Gio jadi pendiam dan tidak banyak tingkah hari ini. Biasanya dia akan aktif meloncat ke sana dan ke sini tapi kali ini berbeda, wajahnya murung dan membisu seakan dikasih obat penenang atau semacamnya.Meski teman-teman seusianya sudah heboh mempersiapkan acara parents day yang akan dilaksanakan dua hari lagi, anehnya anak itu hanya berdiam diri. Parents day adalah hari spesial yang disiapkan oleh sekolah kami dalam rangka memperkuat ikatan orang tua dan anak. Tak bisa dipungkiri orang tua yang menitipkan anaknya pada kami, pada umumnya sibuk hingga tak jarang anak merasa kesepian ketika kembali ke rumah. Maka parents day adalah salah satu sarana untuk mendekatkan, dengan adanya perlombaan-perlombaan yang hampir diikuti oleh semua kelas. "Jadi siapa yang semangat buat parents day?" tanyaku sebelum menutup pelajaran. "Aku!""Aku Bu Guru!" Anak-anak menjawab dengan riuh, mereka saling menimpali satu sama lain sehingga membuatku tersenyum. Sayang, kebahagianku ada yang kuran
Hari ini, hari parents day. Lapangan sekolah sudah sibuk dengan berbagai kegiatan tak terkecuali anak 1B. Sebagai wali kelas aku memakai celana training dan kaos muslimah. Semua orang sukacita, selaku panitia kami sangat bersyukur banyak orang tua yang biasanya tak hadir menyempatkan hadir. Lomba demi lomba sudah terlaksana, tinggal tarik tambang. Tarik tambang adalah perlombaan inti, karena yang maju ke babak final akan mendapatkan hadiah dari Kepala Sekolah langsung. Dan ini adalah perlombaan yang Gio dan Dewa ikuti. Aku memicing gelisah, sesekali melihat arloji karena Dewa belum juga datang. Padahal sebentar lagi kelas 1B akan bertanding dengan kelas 1A. Tarik tambang versi sekolah kami berbeda, bukan terdiri dari anak kecil atau dewasa saja tapi campuran anak dan orang tua yang mewakili masing-masing kelas. Aku mengelus puncak kepala Gio yang sedang memegang tanganku, mengalirkan energi tenang karena Gio juga mulai gelisah sepertiku yang sejak tadi melihat ke arah ger
Lelah. Satu kata yang menyudahi pekerjaanku sore menjelang malam ini, akhirnya tumpukan alat-alat perlombaan sudah aku masukan semua ke dalam lemari perkakas. Hari ini meski lelah, aku merasa bahagia alhamdullilah selain harapan kami membentuk keakraban orang tua dan anak cukup berhasil, aku juga bersyukur kelasku mendapatkan juara lomba tarik tambang. Semua karena Dewa, pria itu selalu tahu cara menangani semua masalah walaupun dia sukses membuat aku ditertawakan. Aku memukul-mukul lenganku yang rasanya remuk. Bagaimana tidak? Selain lomba tarik tambang, Bu Welly selaku penanggung jawab dari semua perlombaan masih saja menyuruhku angkat ini dan itu. Dan pekerjaan terakhir yang dia berikan adalah aku diminta membereskan semua alat-alat habis lomba parents day.Aku bingung, sebenarnya aku ini guru apa pembantu umum? Aneh. Kalau begini, rasanya malas untuk melakukan apapun lagi. Pinginnya tiduran dan pulang ke rumah secepatnya. "Nia, pulang yu! Udah kan?" tanya Pipit yan
Dulu aku mengira, saat sahabat sekaligus saudaranya menikah aku akan berada di samping Dewa tapi nyatanya kini berbeda karena Ibu melarang ku pergi bersama Dewa. Mungkin Ibu masih trauma karena dulu aku sempat mati rasa dan dikecewakan karena Dewa.Ah, inilah hal yang sulit aku dapatkan dari Ibu yaitu ... restu.Aku duduk diam di sebelah Dimas yang sedang menyetir. Sesekali matanya menatapku namun seperti biasa aku pura-pura melihat ke arah lain. Canggung. Sejujurnya aku sudah menolak agar dia tidak datang menjemputku, namun dukungan ibu membuat penolakanku sia-sia terlebih setelah tahu kami datang ke acara yang sama, yaitu pernikahan Rena, adiknya Dewa. Selama di dalam mobil kami hanya diam, aku seakan tak berniat membicarakan apapun dengan Dimas. Mungkin kali ini aku terlalu malas untuk bersikap sok manis atau mungkin aku takut jika Dewa melihat kami maka akan salah paham, entahlah yang jelas sedari tadi perasaanku tak tenang sama sekali. Tapi terlepas dari itu semua, aku
"Alhamdullilah!" Aku menepuk perut berulang kali karena terasa lega. Tidak terbayang jika aku sedikit saja terlambat dalam mengeluarkan hajat besar mungkin saat ini aku sudah menahan malu. Heran juga, perutku ini bisa merespon cepat ketika melihat siluman bernama Maura di depanku. Ya, mulai hari ini aku akan menyebutnya siluman soalnya semenjak aku memergokinya ngobrol dengan Andro, aku benar-benar semakin benci padanya. Setelah aku memastikan semua selesai, rapih dan bersih. Aku bersiap membuka kenop pintu, namun tiba-tiba tanganku tiba-tiba seakan dipaku saat suara wanita terdengar menjelek-jelekan kedua nama yang sangat aku kenal. "Iya, Gio itu anak haram kan ya? Kasian Rena, dia punya keponakan hasil dari zinah!" Sebuah suara terdengar sangat pongah menyapa telingaku. "Iya, gak nyangka ya Dewa ganteng-ganteng dulunya ih!" timpal suara lain. Mendengar obrolan mereka, rasanya ingin aku langsung keluar dan menampar mulutnya. Tapi, aku masih tahan diri, menunggu apa yan
Aku terkesiap, tak menyangka masalahnya seserius ini. Berkali-kali aku merasakan tanganku gemetar karena mendengar bentakan mereka tapi aku berusaha terlihat senormal mungkin, meski tetap saja gagal karena tanganku selalu bergetar jika sedang cemas."Maaf, tapi saya kira di sini ada kesalah-pahaman, saya juga tidak tahu kalau masalah tentang calon istri Dew--""Diam kamu! Kamu itu guru, kelakukan kaya anak TK! Harusnya kamu gak usah sok jadi pahlawan membela anak saya! Lebih baik kamu jauhi Dewa jangan dekati dia!""Ayah!" Suara Dewa menggelegar membuat Pak Breno kembali menatapnya dengan penuh kemarahan.Aku langsung bungkam, jiwaku sungguh meradang sekarang tetapi sekuat tenaga aku tahan. Jujur aku tak menyangka penghinaan Pak Breno belum berakhir, aku cengkram erat rokku menekan gejolak luka yang menghentak."Kenapa? Guru mana yang kelakuannya kaya berandal! Dia tidak pantas buat kamu Dewa! Dia itu tak mencintai kamu, ayah tahu dia kan yang membatalkan pernikahan dengan Di
Aku menyusuri jalan terotoar dengan tergesa, entah kenapa sepanjang aku berjalan aku merasa di awasi. Meski hati remuk dan jiwa berkecamuk aku harus tetap waspada pada malam hari. Sesekali aku menengok ke belakang, tapi kosong. Agh, sudahlah! Mungkin perasaanku saja. Aku menghela napas, mungkin karena kejadian buruk akhir-akhir ini, psikisku terpengaruh. Lagian tak mungkin ada hantu meskipun aku tak tahu ini jam berapa. Aku kembali berjalan menenteng high heels. Sejak tadi aku memang memilih berjalan tanpa alas kaki karena tak terbiasa pakai sepatu tinggi.Seraya berjalan, mataku berkali-kali mencari ke kanan dan ke kiri, tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Dalam kondisi ini, aku menyesalkan hapeku yang mati total."Dasar bodoh!"Aku mengumpat bete. Dalam hati aku merutuk karena telah berani mengambil jalan yang asing. Maklum, selama di Jakarta kerjaanku ya bekerja dan sudah lama tidak berkeliling Jakarta. Apalagi Jakarta itu luas, aku takut kesasar.Andai aku tadi menerima t
Impian setiap wanita adalah dilamar dengan cara paling romantis, di mana sebuah kalimat pertanyaan tentang kesediaan menjadi bukti bahwa pria itu rela meninggalkan yang lainnya dan menjadikanmu satu-satunya. "Will you marry me, Annisa Zania?" Dewa mengulang pertanyaannya. Pria itu mengambil sekotak cincin dari saku celananya lalu menyodorkan kotak merah berbentuk love yang terbuka ke arahku. Aku melotot bingung. "Pak, kenapa Bapak ngelamarnya dengan cara ini? Malu tahu Pak, ini sekolah," bisikku cemas. "Iya, saya tahu ini sekolah. Tapi, Gio minta saya melamar kamu di depan teman-temannya. Lagi pula saya sudah ijin sama Bu Enda sebagai pengelola.""Iya Pak tapi ....""Bu Nia, saya tahu dulu saya pernah mengecewakan tapi insya Allah saya pastikan mulai saat ini dan kedepannya saya akan jadi pria yang lebih baik. Demi kamu, demi Gio. Kamu mau kan nerima pinangan saya?" ulang Dewa lagi bersungguh-sungguh.Aku terdiam. Cincin dengan mata itik itu memang sangat menarik tapi lebih menari