Share

Cemburu?

Penulis: Fiska Aimma
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-06 16:02:10

Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa.

"Bu Guruuu!"

Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan  gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan.

"Gioooo!"

Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.

Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spontan menyejajarkan diri dengan Gio, entah kenapa aku merasakan ikatan batin yang gak biasa saat memeluk tubuhnya lagi.

"Gio, Bu Guru kangen, kamu apa kabar?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Gio baik Bu, Gio juga kangen. Bu Guru udah nikahnya?" tanya Gio polos.

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Bu Guru gak jadi nikah," jawabku sambil mengelus rambutnya.

"Kenapa?" Mulut Gio membulat.

"Karena Bu Guru masih ingin lebih banyak sama Gio dan teman-teman," kilahku membuat alasan yang bisa dipahaminya.

Gio bersorak bahagia, diam-diam aku kangen mendengar salam darinya lagi.

"Gio, ke sini sama Papah?" Pertanyaan yang sedari tadi aku tahan keluar juga, maafkan aku Ya Allah yang tak bisa menahan diri.

Wajah ceria Gio spontan berubah, "Enggak, Gio ke sini sama ...."

"Sama saya. Kenalkan saya Maura, pacarnya  Dewa yang mungkin akan menjadi calon Ibu Gio!"

Aku terperangah melihat sosok wanita seksi tiba-tiba hadir di depanku dengan mengulurkan tangannya. Sontak aku berdiri mensejajarkan tinggi dengan wanita itu.

Sekarang, detik ini juga, jujur aku seperti orang bodoh. Hanya bisa menatap tanpa suara. Kupaksakan tanganku yang gemetar menjabat tangan wanita bernama Maura itu.

"Pacarnya Pak Dewa?" ulangku seakan butuh penegasan.

"Iya. Papahnya Gio." Wanita bernama Maura itu mengangguk mantap.

Mendengar jawaban Maura, aku langsung terhentak. Mungkin aku terlalu jauh menangkap rasa, berharap semua sama seperti sebelumnya. Mungkin aku terlalu naif masih berharap waktu tak berubah secepat itu, sehingga tanaman rasaku kini porak-poranda.

"Saya Annisa Zania, panggil saja Nia wali kelas Gio,"

'Juga mantan kekasih Pak Dewa'. Ucapku dalam hati

*****

Sebagai guru yang sedang belajar menjadi profesional, aku harus melewati semua aktivitas mengajarku senormal mungkin meski ingatan perkenalan dengan Maura menganggu jiwa juga pikiranku.

Aku masih berharap semua hanya mimpi dan Maura hanya mengaku-ngaku tapi ketika tadi melihat wajah Gio yang seakan murung selama di kelas, membuatku yakin ada yang terjadi selama Gio dan Dewa ada di Surabaya.

Aku melirik arlojiku, sebentar lagi KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hampir usai itu tandanya aku pun harus bersiap ke kelas yang kuampu.

Selayaknya SD swasta yang mengutamakan pelayanan, khusus sekolah kami tentu jam KBM biasanya lebih banyak dibandingkan sekolah negri pada umumnya itu berarti jam pulang anak-anak pun berbeda.

Tentu hal itu berimbas pada tanggung jawabku sebagai wali kelas yang tidak boleh pulang sebelum memastikan semua anak didiknya pulang selamat ke rumah karena dikhawatirkan masih ada anak yang belum dijemput padahal hari beranjak terlalu siang.

Bel tanpa pulang pun berbunyi, aku bergegas menuju kelas 1B ketika melihat Pak Fuadi Guru Bahasa Indonesia sudah kembali dari kelasku.

Benar saja, seperti biasanya anak kelakuan anak 1B itu unik, belum sempat aku sampai di kelas mereka sudah berhamburan tak sabar, hanya beberapa anak saja yang masih tinggal di kelas.

Aku langsung menyapa para penjemput muridku, ada yang dijemput oleh orang tuanya atau supirnya, umumnya mereka orang tua yang ramah dan paham agama sehingga tak sulit berkomunikasi dengan mereka.

Setelah selesai urusan dengan para penjemput. Aku melongokan kepala ke dalam kelas, memastikan sekali lagi bahwa tak ada yang tertinggal. Namun, mataku langsung membulat saat aku melihat ada satu orang lagi yang masih berada di dalam kelas.

"Gio, kok belum pulang? Belum dijemput sama Pak Amin?" tanyaku kaget melihat Gio lagi tertelungkup di mejanya. Biasanya anak itu sudah pulang dijemput supir pribadinya.

Melihatku mendekat ke arahnya, Gio menghambur memelukku.

"Tante Maura belum datang, Gio bingung. Gio  gak bawa hape!" rengeknya. Aku langsung menyamakan tinggi dengan Gio memandang anak itu iba.

"Jadi Tante Maura yang hari ini jemput Gio?"

Gio mengangguk, dia susut idungnya yang sudah beringus, anak itu menangis.

"Boleh, Bu Guru yang hubungi Tante? Ada nomornya?" tanyaku penuh perhatian.

Gio menggeleng, dia menundukan kepala sedih.

"Gio mau pulang Bu Guru, Gio takut di kelas sendirian!" jawabnya sedih. Dia terus-menerus merengek untuk diantarkan pulang sekalipun aku bilang aku akan menunggunya sampai Maura datang.

Aku berpikir sejenak, sebenarnya aku takut itu akan membuat kecanggungan antara aku dan Maura apalagi dia mungkin berjanji datang. Tapi melihat Gio terus merengek, tak ayal hatiku tak enak.

"Baik, Bu Guru antarkan ya?"

"Horeee!"

Gio berteriak senang, pipinya yang chubby terayun mengikuti gerakannya. Aku jadi terharu seandainya saja aku bisa terus melihatnya seperti itu.

******

Di depan pintu rumah Gio.

"Terimakasih ya Mbak, sudah mengantarkan Gio!" ujar Rena yang sebelumnya kaget aku membawa Gio pulang bukannya Maura.

Aku menjawab dengan tersenyum lalu menyerahkan Gio pada walinya sehingga aku bisa langsung pergi, meski sejujurnya aku berharap bisa melihat Dewa sebentar saja tapi itu sepertinya tak mungkin.

"Iya, maafkan saya tadinya saya mau nunggu Maura tapi katanya Gio--"

"Gio!"

Ucapanku terputus, hatiku tersentak, suara bass yang sangat familiar dan aku rindukan itu telah berteriak menyebut nama Gio. Anak yang masih berada di sampingku langsung membalikan badan begitupun aku.

"Papah!" Gio menghambur ke arah Dewa yang memandangku tak percaya. Mataku terbelalak kaget saat melihat Dewa datang dengan 2 orang pria berseragam Polisi. Aku menelan ludah, bingung.

"Kemana saja kamu? Papah nyariin! Papah cari kamu ke sekolah, Papah kira kamu diculik, lihat Papah udah bawa polisi!" ujar Dewa haru sekaligus marah. Dia peluk tubuh Gio lagi seakan takut kehilangan lalu dia berjalan menuju ke arahku yang masih mematung syok.

Wajahnya terlihat tegang, "Bu Nia, seharusnya Bu Guru hubungi saya, jika mau mengajak Gio pulang! Bu Guru tahu, saya panik dan takut anak saya kenapa-napa!" ujar Dewa dengan nada tinggi.

Tubuhku langsung menegang, inikah sikap Dewa yang harus aku dapatkan setelah aku lama merindunya? Aku menatap Dewa meradang. Lenyap rinduku menjadi serpihan.

"Pak Dewa, seharusnya Pak Dewa tanya sama pacar Pak Dewa, kenapa menjemput Gio telat? Apa Pak Dewa tidak tahu? Ponsel Pak Dewa tak bisa saya hubungi, ratusan chat saya pun tak dibalas, apa Pak Dewa masih berharap saya menghubungi Pak Dewa?" jelasku dengan luapan kekesalan. Dewa mematung mendengar semua penjelasanku, dia menatapku penuh rasa bersalah. Matanya yang asalnya terlihat marah meredup lebih hangat, tapi bagiku bentakannya barusan sangat menyakitkan, sekalipun aku salah tidak menghubunginya dia tak berhak memarahiku.

"Maaf, nomor yang itu hangus. Saya baru sadar belum konfirmasi sama Bu Guru," ujar Dewa melunak. Aku terdiam menyimpan pedih.

"Maafkan aku Nia!" gumamnya lagi lirih saat aku tetap diam, menahan tangisku di ujung mata.

"Papah jangan salahin Bu Guru, Gio yang minta Bu Guru antar Gio pulang, soalnya Tante Maura gak datang-datang," Gio menarik kemeja Dewa merajuk, dia ikut menangis melihat mataku mulai memerah.

"Sudah gak apa-apa Gio, Bu Guru paham papahmu khawatir, jika gak ada lagi yang harus diobrolkan saya permisi!" ujarku pada Dewa dan Rena.

Aku bersiap melangkahkan kaki, biarlah kali ini aku mengalah, mungkin Dewa sedang kalut. "Nia, apa boleh aku antar?" cegah Dewa terlihat sedih juga menyesal.

"Tidak! Saya gak ingin mengganggu pria yang sudah punya pasangan!" jawabku tanpa melihatnya.

Bab terkait

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Kenangan

    Jakarta memang banyak memberikan arti bagiku. Ibu kota ini memiliki arti lebih karena sebuah janji dan pertemuan yang menyimpan perih.Janji untuk tidak menyesali keputusan yang diambil dan pertemuan yang merubah kata 'harapan' menjadi kata 'ikhlas'.Rentetan kejadian yang mengejutkan tentang kembalinya Dewa dengan membawa Maura, layaknya ucapan Cinta pada Rangga. Betul! Yang dia lakukan padaku itu jahat.Sejahat ban motor yang tiba-tiba bocor, eh, bukan! Lebih jahat Dewa sebenarnya.Ya, pagi ini aku mengalami kejadian sial yaitu ban bocor padahal aku sedang terburu-buru ke sekolah. Aku memicingkan mata, sejauh mata memandang aku tak melihat bengkel sama sekali.Aku menghela nafas berat, setelah Dewa mengabaikanku sekarang motor ini juga mengabaikanku.Jam di tanganku menunjukan pukul tujuh pagi. Itu berarti setengah jam lagi kegiatan KBM akan dimulai, aku berdiri gelisah jika tak cepat kuselesaikan masalah ban bocor ini mungkin bisa jadi aku akan telat dan mendapat nyanyian dari Bu W

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Jahil

    "Selamat pagi beranjak siang anak-anak!"Bukan.Itu bukan suaraku itu suara Dewa. Aku terkejut melihat dia mampir ke kelasku, padahal sudah aku sampaikan lewat nomornya yang baru untuk menitipkan kunci pada Pak Satpam saja."Ih, ada Papahnya Giooooo!" Koar anak-anak kompak. Aku langsung melotot melihat Dewa yang masih tersenyum lebar tanpa dosa ke semua anak."Papah!" Melihat Dewa diambang pintu kelas, anak itu langsung menyambut papahnya."Hey, jagoan! Gimana sekolahnya seneng gak?" Dewa mengacak rambut anaknya seolah sudah lama mereka berpisah padahal baru sejam.Gio mengangguk antusias. "Seneng Papah, Bu Nia ngajarnya enak.""Wah, itu baru bagus!" Sebelum kelas lebih gaduh lagi, dengan tergesa aku menghampiri Dewa, berdiri tepat di depannya hingga pria itu menyunggingkan senyum."Ngapain masuk? Kan, saya udah bilang jangan ke kelas," bisikku kesal."Pak Satpamnya lagi sibuk ngupil, saya kasihan. Jadi saya masuk aja ke sini," jawab Dewa asal.Dewa selalu seperti ini, bertindak seen

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Hadiah

    "Bu Nia, Bu Annisa Zania maaf saya memanggil Bu Nia ke ruangan, saya mendapat laporan dari Bu Welly katanya pagi tadi Bu Nia malah mengobrol dengan Pak Dewa bukannya mengajar?"Aku terhenyak menerima pertanyaan tiba-tiba itu dari Bu Tia, beliau adalah Kepsek di tempatku mengajar. Selepas mengajar tadi aku tiba-tiba dipanggil ke ruangannya, ternyata untuk mempermasalahkan hal yang terjadi tadi pagi."Maaf Bu, kabar itu tak sepenuhnya benar, saya memang mengobrol tapi tidak lama karena Pak Dewa hanya membantu saya mengganti ban motor saya yang bocor. Maaf jika hal itu membuat ketidaknyamanan, tapi saya berjanji hal itu tidak akan terulang lagi." Aku memandang Bu Tia meminta pemakluman.Sebenarnya aku heran, kenapa Bu Welly Wakasek begitu sensitif jika berkenaan denganku? Hal ini terjadi semenjak Dewa selalu mengirim salam lewat Gio dan kabar aku nggak jadi menikah memperburuk sikapnya.Bu Tia mengangguk, kemudian memandangku dengan tatapan perhatian, Bu Tia itu pemimpin yang bijak dia c

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Luka

    "Nia? Nia? Kamu masih di situ kan?" Suara Dimas terdengar cemas di ujung telepon. Aku memaksakan senyum lalu mengangguk ke Maura tapi tidak pada Dewa yang menatapku penuh tanda tanya. Sadar Dimas yang terus memanggilku di telepon, akhirnya aku meminta ijin menjawab telepon dari Dimas di luar toko. Sebuah alasan yang tepat agar aku tak terjebak dalam pandangan keduanya yang membuat dadaku panas."Dimas, saya di Mall Grande, udah ya!" tutupku tergesa setelah mengucapkan salam. Aku langsung menyandarkan tubuh ke dinding lemah, tak bisa kusembunyikan hatiku yang sakit melihat mereka berdua bersama.Aku mendekap ponsel di dada. Mungkin aku sedang syok dengan keadaan yang terjadi tiba-tiba atau mungkin aku tengah cemburu? Entahlah, karena aku tak yakin dengan hakku."Siapa yang nelepon? Dimas?"Eh? Suara itu? Aku langsung membalikan badan kaget dengan pertanyaan yang berasal dari suara yang sangat aku kenal."Pak Dewa?"Tanpa kutahu ternyata sedari tadi Dewa berdiri di belakangku, mata elan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Bohong

    Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi diantarnya. Meski berat tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga."Masih miki

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Salah Sangka

    Di luar suasana sudah mulai hujan, itu tandanya aku harus menahan diri untuk pulang cepat-cepat dari sekolah. Padahal, semua anak kelasku juga sudah pulang, jadi tak ada keperluanku untuk tetap ada di sekolah.Sebenarnya, aku ingin segera sampai ke rumah, karena di sana akan lebih nyaman untuk menguarkan jiwa yang sedang gundah ini daripada aku berada di bawah pandangan para guru yang sudah mulai berbeda akibat tadi pagi terjadi lagi gosip yang tak mengenakan.Aku lelah dan bimbang.Sambil menunggu hujan, aku memutuskan untuk mengerjakan evaluasi bulanan guru karena dibandingkan memikirkan ucapan Dewa yang seharian ini memang berhasil memecahkan konsentrasiku, lebih baik aku mengerjakan hal yang bisa membuat hatiku yang koyak sedikit teralih. Dewa benar-benar menjadi racun bagi otakku sekarang, setiap berbicara dengannya selalu menyisakan cerita yang tak pernah selesai, aku menarik napas berat.Derrt! Derrt! Derrt.Tiba-tiba sebuah getaran kuat sukses membuyarkan lamunan panjangku. Ta

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Janji Dewa

    "Hahahahahaha ...." Aku mendelik pada dua orang lelaki beda usia yang sedang duduk di depanku, sedari tadi kerjaan mereka hanya menggodaku lalu tertawa tak berhenti. Sungguh persekutuan yang tercela. Untunglah Rena yang aawalnya mau menemani tadi ijin pulang duluan sehingga dia tak ikut merundungku. Selepas kejadian salah perhatian yang kelewat mengenaskan, Dewa langsung membawa aku dan Gio ke kafe yang berada dekat dengan rumah sakit untuk makan cemilan karena Gio lapar. Sekaligus Dewa kayaknya ingin menyelamatkan wajahku sebelum viral gara-gara nangis di depan mayat yang bukan target sebenarnya. Astaga! Menyebalkan sekali diriku ini. Mau di mana muka ini aku pampang? "Udah deh Pak, saya kaya gitu karena petugas itu juga yang salah kasih info!" rutukku membela diri. Saat Dewa terus mengungkit masalah wajahku yang lucu ketika menangis. Tawa Dewa akhirnya berangsur berhenti begitupun Gio saat melihatku memajukan bibir. Aku sebenarnya heran, katanya mereka itu bukan papah dan anak

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Kangen

    Aku memeriksa ponsel berulang kali bingung. Perasaan tidak ada yang salah tapi ... kok sepi, ya?Soalnya dari tadi perasaan tidak ada notif satupun yang masuk, bukan dari yang lain tapi dari Dewa. Jadi sebenarnya apa yang rusak? Hatiku apa hapeku? Entah. Pasca tidak jadinya makan pagi kami Dewa belum menghubungiku sama sekali. Mungkin karena kejadian itu cukup mengagetkan kami berdua, termasuk Dewa juga gagal memberikan sesuatu yang dijanjikannya untukku. Aku mendudukan pantatku di kursi, menghela nafas berat. Aku alihkan pikiranku yang sesak karena Dewa ke arah tumpukan buku PR anak-anak agar aku tak terlalu gelisah."Iya Papah, iya ini Pak Amin udah datang!"Di tengah penantianku, tiba-tiba aku mendengar suara Gio berada di luar ruangan guru sedang dihubungi seseorang, tampaknya itu Dewa. Semenjak kejadian Gio tidak jadi dijemput Maura, anak itu dibekali papahnya ponsel agar mudah dihubungi tapi tanpa paket data agar Gio tak main internet macam-macam. Untuk hal ini aku setuju den

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-13

Bab terbaru

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Keluarga Cemara (Tamat)

    Sebagai wanita yang baru merasakan kehamilan kedua yang kembar, aku melewatinya dengan susah payah, belum lagi akhir-akhir ini Gio minta perhatian lebih. Namun, meski agak memusingkan, sebagai Mamah idaman baginya aku harus bisa membagi perhatianku secara adil. Kalau kata Mamahku Gio berbuat begitu karena tahu dia mau punya adik. Jadi agak manja, tak seperti Mamah yang kian hari kian menerima keberadaan Dewa setelah aku hamil tentunya. Melihat Dewa yang begitu menyayangiku, Mamah yang semula meragukan akhirnya luruh. Namun, sebaliknya aku yang lebih suka emosian pada Dewa. Selain karena perubahan moodku juga sikap Gio, kurasa ada yang berbeda juga pada Dewa. Entah mengapa sekarang dia lebih posesif dan hal itu membuat aku pun lebih merasa dimanjakan dan dilindungi.Maklumlah sebelumnya dia kan sibuk, ada aja yang ia kerjakan saking banyaknya job yang ia ambil tapi semenjak aku hamil dia mulai mengurangi aktivitas. Dewa lebih sering bersamaku meski sesekali sibuk sama urusan klinik.

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Hamil (Versi Ramadhan)

    Malam itu, sepulangnya menitipkan Gio ke Rena, Dewa bukannya mengajakku pulang ke rumah untuk meeting seperti rencana. Dia malah membelokkan mobilnya ke arah bandara, seakan berada dalam penculikan aku bertanya macam-macam pada Dewa takut kalau Gio mencari kami kalau kami ke luar kota atau ke luar negeri sekarang ini. "Udah gak apa-apa, namanya juga bulan madu jangan khawatir oke?" jawab Dewa ketika aku terus bertanya akan dibawa kemana. "Tapi kan gimana kalau Gio nyariin?" cecarku tak puas. Dewa tidak menjawab, dia hanya tersenyum penuh misteri membuatku malas bertanya lagi. Takutnya, nanti aku malah diturunin di tengah jalan lagi, padahal masih pengantin baru. Sampai di Bandara, barulah Dewa menjelaskan maksudnya mengajakku ke Bandara adalah karena kami akan ke Bali. Kebetulan, ada temannya yang mengundang kami datang ke nikahan mereka sekalian katanya ini adalah moment yang pas untuk kami berbulan madu. Mendengar penjelasannya, hatiku diam-diam bersorak bahagia. Sepanjang perj

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Bulan Madu

    Bulan madu bagi pengantin baru itu, sebenarnya keniscayaan. Semenjak kami memiliki Beby Sitter cadangan yaitu Rena dan suaminya, kami bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama.Saat itu, malam minggu hampir tengah malam. Setelah perjalanan jauh mengeliling kota Yogya. Dewa sudah semangat menebar senyuman bahagia, kali ini kami benar-benar berniat beribadah. Masih ada waktu sebelum subuh tiba. Aku lebih dulu masuk ke kamar mandi, bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi. Aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Dewa merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan. Senyum merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditioner. Inilah saatnya, perjanjian langit dan bumi beradu dalam tatap dan sentuhan halal. Di antara aktivitasku yang sedang membersihkan diri, tiba-tiba aku mendengar pintu kamar mandi diketuk. Kubuka selot kamar mandi lalu me

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Malam Pertama

    Layaknya orang bodoh. Aku memastikan pintu kamar tertutup sempurna. Sengaja aku mendahului Dewa untuk pergi ke kamar pengantin lebih dulu.Entah kenapa sepanjang resepsi aku berasa sangat gerah dan tubuhku rasanya sangat berat. Sepertinya aku mulai merasa pikiran dan hatiku mulai tidak konsen.Aneh. Setiap melihat ke arah Dewa seolah waktu berhenti dan semua gerakan tubuhnya menjadi provokasi untukku. Ya Salam! Aku mengambil wudhu untuk menenangkan hatiku yang tak tenang. Apakah ini efek malam pertama? Jika iya, mungkin aku sedang terkena syndromnya.Cukup lama aku melakukan bersih-bersih di dalam kamar mandi. Semua tak ada yang terlewat aku bersihkan, dari mulai tubuh sampai rambut hingga akhirnya selesai Aku pun keluar setelah berganti baju dengan piyama. Karena rambutku masih basah, kuputuskan untuk mengeringkan rambut sambil menikmati suasana pemandangan malam di balkon hotel.Harus kuakui selera Dewa memang sama denganku, kami sama-sama suka hotel yang berada di ketinggian. L

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Nikah

    "Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Zania binti Raihan Akbari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Bagaimana sah?""Sah!"Alhamdullilah. Aku menyusut air mata yang mengalir dari sudut pipi.Kalimat perjanjian dunia-akhirat itu akhirnya terucap lancar dari mulut Dewa. Haru, syahdu dan mendebarkan.Suara-suara doa serempak terdengar memenuhi ruangan tempat akad dilaksanakan. Perlahan aku menoleh ke arah Ibu yang tengah menatap datar dengan rona yang sulit dibaca. Aku tahu Ibu masih belum ikhlas melihat aku menikah dengan Dewa tapi dikarenakan Dewa berjanji tidak akan mengecewakanku dan memohon demi kesehatan Gio, akhirnya Mamah menyerah. Mungkin mereka tak menyangka akhirnya bisa mengantarkan anaknya ke jenjang perkawinan. Satu beban yang paling berat pun teralih sudah. "Papa! Bunda!"Gio yang kini telah sehat langsung berlari ke arahku dan Dewa. Kedua tangan mungilnya dengan bahagia memeluk kami berdua. Kurasa tiada yang lebih indah dari ini, menyaksikan Dewa dan Gio berada

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Keputusan Terbaik

    Pandangan taman rumah sakit di hadapan kami sore ini sama sekali tak menolong aku dan Dewa yang terjebak dalam hening. Pria itu terus menatapku, saat aku dan dia tengah duduk dengan posisi saling menyerong di kursi panjang yang tepat berada di bawah pohon akasia nan rindang ini.Tatapan Dewa seakan ingin menghitung setiap inci wajahku, saking lamanya dia memandang tanpa berbicara. Tanpa ada suara, hanya matanya yang mengatakan satu kata, 'cemas'. Begitulah yang kutangkap, sebuah rasa yang sama dengan yang aku punya.Akhirnya aku pura-pura jengah, jika hanya saling terdiam. "Jika Mas tidak mau menjelaskan kenapa tadi tiba-tiba melamar saya? Lebih baik saya langsung ke kamar rawat Gio karena itulah tujuan saya ke sini," ucapku menekannya karena bingung mengapa dia mencegah aku menemui Gio. Aku hampir saja beranjak ketika suara Dewa terdengar."Semua karena Gio, Nia," potongnya cepat untuk menahan tubuhku beranjak dari kursi. Aku berdecak sambil membuang muka ke arah lain. Hening

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Syok

    Aku berbicara dengan Dimas ketika Bu Naya sudah pergi keluar sekolah. Selesai mengucapkan terima kasih, tinggallah aku dengan Dimas yang masih menunggu di samping ruang guru.Dengan langkah gontai aku terus mendekat ke arah Dimas. Jujur, aku lagi malas banget ngobrol sama Dimas, terlebih pas dia bilang kangen di depan Bu Naya yang notabene berpihak pada Dewa.Bagaimana jika Bu Naya bilang sama Dewa? Kan kacau balau."Sebenarnya apa maksud kamu datang ke sini?" tanyaku to the point. Tak kuduga semalam ini aku melihat mantan lelaki yang akan menikahiku itu sekarang tengah berdiri dengan wajah sayu, memandangku.Dimas menengokkan kepala untuk melihatku."Sudah kubilang kan, aku kangen," ucap Dimas seraya berdiri dan lalu menghampiriku. "Sudah lama, ya kita gak ketemu, kalau kamu kangen gak?" godanya menyebalkan. Aku lihat wajah Dimas begitu kacau seolah dia memiliki persoalan yang berat. Melihatnya begini, aku jadi ingat ucapan Bu Tia dan diam-diam jadi merasa bersalah tapi hatiku tak b

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Overthingking

    Esok harinya, aku berangkat kerja dengan perasaan tak menentu, terlebih kepalaku rasanya berat sekali seolah ada bata yang ditimpakan ke atasnya. Mungkin ini terjadi akibat semalam aku benar-benar gak bisa tidur, pertemuan dengan Dewa di sore hari dan rasa bersalah padanya telah membuatku overthingking."Nia, sekarang saya hanya bisa memberi kamu waktu untuk kembali percaya sama saya. Saya tahu kamu mungkin belum sepenuhnya memaafkan dan saya juga tidak perduli kamu menolak atau tidak. Tapi, ada hal yang kamu harus tahu. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai kamu sedalam dan sekuat saya."Sekali lagi, ucapan Dewa sebelum aku pergi dari ruangannya terngiang di benak. Lelaki itu mengatakan hal tersebut dengan nada penuh penekanan membuatku semakin merasa bersalah. "Ya Allah." Aku mendesah sambil terus menatap kosong ke arah lorong sekolah yang menuju ruang guru. Akibat memikirkan hal itu, aku jadi lama berjalan. Beruntung, hari ini kelas gak banyak jadi aku bisa bersantai dulu karena j

  • Bu Guru, Ada Salam Dari Papa!   Perasaan

    Dari : Pipit [Bu Nia, kamu dipanggil lagi ke ruangan Bu Tia?] Dari : Lea [Bu Nia, gak nyangka ternyata kamu nolak Pak Dewa, ya ampun! Sungguh terlalu tapi gak apa-apa bagus biar saya ada peluang. ] Fr: Silvi [Iya bener, aku juga mau dong ngantri. Biar Bu Nia mah sama Pak Dimas aja gakgakgak.] "Astaghfirullah!"Aku beristighfar melihat tiga chat yang mampir ke ponselku sore ini. Benar-benar ya gosip di kalangan para guru dan wali murid SD itu menakutkan. Jujur, aku tidak paham dari mana mereka tahu perihal aku yang menolak Dewa, sebab perasaan kemarin malam gak ada siapa-siapa.Apa mungkin Dewa yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, Dewa bukan tipe orang yang suka membocorkan masalah pribadi."Oh, ya Allah! Tolong!" Aku mendesah lelah. Sore ini sesuai janjiku pada Bu Tia, dengan semangat 45 aku mendatangi kantor Dewa dan beruntungnya menurut sekretaris Dewa, katanya Dewa masih ada di dalam ruangannya. Lalu, di sinilah aku, berdiri dengan dada yang berdebar dan perasaan yang tak

DMCA.com Protection Status