Aku pulang diantar Dimas. Sepanjang perjalanan kuputuskan hanya berdiam diri. Dimas memaksa Pipit untuk membiarkan aku pergi diantarnya. Meski berat tapi karena aku takut mengecewakan Dimas, akhirnya aku dengan berat hati mengiyakan.Jalanan menuju rumahku memang rawan macet. Namun, sesaknya kendaraan yang menghalangi jalan mobil Dimas yang mengantarku tak sesesak perasaanku sekarang. Jasad memang bisa jadi berada bersama orang lain, tapi hati siapa yang sanggup memenjarakannya? Dia berkelana sesukanya meski kita mencoba sebisa mungkin mengendalikan diri.Jika aku pikirkan, mencintai Dewa layaknya aku menggenggam pasir. Sekalipun aku menggenggam kuat dia akan lepas dengan sendirinya. Mungkin inilah saatnya aku menepi. Kadang kita harus memberi waktu pada hati untuk memilih mana yang harus diendapkan atau dihilangkan, termasuk membiarkan Dewa dalam kesalahpahamannya. Percuma aku menyuapi harapan, karena yang seharusnya pergi akan tetap pergi meski sekuat apapun aku menjaga."Masih miki
Di luar suasana sudah mulai hujan, itu tandanya aku harus menahan diri untuk pulang cepat-cepat dari sekolah. Padahal, semua anak kelasku juga sudah pulang, jadi tak ada keperluanku untuk tetap ada di sekolah.Sebenarnya, aku ingin segera sampai ke rumah, karena di sana akan lebih nyaman untuk menguarkan jiwa yang sedang gundah ini daripada aku berada di bawah pandangan para guru yang sudah mulai berbeda akibat tadi pagi terjadi lagi gosip yang tak mengenakan.Aku lelah dan bimbang.Sambil menunggu hujan, aku memutuskan untuk mengerjakan evaluasi bulanan guru karena dibandingkan memikirkan ucapan Dewa yang seharian ini memang berhasil memecahkan konsentrasiku, lebih baik aku mengerjakan hal yang bisa membuat hatiku yang koyak sedikit teralih. Dewa benar-benar menjadi racun bagi otakku sekarang, setiap berbicara dengannya selalu menyisakan cerita yang tak pernah selesai, aku menarik napas berat.Derrt! Derrt! Derrt.Tiba-tiba sebuah getaran kuat sukses membuyarkan lamunan panjangku. Ta
"Hahahahahaha ...." Aku mendelik pada dua orang lelaki beda usia yang sedang duduk di depanku, sedari tadi kerjaan mereka hanya menggodaku lalu tertawa tak berhenti. Sungguh persekutuan yang tercela. Untunglah Rena yang aawalnya mau menemani tadi ijin pulang duluan sehingga dia tak ikut merundungku. Selepas kejadian salah perhatian yang kelewat mengenaskan, Dewa langsung membawa aku dan Gio ke kafe yang berada dekat dengan rumah sakit untuk makan cemilan karena Gio lapar. Sekaligus Dewa kayaknya ingin menyelamatkan wajahku sebelum viral gara-gara nangis di depan mayat yang bukan target sebenarnya. Astaga! Menyebalkan sekali diriku ini. Mau di mana muka ini aku pampang? "Udah deh Pak, saya kaya gitu karena petugas itu juga yang salah kasih info!" rutukku membela diri. Saat Dewa terus mengungkit masalah wajahku yang lucu ketika menangis. Tawa Dewa akhirnya berangsur berhenti begitupun Gio saat melihatku memajukan bibir. Aku sebenarnya heran, katanya mereka itu bukan papah dan anak
Aku memeriksa ponsel berulang kali bingung. Perasaan tidak ada yang salah tapi ... kok sepi, ya?Soalnya dari tadi perasaan tidak ada notif satupun yang masuk, bukan dari yang lain tapi dari Dewa. Jadi sebenarnya apa yang rusak? Hatiku apa hapeku? Entah. Pasca tidak jadinya makan pagi kami Dewa belum menghubungiku sama sekali. Mungkin karena kejadian itu cukup mengagetkan kami berdua, termasuk Dewa juga gagal memberikan sesuatu yang dijanjikannya untukku. Aku mendudukan pantatku di kursi, menghela nafas berat. Aku alihkan pikiranku yang sesak karena Dewa ke arah tumpukan buku PR anak-anak agar aku tak terlalu gelisah."Iya Papah, iya ini Pak Amin udah datang!"Di tengah penantianku, tiba-tiba aku mendengar suara Gio berada di luar ruangan guru sedang dihubungi seseorang, tampaknya itu Dewa. Semenjak kejadian Gio tidak jadi dijemput Maura, anak itu dibekali papahnya ponsel agar mudah dihubungi tapi tanpa paket data agar Gio tak main internet macam-macam. Untuk hal ini aku setuju den
Hari ini, tak ada chat Dewa lagi. Bagiku Dewa sudah seperti Jailangkung datang tak diundang, pulang pun tak diantar. Jadi sekalipun malam tadi dia bilang rindu, besok paginya bisa jadi hilang, seperti sekarang ... bushh! Lenyap dan meninggalkan jejak rindu.Dan anehnya tanpa sadar aku pun sudah terbiasa dengan cara Dewa model sekarang. Sebagai perempuan, aku mencoba memahami ada dua perkara tentang hubunganku dengan Dewa. Perkara satu memang tak ada hakku memintanya terus menghubungiku, karena aku tak ada ikatan dengannya. Walau harus kuakui aku mulai nyaman atas sikapnya yang seolah memperhatikan. Kedua kesibukan Dewa memang berbeda dari waktu dulu, pria itu semakin sibuk dan matang. Dia bagaikan lelaki yang terlalu sulit tuk digapai tapi terlalu sayang untuk dilewatkan.Begitulah. Selalu tentang Dewa.Seperti biasa, pagi ini au memarkirkan Yolanda di tempat parkir seperti biasa. Aku memicingkan mata karena merasa aneh, tumben sudah jam 7 pagi tapi belum banyak orang yang
Gio jadi pendiam dan tidak banyak tingkah hari ini. Biasanya dia akan aktif meloncat ke sana dan ke sini tapi kali ini berbeda, wajahnya murung dan membisu seakan dikasih obat penenang atau semacamnya.Meski teman-teman seusianya sudah heboh mempersiapkan acara parents day yang akan dilaksanakan dua hari lagi, anehnya anak itu hanya berdiam diri. Parents day adalah hari spesial yang disiapkan oleh sekolah kami dalam rangka memperkuat ikatan orang tua dan anak. Tak bisa dipungkiri orang tua yang menitipkan anaknya pada kami, pada umumnya sibuk hingga tak jarang anak merasa kesepian ketika kembali ke rumah. Maka parents day adalah salah satu sarana untuk mendekatkan, dengan adanya perlombaan-perlombaan yang hampir diikuti oleh semua kelas. "Jadi siapa yang semangat buat parents day?" tanyaku sebelum menutup pelajaran. "Aku!""Aku Bu Guru!" Anak-anak menjawab dengan riuh, mereka saling menimpali satu sama lain sehingga membuatku tersenyum. Sayang, kebahagianku ada yang kuran
Hari ini, hari parents day. Lapangan sekolah sudah sibuk dengan berbagai kegiatan tak terkecuali anak 1B. Sebagai wali kelas aku memakai celana training dan kaos muslimah. Semua orang sukacita, selaku panitia kami sangat bersyukur banyak orang tua yang biasanya tak hadir menyempatkan hadir. Lomba demi lomba sudah terlaksana, tinggal tarik tambang. Tarik tambang adalah perlombaan inti, karena yang maju ke babak final akan mendapatkan hadiah dari Kepala Sekolah langsung. Dan ini adalah perlombaan yang Gio dan Dewa ikuti. Aku memicing gelisah, sesekali melihat arloji karena Dewa belum juga datang. Padahal sebentar lagi kelas 1B akan bertanding dengan kelas 1A. Tarik tambang versi sekolah kami berbeda, bukan terdiri dari anak kecil atau dewasa saja tapi campuran anak dan orang tua yang mewakili masing-masing kelas. Aku mengelus puncak kepala Gio yang sedang memegang tanganku, mengalirkan energi tenang karena Gio juga mulai gelisah sepertiku yang sejak tadi melihat ke arah ger
Lelah. Satu kata yang menyudahi pekerjaanku sore menjelang malam ini, akhirnya tumpukan alat-alat perlombaan sudah aku masukan semua ke dalam lemari perkakas. Hari ini meski lelah, aku merasa bahagia alhamdullilah selain harapan kami membentuk keakraban orang tua dan anak cukup berhasil, aku juga bersyukur kelasku mendapatkan juara lomba tarik tambang. Semua karena Dewa, pria itu selalu tahu cara menangani semua masalah walaupun dia sukses membuat aku ditertawakan. Aku memukul-mukul lenganku yang rasanya remuk. Bagaimana tidak? Selain lomba tarik tambang, Bu Welly selaku penanggung jawab dari semua perlombaan masih saja menyuruhku angkat ini dan itu. Dan pekerjaan terakhir yang dia berikan adalah aku diminta membereskan semua alat-alat habis lomba parents day.Aku bingung, sebenarnya aku ini guru apa pembantu umum? Aneh. Kalau begini, rasanya malas untuk melakukan apapun lagi. Pinginnya tiduran dan pulang ke rumah secepatnya. "Nia, pulang yu! Udah kan?" tanya Pipit yan