"Makasih ya kamu mau antar saya pulang, tapi kamu tahu kan tolong jangan berhentiin di depan rumah," seruku dari kursi penumpang.Setelah tadi seharian menemani keluarga Dewa di wahana permainan, seperti janjinya, Dewa akan mengantarkanku kembali ke rumah. Tadinya aku berniat melanjutkan perjalanan ke arah Bogor tapi setelah dipikir-pikir lebih baik pulang ke rumah walau nanti harus menyembunyikan fakta ke mamah kalau aku gak jadi ke Bogor karena Gio dan Dewa."Siap, kamu jangan khawatir. Saya tahu kondisi mamah kamu pasti masih marah bukan?" tanyanya dengan pandangan fokus ke arah jalan. Sementara aku sesekali melihat ke arah jok belakang di mana Gio sedang tertidur karena kelelahan.Aku menoleh sambi mengangguk membenarkan. "Ya, begitulah saya harap Pak Dewa bisa paham.""Saya sangat paham, malah saya yang mau minta maaf sama kamu Nia. Maaf karena saya gak bisa jaga kamu. Tapi, saya yakin suatu saat kita akan membalik keadaan," ucapnya sambil melirikku sekilas.Aku mengernyit. "Memba
Bohong jika aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Omongan Dimas berkali-kali berputar di otakku menyisipkan pikiran buruk tentang Dewa. Syetan memang pintar memainkan ragu pada seseorang yang mau memantapkan diri pada satu hati. Jujur, semalam sempat aku berpikir untuk menerima pinangan Dewa karena untuk kali ini aku ingin memutuskan lebih berani pada perasaanku sendiri. Namun, gara-gara Dimas, hatiku menjadi ragu lagi."Sudah, tenang Nia, pasti itu hanya omongan Dimas saja! Percaya sama Dewa! Percaya!"Aku terus mensugesti diri dan berusaha untuk tak curiga. Sebisa mungkin aku menepis semua suudzon agar tidak terpengaruh oleh omongan Dimas yang bagiku tak berdasar. Eh, tapi, seingatku selama kami berhubungan, kurasa Dimas gak akan mengatakan hal yang bohong tanpa bukti.Mungkinkah dia berkata benar? Mungkinkah Dewa masih punya hubungan sama Maura? Atau mungkin gak sih Dimas melakukan ini karena cemburu?"Ah, astaghfirullah!"Aku memijat pelipisku berat juga pening lalu kualihkan pi
Aku telah merasakan jatuh cinta, kemudian mencoba beralih dan kembali pada titik yang sama dengan terluka.Anehnya, walau tahu akan kembali sakit aku tetap memutuskan untuk berdiam dan menolak melupakan apa yang pernah membuat hati ini sekarat. Muak! Ya, aku mual dengan semua janji manis pria itu.Jujur, saat ini rasanya aku kenyang oleh kebodohanku yang percaya pada Dewa untuk kedua kalinya. Entah aku yang terlalu takut kehilangan atau memang aku terlalu mencintai Dewa. Ah, entahlah! Yang pasti aku sangat kecewa. Aku tak menyangka Dewa memilih pergi bersama Maura dibanding menjemput anaknya.Aku baru saja sampai rumah, saat aku melihat sebuah sosok tengah berdiri dengan memakai baju yang sama yang aku lihat di depan toko bunga tadi padahal ini sudah malam. Mungkin pria itu menungguku. Aku sengaja tak membalas chatnya karena selepas mengembalikan Gio ke rumahnya, diri ini tak langsung pulang karena di rumah pun gak ada siapa-siapa. Aku lebih dulu memutuskan berkunjung ke rumah Pipi
Annisa Zania. Entah mengapa setiap mendengar nama itu bibir Dewa seolah tertarik membentuk seulas senyum tipis. Dulu, saat pertama kali mendengar nama Zania, Dewa merasa nama perempuan ini cukup menarik perhatian dan betul saja ketika dia melihat Zania di OSPEK jurusan Dewa--sang ketua BEM langsung gak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Kelembutan dan kebaikan Zania pada seorang nenek tua yang Dewa lihat di pasar membuat dia penasaran, terlebih ketika tanpa sengaja Zania menolongnya saat sang ibu tetiba sakit di rumah sakit. Dewa yang selama ini merasa diabaikan menjadi merasa diperhatikan, diam-diam dia memutuskan mengejar Zania yang notabene adik tingkatnya. Namun, ternyata Zania gak begitu gampang ditaklukan, gadis itu sangat dingin menanggapi Dewa tapi Dewa gak menyerah karena dia bertekad mencintai Zania secara brutal hingga Zania pun berhasil luluh dan menjadi kekasih Dewa.Selama mereka berhubungan, Dewa dan Zania bagaikan dua sejoli yang begitu rekat. Di mana ada Zania past
"Sebenarnya Bu Nia ada masalah apa? Apa yang bisa sekolah bantu agar Bu Nia tidak melamun seperti tadi?"Pertanyaan sarkastik meluncur mulus dari mulut Bu Tia dengan penuh aura penekanan membuat aku menelan ludah dengan susah payah. Ini kali kedua aku melihat Bu Tia meng-interogasiku hanya karena gara-gara aku gak fokus selama rapat."Hem ... itu Bu ...." Aku menjeda kalimat seraya menjilat bibir yang mendadak kering. Sejujurnya, aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Kuakui kalau aku memang sudah keterlaluan, di saat orang lain sibuk rapat aku malah sibuk memikirkan penyesalanku terhadap Dewa. Namun, aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bu Nia, paham kan pertanyaan yang saya ajukan?" tegur Bu Tia sekali lagi. Aku mengerjap beberapa kali. "Eh, iya Bu sa-saya paham, saya mohon maaf Bu jika saya tadi kurang fokus. Insya Allah saya gak akan ulangi lagi kesalahan tadi," jawabku pada Bu Tia tetap dalam mode formal, demi menjunjung asas profesionalitas. "Oke, kalau Bu Nia paham, jadi ap
Dari : Pipit [Bu Nia, kamu dipanggil lagi ke ruangan Bu Tia?] Dari : Lea [Bu Nia, gak nyangka ternyata kamu nolak Pak Dewa, ya ampun! Sungguh terlalu tapi gak apa-apa bagus biar saya ada peluang. ] Fr: Silvi [Iya bener, aku juga mau dong ngantri. Biar Bu Nia mah sama Pak Dimas aja gakgakgak.] "Astaghfirullah!"Aku beristighfar melihat tiga chat yang mampir ke ponselku sore ini. Benar-benar ya gosip di kalangan para guru dan wali murid SD itu menakutkan. Jujur, aku tidak paham dari mana mereka tahu perihal aku yang menolak Dewa, sebab perasaan kemarin malam gak ada siapa-siapa.Apa mungkin Dewa yang melakukannya? Ah, tidak mungkin, Dewa bukan tipe orang yang suka membocorkan masalah pribadi."Oh, ya Allah! Tolong!" Aku mendesah lelah. Sore ini sesuai janjiku pada Bu Tia, dengan semangat 45 aku mendatangi kantor Dewa dan beruntungnya menurut sekretaris Dewa, katanya Dewa masih ada di dalam ruangannya. Lalu, di sinilah aku, berdiri dengan dada yang berdebar dan perasaan yang tak
Esok harinya, aku berangkat kerja dengan perasaan tak menentu, terlebih kepalaku rasanya berat sekali seolah ada bata yang ditimpakan ke atasnya. Mungkin ini terjadi akibat semalam aku benar-benar gak bisa tidur, pertemuan dengan Dewa di sore hari dan rasa bersalah padanya telah membuatku overthingking."Nia, sekarang saya hanya bisa memberi kamu waktu untuk kembali percaya sama saya. Saya tahu kamu mungkin belum sepenuhnya memaafkan dan saya juga tidak perduli kamu menolak atau tidak. Tapi, ada hal yang kamu harus tahu. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai kamu sedalam dan sekuat saya."Sekali lagi, ucapan Dewa sebelum aku pergi dari ruangannya terngiang di benak. Lelaki itu mengatakan hal tersebut dengan nada penuh penekanan membuatku semakin merasa bersalah. "Ya Allah." Aku mendesah sambil terus menatap kosong ke arah lorong sekolah yang menuju ruang guru. Akibat memikirkan hal itu, aku jadi lama berjalan. Beruntung, hari ini kelas gak banyak jadi aku bisa bersantai dulu karena j
Aku berbicara dengan Dimas ketika Bu Naya sudah pergi keluar sekolah. Selesai mengucapkan terima kasih, tinggallah aku dengan Dimas yang masih menunggu di samping ruang guru.Dengan langkah gontai aku terus mendekat ke arah Dimas. Jujur, aku lagi malas banget ngobrol sama Dimas, terlebih pas dia bilang kangen di depan Bu Naya yang notabene berpihak pada Dewa.Bagaimana jika Bu Naya bilang sama Dewa? Kan kacau balau."Sebenarnya apa maksud kamu datang ke sini?" tanyaku to the point. Tak kuduga semalam ini aku melihat mantan lelaki yang akan menikahiku itu sekarang tengah berdiri dengan wajah sayu, memandangku.Dimas menengokkan kepala untuk melihatku."Sudah kubilang kan, aku kangen," ucap Dimas seraya berdiri dan lalu menghampiriku. "Sudah lama, ya kita gak ketemu, kalau kamu kangen gak?" godanya menyebalkan. Aku lihat wajah Dimas begitu kacau seolah dia memiliki persoalan yang berat. Melihatnya begini, aku jadi ingat ucapan Bu Tia dan diam-diam jadi merasa bersalah tapi hatiku tak b