Aku terkesiap, tak menyangka masalahnya seserius ini. Berkali-kali aku merasakan tanganku gemetar karena mendengar bentakan mereka tapi aku berusaha terlihat senormal mungkin, meski tetap saja gagal karena tanganku selalu bergetar jika sedang cemas."Maaf, tapi saya kira di sini ada kesalah-pahaman, saya juga tidak tahu kalau masalah tentang calon istri Dew--""Diam kamu! Kamu itu guru, kelakukan kaya anak TK! Harusnya kamu gak usah sok jadi pahlawan membela anak saya! Lebih baik kamu jauhi Dewa jangan dekati dia!""Ayah!" Suara Dewa menggelegar membuat Pak Breno kembali menatapnya dengan penuh kemarahan.Aku langsung bungkam, jiwaku sungguh meradang sekarang tetapi sekuat tenaga aku tahan. Jujur aku tak menyangka penghinaan Pak Breno belum berakhir, aku cengkram erat rokku menekan gejolak luka yang menghentak."Kenapa? Guru mana yang kelakuannya kaya berandal! Dia tidak pantas buat kamu Dewa! Dia itu tak mencintai kamu, ayah tahu dia kan yang membatalkan pernikahan dengan Di
Aku menyusuri jalan terotoar dengan tergesa, entah kenapa sepanjang aku berjalan aku merasa di awasi. Meski hati remuk dan jiwa berkecamuk aku harus tetap waspada pada malam hari. Sesekali aku menengok ke belakang, tapi kosong. Agh, sudahlah! Mungkin perasaanku saja. Aku menghela napas, mungkin karena kejadian buruk akhir-akhir ini, psikisku terpengaruh. Lagian tak mungkin ada hantu meskipun aku tak tahu ini jam berapa. Aku kembali berjalan menenteng high heels. Sejak tadi aku memang memilih berjalan tanpa alas kaki karena tak terbiasa pakai sepatu tinggi.Seraya berjalan, mataku berkali-kali mencari ke kanan dan ke kiri, tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Dalam kondisi ini, aku menyesalkan hapeku yang mati total."Dasar bodoh!"Aku mengumpat bete. Dalam hati aku merutuk karena telah berani mengambil jalan yang asing. Maklum, selama di Jakarta kerjaanku ya bekerja dan sudah lama tidak berkeliling Jakarta. Apalagi Jakarta itu luas, aku takut kesasar.Andai aku tadi menerima t
Impian setiap wanita adalah dilamar dengan cara paling romantis, di mana sebuah kalimat pertanyaan tentang kesediaan menjadi bukti bahwa pria itu rela meninggalkan yang lainnya dan menjadikanmu satu-satunya. "Will you marry me, Annisa Zania?" Dewa mengulang pertanyaannya. Pria itu mengambil sekotak cincin dari saku celananya lalu menyodorkan kotak merah berbentuk love yang terbuka ke arahku. Aku melotot bingung. "Pak, kenapa Bapak ngelamarnya dengan cara ini? Malu tahu Pak, ini sekolah," bisikku cemas. "Iya, saya tahu ini sekolah. Tapi, Gio minta saya melamar kamu di depan teman-temannya. Lagi pula saya sudah ijin sama Bu Enda sebagai pengelola.""Iya Pak tapi ....""Bu Nia, saya tahu dulu saya pernah mengecewakan tapi insya Allah saya pastikan mulai saat ini dan kedepannya saya akan jadi pria yang lebih baik. Demi kamu, demi Gio. Kamu mau kan nerima pinangan saya?" ulang Dewa lagi bersungguh-sungguh.Aku terdiam. Cincin dengan mata itik itu memang sangat menarik tapi lebih menari
Aku berjalan gontai melewati lorong sekolah yang sudah mulai sunyi, hanya beberapa anak kelas atas yang masih beraktivitas selebihnya kosong. Setelah lama diceramahi panjang kali lebar oleh Bu Tia, akhirnya aku bisa keluar juga dari ruangan itu. Sesuai lamaran gila tadi Bu Tia menyampaikan banyak hal dari mulai membahas tentang kejadian memalukan kemarin di nikahan Rena sampai lamaran Dewa siang ini. Intinya dari obrolan kami Bu Tia bilang, bahwa banyak guru dan orang tua yang mengeluhkan sikap Dewa dan sikapku, terlebih banyak yang mengkhawatirkan anak mereka akan mendapatkan perlakuan tidak adil karena aku yang memiliki hubungan dengan salah satu orang tua murid. Mendengar semua itu dari Bu Tia, aku hanya diam karena tidak mau menambah masalah sekalipun terasa janggal. Aku mengakui kalau terkadang sikap Dewa berlebihan, tapi untuk masalah pilih kasih pada murid itu tak pernah kulakukan. Selama aku mengajar, aku berusaha bersikap profesional dan menjadi guru yang adil bagi siapa
Hari ini pertama kalinya aku diistirahatkan dari pekerjaan sebagai guru yang sudah bertahun-tahun aku lakukan. Namun, nyatanya aku gak bisa benar-benar berlepas diri karena tadi pagi-pagi sekali, aku mendapat telepon dari Rena dengan nada panik.Dia bilang Gio dan Dewa demam secara bersamaan. Rena panik karena kali ini perempuan itu tidak bisa merawat Dewa dan Gio kaya dulu, semenjak menikah Rena diboyong suaminya untuk pindah rumah.Awal-awal aku ragu dan syok kenapa bisa kompak gitu sakitnya? Tapi setelah memastikan sendiri dengan menelpon ke rumah Dewa, terbitlah rasa penyesalan. Apakah karena penolakanku mereka jadi sakit? Kalau benar begitu, lagi-lagi aku membuat orang lain kesusahan."Iya Mbak, kasian deh Mas Dewa paling ada si Mbok aja itu pun cuman bersih-bersih Mas Dewa gak suka makanan lain kecuali masakanku atau katanya sih masakan Mbak," ujar Rena saat kutanya alasan dia meneleponku. Entah alasan apa dia bilang begitu, mungkin itu salah satu cara membujukku atau memang
"Sedang apa kamu di kamar Dewa?" Itulah kalimat pertanyaan penuh tuduhan yang kudapat dari Pak Breno karena siapa sangka bersamaan dengan menyebalkannya Dewa menggodaku, sebelah tangannya yang panjang juga seketika membuka pintu yang jaraknya dekat dari kami.Brak. Sontak saja Pak Breno dan Maura langsung melihat ke arah kami yang sedang berada dalam kondisi cukup intim. Di mana aku sedang bersandar di dinding sementara Dewa di depanku masih dengan tatapan ingin memangsa.Lalu, setelah semua adegan konyol yang terjadi kami akhirnya duduk bertiga di ruang tamu dalam suasana tegang, sementara Maura karena syoknya dia marah dan pergi keluar entah kemana. Doble kill. Aku benar benar lupa kalau Dewa itu termasuk laki-laki langka, sejak dulu dia senang menjebak orang lain dalam perangkapnya. Maka tidak heran, kalau teman-temannya dulu di kampus nyebutnya ... kutukupret!Begitulah Dewa. "Saya ulangi, kenapa kamu ada di kamar Dewa? Sedang apa?!" ulang Pak Breno lagi lebih keras dari sebe
Layaknya dalam sebuah persidangan. Aku dan Dewa duduk sebagai terdakwa, sementara ibu dan Pak Breno sebagai hakimnya. Kami berempat duduk berhadapan di ruang tamu rumah Dewa, Mbok Darmi pembantu Dewa bahkan diminta menjaga Gio selama kami berbicara. Situasi ini menjadi lebih serius daripada yang aku pikirkan sebelumnya, Pak Breno menyampaikan pada ibu dengan marah bahwa dia memergoki aku dan anaknya di kamar Dewa. Dia mengatakan juga bahwa seharusnya ibu lebih bisa menjaga aku dan mengajariku tentang adab. Tahu apa yang kurasakan saat ini? Aku sangat sakit hati atas semua ucapan Pak Breno namun aku masih menahan diri, karena ibu sejak tadi hanya diam dan memandangku penuh emosi. "Jadi kamu berdua dengan Dewa karena kamu terdesak, begitu Nia?" tanya ibu dengan nada marah yang ditekan, aku tahu tenggorokannya pasti gatal karena tidak meneriakkiku.Aku mengangguk penuh penyesalan, aku pasrah jika ibu kini memarahiku atau apapun yang akan dilakukan ibu padaku aku terima. Selep
Gawat! Aku terlambat. Ya, aku terlambat untuk memeriksa keadaan kelasku dan memastikan semua anak sampai pada orang tua atau wali yang tepat, karena kabarnya penculikan anak-anak lagi marak. "Ya Allah, semoga masih ada waktu," gumamku sambil terus berlari sepanjang lorong yang menuju ke arah deretan kelas bawah.Dalam hati aku menyesalkan kondisiku yang terlalu mementingkan keinginan Bu Welly. Andai Bu Welly tidak tiba-tiba menggantikanya mengajar di kelas enam, mungkin aku tidak akan setelat ini.Siapapun tahu kalau di kelas enam pasti banyak tambahannya. Sehingga tak mungkin aku bisa secepatnya keluar kelas. Akhirnya, tak berapa lama aku telah sampai di depan ruangan kelas satu. Perasaanku mulai gelisah ketika melihat deretan kelas satu yang sudah mulai kosong. Aku celingak-celinguk dan melongokan kepala ke dalam kelas, ternyata murid-muridku sudah pulang semua. Terlebih satu anak yang kucari pun tak ada di tempatnya.Ke mana Gio? Apakah dia dijemput Dewa? Tapi, kalau tidak