Malam itu, sepulangnya menitipkan Gio ke Rena, Dewa bukannya mengajakku pulang ke rumah untuk meeting seperti rencana. Dia malah membelokkan mobilnya ke arah bandara, seakan berada dalam penculikan aku bertanya macam-macam pada Dewa takut kalau Gio mencari kami kalau kami ke luar kota atau ke luar negeri sekarang ini. "Udah gak apa-apa, namanya juga bulan madu jangan khawatir oke?" jawab Dewa ketika aku terus bertanya akan dibawa kemana. "Tapi kan gimana kalau Gio nyariin?" cecarku tak puas. Dewa tidak menjawab, dia hanya tersenyum penuh misteri membuatku malas bertanya lagi. Takutnya, nanti aku malah diturunin di tengah jalan lagi, padahal masih pengantin baru. Sampai di Bandara, barulah Dewa menjelaskan maksudnya mengajakku ke Bandara adalah karena kami akan ke Bali. Kebetulan, ada temannya yang mengundang kami datang ke nikahan mereka sekalian katanya ini adalah moment yang pas untuk kami berbulan madu. Mendengar penjelasannya, hatiku diam-diam bersorak bahagia. Sepanjang perj
Sebagai wanita yang baru merasakan kehamilan kedua yang kembar, aku melewatinya dengan susah payah, belum lagi akhir-akhir ini Gio minta perhatian lebih. Namun, meski agak memusingkan, sebagai Mamah idaman baginya aku harus bisa membagi perhatianku secara adil. Kalau kata Mamahku Gio berbuat begitu karena tahu dia mau punya adik. Jadi agak manja, tak seperti Mamah yang kian hari kian menerima keberadaan Dewa setelah aku hamil tentunya. Melihat Dewa yang begitu menyayangiku, Mamah yang semula meragukan akhirnya luruh. Namun, sebaliknya aku yang lebih suka emosian pada Dewa. Selain karena perubahan moodku juga sikap Gio, kurasa ada yang berbeda juga pada Dewa. Entah mengapa sekarang dia lebih posesif dan hal itu membuat aku pun lebih merasa dimanjakan dan dilindungi.Maklumlah sebelumnya dia kan sibuk, ada aja yang ia kerjakan saking banyaknya job yang ia ambil tapi semenjak aku hamil dia mulai mengurangi aktivitas. Dewa lebih sering bersamaku meski sesekali sibuk sama urusan klinik.
Hari Senin."Bu Guru! Ada salam, dari Papah!"Aku hanya tersenyum lalu mengelus pipi bakpau anak itu, kemudian berlalu setelah memeluknya.Hari Selasa."Bu Guru, Papah titip salam!"Aku bengong menatap mata bening Gio yang enggak berdosa.Lagi, anak itu melakukannya."Dan ini buat Bu Guru dari Gio, ini permen kesukaan Gio, Papah yang membelikannya, sekarang jadi milik Bu Guru!""Eh, Gio tapi kan ini milik Gio, masa buat Ibu?""Gak apa-apa, pokoknya ini buat Ibu ayo terima Bu!"Gio kali ini memaksaku untuk menerima permennya, dengan ragu aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih pada Gio, bukan pada papanya.Hari itu jujur aku berdoa agar ucapan salam dari orang tua muridku itu berhenti, karena guru-guru di SD tempatku mengajar sudah mulai menggodaku. Namun, ternyata sayang, doaku belum terkabul.Hari-hari berikutnya, Gio selalu datang menemuiku, baik di ruang kelas maupun di ruang guru hanya untuk sekedar menyampaikan salam dari papanya yang duda tersebut secara terus-menerus.Hin
Hari ini, hari libur.Aku sudah ada janji dengan butik untuk fitting baju pengantin. Dimas pun katanya mengusahakan hadir dan aku berharap itu benar, bukan hoax karena aku lelah disuapi oleh janji palsunya yang suka diingkari.Gontai. Aku menaiki tangga eskalator sambil mendekap tasku, aku memikirkan semua persiapan pernikahanku dengan Dimas. Akhir-akhir ini calonku itu agak aneh, dia jarang menghubungiku. Ada saja yang ia jadikan alasan jika aku mengajaknya bertemu padahal waktu pernikahan kami tinggal sebulan lagi.Aku jadi ragu apakah sebenarnya Dimas mau menikah denganku atau tidak? Tapi, perkenalan kami yang terbilang cepat membuatku tak bisa menanyakan keseriusannya lebih dalam. Dimas orang yang sangat tertutup, berbeda dengan Dewa.Agh, Dewa lagi!Seandainya dulu, Dewa tidak mengkhianatiku mungkin aku akan menjadi Nyonya Dewa sekarang tak perlu menunggu umurku kritis seperti sekarang untuk menikah.Setelah sampai di lantai tiga, aku arahkan kakiku menuju tempat butik Marion ber
Meriah. Satu kata yang dapat menggambarkan keriuhan suasana pernikahanku hari ini yang mengusung adat sunda, adat sunda dipilih oleh Ayah karena itu tanah kelahirannya sekalipun kami tinggal kini bukan di daerah Jawa Barat. Wajah semua orang nampak bersuka cita, terlebih rona bahagia jelas terlihat di wajah keluargaku, mungkin mereka merasa sudah lega karena satu-satunya anak perempuan tanggungan Ayah akan melepaskan diri juga.Aku menatap wajahku di kaca yang sudah siap dengan segala macam asesoris khas pengantin sunda.Sedari subuh, kubiarkan mukaku yang kuyu karena habis bergadang dalam tangis diberikan tambahan riasan oleh Mbak Dina tukang rias kami sehingga terlihat cantik. Namun, tetap saja bagiku wajah yang kupandangi sekarang tak lebih dari sekedar kedok untuk menutupi hatiku yang risau."Jangan deg-degan ya, tenang Mas nya pasti datang kok!" ujar Dina sebelum dia dan timnya pergi kemudian meninggalkanku sendiri dalam kamar yang sudah dihias. Aku hanya tersenyum tipis menjawab
Ibu dan Bibi membawaku menuju ke tempat akad. Mereka mengamit lenganku dengan hati-hati, seakan takut aku akan terluka. Semua mata memandangku penuh takjub, satu sama lain berbisik seakan hari ini bukan hanya milikku dan akupun berdoa semoga Dewa merasakan yang sama.Ketika tiba di masjid, pertama kali yang kulihat adalah Dimas. Calon suamiku yang sedang duduk di depan penghulu, kedua keluarga sepakat merendengkan kedua calon mempelai saat akad terucap. Harus kuakui, Dimas sungguh tampan dengan baju pengantin sunda yang tampak pas di tubuhnya. Dimas menatapku tanpa ekspresi, menelusup rasa aneh pada dadaku saat Dimas malah mengalihkan pandangan.Memang seminggu menjelang pernikahan kemarin Dimas mulai jarang menghubungiku, bahkan malam tadi pun dia hanya menelepon sekedar basa-basi, aku berdoa ini bukan pertanda buruk. Mataku aktif mengedar ke sekeliling melihat suasana masjid, semua keluarga nampak lengkap hadir tapi sebenarnya bukan mereka yang aku cari.Aku menghela nafas mengambil
"Assalammu'alaikum. Semuanya! Gimana kangen gak sama Bu Guru?" Aku menunjukan wajah ceria di depan murid-muridku. Entah kenapa aku selalu merasa awet muda kalau kembali ke aktivitas mengajarku."Wa'alaikumsalam. Kangen banget Bu Guru!" jawab mereka kompak. Aku tersenyum sumringah, alhamdullilah pagi hari ini, aku bersyukur bisa melihat wajah mereka lagi."Semuanya pada sehat kan?" tanyaku lagi."Sehat Bu, kami seneng Bu Guru kembali lagi!" cengir Helen menunjukan deretan giginya yang bolong-bolong."Iya, Bu Guru liburnya Kelamaan sih!" Diani protes, mulutnya manyun lucu."Iya, bener tuh!" Koar semua anak.Aku tertawa geli mendengar serangan para muridku yang sangat menggemaskan, mulut-mulut kecil mereka berebut bertanya ini dan itu karena sebulan sudah aku tak menyapa mereka. Judulnya hari ini mungkin aku lagi menikmati masa kangen dengan mereka."Iya, sekarang kan Bu Guru ada di sini, coba Bu Guru absen ya?" Aku mengambil daftar absen yang ada di meja. Kebiasaanku sebelum menyebutkan
Bagaimana bisa aku hampir kesiangan? Seharusnya aku berada di sekolah lebih cepat dari pada murid-muridku. Ini sih namanya bukan guru teladan tapi guru telatan. Aku langsung memarkirkan Yolanda si motor beath di parkiran, dengan perjuangan sengit melewati kemacetan akhirnya aku sampai ke sekolah bertepatan dengan lonceng bel berbunyi. Untunglah... aku mengelus dadaku, paling tidak aku gak kena damprat Bu Welly Wakasek kurikulum yang kadang suka menyindir tajam apabila ada guru yang telat masuk. Aku merapihkan baju batikku bersiap masuk ke dalam ruang kelasku. Baru saja 5 langkah aku meninggalkan lapangan parkir sebuah suara yang sangat aku kenal menyapa."Bu Guruuu!"Aku langsung menghentikan langkah. Tubuhku berputar 180 derajat dengan gemetar mendengar suara khas itu, suara yang aku rindukan."Gioooo!"Aku berteriak senang melihat sosok Gio berlari ke arahku. Ya Allah! Akhirnya dia kembali.Buk! Tubuh itu seperti biasa menubrukku, aku lepaskan semua keeinduan pada Gio. Tubuhku spon