Meriah. Satu kata yang dapat menggambarkan keriuhan suasana pernikahanku hari ini yang mengusung adat sunda, adat sunda dipilih oleh Ayah karena itu tanah kelahirannya sekalipun kami tinggal kini bukan di daerah Jawa Barat. Wajah semua orang nampak bersuka cita, terlebih rona bahagia jelas terlihat di wajah keluargaku, mungkin mereka merasa sudah lega karena satu-satunya anak perempuan tanggungan Ayah akan melepaskan diri juga.
Aku menatap wajahku di kaca yang sudah siap dengan segala macam asesoris khas pengantin sunda.
Sedari subuh, kubiarkan mukaku yang kuyu karena habis bergadang dalam tangis diberikan tambahan riasan oleh Mbak Dina tukang rias kami sehingga terlihat cantik. Namun, tetap saja bagiku wajah yang kupandangi sekarang tak lebih dari sekedar kedok untuk menutupi hatiku yang risau.
"Jangan deg-degan ya, tenang Mas nya pasti datang kok!" ujar Dina sebelum dia dan timnya pergi kemudian meninggalkanku sendiri dalam kamar yang sudah dihias. Aku hanya tersenyum tipis menjawab godaan mereka. Sebenarnya bukan Dimas yang aku gelisahkan kedatangannya sekarang namun Dewa.
Apakah dia akan datang? Apakah dia akan baik-baik saja? Apakah Gio akan datang bersamanya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak seharusnya ada di benakku malah berkeliaran. Bohong. Jika aku merasa pasca obrolanku dengan Rena hatiku akan baik-baik saja, karena jelas sejujurnya jika saja aku punya nyali maka akan kulakukan demi menyelamatkan sebuah hati Tapi, keputusan sudah diambil, janur telah dinaikan dan tamu sudah mulai berdatangan, itu artinya maka biarkan aku memenjarakan diriku paling tidak untuk membiarkan keluargaku dalam kebahagiaan mereka.
Aku melirik jam di dinding, kurang lebih sebentar lagi rombongan keluarga Dimas kabarnya akan sampai. Aku menghela nafas berat, mungkin ini saatnya aku mengikhlaskan diri menjadi istri Dimas Haryadi, pria pilihan Ayah.
"Bu Guru cantik ya Pah?"
Tiba-tiba sebuah suara anak kecil menyapa telingaku. Refleks aku berdiri dan memutar tubuh 180 derajat hingga aku menghadap ke pintu.
"Gio?" pekikku tertahan. Jangan ditanya seberapa kagetnya aku, ketika melihat Gio dan Papahnya tengah berdiri di ambang pintu kamarku yang memang kubiarkan terbuka. Mereka memakai jas dan kemeja yang sama, layaknya kembar beda generasi.
"Iya, Bu Guru cantik.” Dewa menjeda kalimatnya, “heum ... Nia, selamat ya semoga pernikahanmu membahagiakan!" ujar Dewa terdengar tenang namun mata lelaki itu tak terlihat demikian.
"Iya, terimakasih."
Aku dan Dewa saling pandang dalam diam. Kami terjebak dalam pertaruhan rasa yang tak bisa disuarakan. Hening menyergap seketika, hanya detakan jam yang terdengar memecah kesunyian.
"Bu Guru dan Ayah kok malah bengong?" tegur Gio bingung memecah kesunyian.
"Eh, iya? Maaf, Ibu hanya kaget bagaimana bisa kalian bisa masuk ke sini?" kilahku sambil mengalihkan pandangan pada Gio begitupun Dewa.
Kami sadar di antara hati kami yang tersakiti, ada satu hati lagi yang harus kami jaga, yaitu hati Gio. Maka sekalipun kami ingin menyelesaikan kisah masa lalu, tentu sekarang bukan saatnya. Aku bergegas menghampiri mereka, mendekatkan jarak.
"Maaf, tadi saya ijin sama Ibu kamu, karena Gio memaksa terus pingin masuk, katanya ingin lihat Bu Guru, terpaksa saya harus memohon untunglah Ibumu pengertian, dia masih baik seperti dulu," jelas Dewa seraya tersenyum canggung kemudian mengelus puncak kepala Gio.
"Iya, Gio hanya ingin melihat Bu Guru sebelum Bu Guru dibawa pergi Om itu!" ujar Gio sedih, pipi bakpaunya nampak pucat. Aku memandang keduanya dengan perasaan haru. Sampai akhirnya pandanganku berhenti pada kedua mata milik Dewa yang memandangku dengan sorot yang tak bisa diartikan.
"Terimakasih, sudah datang. Dewa, saya minta maaf jika--"
"Nia, keluarga Dimas sudah datang, ayo bersiap!" Tiba-tiba sebuah suara dari arah tangga memutus ucapanku.
"Dewa saya--"
"Sudah Nia, lupakan tentang apapun kali ini, termasuk tentang sikap saya dan Gio sebelumnya. Saya gak masalah saya tetap bahagia sama Gio, kamu berhak mengambil kebahagiaanmu jangan khawatirkan kami, oke? Kami permisi!"
Mendengar ungkapan Dewa yang tulus barusan membuatku sadar bahwa dua orang lelaki beda umur itu begitu mencintaiku dengan cara mereka, sementara aku terlambat menyadarinya. Aku menatap Dewa memberi tatapan sedih, menahan dia untuk jangan dulu pergi, tapi sayang Dewa menolak. Mungkin dia tak enak ketika melihat Ibu dan beberapa orang tengah menuju ke kamarku.
"Ayo sayang, Bu Guru harus bersiap-siap!" ajak Dewa pada Gio yang masih diam menatapku.
"Gio, ayo! Kita jangan mengganggu Bu Guru lagi!" paksa Dewa.
Dewa hari ini seakan berbeda, dia terlihat lebih rasional dari sebelumnya namun sikapnya yang seolah ikhlas itu malah menimbulkan tanda tanya.
"Sebentar Papah!" Gio melepaskan kaitan tangannya dengan Dewa lalu berlari memelukku.
Buk! Tubuh anak itu langsung aku tangkap, tak terasa buliran bening menetes saat kudekap erat tubuhnya yang bongsor untuk seusianya.
"Gio, masih berharap Ibu mau menikah dengan Papah!" ujar Gio pelan tapi cukup membuat mata dan hatiku seakan tertusuk sesuatu.
Ibu dan Bibi membawaku menuju ke tempat akad. Mereka mengamit lenganku dengan hati-hati, seakan takut aku akan terluka. Semua mata memandangku penuh takjub, satu sama lain berbisik seakan hari ini bukan hanya milikku dan akupun berdoa semoga Dewa merasakan yang sama.Ketika tiba di masjid, pertama kali yang kulihat adalah Dimas. Calon suamiku yang sedang duduk di depan penghulu, kedua keluarga sepakat merendengkan kedua calon mempelai saat akad terucap. Harus kuakui, Dimas sungguh tampan dengan baju pengantin sunda yang tampak pas di tubuhnya. Dimas menatapku tanpa ekspresi, menelusup rasa aneh pada dadaku saat Dimas malah mengalihkan pandangan.Memang seminggu menjelang pernikahan kemarin Dimas mulai jarang menghubungiku, bahkan malam tadi pun dia hanya menelepon sekedar basa-basi, aku berdoa ini bukan pertanda buruk. Mataku aktif mengedar ke sekeliling melihat suasana masjid, semua keluarga nampak lengkap hadir tapi sebenarnya bukan mereka yang aku cari.Aku menghela nafas mengambil
"Assalammu'alaikum. Semuanya! Gimana kangen gak sama Bu Guru?" Aku menunjukan wajah ceria di depan murid-muridku. Entah kenapa aku selalu merasa awet muda kalau kembali ke aktivitas mengajarku."Wa'alaikumsalam. Kangen banget Bu Guru!" jawab mereka kompak. Aku tersenyum sumringah, alhamdullilah pagi hari ini, aku bersyukur bisa melihat wajah mereka lagi."Semuanya pada sehat kan?" tanyaku lagi."Sehat Bu, kami seneng Bu Guru kembali lagi!" cengir Helen menunjukan deretan giginya yang bolong-bolong."Iya, Bu Guru liburnya Kelamaan sih!" Diani protes, mulutnya manyun lucu."Iya, bener tuh!" Koar semua anak.Aku tertawa geli mendengar serangan para muridku yang sangat menggemaskan, mulut-mulut kecil mereka berebut bertanya ini dan itu karena sebulan sudah aku tak menyapa mereka. Judulnya hari ini mungkin aku lagi menikmati masa kangen dengan mereka."Iya, sekarang kan Bu Guru ada di sini, coba Bu Guru absen ya?" Aku mengambil daftar absen yang ada di meja. Kebiasaanku sebelum menyebutkan
Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa."Bu Guruuu!"Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan."Gioooo!"Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spon
Jakarta memang banyak memberikan arti bagiku. Ibu kota ini memiliki arti lebih karena sebuah janji dan pertemuan yang menyimpan perih.Janji untuk tidak menyesali keputusan yang diambil dan pertemuan yang merubah kata 'harapan' menjadi kata 'ikhlas'.Rentetan kejadian yang mengejutkan tentang kembalinya Dewa dengan membawa Maura, layaknya ucapan Cinta pada Rangga. Betul! Yang dia lakukan padaku itu jahat.Sejahat ban motor yang tiba-tiba bocor, eh, bukan! Lebih jahat Dewa sebenarnya.Ya, pagi ini aku mengalami kejadian sial yaitu ban bocor padahal aku sedang terburu-buru ke sekolah. Aku memicingkan mata, sejauh mata memandang aku tak melihat bengkel sama sekali.Aku menghela nafas berat, setelah Dewa mengabaikanku sekarang motor ini juga mengabaikanku.Jam di tanganku menunjukan pukul tujuh pagi. Itu berarti setengah jam lagi kegiatan KBM akan dimulai, aku berdiri gelisah jika tak cepat kuselesaikan masalah ban bocor ini mungkin bisa jadi aku akan telat dan mendapat nyanyian dari Bu W
"Selamat pagi beranjak siang anak-anak!"Bukan.Itu bukan suaraku itu suara Dewa. Aku terkejut melihat dia mampir ke kelasku, padahal sudah aku sampaikan lewat nomornya yang baru untuk menitipkan kunci pada Pak Satpam saja."Ih, ada Papahnya Giooooo!" Koar anak-anak kompak. Aku langsung melotot melihat Dewa yang masih tersenyum lebar tanpa dosa ke semua anak."Papah!" Melihat Dewa diambang pintu kelas, anak itu langsung menyambut papahnya."Hey, jagoan! Gimana sekolahnya seneng gak?" Dewa mengacak rambut anaknya seolah sudah lama mereka berpisah padahal baru sejam.Gio mengangguk antusias. "Seneng Papah, Bu Nia ngajarnya enak.""Wah, itu baru bagus!" Sebelum kelas lebih gaduh lagi, dengan tergesa aku menghampiri Dewa, berdiri tepat di depannya hingga pria itu menyunggingkan senyum."Ngapain masuk? Kan, saya udah bilang jangan ke kelas," bisikku kesal."Pak Satpamnya lagi sibuk ngupil, saya kasihan. Jadi saya masuk aja ke sini," jawab Dewa asal.Dewa selalu seperti ini, bertindak seen
"Bu Nia, Bu Annisa Zania maaf saya memanggil Bu Nia ke ruangan, saya mendapat laporan dari Bu Welly katanya pagi tadi Bu Nia malah mengobrol dengan Pak Dewa bukannya mengajar?"Aku terhenyak menerima pertanyaan tiba-tiba itu dari Bu Tia, beliau adalah Kepsek di tempatku mengajar. Selepas mengajar tadi aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya, ternyata untuk mempermasalahkan hal yang terjadi tadi pagi."Maaf Bu, kabar itu tak sepenuhnya benar, saya memang mengobrol tapi tidak lama karena Pak Dewa hanya membantu saya mengganti ban motor saya yang bocor. Maaf jika hal itu membuat ketidaknyamanan, tapi saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi." Aku memandang Bu Tia meminta pemakluman.Sebenarnya aku heran, kenapa Bu Welly Wakasek begitu sensitif jika berkenaan denganku? Hal ini terjadi semenjak Dewa selalu mengirim salam lewat Gio dan kabar aku nggak jadi menikah memperburuk sikapnya.Bu Tia mengangguk, kemudian memandangku dengan tatapan perhatian, Bu Tia itu pemimpin yang bijak dia c
"Nia? Nia? Kamu masih di situ kan?" Suara Dimas terdengar cemas di ujung telepon. Aku memaksakan senyum lalu mengangguk ke Maura tapi tidak pada Dewa yang menatapku penuh tanda tanya. Sadar Dimas yang terus memanggilku di telepon, akhirnya aku meminta ijin menjawab telepon dari Dimas di luar toko. Sebuah alasan yang tepat agar aku tak terjebak dalam pandangan keduanya yang membuat dadaku panas."Dimas, saya di Mall Grande, udah ya!" tutupku tergesa setelah mengucapkan salam. Aku langsung menyandarkan tubuh ke dinding lemah, tak bisa kusembunyikan hatiku yang sakit melihat mereka berdua bersama.Aku mendekap ponsel di dada. Mungkin aku sedang syok dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba atau mungkin aku tengah cemburu? Entahlah, karena aku tak yakin dengan hakku."Siapa yang nelepon? Dimas?"Eh? Suara itu? Aku langsung membalikan badan kaget dengan pertanyaan yang berasal dari suara yang sangat aku kenal."Pak Dewa?"Tanpa kutahu ternyata sedari tadi Dewa berdiri di belakangku, mata elan
Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi diantarnya. Meski berat tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga."Masih miki