Share

Terpenjara

Author: Fiska Aimma
last update Last Updated: 2023-06-06 16:00:23

Ibu dan Bibi membawaku menuju ke tempat akad. Mereka mengamit lenganku dengan hati-hati, seakan takut aku akan terluka. Semua mata memandangku penuh takjub, satu sama lain berbisik seakan hari ini bukan hanya milikku dan akupun berdoa semoga Dewa merasakan yang sama.

Ketika tiba di masjid, pertama kali yang kulihat adalah Dimas. Calon suamiku yang sedang duduk di depan penghulu, kedua keluarga sepakat merendengkan kedua calon mempelai saat akad terucap. Harus kuakui, Dimas sungguh tampan dengan baju pengantin sunda yang tampak pas di tubuhnya. Dimas menatapku tanpa ekspresi, menelusup rasa aneh pada dadaku saat Dimas malah mengalihkan pandangan.

Memang seminggu menjelang pernikahan kemarin Dimas mulai jarang menghubungiku, bahkan malam tadi pun dia hanya menelepon sekedar basa-basi, aku berdoa ini bukan pertanda buruk. Mataku aktif mengedar ke sekeliling melihat suasana masjid, semua keluarga nampak lengkap hadir tapi sebenarnya bukan mereka yang aku cari.

Aku menghela nafas mengambil tempat di samping Dimas seraya mempersiapkan hati, berkali-kali aku memandang Ibu dan Ayah untuk menguatkan keputusan yang aku ambil.

"Ananda sudah siap mengikrarkan akad?" tanya Pak Amir yang bertugas sebagai Penghulu pernikahan kami pada Dimas yang berada di sampingku. Dimas tidak menjawab dia malah diam lalu menatapku sekilas dengan wajah yang dingin. Aku merasa ada yang aneh dengan pandangannya kali ini.

"Dimas, itu Pak Amif nanya di jawab!" perintah Ibu mertuaku melihat Dimas hanya diam.

"Bagaimana kita bisa mulai?" ulang Pak Amir lagi, dia mulai gak nyaman dengan suasana mata tuanya berkali-kali melihat jam seperti diburu waktu.

Dimas menghela nafas berat, "Sebelum saya mengucapkan akad, saya ingin bertanya sesuatu kepada calon istri saya boleh?"

Degh! Aku langsung menoleh kaget. "Maksudnya Mas apa?"

"Beri saya waktu untuk menunjukan sesuatu!" ujarnya tajam.

*****

Kali ini kami duduk saling berhadapan, gemuruh dadaku kian terasa kala aku lihat Dewa dan Gio hadir di antara kami. Terpaksa aku menelan fakta baru yang mengejutkan, ternyata Dewa dan Dimas sudah lama bersahabat jauh sebelum aku mengenal Dimas. Sudah kuduga sebelumnya, di mana aku melihat kejanggalan ternyata memang benar di situlah rahasia memang di simpan.

Tak bisa kuhindari, menelusup kebingungan dan gelisah ke dalam hatiku ketika Dimas masih saja diam, padahal semua pihak yang diminta hadir oleh Dimas di ruang tamu rumahku sudah kumpul semua.

Aku menerka-nerka drama apa yang ingin dibawakan Dimas? Terlalu bodoh jika hanya ingin mempermainkan kami, karena semua tamu dan pembantu dia minta keluar bahkan Pak penghulu pun kami tinggalkan di masjid bersama para keluarga yang lain.

"Nia, apakah kamu mencintaiku?" ucapan Dimas meluncur begitu saja membuat semua mata memandangnya syok. Setelah semua pernyataannya membuat kehebohan, dia hanya mengawali pertemuan ini dengan memberikan pertanyaan tentang perasaan.

"Dimas, jangan bercanda! Apa hal ini pantas kamu tanyakan di hadapan semuanya?" protes Ibu berang dengan sikap Dimas.

Dimas tak merespon, matanya masih menatapku tajam, seakan tak memperdulikan pertanyaan Ibu. Dewa terlihat kaget, dia langsung bereaksi mendekati sahabatnya namun tangan Dimas teracung menyuruhnya untuk tak ikut campur.

Tegang.

"Jawab Nia, jika saat ini antara aku dan Dewa sama-sama membutuhkan darahmu untuk menyelamatkan hidup kami mana yang akan kamu pilih?" Dimas memberikanku pilihan yang sulit dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Aku menatap Dimas penuh tanda tanya, gak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Aku mencoba meraba maksud dari Dimas lewat matanya, namun yang kudapat hanya luka dan amarah yang ia tunjukan padaku.

"Maksud kamu apa Dimas? Kenapa harus bawa-bawa Dewa?"

Aku menahan semua gejolak di dadaku yang mendesak untuk diluapkan, aku pandang Dewa sekilas laki-laki itu nampak diam tak bereaksi, melihat mereka aku merasa dibodohi tiba-tiba. Teka-teki busuk lelaki yang bisa jadi melemparkanku pada kesalahan.

"Dimas, apakah kamu minum semalam? Kamu sakit Nak? Apa kita harus tunda pernikahan kali ini?" Ibu Anwar, calon mertuaku menengahi karena sedari tadi keempat orang tua itu hanya di hadapkan pada drama yang tak dimengerti sama sepertiku.

"Dimas gak mabuk Mah, Dimas hanya tidak ingin menikah dengan perempuan yang hatinya milik orang lain, apakah Mamah mau memiliki pasangan yang hanya punya jasad tapi gak punya hati?"

"Dimas!"

Sebuah bentakan terdengar saat baru saja Dimas menyelesaikan kalimatnya yang menyindirku. Itu teriakan Dewa, lelaki itu beranjak dari tempatnya lalu memegang kerah Dimas memaksa Dimas berdiri. Kedua pria itu kini berdiri saling menantang, melihat Ayahnya murka Gio langsung berlari memelukku takut. Dia bersembunyi di belakang punggungku, sekalipun aku sama kagetnya namun aku harus melindungi anak kecil yang tak tahu apa-apa ini.

"Jangan berkata macam-macam tentang Nia, dia udah milih lo, paham!" ungkap Dewa penuh amarah.

"Lalu? Apakah gue harus bilang dia perempuan robot? Setelah beberapa kali gue lihat, gak ada bayangan gue dalam matanya? Bahkan saat mau akad dia masih mencari lo, pengecut!" balas Dimas sambil balik memegang kerah kemeja Dewa.

Melihat kejadian yang tak diduga ini, tentu saja kami semua bereaksi. Para orang tua sibuk melerai kedua lelaki yang dikendalikan emosi tersebut sementara aku langsung meminta Gio untuk menunggu diluar ruangan, tentu ini bukan tontonan anak seusianya. Papahnya bertengkar hanya untuk memperebutkan perempuan di depannya? Ini gila.

"Hentikan! Kalian semua berhenti!" teriakku setelah kupastikan Gio sudah tidak ada di antara kami.

"Dimas, Dewa tolong berhenti! Dengar, saya gak bersedia menjawab pertanyaan Dimas atau pertanyaan apapun yang berkenaan tentang privasi saya. Dan jika kamu seperti ini, sama saja kamu neragukan pernikahan ini kan? Jika begitu silahkan kita akhiri!"

Mendengar teriakanku semua keributan berhenti seketika, Dimas dan Dewa saling melepaskan kerah kemeja satu sama lain, keduanya menatapku terkejut. Remuk, itu yang aku rasakan terjadi pada hatiku sekarang, aku tidak bangga diperebutkan oleh dua laki-laki di hadapanku karena bagiku semua ini hanyalah penghinaan.

"Nia, tidak boleh seperti itu! Semua sudah dipersiapkan, kamu jangan pake emosi Nia!" cegah Ayah memegang bahuku yang bergetar karena syok dengan perkataanku sendiri. Aku menggigit bibirku kuat-kuat menahan hentakan jiwa yang meradang karena luka yang semakin terbuka.

"Kamu yang mau menghentikannya Nia, bukan saya! Saya hanya korban dari cinta masa lalumu yang brengsek! Maka dari itu kamu gak mau jujur, karena kamu masih mencintainya kan? Sekarang, aku mau kalian menikah di depanku sekarang, ayo!" perintah Dimas pongah.

"Dimas, saya bukan barang yang bisa kamu lempar tergantung siapa yang membelinya dan saya juga bukan anak kecil yang kamu ragukan keputusannya, jika memang kamu tidak ingin menikahi saya ... saya ikhlas, tapi bukan begini caranya!" Tangisku meledak sekarang, aku tak menyangka sehina itu aku dalam pandangan Dimas.

"Ada apa ini? Kalian jangan menyelesaikan pake emosi, kita harus tenang!" suara Bapaknya Dimas menatap kami dengan pandangan kesal secara bergantian.

"Kalian pikir mudah menghentikan pernikahan? Hah? Malu sama para keluarga dan tamu! Paham kalian?" Ibu berteriak emosi membuat kami bungkam.

Aku menunduk menyembunyikan tangis tanpa jeda sementara Dewa dan Dimas saling pandang dalam amarah. Suasana di dalam rumah yang seharusnya tenang dan suka cita kini berubah layaknya pertempuran rasa yang tak menemukan ujung.

"Dewa, apakah benar kau masih mencintai Nia? Bukannya kalian hanya masa lalu, ikhlaskanlah Nia Dewa, jangan kau seret Nia pada kisahmu yang suram itu lagipula kau sudah punya anak!"

Jleb! Ibu? Itukah yang Ibu pikirkan tentang Dewa sebenarnya? Seakan ada palu yang menghantam hatiku berulang kali, aku langsung mendongak. Ucapan Ibuku pasti menyakitkan bagi Dewa terlihat dari wajah laki-laki itu yang memucat seketika. Dewa terdiam lama, dia membeku di tempatnya.

"Ibu, sebenarnya Gio itu--"

"Maafkan saya, saya tahu saya gak berhak ada di sini. Semua omongan Dimas gak benar, sebenarnya saya yang mencintai Nia, tapi Nia tidak mencintai saya! Saya yang mengejarnya, tapi Nia menolak. Dimas gak perlu khawatir akan adanya saya, saya tahu Nia sudah tidak mencintai saya, maaf sudah membuat kekacauan!" Dewa memotong langsung ucapanku seakan menyuruhku untuk diam, sehingga rahasia sebenarnya tentang Gio dan Dewa tak terungkap.

Aku menatapnya sedih dan tak setuju, dia selalu memilih menyimpan perihnya sendiri dalam sunyi, seperti yang selama ini dia lakukan. Jujur aku sangat membenci sifatnya yang seperti itu karena hanya akan membuat orang lain bebas menghinanya.

Dia mengalihkan pandangannya padaku, "Kamu harus berbahagia Nia, maafkan saya dan Gio, saya permisi!"

Tanpa menuggu jawaban semua orang, Dewa melangkah mundur sembari tersenyum sendu sekilas matanya yang memerah menatapku lalu mengangguk untuk pamit kepada semuanya. Perlahan namun mantap kemudian dia berbalik menuju ke arah pintu, dia pergi.

Dewa benar-benar pergi.

Dia telah meninggalkan hatiku yang masih meneriakan namanya untuk berhenti. Aku hapus butiran bening yang mengalir perlahan, melihatnya pergi dengan memahat kecewa aku putuskan terpenjara bersamanya di tempat yang berbeda.

Related chapters

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Kangen

    "Assalammu'alaikum. Semuanya! Gimana kangen gak sama Bu Guru?" Aku menunjukan wajah ceria di depan murid-muridku. Entah kenapa aku selalu merasa awet muda kalau kembali ke aktivitas mengajarku."Wa'alaikumsalam. Kangen banget Bu Guru!" jawab mereka kompak. Aku tersenyum sumringah, alhamdullilah pagi hari ini, aku bersyukur bisa melihat wajah mereka lagi."Semuanya pada sehat kan?" tanyaku lagi."Sehat Bu, kami seneng Bu Guru kembali lagi!" cengir Helen menunjukan deretan giginya yang bolong-bolong."Iya, Bu Guru liburnya Kelamaan sih!" Diani protes, mulutnya manyun lucu."Iya, bener tuh!" Koar semua anak.Aku tertawa geli mendengar serangan para muridku yang sangat menggemaskan, mulut-mulut kecil mereka berebut bertanya ini dan itu karena sebulan sudah aku tak menyapa mereka. Judulnya hari ini mungkin aku lagi menikmati masa kangen dengan mereka."Iya, sekarang kan Bu Guru ada di sini, coba Bu Guru absen ya?" Aku mengambil daftar absen yang ada di meja. Kebiasaanku sebelum menyebutkan

    Last Updated : 2023-06-06
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Cemburu?

    Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa."Bu Guruuu!"Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan."Gioooo!"Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spon

    Last Updated : 2023-06-06
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Kenangan

    Jakarta memang banyak memberikan arti bagiku. Ibu kota ini memiliki arti lebih karena sebuah janji dan pertemuan yang menyimpan perih.Janji untuk tidak menyesali keputusan yang diambil dan pertemuan yang merubah kata 'harapan' menjadi kata 'ikhlas'.Rentetan kejadian yang mengejutkan tentang kembalinya Dewa dengan membawa Maura, layaknya ucapan Cinta pada Rangga. Betul! Yang dia lakukan padaku itu jahat.Sejahat ban motor yang tiba-tiba bocor, eh, bukan! Lebih jahat Dewa sebenarnya.Ya, pagi ini aku mengalami kejadian sial yaitu ban bocor padahal aku sedang terburu-buru ke sekolah. Aku memicingkan mata, sejauh mata memandang aku tak melihat bengkel sama sekali.Aku menghela nafas berat, setelah Dewa mengabaikanku sekarang motor ini juga mengabaikanku.Jam di tanganku menunjukan pukul tujuh pagi. Itu berarti setengah jam lagi kegiatan KBM akan dimulai, aku berdiri gelisah jika tak cepat kuselesaikan masalah ban bocor ini mungkin bisa jadi aku akan telat dan mendapat nyanyian dari Bu W

    Last Updated : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Jahil

    "Selamat pagi beranjak siang anak-anak!"Bukan.Itu bukan suaraku itu suara Dewa. Aku terkejut melihat dia mampir ke kelasku, padahal sudah aku sampaikan lewat nomornya yang baru untuk menitipkan kunci pada Pak Satpam saja."Ih, ada Papahnya Giooooo!" Koar anak-anak kompak. Aku langsung melotot melihat Dewa yang masih tersenyum lebar tanpa dosa ke semua anak."Papah!" Melihat Dewa diambang pintu kelas, anak itu langsung menyambut papahnya."Hey, jagoan! Gimana sekolahnya seneng gak?" Dewa mengacak rambut anaknya seolah sudah lama mereka berpisah padahal baru sejam.Gio mengangguk antusias. "Seneng Papah, Bu Nia ngajarnya enak.""Wah, itu baru bagus!" Sebelum kelas lebih gaduh lagi, dengan tergesa aku menghampiri Dewa, berdiri tepat di depannya hingga pria itu menyunggingkan senyum."Ngapain masuk? Kan, saya udah bilang jangan ke kelas," bisikku kesal."Pak Satpamnya lagi sibuk ngupil, saya kasihan. Jadi saya masuk aja ke sini," jawab Dewa asal.Dewa selalu seperti ini, bertindak seen

    Last Updated : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Hadiah

    "Bu Nia, Bu Annisa Zania maaf saya memanggil Bu Nia ke ruangan, saya mendapat laporan dari Bu Welly katanya pagi tadi Bu Nia malah mengobrol dengan Pak Dewa bukannya mengajar?"Aku terhenyak menerima pertanyaan tiba-tiba itu dari Bu Tia, beliau adalah Kepsek di tempatku mengajar. Selepas mengajar tadi aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya, ternyata untuk mempermasalahkan hal yang terjadi tadi pagi."Maaf Bu, kabar itu tak sepenuhnya benar, saya memang mengobrol tapi tidak lama karena Pak Dewa hanya membantu saya mengganti ban motor saya yang bocor. Maaf jika hal itu membuat ketidaknyamanan, tapi saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi." Aku memandang Bu Tia meminta pemakluman.Sebenarnya aku heran, kenapa Bu Welly Wakasek begitu sensitif jika berkenaan denganku? Hal ini terjadi semenjak Dewa selalu mengirim salam lewat Gio dan kabar aku nggak jadi menikah memperburuk sikapnya.Bu Tia mengangguk, kemudian memandangku dengan tatapan perhatian, Bu Tia itu pemimpin yang bijak dia c

    Last Updated : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Luka

    "Nia? Nia? Kamu masih di situ kan?" Suara Dimas terdengar cemas di ujung telepon. Aku memaksakan senyum lalu mengangguk ke Maura tapi tidak pada Dewa yang menatapku penuh tanda tanya. Sadar Dimas yang terus memanggilku di telepon, akhirnya aku meminta ijin menjawab telepon dari Dimas di luar toko. Sebuah alasan yang tepat agar aku tak terjebak dalam pandangan keduanya yang membuat dadaku panas."Dimas, saya di Mall Grande, udah ya!" tutupku tergesa setelah mengucapkan salam. Aku langsung menyandarkan tubuh ke dinding lemah, tak bisa kusembunyikan hatiku yang sakit melihat mereka berdua bersama.Aku mendekap ponsel di dada. Mungkin aku sedang syok dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba atau mungkin aku tengah cemburu? Entahlah, karena aku tak yakin dengan hakku."Siapa yang nelepon? Dimas?"Eh? Suara itu? Aku langsung membalikan badan kaget dengan pertanyaan yang berasal dari suara yang sangat aku kenal."Pak Dewa?"Tanpa kutahu ternyata sedari tadi Dewa berdiri di belakangku, mata elan

    Last Updated : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Bohong

    Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi diantarnya. Meski berat tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga."Masih miki

    Last Updated : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Salah Sangka

    Di luar suasana sudah mulai hujan, itu tandanya aku harus menahan diri untuk pulang cepat-cepat dari sekolah. Padahal, semua anak kelasku juga sudah pulang, jadi tak ada keperluanku untuk tetap ada di sekolah.Sebenarnya, aku ingin segera sampai ke rumah, karena di sana akan lebih nyaman untuk menguarkan jiwa yang sedang gundah ini daripada aku berada di bawah pandangan para guru yang sudah mulai berbeda akibat tadi pagi terjadi lagi gosip yang tak mengenakan.Aku lelah dan bimbang.Sambil menunggu hujan, aku memutuskan untuk mengerjakan evaluasi bulanan guru karena dibandingkan memikirkan ucapan Dewa yang seharian ini memang berhasil memecahkan konsentrasiku, lebih baik aku mengerjakan hal yang bisa membuat hatiku yang koyak sedikit teralih. Dewa benar-benar menjadi racun bagi otakku sekarang, setiap berbicara dengannya selalu menyisakan cerita yang tak pernah selesai, aku menarik napas berat.Derrt! Derrt! Derrt.Tiba-tiba sebuah getaran kuat sukses membuyarkan lamunan panjangku. Ta

    Last Updated : 2023-06-12

Latest chapter

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Keluarga Cemara (Tamat)

    Sebagai wanita yang baru merasakan kehamilan kedua yang kembar, aku melewatinya dengan susah payah, belum lagi akhir-akhir ini Gio minta perhatian lebih. Namun, meski agak memusingkan, sebagai Mamah idaman baginya aku harus bisa membagi perhatianku secara adil. Kalau kata Mamahku Gio berbuat begitu karena tahu dia mau punya adik. Jadi agak manja, tak seperti Mamah yang kian hari kian menerima keberadaan Dewa setelah aku hamil tentunya. Melihat Dewa yang begitu menyayangiku, Mamah yang semula meragukan akhirnya luruh. Namun, sebaliknya aku yang lebih suka emosian pada Dewa. Selain karena perubahan moodku juga sikap Gio, kurasa ada yang berbeda juga pada Dewa. Entah mengapa sekarang dia lebih posesif dan hal itu membuat aku pun lebih merasa dimanjakan dan dilindungi.Maklumlah sebelumnya dia kan sibuk, ada aja yang ia kerjakan saking banyaknya job yang ia ambil tapi semenjak aku hamil dia mulai mengurangi aktivitas. Dewa lebih sering bersamaku meski sesekali sibuk sama urusan klinik.

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Hamil (Versi Ramadhan)

    Malam itu, sepulangnya menitipkan Gio ke Rena, Dewa bukannya mengajakku pulang ke rumah untuk meeting seperti rencana. Dia malah membelokkan mobilnya ke arah bandara, seakan berada dalam penculikan aku bertanya macam-macam pada Dewa takut kalau Gio mencari kami kalau kami ke luar kota atau ke luar negeri sekarang ini. "Udah gak apa-apa, namanya juga bulan madu jangan khawatir oke?" jawab Dewa ketika aku terus bertanya akan dibawa kemana. "Tapi kan gimana kalau Gio nyariin?" cecarku tak puas. Dewa tidak menjawab, dia hanya tersenyum penuh misteri membuatku malas bertanya lagi. Takutnya, nanti aku malah diturunin di tengah jalan lagi, padahal masih pengantin baru. Sampai di Bandara, barulah Dewa menjelaskan maksudnya mengajakku ke Bandara adalah karena kami akan ke Bali. Kebetulan, ada temannya yang mengundang kami datang ke nikahan mereka sekalian katanya ini adalah moment yang pas untuk kami berbulan madu. Mendengar penjelasannya, hatiku diam-diam bersorak bahagia. Sepanjang perj

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Bulan Madu

    Bulan madu bagi pengantin baru itu, sebenarnya keniscayaan. Semenjak kami memiliki Beby Sitter cadangan yaitu Rena dan suaminya, kami bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama.Saat itu, malam minggu hampir tengah malam. Setelah perjalanan jauh mengeliling kota Yogya. Dewa sudah semangat menebar senyuman bahagia, kali ini kami benar-benar berniat beribadah. Masih ada waktu sebelum subuh tiba. Aku lebih dulu masuk ke kamar mandi, bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi. Aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Dewa merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan. Senyum merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditioner. Inilah saatnya, perjanjian langit dan bumi beradu dalam tatap dan sentuhan halal. Di antara aktivitasku yang sedang membersihkan diri, tiba-tiba aku mendengar pintu kamar mandi diketuk. Kubuka selot kamar mandi lalu me

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Malam Pertama

    Layaknya orang bodoh. Aku memastikan pintu kamar tertutup sempurna. Sengaja aku mendahului Dewa untuk pergi ke kamar pengantin lebih dulu.Entah kenapa sepanjang resepsi aku berasa sangat gerah dan tubuhku rasanya sangat berat. Sepertinya aku mulai merasa pikiran dan hatiku mulai tidak konsen.Aneh. Setiap melihat ke arah Dewa seolah waktu berhenti dan semua gerakan tubuhnya menjadi provokasi untukku. Ya Salam! Aku mengambil wudhu untuk menenangkan hatiku yang tak tenang. Apakah ini efek malam pertama? Jika iya, mungkin aku sedang terkena syndromnya.Cukup lama aku melakukan bersih-bersih di dalam kamar mandi. Semua tak ada yang terlewat aku bersihkan, dari mulai tubuh sampai rambut hingga akhirnya selesai Aku pun keluar setelah berganti baju dengan piyama. Karena rambutku masih basah, kuputuskan untuk mengeringkan rambut sambil menikmati suasana pemandangan malam di balkon hotel.Harus kuakui selera Dewa memang sama denganku, kami sama-sama suka hotel yang berada di ketinggian. L

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Nikah

    "Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Zania binti Raihan Akbari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Bagaimana sah?""Sah!"Alhamdullilah. Aku menyusut air mata yang mengalir dari sudut pipi.Kalimat perjanjian dunia-akhirat itu akhirnya terucap lancar dari mulut Dewa. Haru, syahdu dan mendebarkan.Suara-suara doa serempak terdengar memenuhi ruangan tempat akad dilaksanakan. Perlahan aku menoleh ke arah Ibu yang tengah menatap datar dengan rona yang sulit dibaca. Aku tahu Ibu masih belum ikhlas melihat aku menikah dengan Dewa tapi dikarenakan Dewa berjanji tidak akan mengecewakanku dan memohon demi kesehatan Gio, akhirnya Mamah menyerah. Mungkin mereka tak menyangka akhirnya bisa mengantarkan anaknya ke jenjang perkawinan. Satu beban yang paling berat pun teralih sudah. "Papa! Bunda!"Gio yang kini telah sehat langsung berlari ke arahku dan Dewa. Kedua tangan mungilnya dengan bahagia memeluk kami berdua. Kurasa tiada yang lebih indah dari ini, menyaksikan Dewa dan Gio berada

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Keputusan Terbaik

    Pandangan taman rumah sakit di hadapan kami sore ini sama sekali tak menolong aku dan Dewa yang terjebak dalam hening. Pria itu terus menatapku, saat aku dan dia tengah duduk dengan posisi saling menyerong di kursi panjang yang tepat berada di bawah pohon akasia nan rindang ini.Tatapan Dewa seakan ingin menghitung setiap inci wajahku, saking lamanya dia memandang tanpa berbicara. Tanpa ada suara, hanya matanya yang mengatakan satu kata, 'cemas'. Begitulah yang kutangkap, sebuah rasa yang sama dengan yang aku punya.Akhirnya aku pura-pura jengah, jika hanya saling terdiam. "Jika Mas tidak mau menjelaskan kenapa tadi tiba-tiba melamar saya? Lebih baik saya langsung ke kamar rawat Gio karena itulah tujuan saya ke sini," ucapku menekannya karena bingung mengapa dia mencegah aku menemui Gio. Aku hampir saja beranjak ketika suara Dewa terdengar."Semua karena Gio, Nia," potongnya cepat untuk menahan tubuhku beranjak dari kursi. Aku berdecak sambil membuang muka ke arah lain. Hening

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Syok

    Aku berbicara dengan Dimas ketika Bu Naya sudah pergi keluar sekolah. Selesai mengucapkan terima kasih, tinggallah aku dengan Dimas yang masih menunggu di samping ruang guru.Dengan langkah gontai aku terus mendekat ke arah Dimas. Jujur, aku lagi malas banget ngobrol sama Dimas, terlebih pas dia bilang kangen di depan Bu Naya yang notabene berpihak pada Dewa.Bagaimana jika Bu Naya bilang sama Dewa? Kan kacau balau."Sebenarnya apa maksud kamu datang ke sini?" tanyaku to the point. Tak kuduga semalam ini aku melihat mantan lelaki yang akan menikahiku itu sekarang tengah berdiri dengan wajah sayu, memandangku.Dimas menengokkan kepala untuk melihatku."Sudah kubilang kan, aku kangen," ucap Dimas seraya berdiri dan lalu menghampiriku. "Sudah lama, ya kita gak ketemu, kalau kamu kangen gak?" godanya menyebalkan. Aku lihat wajah Dimas begitu kacau seolah dia memiliki persoalan yang berat. Melihatnya begini, aku jadi ingat ucapan Bu Tia dan diam-diam jadi merasa bersalah tapi hatiku tak b

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Overthingking

    Esok harinya, aku berangkat kerja dengan perasaan tak menentu, terlebih kepalaku rasanya berat sekali seolah ada bata yang ditimpakan ke atasnya. Mungkin ini terjadi akibat semalam aku benar-benar gak bisa tidur, pertemuan dengan Dewa di sore hari dan rasa bersalah padanya telah membuatku overthingking."Nia, sekarang saya hanya bisa memberi kamu waktu untuk kembali percaya sama saya. Saya tahu kamu mungkin belum sepenuhnya memaafkan dan saya juga tidak perduli kamu menolak atau tidak. Tapi, ada hal yang kamu harus tahu. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai kamu sedalam dan sekuat saya."Sekali lagi, ucapan Dewa sebelum aku pergi dari ruangannya terngiang di benak. Lelaki itu mengatakan hal tersebut dengan nada penuh penekanan membuatku semakin merasa bersalah. "Ya Allah." Aku mendesah sambil terus menatap kosong ke arah lorong sekolah yang menuju ruang guru. Akibat memikirkan hal itu, aku jadi lama berjalan. Beruntung, hari ini kelas gak banyak jadi aku bisa bersantai dulu karena j

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Perasaan

    Dari : Pipit [Bu Nia, kamu dipanggil lagi ke ruangan Bu Tia?] Dari : Lea [Bu Nia, gak nyangka ternyata kamu nolak Pak Dewa, ya ampun! Sungguh terlalu tapi gak apa-apa bagus biar saya ada peluang. ] Fr: Silvi [Iya bener, aku juga mau dong ngantri. Biar Bu Nia mah sama Pak Dimas aja gakgakgak.] "Astaghfirullah!"Aku beristighfar melihat tiga chat yang mampir ke ponselku sore ini. Benar-benar ya gosip di kalangan para guru dan wali murid SD itu menakutkan. Jujur, aku tidak paham dari mana mereka tahu perihal aku yang menolak Dewa, sebab perasaan kemarin malam gak ada siapa-siapa.Apa mungkin Dewa yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, Dewa bukan tipe orang yang suka membocorkan masalah pribadi."Oh, ya Allah! Tolong!" Aku mendesah lelah. Sore ini sesuai janjiku pada Bu Tia, dengan semangat 45 aku mendatangi kantor Dewa dan beruntungnya menurut sekretaris Dewa, katanya Dewa masih ada di dalam ruangannya. Lalu, di sinilah aku, berdiri dengan dada yang berdebar dan perasaan yang tak

DMCA.com Protection Status