya orang mau menikan. Perlahan tidak ada dalam aliran nadiku.
Padahal, besok aku akan menikah dengan Dimas. Namun, kenapa dibenakku tetaplah Dewa dan Gio?
Ada apa denganku? Pasca aku bertengkar dengan Dewa memang serangan salam dari Gio tetaplah ada. Tidak berkurang.
Walau ada yang berbeda dengannya ketika aku pamit cuti. Gio terlihat sangat murung dan tak mau menatapku meski aku sudah mengajaknya bicara. Mulut mungilnya yang biasa bawel, terkatup sempurna seolah mengatakan aku jahat.
Gio?
"Maafkan Ibu Nak," desahku.
Aku menatap keluar jendela, aku merasa sunyi sendiri di antara riuhnya keluargaku dan orang-orang menyiapkan acaraku besok, suasana kali ini sangat paradox.
Pikiranku tertarik jauh, pada delapan tahun yang lalu saat Dewa mengatakan dia mau memperistri Yuli sahabatku sendiri yang sudah hamil duluan. Padahal, baru saja sehari sebelumnya Dewa melamarku untuk menjadi istrinya tapi teganya, selang sehari semua kisah cintaku dan Dewa kandas karena pengakuan Dewa yang mengejutkan.
Jangan ditanya bagaimana aku merasa sekarat saat itu? Jiwaku robek dan hancur hingga setiap detak yang kurasakan hanyalah kepedihan.
Bagaimana bisa aku menerima kekasihku sudah menghamili sahabatku? Bagaimana bisa aku menerima kenyataan kalau Dewa lelaki yang menjadi alasan aku bernafas juga menjadi alasanku untuk menghentikan nafas? Aku terpuruk, menyakitkan.
Tak terasa air mataku kembali menetes, buliran bening itu turun tanpa bisa aku cegah.
"Nia, bengong aja! Itu ada yang cari!" tiba-tiba suara Ibu membuyarkan lamunan panjangku.
Aku langsung menyusut air mata di pipi agar Ibu gak curiga, lalu menoleh ke arah pintu di mana Ibu sudah berdiri sambil memegang hiasan ronce melati.
"Siapa Bu?" tanyaku heran, karena perasaan Wati dan Sida janjinya datang nanti malam buat jadi pagar Ayu.
"Entahlah, katanya sih dari sekolah, coba lihat dulu! Calon manten kok bengong aja?" sindir Ibu sambil berlalu.
Sepeninggal Ibu, aku langsung berganti pakaian dengan yang lebih pantas khawatir yang datang adalah Ibu kepala sekolah atau staf lainnya.
Biasanya beberapa tamu memang datang ke rumah kalau disinyalir besok mereka tidak bisa menghadiri acara pas hari H pernikahan.
****
"Rena?"Aku memundurkan langkahku kaget. Mataku terbelalak gak menyangka yang datang bertamu ternyata Rena. Rena adalah adik Dewa, karena Dewa setahuku punya kakak satu orang dan adik satu orang.
"Halo Mbak, bisa kita berbicara empat mata?" ujarnya dengan raut wajah tegang.
"Untuk apa Rena? Saya dan Dewa sudah gak ada hubungan!" jawabku saat kami saling berhadapan di ambang pintu.
"Mbak dan Mas Dewa memang gak ada hubungan tapi kebenaran harus saya tetap katakan, terkait hasilnya nanti saya gak perduli. Apa Mbak gak mau tahu alasan sebenarnya Mas Dewa dan Mbak Yuli nikah?" tanya Rena. Gadis itu menatapku penuh pengharapan agar aku mau mendengarkannya.
"Maksudnya? Alasannya kan sudah jelas?" sinisku.
"Bukan Mbak, tolong dengarkan saya sekali ini Mbak, saya mohon!" pinta Rena sambil memegang pundakku kuat, matanya memandangku penuh kesedihan.
Aku terdiam dan membisu, otakku mencoba mencerna secepat mungkin apa yang diinginkan Rena? Karena aku takut ini drama baru.
Kenapa aku harus membuka luka lama yang jelas-jelas hampir membunuhku? Kebenaran apa yang harus aku tahu? Ribuan pertanyaan mengendap jelas di benakku, namun hanya di benak bukan di mulut.
Mataku aktif mengamati mencoba menelisik lewat kedua matanya yang menatapku dalam, tapi tak kutemukan kebohongan dalam mata Rena, bahkan yang ada aku melihat binar mata kesungguhan dalam sepasang mata Rena, gadis itu terlihat tulus.
Setelah beberapa menit terdiam, akhirmya aku mengikuti kata hatiku. Tanpa di komando kepalaku mengangguk.
"Boleh kita ke kamarku!" ajakku yang lansung disambut ucapan terimakasih dari Rena.
***
Aku menatap Rena dengan mata yang panas dan memerah, mulutku menganga dan jiwaku berteriak terluka.Rahasia apa ini? Aku sungguh seakan dijebloskan ke dalam duka yang gak berujung.
Kenyataan Gio bukan anak Dewa namun anaknya Andro dan Yuli sungguh membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku pun tiba-tiba sakit seakan tercabik-cabik dan darahku berdesir cepat.
"Jadi Yuli pacaran sama Andro? Tanpa sepengetahuan aku dan Dewa?" tanyaku setengah berteriak.
Jujur, aku tidak menyangka Almarhumah Yuli tega menyembunyikan kebenaran sebesar ini sampai dia pergi meninggalkan kami.
Lewat Rena, akhirnya aku tahu kebenaran yang terjadi delapan tahun lalu beserta bukti yang ia bawa untuk menguatkan ceritanya.
Aku bergetar, saat mengetahui semua bukti menunjukan bahwa Dewa hanya menjadi korban dari keegoisan keluarganya.
Bahwa yang menghamili Yuli adalah Andro kakak pertamanya yang tiba-tiba menghilang entah kemana.
Ternyata hari di mana Dewa melamarku itu jugalah hari saat Yuli dan Ayahnya yang merupakan TNI datang ke rumah Andro, untuk meminta pertanggung jawaban keluarganya Andro saat itu juga.
Karena terdesaknya keadaan saat itu, dengan sangat terpaksa agar kedua keluarga mereka tak malu atas perbuatan Andro dan Yuli.
Akhirnya, tanpa sepengetahuan Dewa, kedua keluarga mereka menukarnya dengan pengorbanan Dewa anak keduanya untuk menikahi Yuli sebagai bentuk pertanggung jawahan keluarga Andro.
"Jujur Mbak, saat tahu keputusan itu Mas Dewa menolak keras, karena bilang sudah melamar Mbak sorenya tapi Ayah memaksa Mbak semua keluarga memohon pada Mas Dewa, jadi akhirnya Mas Dewa dengan terpaksa harus bertanggung jawab pada yang dia tidak lakukan, maafkan kami Mbak!" Rena menutup penjelasannya dengan menangis sesegrukan. Dia memegang tanganku yang sudah putih memucat.
Mendengar semua penjelasan itu, jiwaku hancur berserakan, dadaku sesak dan sakit. Aku hanya bisa mematung saat Rena menangis memelukku.
"Maafkan keluargaku, Mbak! Maaf, mohon jangan menikah Mbak kasian Mas Dewa!" ujar Rena disela tangisnya.
Aku mematung. Lidahku beku untuk sekedar menjawab, kenyataan ini terlalu pahit untuk ku telan dan terlalu rumit untuk kucerna, semua menjadi kosong bagiku.
Dalam bayangan mataku entah kenapa hanya ada wajah Dewa yang menatapku dengan sorot mata sedih.
Wajahnya seakan mengatakan bahwa aku bodoh tak bisa melihat cintanya yang tulus. Dengan kejadian ini, akhirnya aku tahu mata hazel Gio bukan dari Dewa tapi Andro kakaknya.
Aku menangis dalam heningku, mencoba menguatkan hati bahwa cerita Rena biarlah menjadi koleksi kisah hidupku yang tak sempurna.
Aku mungkin memang tidak berjodoh dengan Dewa, sekian lamanya aku sekarat dalam usahaku menghapus rasa ternyata memang hasilnya adalah kosong.
Aku memang mencintai Dewa, tapi aku tahu cintaku dan Dewa cukup jadi cerita masa lalu. Meski kebenaran sudah terungkap, bagiku tak ada artinya karena aku sudah terjebak.
"Mbak, gak bisa menghentikan pernikahan ini Rena, semua terlambat!" ujarku dengan nada dingin.
Aku susut air mataku yang terus mengalir lalu ku lepaskan pelukan Rena.
Kakiku yang gak bertenaga kupaksakan untuk beranjak menuju ke meja, lalu mengambil surat undangan pernikahanku yang tergeletak di sana.
Aku tersenyum miris. Ya, inilah akhirku bersanding dengan Dimas, ini masa depanku dan Dewa masa laluku.
Maafkan aku Gio dan Dewa.
Meriah. Satu kata yang dapat menggambarkan keriuhan suasana pernikahanku hari ini yang mengusung adat sunda, adat sunda dipilih oleh Ayah karena itu tanah kelahirannya sekalipun kami tinggal kini bukan di daerah Jawa Barat. Wajah semua orang nampak bersuka cita, terlebih rona bahagia jelas terlihat di wajah keluargaku, mungkin mereka merasa sudah lega karena satu-satunya anak perempuan tanggungan Ayah akan melepaskan diri juga.Aku menatap wajahku di kaca yang sudah siap dengan segala macam asesoris khas pengantin sunda.Sedari subuh, kubiarkan mukaku yang kuyu karena habis bergadang dalam tangis diberikan tambahan riasan oleh Mbak Dina tukang rias kami sehingga terlihat cantik. Namun, tetap saja bagiku wajah yang kupandangi sekarang tak lebih dari sekedar kedok untuk menutupi hatiku yang risau."Jangan deg-degan ya, tenang Mas nya pasti datang kok!" ujar Dina sebelum dia dan timnya pergi kemudian meninggalkanku sendiri dalam kamar yang sudah dihias. Aku hanya tersenyum tipis menjawab
Ibu dan Bibi membawaku menuju ke tempat akad. Mereka mengamit lenganku dengan hati-hati, seakan takut aku akan terluka. Semua mata memandangku penuh takjub, satu sama lain berbisik seakan hari ini bukan hanya milikku dan akupun berdoa semoga Dewa merasakan yang sama.Ketika tiba di masjid, pertama kali yang kulihat adalah Dimas. Calon suamiku yang sedang duduk di depan penghulu, kedua keluarga sepakat merendengkan kedua calon mempelai saat akad terucap. Harus kuakui, Dimas sungguh tampan dengan baju pengantin sunda yang tampak pas di tubuhnya. Dimas menatapku tanpa ekspresi, menelusup rasa aneh pada dadaku saat Dimas malah mengalihkan pandangan.Memang seminggu menjelang pernikahan kemarin Dimas mulai jarang menghubungiku, bahkan malam tadi pun dia hanya menelepon sekedar basa-basi, aku berdoa ini bukan pertanda buruk. Mataku aktif mengedar ke sekeliling melihat suasana masjid, semua keluarga nampak lengkap hadir tapi sebenarnya bukan mereka yang aku cari.Aku menghela nafas mengambil
"Assalammu'alaikum. Semuanya! Gimana kangen gak sama Bu Guru?" Aku menunjukan wajah ceria di depan murid-muridku. Entah kenapa aku selalu merasa awet muda kalau kembali ke aktivitas mengajarku."Wa'alaikumsalam. Kangen banget Bu Guru!" jawab mereka kompak. Aku tersenyum sumringah, alhamdullilah pagi hari ini, aku bersyukur bisa melihat wajah mereka lagi."Semuanya pada sehat kan?" tanyaku lagi."Sehat Bu, kami seneng Bu Guru kembali lagi!" cengir Helen menunjukan deretan giginya yang bolong-bolong."Iya, Bu Guru liburnya Kelamaan sih!" Diani protes, mulutnya manyun lucu."Iya, bener tuh!" Koar semua anak.Aku tertawa geli mendengar serangan para muridku yang sangat menggemaskan, mulut-mulut kecil mereka berebut bertanya ini dan itu karena sebulan sudah aku tak menyapa mereka. Judulnya hari ini mungkin aku lagi menikmati masa kangen dengan mereka."Iya, sekarang kan Bu Guru ada di sini, coba Bu Guru absen ya?" Aku mengambil daftar absen yang ada di meja. Kebiasaanku sebelum menyebutkan
Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa."Bu Guruuu!"Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan."Gioooo!"Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spon
Jakarta memang banyak memberikan arti bagiku. Ibu kota ini memiliki arti lebih karena sebuah janji dan pertemuan yang menyimpan perih.Janji untuk tidak menyesali keputusan yang diambil dan pertemuan yang merubah kata 'harapan' menjadi kata 'ikhlas'.Rentetan kejadian yang mengejutkan tentang kembalinya Dewa dengan membawa Maura, layaknya ucapan Cinta pada Rangga. Betul! Yang dia lakukan padaku itu jahat.Sejahat ban motor yang tiba-tiba bocor, eh, bukan! Lebih jahat Dewa sebenarnya.Ya, pagi ini aku mengalami kejadian sial yaitu ban bocor padahal aku sedang terburu-buru ke sekolah. Aku memicingkan mata, sejauh mata memandang aku tak melihat bengkel sama sekali.Aku menghela nafas berat, setelah Dewa mengabaikanku sekarang motor ini juga mengabaikanku.Jam di tanganku menunjukan pukul tujuh pagi. Itu berarti setengah jam lagi kegiatan KBM akan dimulai, aku berdiri gelisah jika tak cepat kuselesaikan masalah ban bocor ini mungkin bisa jadi aku akan telat dan mendapat nyanyian dari Bu W
"Selamat pagi beranjak siang anak-anak!"Bukan.Itu bukan suaraku itu suara Dewa. Aku terkejut melihat dia mampir ke kelasku, padahal sudah aku sampaikan lewat nomornya yang baru untuk menitipkan kunci pada Pak Satpam saja."Ih, ada Papahnya Giooooo!" Koar anak-anak kompak. Aku langsung melotot melihat Dewa yang masih tersenyum lebar tanpa dosa ke semua anak."Papah!" Melihat Dewa diambang pintu kelas, anak itu langsung menyambut papahnya."Hey, jagoan! Gimana sekolahnya seneng gak?" Dewa mengacak rambut anaknya seolah sudah lama mereka berpisah padahal baru sejam.Gio mengangguk antusias. "Seneng Papah, Bu Nia ngajarnya enak.""Wah, itu baru bagus!" Sebelum kelas lebih gaduh lagi, dengan tergesa aku menghampiri Dewa, berdiri tepat di depannya hingga pria itu menyunggingkan senyum."Ngapain masuk? Kan, saya udah bilang jangan ke kelas," bisikku kesal."Pak Satpamnya lagi sibuk ngupil, saya kasihan. Jadi saya masuk aja ke sini," jawab Dewa asal.Dewa selalu seperti ini, bertindak seen
"Bu Nia, Bu Annisa Zania maaf saya memanggil Bu Nia ke ruangan, saya mendapat laporan dari Bu Welly katanya pagi tadi Bu Nia malah mengobrol dengan Pak Dewa bukannya mengajar?"Aku terhenyak menerima pertanyaan tiba-tiba itu dari Bu Tia, beliau adalah Kepsek di tempatku mengajar. Selepas mengajar tadi aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya, ternyata untuk mempermasalahkan hal yang terjadi tadi pagi."Maaf Bu, kabar itu tak sepenuhnya benar, saya memang mengobrol tapi tidak lama karena Pak Dewa hanya membantu saya mengganti ban motor saya yang bocor. Maaf jika hal itu membuat ketidaknyamanan, tapi saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi." Aku memandang Bu Tia meminta pemakluman.Sebenarnya aku heran, kenapa Bu Welly Wakasek begitu sensitif jika berkenaan denganku? Hal ini terjadi semenjak Dewa selalu mengirim salam lewat Gio dan kabar aku nggak jadi menikah memperburuk sikapnya.Bu Tia mengangguk, kemudian memandangku dengan tatapan perhatian, Bu Tia itu pemimpin yang bijak dia c
"Nia? Nia? Kamu masih di situ kan?" Suara Dimas terdengar cemas di ujung telepon. Aku memaksakan senyum lalu mengangguk ke Maura tapi tidak pada Dewa yang menatapku penuh tanda tanya. Sadar Dimas yang terus memanggilku di telepon, akhirnya aku meminta ijin menjawab telepon dari Dimas di luar toko. Sebuah alasan yang tepat agar aku tak terjebak dalam pandangan keduanya yang membuat dadaku panas."Dimas, saya di Mall Grande, udah ya!" tutupku tergesa setelah mengucapkan salam. Aku langsung menyandarkan tubuh ke dinding lemah, tak bisa kusembunyikan hatiku yang sakit melihat mereka berdua bersama.Aku mendekap ponsel di dada. Mungkin aku sedang syok dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba atau mungkin aku tengah cemburu? Entahlah, karena aku tak yakin dengan hakku."Siapa yang nelepon? Dimas?"Eh? Suara itu? Aku langsung membalikan badan kaget dengan pertanyaan yang berasal dari suara yang sangat aku kenal."Pak Dewa?"Tanpa kutahu ternyata sedari tadi Dewa berdiri di belakangku, mata elan