Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa.
"Bu Guruuu!"
Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan.
"Gioooo!"
Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.
Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spontan menyejajarkan diri dengan Gio, entah kenapa aku merasakan ikatan batin yang gak biasa saat memeluk tubuhnya lagi.
"Gio, Bu Guru kangen, kamu apa kabar?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
"Gio baik Bu, Gio juga kangen. Bu Guru udah nikahnya?" tanya Gio polos.
Aku menggeleng sambil tersenyum, "Bu Guru gak jadi nikah," jawabku sambil mengelus rambutnya.
"Kenapa?" Mulut Gio membulat.
"Karena Bu Guru masih ingin lebih banyak sama Gio dan teman-teman," kilahku membuat alasan yang bisa dipahaminya.
Gio bersorak bahagia, diam-diam aku kangen mendengar salam darinya lagi.
"Gio, ke sini sama Papah?" Pertanyaan yang sedari tadi aku tahan keluar juga, maafkan aku Ya Allah yang tak bisa menahan diri.
Wajah ceria Gio spontan berubah, "Enggak, Gio ke sini sama ...."
"Sama saya. Kenalkan saya Maura, pacarnya Dewa yang mungkin akan menjadi calon Ibu Gio!"
Aku terperangah melihat sosok wanita seksi tiba-tiba hadir di depanku dengan mengulurkan tangannya. Sontak aku berdiri mensejajarkan tinggi dengan wanita itu.
Sekarang, detik ini juga, jujur aku seperti orang bodoh. Hanya bisa menatap tanpa suara. Kupaksakan tanganku yang gemetar menjabat tangan wanita bernama Maura itu.
"Pacarnya Pak Dewa?" ulangku seakan butuh penegasan.
"Iya. Papahnya Gio." Wanita bernama Maura itu mengangguk mantap.
Mendengar jawaban Maura, aku langsung terhentak. Mungkin aku terlalu jauh menangkap rasa, berharap semua sama seperti sebelumnya. Mungkin aku terlalu naif masih berharap waktu tak berubah secepat itu, sehingga tanaman rasaku kini porak-poranda.
"Saya Annisa Zania, panggil saja Nia wali kelas Gio,"
'Juga mantan kekasih Pak Dewa'. Ucapku dalam hati
*****
Sebagai guru yang sedang belajar menjadi profesional, aku harus melewati semua aktivitas mengajarku senormal mungkin meski ingatan perkenalan dengan Maura menganggu jiwa juga pikiranku.
Aku masih berharap semua hanya mimpi dan Maura hanya mengaku-ngaku tapi ketika tadi melihat wajah Gio yang seakan murung selama di kelas, membuatku yakin ada yang terjadi selama Gio dan Dewa ada di Surabaya.
Aku melirik arlojiku, sebentar lagi KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hampir usai itu tandanya aku pun harus bersiap ke kelas yang kuampu.
Selayaknya SD swasta yang mengutamakan pelayanan, khusus sekolah kami tentu jam KBM biasanya lebih banyak dibandingkan sekolah negri pada umumnya itu berarti jam pulang anak-anak pun berbeda.
Tentu hal itu berimbas pada tanggung jawabku sebagai wali kelas yang tidak boleh pulang sebelum memastikan semua anak didiknya pulang selamat ke rumah karena dikhawatirkan masih ada anak yang belum dijemput padahal hari beranjak terlalu siang.
Bel tanpa pulang pun berbunyi, aku bergegas menuju kelas 1B ketika melihat Pak Fuadi Guru Bahasa Indonesia sudah kembali dari kelasku.
Benar saja, seperti biasanya anak kelakuan anak 1B itu unik, belum sempat aku sampai di kelas mereka sudah berhamburan tak sabar, hanya beberapa anak saja yang masih tinggal di kelas.
Aku langsung menyapa para penjemput muridku, ada yang dijemput oleh orang tuanya atau supirnya, umumnya mereka orang tua yang ramah dan paham agama sehingga tak sulit berkomunikasi dengan mereka.
Setelah selesai urusan dengan para penjemput. Aku melongokan kepala ke dalam kelas, memastikan sekali lagi bahwa tak ada yang tertinggal. Namun, mataku langsung membulat saat aku melihat ada satu orang lagi yang masih berada di dalam kelas.
"Gio, kok belum pulang? Belum dijemput sama Pak Amin?" tanyaku kaget melihat Gio lagi tertelungkup di mejanya. Biasanya anak itu sudah pulang dijemput supir pribadinya.
Melihatku mendekat ke arahnya, Gio menghambur memelukku.
"Tante Maura belum datang, Gio bingung. Gio gak bawa hape!" rengeknya. Aku langsung menyamakan tinggi dengan Gio memandang anak itu iba.
"Jadi Tante Maura yang hari ini jemput Gio?"
Gio mengangguk, dia susut idungnya yang sudah beringus, anak itu menangis.
"Boleh, Bu Guru yang hubungi Tante? Ada nomornya?" tanyaku penuh perhatian.
Gio menggeleng, dia menundukan kepala sedih.
"Gio mau pulang Bu Guru, Gio takut di kelas sendirian!" jawabnya sedih. Dia terus-menerus merengek untuk diantarkan pulang sekalipun aku bilang aku akan menunggunya sampai Maura datang.
Aku berpikir sejenak, sebenarnya aku takut itu akan membuat kecanggungan antara aku dan Maura apalagi dia mungkin berjanji datang. Tapi melihat Gio terus merengek, tak ayal hatiku tak enak.
"Baik, Bu Guru antarkan ya?"
"Horeee!"
Gio berteriak senang, pipinya yang chubby terayun mengikuti gerakannya. Aku jadi terharu seandainya saja aku bisa terus melihatnya seperti itu.
******
Di depan pintu rumah Gio.
"Terimakasih ya Mbak, sudah mengantarkan Gio!" ujar Rena yang sebelumnya kaget aku membawa Gio pulang bukannya Maura.
Aku menjawab dengan tersenyum lalu menyerahkan Gio pada walinya sehingga aku bisa langsung pergi, meski sejujurnya aku berharap bisa melihat Dewa sebentar saja tapi itu sepertinya tak mungkin.
"Iya, maafkan saya tadinya saya mau nunggu Maura tapi katanya Gio--"
"Gio!"
Ucapanku terputus, hatiku tersentak, suara bass yang sangat familiar dan aku rindukan itu telah berteriak menyebut nama Gio. Anak yang masih berada di sampingku langsung membalikan badan begitupun aku.
"Papah!" Gio menghambur ke arah Dewa yang memandangku tak percaya. Mataku terbelalak kaget saat melihat Dewa datang dengan 2 orang pria berseragam Polisi. Aku menelan ludah, bingung.
"Kemana saja kamu? Papah nyariin! Papah cari kamu ke sekolah, Papah kira kamu diculik, lihat Papah udah bawa polisi!" ujar Dewa haru sekaligus marah. Dia peluk tubuh Gio lagi seakan takut kehilangan lalu dia berjalan menuju ke arahku yang masih mematung syok.
Wajahnya terlihat tegang, "Bu Nia, seharusnya Bu Guru hubungi saya, jika mau mengajak Gio pulang! Bu Guru tahu, saya panik dan takut anak saya kenapa-napa!" ujar Dewa dengan nada tinggi.
Tubuhku langsung menegang, inikah sikap Dewa yang harus aku dapatkan setelah aku lama merindunya? Aku menatap Dewa meradang. Lenyap rinduku menjadi serpihan.
"Pak Dewa, seharusnya Pak Dewa tanya sama pacar Pak Dewa, kenapa menjemput Gio telat? Apa Pak Dewa tidak tahu? Ponsel Pak Dewa tak bisa saya hubungi, ratusan chat saya pun tak dibalas, apa Pak Dewa masih berharap saya menghubungi Pak Dewa?" jelasku dengan luapan kekesalan. Dewa mematung mendengar semua penjelasanku, dia menatapku penuh rasa bersalah. Matanya yang asalnya terlihat marah meredup lebih hangat, tapi bagiku bentakannya barusan sangat menyakitkan, sekalipun aku salah tidak menghubunginya dia tak berhak memarahiku.
"Maaf, nomor yang itu hangus. Saya baru sadar belum konfirmasi sama Bu Guru," ujar Dewa melunak. Aku terdiam menyimpan pedih.
"Maafkan aku Nia!" gumamnya lagi lirih saat aku tetap diam, menahan tangisku di ujung mata.
"Papah jangan salahin Bu Guru, Gio yang minta Bu Guru antar Gio pulang, soalnya Tante Maura gak datang-datang," Gio menarik kemeja Dewa merajuk, dia ikut menangis melihat mataku mulai memerah.
"Sudah gak apa-apa Gio, Bu Guru paham papahmu khawatir, jika gak ada lagi yang harus diobrolkan saya permisi!" ujarku pada Dewa dan Rena.
Aku bersiap melangkahkan kaki, biarlah kali ini aku mengalah, mungkin Dewa sedang kalut. "Nia, apa boleh aku antar?" cegah Dewa terlihat sedih juga menyesal.
"Tidak! Saya gak ingin mengganggu pria yang sudah punya pasangan!" jawabku tanpa melihatnya.
Jakarta memang banyak memberikan arti bagiku. Ibu kota ini memiliki arti lebih karena sebuah janji dan pertemuan yang menyimpan perih.Janji untuk tidak menyesali keputusan yang diambil dan pertemuan yang merubah kata 'harapan' menjadi kata 'ikhlas'.Rentetan kejadian yang mengejutkan tentang kembalinya Dewa dengan membawa Maura, layaknya ucapan Cinta pada Rangga. Betul! Yang dia lakukan padaku itu jahat.Sejahat ban motor yang tiba-tiba bocor, eh, bukan! Lebih jahat Dewa sebenarnya.Ya, pagi ini aku mengalami kejadian sial yaitu ban bocor padahal aku sedang terburu-buru ke sekolah. Aku memicingkan mata, sejauh mata memandang aku tak melihat bengkel sama sekali.Aku menghela nafas berat, setelah Dewa mengabaikanku sekarang motor ini juga mengabaikanku.Jam di tanganku menunjukan pukul tujuh pagi. Itu berarti setengah jam lagi kegiatan KBM akan dimulai, aku berdiri gelisah jika tak cepat kuselesaikan masalah ban bocor ini mungkin bisa jadi aku akan telat dan mendapat nyanyian dari Bu W
"Selamat pagi beranjak siang anak-anak!"Bukan.Itu bukan suaraku itu suara Dewa. Aku terkejut melihat dia mampir ke kelasku, padahal sudah aku sampaikan lewat nomornya yang baru untuk menitipkan kunci pada Pak Satpam saja."Ih, ada Papahnya Giooooo!" Koar anak-anak kompak. Aku langsung melotot melihat Dewa yang masih tersenyum lebar tanpa dosa ke semua anak."Papah!" Melihat Dewa diambang pintu kelas, anak itu langsung menyambut papahnya."Hey, jagoan! Gimana sekolahnya seneng gak?" Dewa mengacak rambut anaknya seolah sudah lama mereka berpisah padahal baru sejam.Gio mengangguk antusias. "Seneng Papah, Bu Nia ngajarnya enak.""Wah, itu baru bagus!" Sebelum kelas lebih gaduh lagi, dengan tergesa aku menghampiri Dewa, berdiri tepat di depannya hingga pria itu menyunggingkan senyum."Ngapain masuk? Kan, saya udah bilang jangan ke kelas," bisikku kesal."Pak Satpamnya lagi sibuk ngupil, saya kasihan. Jadi saya masuk aja ke sini," jawab Dewa asal.Dewa selalu seperti ini, bertindak seen
"Bu Nia, Bu Annisa Zania maaf saya memanggil Bu Nia ke ruangan, saya mendapat laporan dari Bu Welly katanya pagi tadi Bu Nia malah mengobrol dengan Pak Dewa bukannya mengajar?"Aku terhenyak menerima pertanyaan tiba-tiba itu dari Bu Tia, beliau adalah Kepsek di tempatku mengajar. Selepas mengajar tadi aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya, ternyata untuk mempermasalahkan hal yang terjadi tadi pagi."Maaf Bu, kabar itu tak sepenuhnya benar, saya memang mengobrol tapi tidak lama karena Pak Dewa hanya membantu saya mengganti ban motor saya yang bocor. Maaf jika hal itu membuat ketidaknyamanan, tapi saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi." Aku memandang Bu Tia meminta pemakluman.Sebenarnya aku heran, kenapa Bu Welly Wakasek begitu sensitif jika berkenaan denganku? Hal ini terjadi semenjak Dewa selalu mengirim salam lewat Gio dan kabar aku nggak jadi menikah memperburuk sikapnya.Bu Tia mengangguk, kemudian memandangku dengan tatapan perhatian, Bu Tia itu pemimpin yang bijak dia c
"Nia? Nia? Kamu masih di situ kan?" Suara Dimas terdengar cemas di ujung telepon. Aku memaksakan senyum lalu mengangguk ke Maura tapi tidak pada Dewa yang menatapku penuh tanda tanya. Sadar Dimas yang terus memanggilku di telepon, akhirnya aku meminta ijin menjawab telepon dari Dimas di luar toko. Sebuah alasan yang tepat agar aku tak terjebak dalam pandangan keduanya yang membuat dadaku panas."Dimas, saya di Mall Grande, udah ya!" tutupku tergesa setelah mengucapkan salam. Aku langsung menyandarkan tubuh ke dinding lemah, tak bisa kusembunyikan hatiku yang sakit melihat mereka berdua bersama.Aku mendekap ponsel di dada. Mungkin aku sedang syok dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba atau mungkin aku tengah cemburu? Entahlah, karena aku tak yakin dengan hakku."Siapa yang nelepon? Dimas?"Eh? Suara itu? Aku langsung membalikan badan kaget dengan pertanyaan yang berasal dari suara yang sangat aku kenal."Pak Dewa?"Tanpa kutahu ternyata sedari tadi Dewa berdiri di belakangku, mata elan
Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi diantarnya. Meski berat tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga."Masih miki
Di luar suasana sudah mulai hujan, itu tandanya aku harus menahan diri untuk pulang cepat-cepat dari sekolah. Padahal, semua anak kelasku juga sudah pulang, jadi tak ada keperluanku untuk tetap ada di sekolah.Sebenarnya, aku ingin segera sampai ke rumah, karena di sana akan lebih nyaman untuk menguarkan jiwa yang sedang gundah ini daripada aku berada di bawah pandangan para guru yang sudah mulai berbeda akibat tadi pagi terjadi lagi gosip yang tak mengenakan.Aku lelah dan bimbang.Sambil menunggu hujan, aku memutuskan untuk mengerjakan evaluasi bulanan guru karena dibandingkan memikirkan ucapan Dewa yang seharian ini memang berhasil memecahkan konsentrasiku, lebih baik aku mengerjakan hal yang bisa membuat hatiku yang koyak sedikit teralih. Dewa benar-benar menjadi racun bagi otakku sekarang, setiap berbicara dengannya selalu menyisakan cerita yang tak pernah selesai, aku menarik napas berat.Derrt! Derrt! Derrt.Tiba-tiba sebuah getaran kuat sukses membuyarkan lamunan panjangku. Ta
"Hahahahahaha ...." Aku mendelik pada dua orang lelaki beda usia yang sedang duduk di depanku, sedari tadi kerjaan mereka hanya menggodaku lalu tertawa tak berhenti. Sungguh persekutuan yang tercela. Untunglah Rena yang aawalnya mau menemani tadi ijin pulang duluan sehingga dia tak ikut merundungku. Selepas kejadian salah perhatian yang kelewat mengenaskan, Dewa langsung membawa aku dan Gio ke kafe yang berada dekat dengan rumah sakit untuk makan cemilan karena Gio lapar. Sekaligus Dewa kayaknya ingin menyelamatkan wajahku sebelum viral gara-gara nangis di depan mayat yang bukan target sebenarnya. Astaga! Menyebalkan sekali diriku ini. Mau di mana muka ini aku pampang? "Udah deh Pak, saya kaya gitu karena petugas itu juga yang salah kasih info!" rutukku membela diri. Saat Dewa terus mengungkit masalah wajahku yang lucu ketika menangis. Tawa Dewa akhirnya berangsur berhenti begitupun Gio saat melihatku memajukan bibir. Aku sebenarnya heran, katanya mereka itu bukan papah dan anak
Aku memeriksa ponsel berulang kali bingung. Perasaan tidak ada yang salah tapi ... kok sepi, ya?Soalnya dari tadi perasaan tidak ada notif satupun yang masuk, bukan dari yang lain tapi dari Dewa. Jadi sebenarnya apa yang rusak? Hatiku apa hapeku? Entah. Pasca tidak jadinya makan pagi kami Dewa belum menghubungiku sama sekali. Mungkin karena kejadian itu cukup mengagetkan kami berdua, termasuk Dewa juga gagal memberikan sesuatu yang dijanjikannya untukku. Aku mendudukan pantatku di kursi, menghela nafas berat. Aku alihkan pikiranku yang sesak karena Dewa ke arah tumpukan buku PR anak-anak agar aku tak terlalu gelisah."Iya Papah, iya ini Pak Amin udah datang!"Di tengah penantianku, tiba-tiba aku mendengar suara Gio berada di luar ruangan guru sedang dihubungi seseorang, tampaknya itu Dewa. Semenjak kejadian Gio tidak jadi dijemput Maura, anak itu dibekali papahnya ponsel agar mudah dihubungi tapi tanpa paket data agar Gio tak main internet macam-macam. Untuk hal ini aku setuju den