Gawat! Aku terlambat. Ya, aku terlambat untuk memeriksa keadaan kelasku dan memastikan semua anak sampai pada orang tua atau wali yang tepat, karena kabarnya penculikan anak-anak lagi marak. "Ya Allah, semoga masih ada waktu," gumamku sambil terus berlari sepanjang lorong yang menuju ke arah deretan kelas bawah.Dalam hati aku menyesalkan kondisiku yang terlalu mementingkan keinginan Bu Welly. Andai Bu Welly tidak tiba-tiba menggantikanya mengajar di kelas enam, mungkin aku tidak akan setelat ini.Siapapun tahu kalau di kelas enam pasti banyak tambahannya. Sehingga tak mungkin aku bisa secepatnya keluar kelas. Akhirnya, tak berapa lama aku telah sampai di depan ruangan kelas satu. Perasaanku mulai gelisah ketika melihat deretan kelas satu yang sudah mulai kosong. Aku celingak-celinguk dan melongokan kepala ke dalam kelas, ternyata murid-muridku sudah pulang semua. Terlebih satu anak yang kucari pun tak ada di tempatnya.Ke mana Gio? Apakah dia dijemput Dewa? Tapi, kalau tidak
Di luar sudah hujan bahkan langitpun menghitam. Aku memanjatkan doa turun hujan sekaligus doa agar ketegangan di ruang tamu ini segera berakhir. Aku tak suka keadaan ini. Sungguh!Aku memandang Dewa dan Andro yang duduk dengan posisi serius. Keduanya sama-sama saling memandang angkuh, terlihat jelas kedua dada pria itu naik turun karena mencoba untuk tak berkelahi, diam-diam aku bersyukur Dewa masih mau mendengarkanku. "Untuk apa lo bawa Gio, Mas?" tanya Dewa dengan tatapan nyalang ke arah Andro. "Dengar Mas, dengan lo bawa dia kayak gitu, Gio bakal kaget! Selama ini dia mengira gue papanya. Ngerti Lo, bajingan!" umpat Dewa sambil mengepalkan tangan kuat hingga kukunya memutih.Andro mendecih, membalas tatapan Dewa gak kalah sengit sehingga membuat suasana sangat dingin, lebih dingin dari suhu di luar sana.Aku memutuskan duduk di samping Dewa, agar dia tak hilang kendali. Ingin rasanya tanganku terulur memegang kepalan tangannya yang bergetar karena menahan gejolak amarah. Tapi, ak
Kamar rawat anak tempat Gio berada, tampak sunyi. Hanya ada aku dan Gio yang tertidur di ranjang saat ini. Penyebab Gio kejang, katanya dia terserang syok dan suhu tubuhnya sangat panas. Beruntung, setelah dicek EEG, otak Gio tidak mengalami kerusakan apapun sehingga kami bisa bernafas lega. Terlebih Dewa, sejak tadi Dewa tampak sangat khawatir, berulang kali pria itu mendesah dan berdoa demi kesembuhan Gio yang sudah ia anggap anak sendiri.Aku menutup mushaf kecil yang baru aku baca. Lamat-lamat, aku menatap wajah anak itu, polos dan bening. Melihatnya terbaring lemah, seolah ada kesakitan yang menyeruak di dalam sini. Pandanganku menyapu titik demi titik pahatan wajah Gio, dari mulai alis hingga ke bentuk bibirnya yang mengingatkanku pada seseorang.Aku ingat betul, kalau bibir Gio itu mirip dengan ibunya, Yuli sahabatku yang memendam cinta pada tunanganku dan juga tersiksa akan cintanya. Aku berencana jika Gio sembuh, aku akan membawa anak itu mengunjuki makam ibunya karena ag
Aku duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Gio dengan kepala menunduk. Dari sejak tadi, aku tak henti berpikir apa yang harus aku jawab pada Dewa dan Gio. Entah mengapa aku merasa gamang, di satu sisi aku merasa sepertinya saat sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyanggupi permintaan Dewa terlebih selepas Gio sakit Andro tiba-tiba menghilang. Namun, di sisi lain perasaanku pada Dewa kian besar dan aku juga sudah mulai tidak bisa jauh-jauh dari Gio.Oh Tuhan. Apa langkah yang harus kuambil? Haruskah aku menikah dan menjadi ibu Gio? Tapi, bagaimana dengan Dimas? Lalu, apakah orang tua Dewa bisa menerimaku?Sungguh. Detik ini juga rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya tapi ini rumah sakit tidak mungkin aku berbuat kegaduhan.Dasar Nia bodoh!Seharusnya aku tidak menggantikan Bu Welly mengajar tadi sehingga Gio harus ketemu Andro dan jadinya seperti ini."Nia ...." Aku mengangkat kepala. Kulihat Maura menghampiriku diikuti Pak Breno di belakangnya. Lelaki itu tampak berwaj
Kereta rel listrik arah Bogor berhenti sempurna di depanku. Orang-orang sibuk berebut untuk masuk lebih dulu, maklum KRL ini memang sangat dinanti-nanti oleh para pekerja. Aku saja yang bodoh yang berangkat ke Bogor di saat jam masuk seperti ini.Sebenarnya, bukan tanpa maksud aku berangkat ke Bogor. Semalam seusai tragedi penamparan. Suasana rumah jadi jadi gak enak dan akhirnya setelah aku berpikir semalaman, aku ijin pada Mamah menenangkan diri sejenak ke rumah Nenek mumpung hari Sabtu tidak mengajar. Awalnya Mamah gak setuju tapi aku terus membujuk, aku bilang aku ingin menghindari semuanya sementara waktu. Rasanya terlalu gak nyaman dan sesak ada di Jakarta saat hatiku tengah galau seperti ini."Fiuh!"Aku menghela napas. Membiarkan yang lain masuk lebih dulu sampai akhirnya giliranku. Namun, baru saja aku mau melangkah suara seorang anak kecil menghentikanku."Bu Guru! Bu Guru!" Merasa tak asing dengan suara itu, aku menoleh ke arah samping dan kutemukan Gio tengah melambaikan
Astaghfirullah! Jika saja aku tak ingat kalau Gio adalah anak didikku, tampaknya aku lebih baik menjauh dari Dewa karena senyuman Dewa selalu membuat jantungku berlarian. Rasanya semakin aku mendekat padanya, semakin juga aku merasa tak bisa berlari padahal restu pasti akan didapat oleh kami. Pak Breno dan mamah sama-sama keras kepala, tapi aku juga gak mau Dewa kecewa. Melihatnya tetap memperjuangkanku, aku tidak ingin dia tahu tentang mamah yang mau menjodohkanku dengan Dimas. Aku gak bisa merusak suasana. Aku ingin bahagia, setidaknya terlihat di depan mereka.Setelah mengantri cukup lama di wahana Halilintar akhirnya aku, Dewa dan Rena mendapat giliran juga untuk menaikinya. Tolong jangan tanya bagaimana kakiku begitu bergetar ketika menjejakan kaki di ular besi itu.Sayangnya lagi, Rena seakan sengaja menjebakku agar duduk bersampingan dengan Dewa. Pria itu tentu saja bahagia, dia sampai bersih-bersih kursi yang akan ditempati olehku."Sini Nia, silahkan!" Dewa tersenyum lebar
"Makasih ya kamu mau antar saya pulang, tapi kamu tahu kan tolong jangan berhentiin di depan rumah," seruku dari kursi penumpang.Setelah tadi seharian menemani keluarga Dewa di wahana permainan, seperti janjinya, Dewa akan mengantarkanku kembali ke rumah. Tadinya aku berniat melanjutkan perjalanan ke arah Bogor tapi setelah dipikir-pikir lebih baik pulang ke rumah walau nanti harus menyembunyikan fakta ke mamah kalau aku gak jadi ke Bogor karena Gio dan Dewa."Siap, kamu jangan khawatir. Saya tahu kondisi mamah kamu pasti masih marah bukan?" tanyanya dengan pandangan fokus ke arah jalan. Sementara aku sesekali melihat ke arah jok belakang di mana Gio sedang tertidur karena kelelahan.Aku menoleh sambi mengangguk membenarkan. "Ya, begitulah saya harap Pak Dewa bisa paham.""Saya sangat paham, malah saya yang mau minta maaf sama kamu Nia. Maaf karena saya gak bisa jaga kamu. Tapi, saya yakin suatu saat kita akan membalik keadaan," ucapnya sambil melirikku sekilas.Aku mengernyit. "Memba
Bohong jika aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Omongan Dimas berkali-kali berputar di otakku menyisipkan pikiran buruk tentang Dewa. Syetan memang pintar memainkan ragu pada seseorang yang mau memantapkan diri pada satu hati. Jujur, semalam sempat aku berpikir untuk menerima pinangan Dewa karena untuk kali ini aku ingin memutuskan lebih berani pada perasaanku sendiri. Namun, gara-gara Dimas, hatiku menjadi ragu lagi."Sudah, tenang Nia, pasti itu hanya omongan Dimas saja! Percaya sama Dewa! Percaya!"Aku terus mensugesti diri dan berusaha untuk tak curiga. Sebisa mungkin aku menepis semua suudzon agar tidak terpengaruh oleh omongan Dimas yang bagiku tak berdasar. Eh, tapi, seingatku selama kami berhubungan, kurasa Dimas gak akan mengatakan hal yang bohong tanpa bukti.Mungkinkah dia berkata benar? Mungkinkah Dewa masih punya hubungan sama Maura? Atau mungkin gak sih Dimas melakukan ini karena cemburu?"Ah, astaghfirullah!"Aku memijat pelipisku berat juga pening lalu kualihkan pi